PENDAHULUAN
1
Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST)
berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
Sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPRS), yang telah mengalami beberapa kali
perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan
beberapa sistem Surveilans khusus penyakit Tuberkulosa, penyakit malaria,
penyakit demam berdarah, penyakit campak, penyakit saluran pernapasan dan lain
sebagainya.
Sejarah dirintisnya metode investigasi wabah dimulai dengan adanya
penemuan kuman cholera oleh john snow sehingga ia terkenal dengan metode
investigasi wabah cholera di London ( 1854 ).
Wabah adalah suatu keadaan ketika dimana kasus penyakit atau peristiwa
yang lebih banyak daripada yang diperkirakan dalam suatu periode waktu tertentu di
area tertentu atau diantara kelompok tertentu. Disebuah fasilitas pelayanan kesehatan
dugaan terhadap suatu wabah mungkin muncul ketika aktivitas surveilans rutin
mendeteksi adanya suatu kluster kasus yang tidak biasa atau terjadinya peningkatan
jumlah kasus yang signifikan dari jumlah biasanya.
Ketika dokter mendiagnosa suatu penyakit yang tidak biasa, ketika dokter,
perawat , atau petugas laboraturium yang menyadari terjadinya serangkaian kluster
kasus. Kluster kasus adalah kelompok kasus penyakit atau peristiwa kesehatan lain
yang terjadi dalam rentang waktu dan tempat yang berdekatan. Didalam suatu kluster
banyaknya kasus dapat melebihi jumlah yang diperkirakan, umumnya jumlah yang
diperkirakan tidak diketahui.
2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Surveilans Epidemiologi?
2. Apa yang dimaksud dengan Kompputerisasi Surveilans?
3. Apa yang dimaksud dengan Sistem Informasi Surveilans?
4. Bagaimana hubungan antar SIK dengan Surveilans?
5. Apa yang dimaksud dengan Sistem Surveilans?
6. Apa yang dimaksud dengan Jejaring Surveilans?
7. Apa yang dimaksud dengan investigasi wabah ?
8. Kriteria kerja wabah/ KLB ?
9. Langkah dalam melakukan investigasi wabah ?
10. Tujuan penyelidikan wabah/ KLB ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
“Surveilans Epidemiologi”
4
2.1.2 Prinsip Umum Surveilans Epidemiologi
Prinsip umum survelian epidemiologi adalah sebagai berikut
(Eko Budiarto, 2003) :
a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at
risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit,
puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan
petugas surveilans di lapangan, laporanmasyarakat, dan
petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan
jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang
diamati. Tehnik pengumpulan datadapat dilakukan dengan
wawancara dan pemeriksaan.Tujuan pengumpulan dataadalah
menentukan kelompok high risk; Menentukan jenis dan
karakteristik(penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi;
Pencatatan kejadian penyakit; danKLB.
b. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data
mentah (row data) yangmasih perlu disusun sedemikian rupa
sehingga mudah dianalisis.Data yangterkumpul dapat diolah
dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau
bentuk lainnya.Kompilasi data tersebut harus dapat
memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya
dianalisis dan dilakukaninterpretasi untuk memberikan arti dan
memberikan kejelasan tentang situasi yangada dalam
masyarakat.
d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
5
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki
keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam
suatu kesimpulan, selanjutnya dapatdisebarluaskan kepada
semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini
dapatdimanfaatkan sebagai mana mestinya.
e. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans
selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan,
penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk
kegiatantindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan
perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta
untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.
6
karena itu dibutuhkan peran serta yang tinggi, konsisten dan intensif dari
pemerintah dalam hal penyediaan aliran listrik yang baik dan merata hingga
daerahterkecil di nusantara.
Masalah utama dari masih minimalnya penggunaan komputer di
daerah adalahmasih sedikitnya penyediaan komputer bahkan di tingkat rumah
sakit. Hal inilah yangmembuat daerah masih kesulitan dalam hal pengolahan
data kesehatan.Penggunaan teknologi komputer di daerah terpencil masih
sangat minimal.Salah satu contoh adalah di daerah Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang memilik peringkat ke-31 dari 33 provinsi dalam Indeks
Pembangunan Manusia. Kesehatanmerupakan salah satu indikator dalam
pengukuran Indeks Pembangunan Manusia.
Dalam pembangunan kesehatan itu sendiri, dibutuhkan penggunaan
sistem informasiyang tepat.Akan tetapi, kendala yang dihadapi oleh Provinsi
NTT adalah terbatasnyaketersediaan sarana dan prasarana sistem informasi
dan minimnya penggunaan asilitas komputer. Terbatasnya ketersediaan sistem
informasi dapat mempengaruhikelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga
pelaksanaan yang dilakukan oleh
Provinsi NTT kurang maksimal.Selain di Provinsi NTT, Provinsi NTB
yang berada pada peringkat ke-32 dari 33 provinsi juga memiliki masalah
terkait penggunaan teknologi komputer, yaitu adanyafragmentasi dalam
sistem informasi kesehatan. Maksud dari fragmentasi tersebutadalah
banyaknya penggunaan sistem informasi kesehatan yang berbeda-beda
disemua tingkat administrasi (kabupaten, kota, provinsi). Hal ini
mengakibatkanterjadinya duplikasi data, kurangnya kelengkapan data, dan
data yang tidak valid.
Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa puskesmas harus
mengirim lebih dari300 laporan dan terdapat 8 macam sistem yang digunakan
sehingga bebanadministrasi dan beban petugas terlalu tinggi.Beban-beban
yang terlalu tinggimengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisiensian
7
sistem informasi kesehatanyang digunakan.Selain itu, masalah yang dihadapi
dalam sistem informasi kesehatan ialahformat pencatatan dan pelaporan masih
berbeda-beda dan belum memiliki standarsecara nasional.Hal ini diwujudkan
dari masih adanya daerah yang mencatat danmenyerahkan laporan kesehatan
yang diisi dengan tulisan tangan. Lebih buruknya,mereka terkadang
menyusun sendiri poin-poin pelaporan sehingga tidak sesuaidengan standar
yang sudah dibuat oleh pemerintah. Sudah dapat dipastikan, metode
pencatatan dan data basing seperti ini sangat tidak efektif dan memberi
informasiyang baik.
Masalah tersebut mendorong pemerintah untuk membuat perencanaan
sisteminformasi kesehatan daerah yang baru pada tahun 2008, yakni Sistem
InformasiKesehatan Daerah (SIKDA) “Satu Pintu”. Sistem ini merupakan
sistem pencatatandan pelaporan kesehatan yang berpusat pada sebuah bank
data sebagai pintu masukdan keluarnya data, yang berisikan data individu dan
atau agregat yang berasal darisetiap fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta serta sector terkait.
Untuk menerapkan SIKDA “Satu Pintu”, dibutuhkan sarana
pendukung, antara lain bangunan, hardware, software, SDM untuk
pengumpulan, pengolahan, analisa,dan visualisasi data. Terlebih, 96%
puskesmas harus memiliki minimal satu unitcomputer untuk dapat
melaksanakan program ini.Selain hal di atas, dalam penggunaan teknologi
komputer dibutuhkan tenagaahli profesional untuk menjalankan sistem
pelayanan kesehatan berbasis komputer.Dengan adanya tenaga ahli, maka
penggunaan teknologi komputer dalam system pelayanan kesehatan menjadi
optimal dan saat terjadi masalah dalam penggunaankomputer, mereka dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
8
2.3 Sistem Informasi Surveilans
2.3.1 Sistem Informasi
Sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi
yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang
mendukung fungsi operasi organisasi yang bersifat manajerial dengan
kegiatan strategi dari suatu organisasi untuk dapat menyediakan
kepada pihak luar tertentu dengan informasi yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan.Sistem informasi dalam suatu organisasi dapat
dikatakan sebagai suatu sistem yang menyediakan informasi bagi
semua tingkatan dalam organisasi tersebut kapan saja
diperlukan.Sistem ini menyimpan, mengambil, mengubah, mengolah
dan mengkomunikasikan informasi yang diterima dengan
menggunakan sistem informasi atau peralatan sistem lainnya.
9
Ketidak berhasilan dalam pengembangan sistem informasi
tersebut, lebih disebabkan dalam segi perencanaan yang kurang baik,
dimana identifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan (Critical
Success Factors) dalam implementasi sistem informasi tersebut kurang
lengkap dan menyeluruh.Perkembangan dan perubahan yang cepat
dalam segala hal juga terjadi didunia pelayanan kesehatan.Hal ini
semata-mata karena sektor pelayanan kesehatan merupakan bagian
dari sistem yang lebih luas dalam masyarakat dan pemerintahan dalam
suatu negara, bahkan lebih jauh lagi sistem yang lebih global.
Adapun Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan
sistem informasi kesehatan adalah:
1. Kepmenkes Nomor 004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan dan
strategi desentralisasi bidang kesehatan.
Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah
strategis yang cukup populer dianut oleh negara-negara di Eropa
Timur dalam rangka mendukung terciptanya good
governance.Salah satu motivasi utama diterapkan kebijaksanaan
ini adalah bahwa pemerintahan dengan sistem perencanaan yang
sentralistik seperti yang telah dianut sebelumnya terbukti tidak
mampu mendorong terciptanya suasana yang kondusif bagi
partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pembangunan.
Tumbuhnya kesadaran akan berbagai kelemahan dan hambatan
yang dihadapi dalam kaitannya dengan struktur pemerintahan yang
sentralistik telah mendorong dipromosikannya pelaksanaan strategi
desentralisasi.
2. Kepmenkes Nomor 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang petunjuk
pelaksanaan pengembangan sistem laporan informasi kesehatan
kabupaten/kota.
10
Salah satu yang menyebabkan kurang berhasilnya Sistem
Informasi Kesehatan dalam mendukung upaya-upaya kesehatan
adalah karena SIK tersebut dibangun secara terlepas dari sistem
kesehatan.SIK dikembangkan terutama untuk mendukung
manajemen kesehatan. Pendekatan sentralistis di waktu lampau
juga menyebabkan tidak berkembangnya manajemen kesehatan di
unit-unit kesehatan di daerah
2.3.3 Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data Informasi
Surveilans Epidemiologi
1. Sumber Data
Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :
a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemirintah
dan masyarakat.
c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit
statistik kependudukan dan masyarakat
d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit
meteorologi dan geofisika
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
f. Data kondisi lingkungan.
g. Laporan wabah
h. Laporan penyelidikan wabah/KLB
i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
11
k. Data hewan dan vektor sumber penular
penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
l. Laporan kondisi pangan.
m. Data dan informasi penting lainnya.
2. Pelaporan
Unit sumber data menyediakan data yang
diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi
termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit
penelitian, unit program - sektor dan unit statistik lainnya.
12
b. Terbatasnya perangkat keras(hardware) dan
perangkat lunak(software) diberbagai jenjang.
c. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber
daya manusia untuk mengelola dan
mengembangkan sistem infornasi.
d. Masih belum adanya membudayanya pengambilan
keputusan berdasarkan data/informasi.
e. Belum adanya sistem pengembangan karir bagi
pengelola sistem informasi
2. Hambatan-hambatan penerapan SIK (Sistem Informasi
Kesehatan) di Indonesia.
Melihat Sistem Informasi Kesehatan yang ada di Indonesia,
maka kita bisa menilai bahwa penerapannya masih cukup
kurang.Khususnya untuk Surveilans yang berfungsi untuk
menggambarkan segala situasi yang ada khususnya
perkembangan penyakit sehingga berpengaruh terhadap
derajat kesehatan setiap individu di dalam populasi yang
ada.Sebagai contoh misal gambaran Sistem Informasi Pada
Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, Propinsi
Kalimantan. Timbul berbagai permasalahan tetrkait penerapan
Sistem Informasi kesehatan, disana digambarkan bahwa masih
ditemukannya beberapa puskesmas yang tidak sesuai dalam
proses pencatatan dan pendataan. Terbukti dengan masih
adanya 5 Puskesmas yang tidak menggunakan komputer dari
19 Puskesmas yang ada.Tidak hanya masalah tersebut saja,
yang menjadi penghambat atas penerapan SIK (Sistem
Informasi Kesehatan) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, Propinsi Kalimantan.
Melainkan masih banyak sekali masalah yang timbul, yaitu :
13
a. Untuk mengakses data sulit karena terpisah antara
program.
b. Adanya perbedaan data antar bagian dengan data
yangsama, misalnya jumlah bayi.
c. Sulitnya menyatukan data karena format laporan yang
berbeda-beda.
d. Adanya pengambilan data yang sama berulang-ulang
dengan format yang berbeda-beda dari masing-masing
bagian.
e. Waktu untuk mengumpulkan data lebih lama, sehingga
pengolahan dan analisis data sering terlambat.
f. Pimpinan sulit mengambil keputusan dengan cepat dan
akurat karena data berbeda dan keterlambatan laporan.
Jadi, apabila melihat dari penjabaran di atas maka bisa
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang sering menghambat SIK
(Sistem Informasi Kesehatan) yang bersifat daerah (SIKDA) maupun
nasional (SIKNAS) berdasarkan gambaran di Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan adalah faktor geografis
(tempat dan lokasi), human resources medical atau tenaga kesehatan,
infrastruktur pendukung (komputer, software, dan lain-lain), dan
kebijakan mengenai SIKDA (Sistem Informasi Kesehatan Daerah)
maupun SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional).
14
Sedangkan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) adalah gabungan perangkat
dan prosedur yang digunakan dalam program kesehatan untuk mengumpulkan,
mengolah, mengirimkan, dan menggunakan data untuk keperluan perencanaan,
monitoring, evaluasi, dan pengendalian (pengambilan keputusan).
Dengan melihat, kedua pengertian di atas kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dan Surveilans memilki
sebuah kesamaan dalam penerapannya.Yaitu sama-sama digunakan untuk
melakukan perencanaan (planning) di bidang kesehatan.
Di Indonesia Sistem Surveilans Epidemiologi merupakan subsistem dari
SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional) dan mempunyai fungsi strategis
dalam intelijen penyakit dan masalah kesehatan untuk penyediaan data dan
informasi epidemiologi dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat.
Jadi, SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dengan Surveilans dapat kita
gambarkan melalui diagram sebagai berikut : Akan tetapi, surveilans tidak
berjalan secara semestinya seperti pengertiannya. Masih banyak permasalahan
yang muncul di tengah-tengahnya.
Berdasarkan observasi WHO (World Health Organization), 2004
menemukan beberapa temuan terkait surveilans seperti :
a. Kurangnya kesadaran akan pentingnya informasi surveilans penyakit
di kalangan pengelola program kesehatan, pejabat kesehatan, staf
pelayanan kesehatan dan staf surveilans sendiri di semua tingkat.
b. Informasi surveilans tidak digunakan dalam pengambilan keputusan.
c. Kualitas data Surveilans tidak memuaskan dan sulit diperbaiki
d. Tidak dilakukan analisis data surveilans secara memadai.
e. Penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) dilakukan sembarangan.
f. Tidak ada motivasi di kalangan staf surveilans untuk meningkatkan
kemampuan diri.
g. . Berbagai sistem surveilans penyakit khusus sulit dikoordinasikan
dan diintegrasikan.
15
2.5 Contoh Sistem Informasi surveilans
a. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis adalah alat bantu yang sangat esensial
dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali
kondisi alam dengan menggabungkan data spasial (peta wilayah termasuk
sungai, rawa, persawahan dan lain-lain) dan non spasial / atribut (angka
mortalitas, morbiditas, kebiasaan/pola hidup masyarakat dan lain-lain). Hasil
pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk peta digital.
Aplikasi GIS untuk P2M penyakit yaitu (Dodiet Aditya, 2014):
a) menemukan penyebaran dan jenis-jenis penyakit secara geografis,
b) meneliti perkembangan trend sementara suatu penyakit,
c) mengidentifikasi kesenjangan, celah di daerah terpencil,
d) mengurangi kerugian masyarakat melalui pemetaan dan stratifikasi
faktor-faktor risiko,
e) menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dalam pelayanan kesehatan
berdasarkan data dari masyarakat dan menilai alokasi sumber daya
f) meramalkan kejadian wabah,
g) memantau perkembangan penyakit dari waktu ke waktu, dan
h) dapat menempatkan fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan yang
dapat dijangkau oleh masyarakat
b. Sistem Informasi Geografis dalam system informasi surveilans
epidemiologi DBD
Dalam sistem informasi surveilans epidemiologi DBD, sistem
informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan faktor risiko sebagai
data spasial yang dibedakan sesuai tingginya faktor risiko.Dalam rangka
kewaspadaan dini, faktor risiko ini diperoleh dengan melakukan survei di
wilayah puskesmas yang dilakukan sebelum musim penularan.
Dari informasi ini dapat direncanakan suatu bentuk intervensi untuk
mengantisipasi terjadinya DBD dalam rangka sistem kewaspadaan dini 11.
16
Setelah memasuki musim penularan, kasus DBD yang diperoleh dari form So
dan form KD/RS serta kasus tambahan dari kegiatan PE diintegrasikan ke
dalam peta dengan cara “spot map” yaitu meletakkan titik pada peta sesuai
tempat tinggal penderita. Dengan cara tersebut dapat dijelaskan terjadinya
DBD dikaitkan dengan faktor risiko dan determinan penyakit lannya yang
meliputi faktor lingkungan, perilaku, kependudukan dan sarana pelayanan
kesehatan sebagai bahan evaluasi program pemberantasan penyakit DBD
17
B. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi,
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana
unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut
dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
C. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
D. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau
tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya
E. Kemampuan dan Atribut (Sifat) Sistem Kemampuan dan atribut (sifat) system
terdiri dari (Romaguera, 2000) :
1. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan
pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi
yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa
18
data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu
besar dan prosedur yang terlalu rumit.
2. Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam
mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi
operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan
biaya, waktu dan tenaga.
3. Dapat diterima (Acceptability)
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi
individu, organisasi dan lembaga kesehatan.lnteraksi sistem dengan
mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan
petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan
terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor,
kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan.
Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya
kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang
terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar,
beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang
dijalankan dengan tepat
4. Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi
kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan
kemampuan mengidentifikasi adanya KLB.
5. Representatif (Representative).
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara
akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan
tempat.Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang
representatif.Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi
19
juga diskripsi atau ciriciri demografik dan infomasi mengenai faktor
resiko yang penting.
6. Tepat Waktu.
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan
kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan
interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak
meluas sehingga membahayakan masyarakat.Ketepatan waktu dalam
sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk
pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk
perencanaan program dalam jangka panjang.Teknologi komputer dapat
sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu
penyediaan informasi.
20
d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait
nasional, bilateral negara, regional dan internasional.
21
JEJARING SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN
22
BAB III
PEMBAHASAN
“ Investigasi Wabah”
Secara umum Wabah dapat diartikan sebagai kejadian penyakit melebihi dari
normal (kejadian yang biasa terjadi). Banyak definisi yang diberikan mengenai wabah
baik kelompok maupun para ahli diantaranya :
Wabah adalah kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka ( UU RI No. 4 tahun
1984 ).
Selain kata wabah dikenal pula letusan ( outbreak ) apabila kejadian tersebut
terbatas dan dapat ditanggulangi sendiri oleh pemerintah daerah dan kejadian luar
biasa ( KLB ) apabila penanggulangannya membutuhkan bantuan dari pemerintah
pusat ( DirJen P2MPLP tahun 1981). Di Indonesia pernyataan adanya wabah hanya
boleh ditetapkan oleh mentri kesehatan.
23
3.1.1 Tiga komponen wabah :
3. Pertimbangan program
24
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian terus – menerus selama tiga kurun
waktu berturut – turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
3. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian, dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam suatu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata – rata perbulan dalam tahun
sebelumnya.
5. Angka rata – rata perbulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata – rata perbulan dari tahun
sebelumnya.
6. Case fatality rate ( CFR ) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukan kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan dengan CFR dari periode
sebelumnya.
7. Proportional rate ( PR ) penderita dari suatu periode tertentu menunjukan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan periode, kurun waktu atau tahun
sebelumnya.
8. Kurun waktu atau tahun sebelumnya
9. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : cholera dean demam
berdarah dengue.
Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya ( pada daerah endemis
).
Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode empat
minggu sebelumnya, daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.
25
3.3 Langkah Investigasi wabah
a) Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa
minggu atau bulan sebelumnya.
b) Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang
diharapkan.
26
Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi
penyakit yang biasanya ada.
Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal
yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
27
oleh waktu, tempat, dan orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi pasti (
compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.
Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan
kejadian yang diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis.
Informasi berikut ini dikumpulakan dari setiap kasus :
c) Data klinis
28
c) Menarik kesimpulan tentang pola kejadian, dengan demikian mengetahui
apakah bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran keduanya
c) Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi
terpendek
Masa inkubasi penyakit adalah waktu antara masuknya agens penyakit sampai
timbulnya gejala pertama. Informasi tentang masa inkubasi bermanfaat billa penyakit
belum diketahui sehingga mempersempit diagnosis diferensial dam memperikan
periode pemaparan. Cara menghitung median masa inkubasi :
29
tertentu yang menggambarkan distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan
atau jenis kejadian namun mengabaikan populasi.
30
f) Epidemiologi diskriptif
Dalam hal ini penelitian tambahan akan mengikuti hal dibawah ini
31
3.3.11 Penyampaian Hasil Penyelidikan
e) Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan
bahan rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang .
c) Penelitian
d) Pelatihan
32
e) Menjawab keingintahuan masyarkat
f) Pertimbangan program
h) Kesadaran masyarakat
a) Memastikan diagnosa
f) Mengetahui jumlah korban dan populasi rentan, waktu dan periode KLB,
serta tempat terjadinya KLB ( variabel orang, waktu dan tempat )
33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wabah adalah suatu keadaan ketika dimana kasus penyakit atau peristiwa
yang lebih banyak daripada yang diperkirakan dalam suatu periode waktu tertentu di
area tertentu atau diantara kelompok tertentu. Dan dugaan terhadap suatu wabah
mungkin muncul ketika aktivitas surveilans rutin mendeteksi adanya suatu kluster
kasus yang tidak biasa atau terjadinya peningkatan jumlah kasus yang signifikan dari
jumlah biasanya dan diperlukan upaya evaluasi pada suatu masalah yang potensial
atau memulai investigasi.
34
B. Saran
Dengan adanya komputerisasi dan system informasi dalam surveilans
diharapkan pekerjaan semua unit yang tergabung pada surveilans dan dapat
membantu dalam pelaporan akan perkembangan suatu penyakit dapat cepat diketahui.
Investigasi wabah adalah peristiwa yang lebih banyak dari biasanya, misalnya
wabah DBD. Mencegah lebih baik daripada mengobati, maka dari itu investigasi
wabah dilakukan untuk mencegah KLB yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
35
DAFTAR PUSTAKA
36