Anda di halaman 1dari 5

Pengembangan Ekstrak Tumbuhan Herbal sebagai

Anti Kudis di Pesantren

MLF Kumalasari1, A Marwing 2, E Kususmawati3, I Mustika4, N Lusiana5, LP Widayanti 6, F


Andiarna7, EN Andyarini 8, S Hidayati9

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya-Jawa Timur, Indonesia 1,3,4,5,6,7,8,9
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Tulungagung-Jawa Timur, Indonesia 2
{meilina_fitri@uinsby.ac.id1, maringarman@gmail.com2,}

Abstrak. Banyak penelitian di Pesantren yang melaporkan prevalensi Scabiei


(Kudis Sarcoptic) yang tinggi. Namun, kekhawatiran masyarakat tentang cara kuratif
penyakit kudis umumnya fokus pada obat-obatan kimia, sepertiPermetrin
krim(Elimite), Benzil benzoat, Lindane (gamma benzena heksaklorida).
Senyawa-senyawakimia dari obat-obatan yang sering menjengkelkan, tidak aman untuk bayi,
hamil, dan tua-tua, serta resistensi terkemuka Sarcoptes scabiei
tungau. Oleh karena itu, pengembangan pengobatan sangat diperlukan dengan memanfaatkanlebih aman
bahan yang. Indonesia sebagai negara tropis memiliki banyak potensi tanaman obat
yang memiliki senyawa aktif terhadap tungau skabies. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan
yang bertujuan untuk menggali kemungkinan tanaman obat yang mungkin tertanam dalamkesehatan
budayasistem penyembuhan pesantren. Hasil penelitian menunjukkan berbagai
ekstrak tanaman herbal untuk penyembuhan kudis di Pesantren seperti biji dan
daun Azadirachta indica A, daun Pluchea indica (L.) Less., akar
Eleusina indica. Senyawa ini mengakibatkan ekstrak biji, daun dan
akar memberikan ketahanan terhadap tungau Sarcoptes scabies dengan menghambat siklus hidup
metamorfosisnya.
.
Kata kunci: Skabies, Pesantren, Tanaman Jamu

1 Pendahuluan

Skabies merupakan salah satu jenis penyakit infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh
mikroorganisme parasit Sarcoptes scabei varian hominin. Penyakit ini dapat ditularkan melalui
kontak kulit dengan kulit atau kontak dengan benda-benda yang telah terkontaminasi tungau.
Selain itu, scabies juga dapat ditularkan melalui hubungan seksual [1].
Tanda-tanda gejala yang muncul akibat infeksi tungau adalah rasa gatal yang dirasakan pada
malam hari. Gatal terjadi pada lesi yang dapat berupa vesikel, papula dan urtikaria. Selain itu
dapat juga berupa bula yang gambaran klinisnya seperti dermatitis vesikobular. Namun, pada
skabies kronis, rasa gatal terjadi di seluruh tubuh. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak
nyaman, produktivitas yang lebih rendah dan masalah psikososial, seperti perasaan tidak dapat
diterima oleh lingkungan [2].
AICIS 2019, 01-04 Oktober, Jakarta, Indonesia
Copyright © 2020 EAI
DOI 10.4108/eai.1-10-2019.2291663
Prevalensi skabies di dunia berkisar antara 0,2% sampai 71,4% dari populasi umum, dan
banyak terjadi di negara-negara dengan iklim tropis [3]. Indonesia merupakan salah satu negara
tropis dengan suhu ruangan berkisar 21◦C dengan kelembaban relatif 40-80% sehingga
memudahkan berkembangnya bakteri, parasit dan jamur.
Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukkan prevalensi skabies di Indonesia
sebesar 3,9 – 6%. Prevalensi skabies di Indonesia saat ini seluruhnya menurun dari tahun ke
tahun, terlihat dari data prevalensi 2008%-12,96%, dan prevalensi tahun 2009 sebesar
4,912,95%[4].
Faktor penyebab tingginya prevalensi skabies di Indonesia adalah kepadatan hunian dimana
kontak fisik antar individu memudahkan penularan dan infestasi skabies. Oleh karena itu,
prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat pada lingkungan dengan kepadatan penghuni
dan kontak interpersonal yang tinggi, seperti pesantren.
Pesantren adalah sekolah Islam dengan sistem asrama, dan santrinya disebut santri.
Lembaga ini menitikberatkan pada penyelenggaraan agama umum tetapi khususnya agama
Islam [7]. Jumlah Pesantren di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 25.938 dengan 3.962.700
santri.
Infeksi primer skabies tidak diprioritaskan karena tidak mengancam jiwa. Namun jika hal
ini dibiarkan akan menimbulkan infeksi sekunder yang sulit disembuhkan. Infeksi sekunder
akibat Streptococcus dan Staphylococcus mungkin mengenai ginjal dan menyebabkan
glomerulonefritis [9].
Penatalaksanaan skabies harus dilakukan secara menyeluruh dengan pengobatan yang
berkualitas, seperti membunuh secara efektif pada semua stadium tungau skabies, karena tidak
menimbulkan iritasi atau toksisitas. Jenis obat yang digunakan seperti belerang presipitatum,
Benzil benzoat, Permetrin, Krotamiton, dan lain sebagainya. Namun pemberian Skabisida
dalam jangka panjang dan dosis yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi tungau
Sarcoptes scabies terhadap Skabisida [9]. Oleh karena itu diperlukan pengobatan alternatif
dengan memanfaatkan bahan-bahan alami yang diduga memiliki efek anti scabisida.
Bahan alami ini merupakan salah satu cara penanggulangan penyakit vektor dengan
pengendalian hayati [11]. Indonesia memiliki keanekaragaman tumbuhan dengan jumlah
kurang lebih 30.000 spesies dan baru ditemukan 940 spesies yang berpotensi dapat
menyembuhkan penyakit, yang disebut sebagai tanaman obat (11). Masyarakat Indonesia telah
lama menggunakan tanaman obat untuk menyembuhkan penyakit. Pengetahuan tentang
pengolahan tanaman obat telah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Tidak banyak informasi tentang ekstrak tumbuhan yang digunakan sebagai terapi kudis.
Artikel ini akan mengulas beberapa hasil penelitian tentang terapi scabies dengan ekstrak
tumbuhan yang bertujuan untuk memberikan kontribusi informasi bagi para pencari Alternatif
pengobatan scabies.

2 Metode

Dalam proses review, kami melakukan teknik pengumpulan data dengan studi literatur dari
perpustakaan tentang terapi Skabies dengan memanfaatkan ekstrak tumbuhan. Data diperoleh
dari beberapa jurnal penelitian dan laporan hasil penelitian skripsi S1/S2. Referensi dalam
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris mulai dari tahun 2013 hingga 2018 digunakan dengan
studi pustaka menggunakan Google Scholar dengan menggunakan istilah "skabies", "Ekstrak
tumbuhan", "Scabisida", "Sarcoptes scabiei".
Data tersebut mengingat tumbuhan yang berpeluang untuk dapat mengobati penyakit kudis
dan mudah diperoleh. Proses pemilihan perpustakaan hanya membutuhkan 16 jenis tanaman
sebagai data.
3 Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Tanaman dengan Antiskabies Kegiatan


No Nama Latin Nama Lokal Famili Bagian Tanaman 1. lidah buaya lidah buaya
Xanthorrhoeaceae Daun 2. Azadirachta indica Mimba Meliaceae Biji3. Azadirachta
indica Mimba Meliaceae Daun4. Aegle marmelos bila/maja Rutaceae Daging buah
5. Eleusina indica Pata/ rumput belulang Poaceae Root Poaceae Flower
6. Imperata cylindrica alang
alang/takengon
7. Melaleuca alternifolia Pohon teh Myrtaceae Oil 8. Mangifera indica Manga
Anacardiaceae Batang kulit 9. Piper bettle Sirih Piperaceae Daun 10. Areca catechu
Pinang Arecaceae Biji 11. Curcuma aeruginosa temu hitam Zingiberaceae Rhizome 12.
Curcuma heyneana temu giring Zingiberaceae Rimpang
13. temu putri (temu Rimpang
Kaempferia rotunda putih) Zingiberaceae

14. Languas galanga Lengkuas Zingiberaceae Rimpang 15. beluntas beluntas


Asteraceae Daun 16. Tinospora tuberculata Bratawali Menispermeaceae Daun

Obat herbal yang berasal dari tumbuhan menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan
penyakit kudis. Pengobatan herbal ini dilakukan untuk menghindari efek samping obat kimia
antiskabisida. Beberapa tanaman telah diekstraksi dengan dosis dan cara tertentu telah terbukti
memiliki aktivitas antiscabisida.
Aloe vera Gel adalah gel yang terkandung dalam tanaman herbal. Berwarna putih dan
transparan dengan kandungan zat-zat seperti saponin, Antrakuinon, Anthrax Zero, Aloeemodin,
Anthracenesinamat, asam chrysophanic, eteraloin resistanol, asam Amino, enzim oksidase,
katalase, lipase, mineral, dan hormon. Antrakuinon memiliki mekanisme SHG sel protein
terdenaturasi, memberikan efek merusak bagi tungau. Saponin memiliki kemampuan sebagai
antiseptik & memacu diferensiasi kolagen sehingga cukup untuk menyembuhkan luka terbuka.
Sedangkan flavonoid berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, dan dapat menghambat
perdarahan pada kulit [13].
Biji mimba dapat digunakan sebagai terapi skabies berdasarkan penelitian Zainal pada tahun
2013 oleh karena itu pengenalan krim dari ekstrak 10% biji mimba dapat mengobati skabies
secara klinis [14]. Murniati pada tahun 2018 juga meneliti bahwa dengan memanfaatkan daun
mimba sebagai sabun pada skabies dapat mempercepat penyembuhan luka skabies.
Mimba memiliki bahan aktif berupa Azadirachtin yang merupakan anti feedant dengan
menghasilkan stimulan spesifik berupa reseptor kimia pada mulut yang bekerja sama dengan
reseptor kimia dalam mengganggu persepsi rangsangan makan (phagostimulant). Efek sekunder
dari Azadirachtin yang terkandung dalam mimba bertindak sebagai ecdysone blocker atau zat
yang dapat menghambat kerja hormon ecdysone, yaitu hormon yang berfungsi dalam proses
metamorfosis serangga [16].
Penelitian Fatma Sari tahun 2016 menyebutkan bahwa kulit daging buah yang dioleskan
pada kulit dapat membantu penyembuhan penyakit kudis. Maja memiliki senyawa aktif yang
berfungsi sebagai antibakteri. Senyawa ini mengganggu metabolisme mikroba[17]
Selain itu, pata juga dapat membantu menyembuhkan luka kudis dengan memanfaatkan
akarnya. Akarnya dicuci dan dibungkus dengan daun pisang, kemudian diikatkan pada kulit
yang terkena [17]. Senyawa aktif dalam tanaman ini adalah antihistamin dan anti inflamasi.
Antihistamin bekerja dalam arti rasa gatal dan anti inflamasi dapat meredakan peradangan pada
kulit.
Tanaman alang-alang dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka kudis dengan
memanfaatkan bagian bunganya. Terapi skabies dilakukan dengan menumbuk bunga tua dan
dioleskan pada kulit. Senyawa yang mudah ditemukan pada alang-alang berfungsi sebagai
antibakteri yang dapat meningkatkan proses penyembuhan luka dengan menghilangkan bakteri
yang berperan dalam proses inflamasi.
Minyak pohon teh mengandung senyawa anti inflamasi, antibakteri dan anti pruritus.
Senyawa ini akan membantu mempercepat penyembuhan luka skabies [19].
Karet pada kulit batang tanaman manga mengandung senyawa aktif saponin dan flavonoid
sebagai anti inflamasi untuk mempercepat proses penyembuhan luka pada skabies. Selain itu,
berfungsi sebagai analgesik untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada luka skabies. Saponin
juga memiliki kemampuan sebagai antiseptik dan dapat memacu diferensiasi kolagen sehingga
bermanfaat untuk menyembuhkan luka terbuka. Sedangkan flavonoid berfungsi sebagai
antibakteri, antioksidan, dan dapat menghambat pendarahan kulit.
Elly meneliti beberapa tanaman obat, di antaranya daun sirih dan pinang. Daun sirih
memiliki senyawa anti bakteri aktif yang dapat menghambat perluasan luka kudis dan
membantu penyembuhan luka tersebut. Sedangkan kandungan tanin, flavonoid dan alkaloid
yang dapat berfungsi sebagai antibakteri.
Familia Zingiberaceae memiliki beberapa spesies yang dapat bermanfaat untuk pengobatan
skabies. Penelitian dari Sylvia UT Pratiwi tahun 2015 menyebutkan spesies C. aeruginosa Roxb
(Black Temu), C. Heyneana Val. & V. ZIJP (Temu giring), Kaempferia rotunda L. (Temuan
Puteri) dan Languas Lengkuas (L.) Stuntz (lengkuas) dapat menyembuhkan luka kudis yang
Memanfaatkan bagian rimpang. Ramuan ini mengandung senyawa anti inflamasi yang
bermanfaat untuk pengobatan luka kudis. Selain itu juga berfungsi sebagai antipiretik dan
analgesik, yang dapat mengurangi ketidaknyamanan penggunaan akibat gatal[22].
Sylvia juga menyebutkan bahwa daun beluntas dan bratawali juga dapat membantu
penyembuhan penyakit kudis. Beluntas mengandung senyawa aktif flavonoid, minyak atsiri dan
alkaloid, sehingga dapat berperan sebagai antibakteri dan antiinflamasi. Sementara itu,
Bratawali mengandung senyawa aktif flavonoid, alkaloid dan saponin yang juga berfungsi
sebagai antibakteri yang mempercepat penyembuhan luka.

4 Kesimpulan

Ada banyak herbal yang efisien menjadi anti skabies dengan berbagai kandungan yang
berpotensi sebagai obat alternatif akibat sintesis resistensi obat anti skabies. Senyawa ini
memberikan ketahanan terhadap tungau Sarcoptes scabiei dengan cara menghambat siklus
hidup metamorfosis tungau.

Daftar Pustaka
[1] M. Stanhope and R. Knollmueller,Klinik PraktekKesehatan komunitas. Jakarta: EGC, 2010.
[2] Siregar, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2014. [3] DK Yeoh, AC
Bowen, dan JR Carapetis, “Impetigo dan kudis –penyakit
Bebandan strategi pengobatan modern,” J. Infect., jilid. 72, pp. S61–S67, Jul. 2016. [4]
V. Ediasari, “Hubungan status gizi santri dan pesonal hygiene dengan kejadian Skabies pada
santri pondok pesantren Darussalam di kabupaten Tebo tahun 2016,” 2016. .
[5] P. Johnstone dan M. Strong, "Kudis," BMJ, vol. 8, 2008.
[6] AF Ratnasari and S. Sungkar, “Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang Berhubungan di
Pesantren X, Jakarta Timur,” vol. 2, tidak. 1, hal. 6, 2014.
[7] S. Haningsih, “Peran strategi pesantren, madrasah, dan sekokah Islam di Indonesia,” El
Tarbawi J. Pendidik. Islam, vol. 1, tidak. 1, 2008.
[8] Kemenag RI, “Statistik Pesantren,” 2019. .
[9] J. Heukelbach, T. Wilcke, B. Winter, dan H. Feldmeier, “Epidemiologi dan morbiditas
skabies dan pedikulosis kapitis pada komunitas miskin sumber daya di Brasil,” Br. J.
Dermatol., jilid. 153, tidak. 1, pp. 150-156, Juli 2005.
[10] K. Karthikeyan, "Pengobatan kudis: perspektif baru," Postgrad. Med. J., vol. 81, tidak.
951, pp. 7-11, Januari 2005.
[11] Organisasi Kesehatan Dunia, Ed., Buku Pegangan untuk manajemen vektor terintegrasi.
Jenewa: Organisasi Kesehatan Dunia, 2012.
[12] B. Purwanto, Herbal dan Kolaborasi Komplementer (teori, praktik, hokum dalam asuhan
keperawatan). Yogyakarta: Nuha Medika, 2013.
[13] N. Aqidah, A. Nuraeni, and M. Supriyono, “PENGARUH SKIN CARE DAN GEL
ALOEVERA TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA SCABIES PADA REMAJA DI
PONDOK PESANTREN AZIZIYYAH NGALIYAN,” Karya Tulis Ilm. STIKES
Telogorejo, hal. 15, 2017.
[14] N. Zainal, F. Tabri, SV Muchtar, dan K. Djawad, “EFEKTIVITAS KRIM EKSTRAK BIJI
MIMBA 10% PADA PENDERITA SKABIES,” hlm. 7, 2013. [15] A. Murniati dan I.
Rohmawati, “Pengaruh Penggunaan Sabun Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A.juss)
Terhadap Penyembuhan Lesi Kudis derajat II,” J. Agromedicine Med. Sci., jilid. 4, tidak. 3, hal.
140, 2018.
[16] AS Aradilla, “Uji Efektifitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica)
Terhadap Larva Aedes aegepty,” hal. 64, 2009.
[17] FS Siharis and I. Fidrianny, “ETNOFARMAKOLOGI DAN UJI AKTIVITAS SALAH
SATU TUMBUHAN YANG DITEMUKAN DI SUKU MORONENE TOBU
HUKAEA LAEA KABUPATEN BOMBANA SULAWESI TENGGARA,” vol. 1, hal.
9, 2016.
[18] S. Hidayat dan AN Rachmadiyanto, “Pemanfaatan Alang-Alang (Imperata cylindrica (L.)
Raeusch.) Sebagai Obat Tradisional di Nusantara”, hal. 8, 2017.
[19] J. Thomas et al., “Potensi Terapi Minyak Pohon Teh untuk Kudis,” Am. J. Trop. Med. hyg.,
jilid. 94, tidak. 2, hlm. 258–266, 2016.
[20] M. Khushtar, “PENTINGNYA NUTRISI DAN AKTIVITAS FARMAKOLOGI
MANGIFERA INDICA,” World J. Pharm. Farmasi. Sci., pp. 258–273, Mei 2017.
[21] E. Purwanti dan T. Mulyatin, “Tanaman Obat Etnobotani Untuk Masyarakat Lokal di
Kabupaten Sumba Barat Daya,” dalam Prosiding Konferensi Internasional ke-5 tentang
Pengembangan Masyarakat (AMCA 2018), 2018 .
[22] SUP Ellen L Lagendijk, “efek antimikroba Obat Indonesia Tanaman Ekstrak pada
Planktonic dan Biofilm Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus,” J. Hortic., jilid. 2, tidak. 1, 2015.

Anda mungkin juga menyukai