Teleangiectasis) - Prevalensi Penyakit Ini Relatif Rendah Karena Banyaknya Kasus Yang Tidak
Teleangiectasis) - Prevalensi Penyakit Ini Relatif Rendah Karena Banyaknya Kasus Yang Tidak
EPIDEMIOLOGI
Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan
menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang
disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily,
teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak
dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar
19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1.
Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada
wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia
yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali
laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan
insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras
kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica
dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,
trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,
akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis
terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya
skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.
Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12
diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan
penelitian tahun 2001 di Australia.
Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi
pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang
jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam
kerentanan yang terjadi pada populasi.
B. DEFINISI
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan
penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang luas
terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Fibrosis adalah pembentukan struktur
seperti skar yang halus yang menyebabkan jaringan mengeras dan mengurangi aliran
cairan melalui jaringan-jaringan. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan
gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional
yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari
proses fibrosis.
Klasifikasi:
Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus terbatas
(80% kasus).
1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas
bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru dan
jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak organ
dalam, tidak hanya kulit saja.
2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud, disfungsi
esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya terbatas pada
wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.
Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri
dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya lupus
sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren
a. Faktor Genetik
Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang
menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk
systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat
pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan
pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi
imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah
dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE),
endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte
chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha,
IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya
(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-
beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya
faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus,
paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat
mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan
antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I
autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan
dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic
hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
C. PATOFISIOLOGI
1. Vaskulopati
Terjadi fenomena Raynaund sebagai manifestasi awal penyakit yang ditandai dengan
perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya bersifat reversible,
terjadi sebagai akibat dari penurunan sistim syaraf otonom dan perifer karena berkurangnya
produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris, dan
peningkatan sensitivitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler.
Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem)
yang dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik
umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga terjadi pada jari kaki, daun telinga, lidah dan
hidung. Pada fase palor dan sianosis pasien akan merasa nyeri sedangkan pada fase hiperemis
pasien biasanya akan merasa terbakar. Fenomena Raynaud pada slerosis sistemik dapat
dijumpai sebanyak 95%.
Vaskulopati (gangguan vaskuler) mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole,
bahkan pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot
polos mengalami proliferasi (fase sel saat mengalami pengulangan siklus sel), membran basal
menebal, reduplikasi, serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia (mempengaruhi
hipoksia). Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan
hilangnya gambaran vaskuler.
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit, pelepasan vasokonstriktor
(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian
diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia(penyumbatan
pembuluh darah) berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya,
proses revaskularisasi yang seharusnya dapat mempertahankan aliran darah pada jaringan
yang iskemik tampaknya tidak terjadi pada kasus Skleroderma. Pada pasien Skleroderma,
jumlah progenitor (sel yang spesifik, sel pada tahap diantra sel induk dan sel fungsional
yang matang) sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi
jumlahnya menurun. Penelitian in vitro menunjukan diferensiasinya menjadi sel endotel
mature terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif substansi yang telah rusak) dan
kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.
ECM = Extracelular matrix contohnya kolagen, elastin, proteoglikan.
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi
diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon, Th2
terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat
menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks.
TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai
aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.
Gambar 2: Mediator terlarut pengaktivasi fibroblast yang kadarnya meningkat pada skelroderma
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial
menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4
dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang
sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan
memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin.
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini
spesifisitasnya tinggi terhadap scleroderma. Kadar autoantibodi berhubungan dengan
keparahan penyakit, dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik
Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein mitosis seperti
topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang antigen
permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma
dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel
endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin
mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan
fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi
fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas
intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan
menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma.
3. Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang
membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan
konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan
penggantian tekstur jaringan normal dengan jaringan ikat aseluler yang progresif yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma.
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh
TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan
kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi
reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast
(sel yang mnegalami perubahan). Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera
jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan berhenti
dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi.
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi secara terus-menerus
dan berkembang semakin besar dan menjadikan perubahan matriks dan pembentukan jaringan
parut. Aktivasi fibroblast yang berlebihan ini serta akumulasi matriks adalah perubahan
patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderma.
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang
mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth
muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.
Gambar 3 : Aktivasi fibroblast pada scleroderma
1. Patologi Kulit
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan
gambaran patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan
matriks ekstraselular pada dermis, terutapa kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan
epidermis dan hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada
skleroderma. Hal ini meyebabkan penegangan kulit yang khas pada skleroderma. Pada
stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosist
T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada
stadium akhir (fase atrofik), kulit relative aselular.
Lesi Vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ
lainnya. Tunika intima arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi
sempit. Dengan tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler
yang makan lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika
intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.
2. Patologi Paru-paru
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan
kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan
scleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu
penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal
yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.
3. Patologi Jantung
Sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada
perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang
akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Pada miokardium, tammpak
proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Di sekeliling pembuluh darah
koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark
miokard.
4. Patologi Saluran Cerna
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus
proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada
tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat
fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi lapisan otot dan berkurangnya
peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar.
5. Patologi Ginjal
Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada
tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas
infark kortek ginjal dan stradium akhir skleroderma. Pada sklerosis sitemik yang disertai
kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang
beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.
Gambaran Klinis
Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila
ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.
Kriteria Minor
Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari
Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.
Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di
bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.
Gambar 8. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien
skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien scleroderma terbatas.
F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan
antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik. Selain itu,
evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan
meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.
Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien
scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak
subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien
skleroderma.
G. PENATALAKSANAAN TERAPI
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan scleroderma. Obat-obat yang
tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.
1. Non farmakologi
Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak
mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy
nya.
"Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,
sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit setiap
empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang signifikan.
Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens
terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk
menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.
2. Farmakologi
Terapi ini diarahkan pada:
a. Vaskular sistem
PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)
Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan
penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous
epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil
(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration (FDA)
dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV. Efek
prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat
untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya.
Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan
hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.
c. Fibrosis
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam
patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti
efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan
relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor
pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma telah
mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun penggunaan
anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman, namun bukti
klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada scleroderma.
Therapeutic recommendations
vasoactive substances
calcium channel Nifedipin 3 x 10 mg/d
blockers
ACE-inhibitors Captopril 12,5 - 100 mg/d
Enalapril 5 - 15 mg/d
prostacyclin analogs Iloprost 0,5 - 2 ng/kg/min
for 6 h i.v.; 5-10
days
antiinflammatory and immunesuppressive substances
Glucocorticoids Methylprednisolone initially 60-80
mg/d; reduction to
maintenance dose
Azathioprine 1,5 - 3 mg/d
Cyclophosphamide 2,0 - 2,5 mg/kg/d
p.o. or 0,5 - 1
g/m_/month i.v.
antifibrotic substances
D-Penicillamin 150 - 300 - (750)
mg/d slow dose
increase
Penicillin G 10 Mega IE i.v. (30
min) for 10 - 14
days
PUVA
gastroenterologics
proton pump Omeprazol 20 - 40 mg/d
inhibitor
H2-receptor blocker Ranitidin 150 - 300 mg/d
gastroprocinetics Metoclopramid 3 x 10 mg/d p.o.
H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2011, http://emedicine.medscape.com/article/331864-overview#a0104, diakses
27 April 2012
Denton CP., 2006, Systemic Sclerosis, Scleroderma, In The Autoimmune Disease, 4th ed,
Elsevier, London
Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T, 2009, Scleroderma. The New England Journal of
Medicine, Massachusetts Medical Society
Haustein UF. 2002. Systemic sclerosis – scleroderma. Dermatol Online J 8(1):3
[http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/scleroderma/haustein.html].
Mayes MD., 2008, Systemic Sclerosis, In Primer on the Rheumatic Diseases. 13th
edition, Springer Science Business Media, London
Sardana K, Garg VK, 2008, Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update, Indian
Journal Dermatology Venerology
Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 1239-1244,
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta
Varga J., 2008, Systemic Sclerosis (Scleroderma), Harrison’s Principles of internal
medicine, Mc Grwa Hill Medical, New York
MAKALAH FARMAKOTERAPI I
SKLERODERMA
Disusun oleh:
Indah Kertawati (098114039)
E. Raras Pramudita R (09811040)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012