Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem Surveilans Epidemiologi mempunyai peran yang sangat penting se
bagai intelijen penyakit dan mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi e
pidemiologi untuk manajemen kesehatan, mendukung pengambilan keputusan da
n penyusunan perencanaan,monitoring dan evaluasi, serta sistem kewaspadaan
dini kejadian luar biasa (SKD-KLB). Dalam konteks desentralisasi, daerah
dituntut untuk dapat mandiri dan mampu melaksanakan surveilansepidemiologi
secara profesional.
Dasar hokum terbaru berkaitan dengan kegiatan surveilans epidemiologi
yaitu, UU No.36/2009 tentang Kesehatan pada Bab 10 tentang penyakit menular
dan tidak menular Pasal 154ayat 1 yang berbunyi “pemerintah secara berkala
menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi
menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat,serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan”. Pasal 156 ayat 1 yang berbunyi “dalam
melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakitmenular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah
dapat menyatakan wilayahdalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
(KLB)”. Pasal 156 ayat 2 berbunyi“penentuan wilayah dalam keadaan wabah,
letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakuikeakuratannya”.
Dasar hukum yang sudah ada antara lain, UU No. 4/1984 tentang Wabah
Penyakit Menular, Permenkes No. 949/Menkes/SK/VII/2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan SKD-KLB,Kepmenkes No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi, dan Kepmenkes No.
1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.

1
Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST)
berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
Sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPRS), yang telah mengalami beberapa kali
perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan
beberapa sistem Surveilans khusus penyakit Tuberkulosa, penyakit malaria,
penyakit demam berdarah, penyakit campak, penyakit saluran pernapasan dan lain
sebagainya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Surveilans Epidemiologi?
2. Apa yang dimaksud dengan Kompputerisasi Surveilans?
3. Apa yang dimaksud dengan Sistem Informasi Surveilans?
4. Bagaimana hubungan antar SIK dengan Surveilans?
5. Apa yang dimaksud dengan Sistem Surveilans?
6. Apa yang dimaksud dengan Jejaring Surveilans?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan surveilans
2. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan Komputerisasi dan Sistem
Informasi Surveilans
3. Agar mengetahui bagaimana hubungan antara SIK dengan Surveilans
4. Agar mengetahui apa yang di maksud dengan system surveilans dan Jejaring
Surveilans

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Surveilans Epidemiologi


2.1.1 Defenisi Surveilans
Menurut German (dalam Kesmas, 2013), surveilans kesehatan
masyarakat (publichealth surveillance) adalah suatu kegiatan yang dilakukan
secara terus-menerus berupa pengumpulan data secara sistematik, analisis
dan interpretasi data mengenaisuatu peristiwa yang terkait dengan kesehatan
untuk digunakan dalam tindakankesehatan masyarakat dalam upaya
mengurangi angka kesakitan dan kematian, danmeningkatkan status kesehatan.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan
interpretasidata secara terus menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab
dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008)
Langmuir, 1963: Surveilens adalah kegiatan perhatian yang terus
menerus pada distribusi dan kecenderungan penyakit melalui sistematika
pengumpulan data, konsolidasi, dan evaluasi laporan morbiditas serta
mortalitas juga data lain yang sesuai, kemudian disebarkan kepada mereka
yang ingin tahu.
1. Pengumpulan data yang sistematik 
2. Konsolidasi dan evaluasi data
3. Diseminasi awal pada mereka yang butuh informasi, terutama mereka yang 
berposisi pengambil keputusan

3
2.1.2 Prinsip Umum Surveilans Epidemiologi
Prinsip umum survelian epidemiologi adalah sebagai berikut (Eko
Budiarto, 2003) :
a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas,
dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di
lapangan, laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Survei khusus;
dan pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang
diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan dataadalah menentukan kelompok
high risk; Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan
reservoir; Transmisi; Pencatatan kejadian penyakit; danKLB.
b. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah
(row data) yangmasih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah
dianalisis. Data yangterkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk
grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut
harus dapat memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan
dilakukaninterpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan
tentang situasi yangada dalam masyarakat.
d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki
keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu
kesimpulan, selanjutnya dapatdisebarluaskan kepada semua pihak yang
berkepentingan, agar informasi ini dapatdimanfaatkan sebagai mana
mestinya.

4
e. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat
digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program
pelaksanaannya, untuk kegiatantindak lanjut (follow up), untuk melakukan
koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta
untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

2.2 Komputerisasi Surveilans


Penggunaan komputer di bidang kesehatan di negara-negara
berkembang,seperti di berbagai daerah di Indonesia masih belum merata. Tidak
hanya dari segifasilitas komputer dan jaringannya, tetapi dari segi sumber daya
manusia. Di Indonesia masih sedikit tenaga kesehatan yang sekaligus dapat
mengoperasikan komputer. Hal ini salah satu penyebab masih minimalnya
penggunaan computer sebagai pendukung kesejahteraan kesehatan masyarakat.
Padahal, maksud pemerintahmengadakan sistem informasi kesehatan berbasis
komputer adalah untukmempermudah pekerjaan dalam keterbatasan sumber daya
manusia.Penggunaan komputer tentunya tidak lepas dari listrik.
Seperti yang kita tahu,komputer membutuhkan listrik untuk dapat
beroperasi. Meskipun pemerintah sudahmerencanakan sebuah sistem informasi
kesehatan di daerah-daerah, tetap saja hal itukurang dapat memberikan hasil yang
baik, karena masih banyak daerah yangmendapat pemadaman listrik bergilir atau
bahkan sama sekali belum teraliri listrik.Oleh karena itu dibutuhkan peran serta
yang tinggi, konsisten dan intensif dari pemerintah dalam hal penyediaan aliran
listrik yang baik dan merata hingga daerah terkecil di nusantara.
Masalah utama dari masih minimalnya penggunaan komputer di daerah
adalah masih sedikitnya penyediaan komputer bahkan di tingkat rumah sakit. Hal
inilah yangmembuat daerah masih kesulitan dalam hal pengolahan data
kesehatan.Penggunaan teknologi komputer di daerah terpencil masih sangat
minimal.Salah satu contoh adalah di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang

5
memilik peringkat ke-31 dari 33 provinsi dalam Indeks Pembangunan Manusia.
Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam pengukuran Indeks
Pembangunan Manusia.
Dalam pembangunan kesehatan itu sendiri, dibutuhkan penggunaan
sistem informasiyang tepat. Akan tetapi, kendala yang dihadapi oleh Provinsi
NTT adalah terbatasnyaketersediaan sarana dan prasarana sistem informasi dan
minimnya penggunaan asilitas komputer. Terbatasnya ketersediaan sistem
informasi dapat mempengaruhikelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga
pelaksanaan yang dilakukan oleh
Provinsi NTT kurang maksimal.Selain di Provinsi NTT, Provinsi NTB
yang berada pada peringkat ke-32 dari 33 provinsi juga memiliki masalah terkait
penggunaan teknologi komputer, yaitu adanya fragmentasi dalam sistem
informasi kesehatan. Maksud dari fragmentasi tersebut adalah banyaknya
penggunaan sistem informasi kesehatan yang berbeda-beda disemua tingkat
administrasi (kabupaten, kota, provinsi). Hal ini mengakibatkan terjadinya
duplikasi data, kurangnya kelengkapan data, dan data yang tidak valid.
Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa puskesmas harus mengirim
lebih dari 300 laporan dan terdapat 8 macam sistem yang digunakan sehingga
bebanadministrasi dan beban petugas terlalu tinggi. Beban-beban yang terlalu
tinggimengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisiensian sistem informasi
kesehatanyang digunakan.Selain itu, masalah yang dihadapi dalam sistem
informasi kesehatan ialah format pencatatan dan pelaporan masih berbeda-beda
dan belum memiliki standarsecara nasional. Hal ini diwujudkan dari masih
adanya daerah yang mencatat danmenyerahkan laporan kesehatan yang diisi
dengan tulisan tangan. Lebih buruknya,mereka terkadang menyusun sendiri poin-
poin pelaporan sehingga tidak sesuaidengan standar yang sudah dibuat oleh
pemerintah. Sudah dapat dipastikan, metode pencatatan dan data basing seperti
ini sangat tidak efektif dan memberi informasi yang baik.

6
Masalah tersebut mendorong pemerintah untuk membuat perencanaan
sisteminformasi kesehatan daerah yang baru pada tahun 2008, yakni Sistem
Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) “Satu Pintu”. Sistem ini merupakan
sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan yang berpusat pada sebuah bank data
sebagai pintu masukdan keluarnya data, yang berisikan data individu dan atau
agregat yang berasal darisetiap fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta serta sector terkait.
Untuk menerapkan SIKDA “Satu Pintu”, dibutuhkan sarana pendukung,
antara lain bangunan, hardware, software, SDM untuk pengumpulan,
pengolahan, analisa,dan visualisasi data. Terlebih, 96% puskesmas harus
memiliki minimal satu unitcomputer untuk dapat melaksanakan program
ini.Selain hal di atas, dalam penggunaan teknologi komputer dibutuhkan tenaga
ahli profesional untuk menjalankan sistem pelayanan kesehatan berbasis
komputer.Dengan adanya tenaga ahli, maka penggunaan teknologi komputer
dalam system pelayanan kesehatan menjadi optimal dan saat terjadi masalah
dalam penggunaan komputer, mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.

2.3 Sistem Informasi Surveilans


2.3.1 Sistem Informasi
Sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi yang
mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang mendukung
fungsi operasi organisasi yang bersifat manajerial dengan kegiatan strategi
dari suatu organisasi untuk dapat menyediakan kepada pihak luar tertentu
dengan informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan. Sistem
informasi dalam suatu organisasi dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang
menyediakan informasi bagi semua tingkatan dalam organisasi tersebut kapan
saja diperlukan. Sistem ini menyimpan, mengambil, mengubah, mengolah dan
mengkomunikasikan informasi yang diterima dengan menggunakan sistem
informasi atau peralatan sistem lainnya.

7
2.3.2 Sistem Informasi Kesehatan
Sistem informasi kesehatan merupakan suatu pengelolaan informasi
diseluruh tingkat pemerintah secara sistematis dalam rangka penyelengggaraan
pelayanan kepada masyarakat. Perkembangan Sistem Informasi Rumah Sakit
yang berbasis komputer (Computer Based Hospital Information System) di
Indonesia telah dimulai pada akhir dekade tahun 80’ an. Salah satu rumah sakit
yang pada waktu itu telah memanfaatkan komputer untuk mendukung
operasionalnya adalah Rumah Sakit Husada.
Departemen Kesehatan dengan proyek bantuan dari luar negeri, juga
berusaha mengembangkan Sistem Informasi Rumah Sakit pada beberapa rumah
sakit pemerintah dengan dibantu oleh tenaga ahli dari UGM. Namun,
tampaknya komputerisasi dalam bidang rumah sakit, kurang mendapatkan hasil
yang cukup memuaskan semua pihak.
Ketidak berhasilan dalam pengembangan sistem informasi tersebut,
lebih disebabkan dalam segi perencanaan yang kurang baik, dimana identifikasi
faktor-faktor penentu keberhasilan (Critical Success Factors) dalam
implementasi sistem informasi tersebut kurang lengkap dan menyeluruh.
Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam segala hal juga terjadi didunia
pelayanan kesehatan. Hal ini semata-mata karena sektor pelayanan kesehatan
merupakan bagian dari sistem yang lebih luas dalam masyarakat dan
pemerintahan dalam suatu negara, bahkan lebih jauh lagi sistem yang lebih
global.
Adapun Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan sistem
informasi kesehatan adalah:
1. Kepmenkes Nomor 004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan dan strategi
desentralisasi bidang kesehatan.
Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah strategis
yang cukup populer dianut oleh negara-negara di Eropa Timur dalam
rangka mendukung terciptanya good governance. Salah satu motivasi utama

8
diterapkan kebijaksanaan ini adalah bahwa pemerintahan dengan sistem
perencanaan yang sentralistik seperti yang telah dianut sebelumnya terbukti
tidak mampu mendorong terciptanya suasana yang kondusif bagi partisipasi
aktif masyarakat dalam melakukan pembangunan. Tumbuhnya kesadaran
akan berbagai kelemahan dan hambatan yang dihadapi dalam kaitannya
dengan struktur pemerintahan yang sentralistik telah mendorong
dipromosikannya pelaksanaan strategi desentralisasi.
2. Kepmenkes Nomor 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang petunjuk
pelaksanaan pengembangan sistem laporan informasi kesehatan
kabupaten/kota.
Salah satu yang menyebabkan kurang berhasilnya Sistem Informasi
Kesehatan dalam mendukung upaya-upaya kesehatan adalah karena SIK
tersebut dibangun secara terlepas dari sistem kesehatan.SIK dikembangkan
terutama untuk mendukung manajemen kesehatan. Pendekatan sentralistis
di waktu lampau juga menyebabkan tidak berkembangnya manajemen
kesehatan di unit-unit kesehatan di daerah

2.3.3 Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data Informasi Surveilans


Epidemiologi
1. Sumber Data
Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :
a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat.
b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
serta laporan kantor pemirintah dan masyarakat.
c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan
dan masyarakat
d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan
geofisika

9
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
dan masyarakat.
f. Data kondisi lingkungan.
g. Laporan wabah
h. Laporan penyelidikan wabah/KLB
i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
k. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat
diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
l. Laporan kondisi pangan.
m. Data dan informasi penting lainnya.

2. Pelaporan
Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam
penyelenggaraan surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit,
puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program - sektor dan unit
statistik lainnya.
3. Penyebaran Data dan Informasi
Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans
epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan
tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program
kesehatan, pusat- pusat penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran
data dalam jejaring surveilans epidemiologi

10
2.3.4 Penerapan dan fungsi SIK (Sistem Informasi Kesehatan) terhadap Surveilans.
1. Gambaran SIK (Sistem Informasi Kesehatan) di Indonesia.
Sistem informasi yang ada pada saat ini dapat digambarkan sebagai
berikut :
a. Masing-masing program memiliki sistem informasi sendiri yang masih
belum terintegrasi.
b. Terbatasnya perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak(software)
diberbagai jenjang.
c. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber daya manusia untuk
mengelola dan mengembangkan sistem infornasi.
d. Masih belum adanya membudayanya pengambilan keputusan
berdasarkan data/informasi.
e. Belum adanya sistem pengembangan karir bagi pengelola sistem
informasi
2. Hambatan-hambatan penerapan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) di
Indonesia.
Melihat Sistem Informasi Kesehatan yang ada di Indonesia, maka kita bisa
menilai bahwa penerapannya masih cukup kurang. Khususnya untuk
Surveilans yang berfungsi untuk menggambarkan segala situasi yang ada
khususnya perkembangan penyakit sehingga berpengaruh terhadap derajat
kesehatan setiap individu di dalam populasi yang ada. Sebagai contoh
misal gambaran Sistem Informasi Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, Propinsi Kalimantan. Timbul berbagai permasalahan tetrkait
penerapan Sistem Informasi kesehatan, disana digambarkan bahwa masih
ditemukannya beberapa puskesmas yang tidak sesuai dalam proses
pencatatan dan pendataan. Terbukti dengan masih adanya 5 Puskesmas
yang tidak menggunakan komputer dari 19 Puskesmas yang ada. Tidak
hanya masalah tersebut saja, yang menjadi penghambat atas penerapan

11
SIK (Sistem Informasi Kesehatan) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, Propinsi Kalimantan.
Melainkan masih banyak sekali masalah yang timbul, yaitu :
a. Untuk mengakses data sulit karena terpisah antara program.
b. Adanya perbedaan data antar bagian dengan data yang sama, misalnya
jumlah bayi.
c. Sulitnya menyatukan data karena format laporan yang berbeda-beda.
d. Adanya pengambilan data yang sama berulang-ulang dengan format
yang berbeda-beda dari masing-masing bagian.
e. Waktu untuk mengumpulkan data lebih lama, sehingga pengolahan
dan analisis data sering terlambat.
f. Pimpinan sulit mengambil keputusan dengan cepat dan akurat karena
data berbeda dan keterlambatan laporan.
Jadi, apabila melihat dari penjabaran di atas maka bisa disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang sering menghambat SIK (Sistem Informasi
Kesehatan) yang bersifat daerah (SIKDA) maupun nasional (SIKNAS)
berdasarkan gambaran di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, Propinsi
Kalimantan adalah faktor geografis (tempat dan lokasi), human resources
medical atau tenaga kesehatan, infrastruktur pendukung (komputer, software,
dan lain-lain), dan kebijakan mengenai SIKDA (Sistem Informasi Kesehatan
Daerah) maupun SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional).

2.4 Hubungan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dengan Surveilans.


Mengutip pernyataan dari CDC / ATSDR (Center for Diseas Control /
Agency for toxic Substance and Disease Regristary) menerangkan bahwa
Surveilans atau Surveillance is the ongoing systematic collection, analysis, and
interpretations of outcome-spesific data for use in the planning, implementation,
and evaluation of public practice.

12
Sedangkan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) adalah gabungan perangkat
dan prosedur yang digunakan dalam program kesehatan untuk mengumpulkan,
mengolah, mengirimkan, dan menggunakan data untuk keperluan perencanaan,
monitoring, evaluasi, dan pengendalian (pengambilan keputusan).
Dengan melihat, kedua pengertian di atas kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dan Surveilans memilki
sebuah kesamaan dalam penerapannya. Yaitu sama-sama digunakan untuk
melakukan perencanaan (planning) di bidang kesehatan.
Di Indonesia Sistem Surveilans Epidemiologi merupakan subsistem dari
SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional) dan mempunyai fungsi strategis
dalam intelijen penyakit dan masalah kesehatan untuk penyediaan data dan
informasi epidemiologi dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat.
Jadi, SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dengan Surveilans dapat kita
gambarkan melalui diagram sebagai berikut : Akan tetapi, surveilans tidak
berjalan secara semestinya seperti pengertiannya. Masih banyak permasalahan
yang muncul di tengah-tengahnya.
Berdasarkan observasi WHO (World Health Organization), 2004
menemukan beberapa temuan terkait surveilans seperti :
a. Kurangnya kesadaran akan pentingnya informasi surveilans penyakit di
kalangan pengelola program kesehatan, pejabat kesehatan, staf pelayanan
kesehatan dan staf surveilans sendiri di semua tingkat.
b. Informasi surveilans tidak digunakan dalam pengambilan keputusan.
c. Kualitas data Surveilans tidak memuaskan dan sulit diperbaiki
d. Tidak dilakukan analisis data surveilans secara memadai.
e. Penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) dilakukan sembarangan.
f. Tidak ada motivasi di kalangan staf surveilans untuk meningkatkan
kemampuan diri.
g. Berbagai sistem surveilans penyakit khusus sulit dikoordinasikan dan
diintegrasikan.

13
2.5 Contoh Sistem Informasi surveilans
a. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis adalah alat bantu yang sangat esensial
dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali
kondisi alam dengan menggabungkan data spasial (peta wilayah termasuk
sungai, rawa, persawahan dan lain-lain) dan non spasial / atribut (angka
mortalitas, morbiditas, kebiasaan/pola hidup masyarakat dan lain-lain). Hasil
pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk peta digital.
Aplikasi GIS untuk P2M penyakit yaitu (Dodiet Aditya, 2014):
a) menemukan penyebaran dan jenis-jenis penyakit secara geografis,
b) meneliti perkembangan trend sementara suatu penyakit,
c) mengidentifikasi kesenjangan, celah di daerah terpencil,
d) mengurangi kerugian masyarakat melalui pemetaan dan stratifikasi faktor-
faktor risiko,
e) menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dalam pelayanan kesehatan
berdasarkan data dari masyarakat dan menilai alokasi sumber daya
f) meramalkan kejadian wabah,
g) memantau perkembangan penyakit dari waktu ke waktu, dan
h) dapat menempatkan fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan yang dapat
dijangkau oleh masyarakat
b. Sistem Informasi Geografis dalam system informasi surveilans
epidemiologi DBD
Dalam sistem informasi surveilans epidemiologi DBD, sistem
informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan faktor risiko sebagai
data spasial yang dibedakan sesuai tingginya faktor risiko. Dalam rangka
kewaspadaan dini, faktor risiko ini diperoleh dengan melakukan survei di
wilayah puskesmas yang dilakukan sebelum musim penularan.
Dari informasi ini dapat direncanakan suatu bentuk intervensi untuk
mengantisipasi terjadinya DBD dalam rangka sistem kewaspadaan dini 11.

14
Setelah memasuki musim penularan, kasus DBD yang diperoleh dari form So
dan form KD/RS serta kasus tambahan dari kegiatan PE diintegrasikan ke
dalam peta dengan cara “spot map” yaitu meletakkan titik pada peta sesuai
tempat tinggal penderita. Dengan cara tersebut dapat dijelaskan terjadinya
DBD dikaitkan dengan faktor risiko dan determinan penyakit lannya yang
meliputi faktor lingkungan, perilaku, kependudukan dan sarana pelayanan
kesehatan sebagai bahan evaluasi program pemberantasan penyakit DBD

2.6 Sistem Surveilens


Tipe-Tipe Sistem Surveilans, Pengumpulan, dan Entry Data Cara-cara
penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode
pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya. (KMK No.
1116/MENKES/SK/VIII/2003).
a. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan
atau faktor risiko kesehatan
b. Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau
situasi khusus kesehatan
c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah
kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. d. Studi
Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui
lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau
faktor risiko kesehatan

15
b. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi,
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana


unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut
dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
c. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan
atau bencana.

b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada


ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
d. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau
tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya
e. Kemampuan dan Atribut (Sifat) Sistem Kemampuan dan atribut (sifat) system
terdiri dari (Romaguera, 2000) :

1. Kesederhanaan (Simplicity)

16
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan
pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi
yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa
data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu
besar dan prosedur yang terlalu rumit.

2. Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam
mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi
operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan
biaya, waktu dan tenaga.

3. Dapat diterima (Acceptability)


Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi
individu, organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan
mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan
petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan
terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor,
kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan.
Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya
kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang
terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar,
beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang
dijalankan dengan tepat

4. Sensitivitas (Sensitivity)

17
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi
kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan
kemampuan mengidentifikasi adanya KLB.

5. Representatif (Representative).
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara
akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan
tempat. Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang
representatif. Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi
juga diskripsi atau ciriciri demografik dan infomasi mengenai faktor
resiko yang penting.

6. Tepat Waktu.
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan
kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan
interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak
meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu dalam
sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk
pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk
perencanaan program dalam jangka panjang. Teknologi komputer dapat
sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu
penyediaan informasi.

2.7 Jejaring Sistem Surveilans


2.7.1 Pengertian
Jejaring Surveilans Epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi
epidemiologi, analisis, dan peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi
yang terdiri dari :

18
a. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara
pelayanan kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.
b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan
pusat-pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-
unit surveilans lainnya.
c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional
d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait
nasional, bilateral negara, regional dan internasional.

2.7.2 Kegunaan Jejaring Surveilans


Jejaring surveilans yang digunakan dalam Surveilans Terpadu Penyakit
adalah:
a. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta peningkatan
kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara Puskesmas,
Rumah Sakit, laboratorium, unit surveilans di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, unit surveilans di Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit
surveilans di Ditjen PPM&PL Depkes., termasuk Puskesmas dan Rumah
Sakit Sentinel.
b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program terkait,
pusat-pusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans program pada
masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes,
termasuk Puskesmas Sentinel dan Rumah Sakit Sentinel.
c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatan
kemampuan sumber daya antara unit surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit
surveilans Ditjen PPM&PL Depkes.

19
JEJARING SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi adalah suatu Sistem yang
dapat membantu kegiatan Surveilans epidemiologi yang meliputi pengumpulan
data yang terus menerus, pengolahan data dan analisa data penyakit untuk
menghasilkan informasi tentang penyakit dengan cara membandingkan dengan
indikator kejadian luar biasa, yang dapat membantu Seksi Pengamatan untuk
menentukan rencana kegiatan pemecahannya.
Penggunaan komputer di bidang kesehatan di negara-negara
berkembang,seperti di berbagai daerah di Indonesia masih belum merata. Tidak
hanya dari segifasilitas komputer dan jaringannya, tetapi dari segi sumber daya
manusia. Di Indonesia masih sedikit tenaga kesehatan yang sekaligus dapat
mengoperasikan komputer. Hal ini salah satu penyebab masih minimalnya
penggunaan computer sebagai pendukung kesejahteraan kesehatan masyarakat.
Padahal, maksud pemerintahmengadakan sistem informasi kesehatan berbasis
komputer adalah untukmempermudah pekerjaan dalam keterbatasan sumber daya
manusia.Penggunaan komputer tentunya tidak lepas dari listrik.

3.2 Saran

21
Dengan adanya komputerisasi dan system informasi dalam surveilans
diharapkan pekerjaan semua unit yang tergabung pada surveilans dan dapat
membantu dalam pelaporan akan perkembangan suatu penyakit dapat cepat
diketahui.

22
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Risky Ahmad. 2015. Surveilans Epidemiologi.


https://www.academia.edu/13088266/Surveilans_Epidemiologi

https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pendukung_keputusan

KMK no 1116/MENKES. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans


Epidemiologi Kesehatan.
https://bencana-
kesehatan.net/images/referensi/undang2/kmk_no_1116_th_2003.pdf

Wismarini, Dwiati. 2007. PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI SURVEILANS


EPIDEMIOLOGIDEMAM BERDARAH DENGUE UNTUK KEWASPADAAN
DINIDENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFISDI WILAYAH DINAS
KESEHATAN KABUPATEN JEPARA.
https://www.academia.edu/3268610/Pengembangan_Sistem_Informasi_Surve
ilans_Epidemiologi_Demam_Berdarah_Dengue_untuk_Kewaspadaan_Di
ni_dengan_Sistem_Informasi_Geografis_di_Wilayah_Dinas_

23

Anda mungkin juga menyukai