Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem Surveilans Epidemiologi mempunyai peran yang sangat penting se
bagai intelijen penyakit dan mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi e
pidemiologi untuk manajemen kesehatan, mendukung pengambilan keputusan da
n penyusunan perencanaan,monitoring dan evaluasi, serta sistem kewaspadaan
dini kejadian luar biasa (SKD-KLB). Dalamkonteks desentralisasi, daerah
dituntut untuk dapat mandiri dan mampu melaksanakan surveilansepidemiologi
secara profesional.
Dasar hokum terbaru berkaitan dengan kegiatan surveilans epidemiologi
yaitu, UU No.36/2009 tentang Kesehatan pada Bab 10 tentang penyakit menular
dan tidak menular Pasal 154ayat 1 yang berbunyi “pemerintah secara berkala
menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi
menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat,serta menyebutkan daerah
yang dapat menjadi sumber penularan”. Pasal 156 ayat 1 yang berbunyi “dalam
melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
penyakitmenular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah
dapat menyatakan wilayahdalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa
(KLB)”. Pasal 156 ayat 2 berbunyi“penentuan wilayah dalam keadaan wabah,
letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimanadimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakuikeakuratannya”.
Dasar hukum yang sudah ada antara lain, UU No. 4/1984 tentang Wabah
Penyakit Menular,Permenkes No. 949/Menkes/SK/VII/2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan SKD-KLB,Kepmenkes No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan SistemSurveilans Epidemiologi, dan Kepmenkes No.
1479/Menkes/SK/X/2003 tentang SistemSurveilans Epidemiologi Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu.

1
Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST)
berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
Sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPRS), yang telah mengalami beberapa kali
perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan
beberapa sistem Surveilans khusus penyakit Tuberkulosa, penyakit malaria,
penyakit demam berdarah, penyakit campak, penyakit saluran pernapasan dan lain
sebagainya.
Sejarah dirintisnya metode investigasi wabah dimulai dengan adanya
penemuan kuman cholera oleh john snow sehingga ia terkenal dengan metode
investigasi wabah cholera di London ( 1854 ).

Wabah adalah suatu keadaan ketika dimana kasus penyakit atau peristiwa
yang lebih banyak daripada yang diperkirakan dalam suatu periode waktu tertentu di
area tertentu atau diantara kelompok tertentu. Disebuah fasilitas pelayanan kesehatan
dugaan terhadap suatu wabah mungkin muncul ketika aktivitas surveilans rutin
mendeteksi adanya suatu kluster kasus yang tidak biasa atau terjadinya peningkatan
jumlah kasus yang signifikan dari jumlah biasanya.

Ketika dokter mendiagnosa suatu penyakit yang tidak biasa, ketika dokter,
perawat , atau petugas laboraturium yang menyadari terjadinya serangkaian kluster
kasus. Kluster kasus adalah kelompok kasus penyakit atau peristiwa kesehatan lain
yang terjadi dalam rentang waktu dan tempat yang berdekatan. Didalam suatu kluster
banyaknya kasus dapat melebihi jumlah yang diperkirakan, umumnya jumlah yang
diperkirakan tidak diketahui.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Surveilans Epidemiologi?
2. Apa yang dimaksud dengan Kompputerisasi Surveilans?
3. Apa yang dimaksud dengan Sistem Informasi Surveilans?
4. Bagaimana hubungan antar SIK dengan Surveilans?
5. Apa yang dimaksud dengan Sistem Surveilans?
6. Apa yang dimaksud dengan Jejaring Surveilans?
7. Apa yang dimaksud dengan investigasi wabah ?
8. Kriteria kerja wabah/ KLB ?
9. Langkah dalam melakukan investigasi wabah ?
10. Tujuan penyelidikan wabah/ KLB ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan surveilans
2. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan Komputerisasi dan Sistem
Informasi Surveilans
3. Agar mengetahui bagaimana hubungan antara SIK dengan Surveilans
4. Agar mengetahui apa yang di maksud dengan system surveilans dan Jejaring
Surveilans
5. Agar mengetahui Investigasi Wabah

3
BAB II
PEMBAHASAN

“Surveilans Epidemiologi”

2.1 Surveilans Epidemiologi


2.1.1 Defenisi Surveilans
Menurut German (dalam Kesmas, 2013), surveilans kesehatan
masyarakat (publichealth surveillance) adalah suatu kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus berupa pengumpulan data
secara sistematik, analisis dan interpretasi data mengenaisuatu
peristiwa yang terkait dengan kesehatan untuk digunakan dalam
tindakankesehatan masyarakat dalam upaya mengurangi angka
kesakitan dan kematian, danmeningkatkan status kesehatan.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan,
analisis, dan interpretasidata secara terus menerus dan sistematis yang
kemudian didiseminasikan(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan
lainnya (DCP2, 2008)
Langmuir, 1963: Surveilens adalah kegiatan perhatian yang
terus menerus pada distribusi dan kecenderungan penyakit melalui
sistematika pengumpulan data, konsolidasi, danevaluasi laporan
morbiditas serta mortalitas juga data lain yang sesuai,
kemudiandisebarkan kepada mereka yang ingin tahu.
1. Pengumpulan data yang sistematik
2. Konsolidasi dan evaluasi data
3. Diseminasi awal pada mereka yang butuh informasi, teruta
ma mereka yang berposisi pengambil keputusan

4
2.1.2 Prinsip Umum Surveilans Epidemiologi
Prinsip umum survelian epidemiologi adalah sebagai berikut
(Eko Budiarto, 2003) :
a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at
risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit,
puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan
petugas surveilans di lapangan, laporanmasyarakat, dan
petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan
jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang
diamati. Tehnik pengumpulan datadapat dilakukan dengan
wawancara dan pemeriksaan.Tujuan pengumpulan dataadalah
menentukan kelompok high risk; Menentukan jenis dan
karakteristik(penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi;
Pencatatan kejadian penyakit; danKLB.
b. Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data
mentah (row data) yangmasih perlu disusun sedemikian rupa
sehingga mudah dianalisis.Data yangterkumpul dapat diolah
dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau
bentuk lainnya.Kompilasi data tersebut harus dapat
memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya
dianalisis dan dilakukaninterpretasi untuk memberikan arti dan
memberikan kejelasan tentang situasi yangada dalam
masyarakat.
d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik

5
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki
keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam
suatu kesimpulan, selanjutnya dapatdisebarluaskan kepada
semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini
dapatdimanfaatkan sebagai mana mestinya.
e. Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans
selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan,
penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk
kegiatantindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan
perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta
untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

2.2 Komputerisasi Surveilans


Penggunaan komputer di bidang kesehatan di negara-negara
berkembang,seperti di berbagai daerah di Indonesia masih belum merata.
Tidak hanya dari segifasilitas komputer dan jaringannya, tetapi dari segi
sumber daya manusia.DiIndonesia masih sedikit tenaga kesehatan yang
sekaligus dapat mengoperasikankomputer.Hal ini salah satu penyebab masih
minimalnya penggunaan computer sebagai pendukung kesejahteraan
kesehatan masyarakat.Padahal, maksud pemerintahmengadakan sistem
informasi kesehatan berbasis komputer adalah untukmempermudah pekerjaan
dalam keterbatasan sumber daya manusia.Penggunaan komputer tentunya
tidak lepas dari listrik.
Seperti yang kita tahu,komputer membutuhkan listrik untuk dapat
beroperasi. Meskipun pemerintah sudahmerencanakan sebuah sistem
informasi kesehatan di daerah-daerah, tetap saja hal itukurang dapat
memberikan hasil yang baik, karena masih banyak daerah yangmendapat
pemadaman listrik bergilir atau bahkan sama sekali belum teraliri listrik.Oleh

6
karena itu dibutuhkan peran serta yang tinggi, konsisten dan intensif dari
pemerintah dalam hal penyediaan aliran listrik yang baik dan merata hingga
daerahterkecil di nusantara.
Masalah utama dari masih minimalnya penggunaan komputer di
daerah adalahmasih sedikitnya penyediaan komputer bahkan di tingkat rumah
sakit. Hal inilah yangmembuat daerah masih kesulitan dalam hal pengolahan
data kesehatan.Penggunaan teknologi komputer di daerah terpencil masih
sangat minimal.Salah satu contoh adalah di daerah Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang memilik peringkat ke-31 dari 33 provinsi dalam Indeks
Pembangunan Manusia. Kesehatanmerupakan salah satu indikator dalam
pengukuran Indeks Pembangunan Manusia.
Dalam pembangunan kesehatan itu sendiri, dibutuhkan penggunaan
sistem informasiyang tepat.Akan tetapi, kendala yang dihadapi oleh Provinsi
NTT adalah terbatasnyaketersediaan sarana dan prasarana sistem informasi
dan minimnya penggunaan asilitas komputer. Terbatasnya ketersediaan sistem
informasi dapat mempengaruhikelancaran pelaksanaan kegiatan sehingga
pelaksanaan yang dilakukan oleh
Provinsi NTT kurang maksimal.Selain di Provinsi NTT, Provinsi NTB
yang berada pada peringkat ke-32 dari 33 provinsi juga memiliki masalah
terkait penggunaan teknologi komputer, yaitu adanyafragmentasi dalam
sistem informasi kesehatan. Maksud dari fragmentasi tersebutadalah
banyaknya penggunaan sistem informasi kesehatan yang berbeda-beda
disemua tingkat administrasi (kabupaten, kota, provinsi). Hal ini
mengakibatkanterjadinya duplikasi data, kurangnya kelengkapan data, dan
data yang tidak valid.
Hasil penelitian di NTB membuktikan bahwa puskesmas harus
mengirim lebih dari300 laporan dan terdapat 8 macam sistem yang digunakan
sehingga bebanadministrasi dan beban petugas terlalu tinggi.Beban-beban
yang terlalu tinggimengakibatkan ketidakefektifan dan ketidakefisiensian

7
sistem informasi kesehatanyang digunakan.Selain itu, masalah yang dihadapi
dalam sistem informasi kesehatan ialahformat pencatatan dan pelaporan masih
berbeda-beda dan belum memiliki standarsecara nasional.Hal ini diwujudkan
dari masih adanya daerah yang mencatat danmenyerahkan laporan kesehatan
yang diisi dengan tulisan tangan. Lebih buruknya,mereka terkadang
menyusun sendiri poin-poin pelaporan sehingga tidak sesuaidengan standar
yang sudah dibuat oleh pemerintah. Sudah dapat dipastikan, metode
pencatatan dan data basing seperti ini sangat tidak efektif dan memberi
informasiyang baik.
Masalah tersebut mendorong pemerintah untuk membuat perencanaan
sisteminformasi kesehatan daerah yang baru pada tahun 2008, yakni Sistem
InformasiKesehatan Daerah (SIKDA) “Satu Pintu”. Sistem ini merupakan
sistem pencatatandan pelaporan kesehatan yang berpusat pada sebuah bank
data sebagai pintu masukdan keluarnya data, yang berisikan data individu dan
atau agregat yang berasal darisetiap fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta serta sector terkait.
Untuk menerapkan SIKDA “Satu Pintu”, dibutuhkan sarana
pendukung, antara lain bangunan, hardware, software, SDM untuk
pengumpulan, pengolahan, analisa,dan visualisasi data. Terlebih, 96%
puskesmas harus memiliki minimal satu unitcomputer untuk dapat
melaksanakan program ini.Selain hal di atas, dalam penggunaan teknologi
komputer dibutuhkan tenagaahli profesional untuk menjalankan sistem
pelayanan kesehatan berbasis komputer.Dengan adanya tenaga ahli, maka
penggunaan teknologi komputer dalam system pelayanan kesehatan menjadi
optimal dan saat terjadi masalah dalam penggunaankomputer, mereka dapat
menyelesaikan masalah tersebut.

8
2.3 Sistem Informasi Surveilans
2.3.1 Sistem Informasi
Sistem informasi adalah suatu sistem dalam suatu organisasi
yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian yang
mendukung fungsi operasi organisasi yang bersifat manajerial dengan
kegiatan strategi dari suatu organisasi untuk dapat menyediakan
kepada pihak luar tertentu dengan informasi yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan.Sistem informasi dalam suatu organisasi dapat
dikatakan sebagai suatu sistem yang menyediakan informasi bagi
semua tingkatan dalam organisasi tersebut kapan saja
diperlukan.Sistem ini menyimpan, mengambil, mengubah, mengolah
dan mengkomunikasikan informasi yang diterima dengan
menggunakan sistem informasi atau peralatan sistem lainnya.

2.3.2 Sistem Informasi Kesehatan


Sistem informasi kesehatan merupakan suatu pengelolaan
informasi diseluruh tingkat pemerintah secara sistematis dalam rangka
penyelengggaraan pelayanan kepada masyarakat. Perkembangan
Sistem Informasi Rumah Sakit yang berbasis komputer (Computer
Based Hospital Information System) di Indonesia telah dimulai pada
akhir dekade tahun 80’ an. Salah satu rumah sakit yang pada waktu itu
telah memanfaatkan komputer untuk mendukung operasionalnya
adalah Rumah Sakit Husada.
Departemen Kesehatan dengan proyek bantuan dari luar
negeri, juga berusaha mengembangkan Sistem Informasi Rumah Sakit
pada beberapa rumah sakit pemerintah dengan dibantu oleh tenaga ahli
dari UGM.Namun, tampaknya komputerisasi dalam bidang rumah
sakit, kurang mendapatkan hasil yang cukup memuaskan semua pihak.

9
Ketidak berhasilan dalam pengembangan sistem informasi
tersebut, lebih disebabkan dalam segi perencanaan yang kurang baik,
dimana identifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan (Critical
Success Factors) dalam implementasi sistem informasi tersebut kurang
lengkap dan menyeluruh.Perkembangan dan perubahan yang cepat
dalam segala hal juga terjadi didunia pelayanan kesehatan.Hal ini
semata-mata karena sektor pelayanan kesehatan merupakan bagian
dari sistem yang lebih luas dalam masyarakat dan pemerintahan dalam
suatu negara, bahkan lebih jauh lagi sistem yang lebih global.
Adapun Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan
sistem informasi kesehatan adalah:
1. Kepmenkes Nomor 004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan dan
strategi desentralisasi bidang kesehatan.
Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah
strategis yang cukup populer dianut oleh negara-negara di Eropa
Timur dalam rangka mendukung terciptanya good
governance.Salah satu motivasi utama diterapkan kebijaksanaan
ini adalah bahwa pemerintahan dengan sistem perencanaan yang
sentralistik seperti yang telah dianut sebelumnya terbukti tidak
mampu mendorong terciptanya suasana yang kondusif bagi
partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pembangunan.
Tumbuhnya kesadaran akan berbagai kelemahan dan hambatan
yang dihadapi dalam kaitannya dengan struktur pemerintahan yang
sentralistik telah mendorong dipromosikannya pelaksanaan strategi
desentralisasi.
2. Kepmenkes Nomor 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang petunjuk
pelaksanaan pengembangan sistem laporan informasi kesehatan
kabupaten/kota.

10
Salah satu yang menyebabkan kurang berhasilnya Sistem
Informasi Kesehatan dalam mendukung upaya-upaya kesehatan
adalah karena SIK tersebut dibangun secara terlepas dari sistem
kesehatan.SIK dikembangkan terutama untuk mendukung
manajemen kesehatan. Pendekatan sentralistis di waktu lampau
juga menyebabkan tidak berkembangnya manajemen kesehatan di
unit-unit kesehatan di daerah
2.3.3 Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data Informasi
Surveilans Epidemiologi
1. Sumber Data
Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :
a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemirintah
dan masyarakat.
c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit
statistik kependudukan dan masyarakat
d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit
meteorologi dan geofisika
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
f. Data kondisi lingkungan.
g. Laporan wabah
h. Laporan penyelidikan wabah/KLB
i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya

11
k. Data hewan dan vektor sumber penular
penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
l. Laporan kondisi pangan.
m. Data dan informasi penting lainnya.

2. Pelaporan
Unit sumber data menyediakan data yang
diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi
termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit
penelitian, unit program - sektor dan unit statistik lainnya.

3. Penyebaran Data dan Informasi


Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil
kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada
pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan
penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program
kesehatan, pusat- pusat penelitian dan pusat-pusat kajian
serta pertukaran data dalam jejaring surveilans
epidemiologi

2.3.4 Penerapan dan fungsi SIK (Sistem Informasi Kesehatan) terhadap


Surveilans.
1. Gambaran SIK (Sistem Informasi Kesehatan) di Indonesia.
Sistem informasi yang ada pada saat ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Masing-masing program memiliki sistem informasi
sendiri yang masih belum terintegrasi.

12
b. Terbatasnya perangkat keras(hardware) dan
perangkat lunak(software) diberbagai jenjang.
c. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber
daya manusia untuk mengelola dan
mengembangkan sistem infornasi.
d. Masih belum adanya membudayanya pengambilan
keputusan berdasarkan data/informasi.
e. Belum adanya sistem pengembangan karir bagi
pengelola sistem informasi
2. Hambatan-hambatan penerapan SIK (Sistem Informasi
Kesehatan) di Indonesia.
Melihat Sistem Informasi Kesehatan yang ada di Indonesia,
maka kita bisa menilai bahwa penerapannya masih cukup
kurang.Khususnya untuk Surveilans yang berfungsi untuk
menggambarkan segala situasi yang ada khususnya
perkembangan penyakit sehingga berpengaruh terhadap
derajat kesehatan setiap individu di dalam populasi yang
ada.Sebagai contoh misal gambaran Sistem Informasi Pada
Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur, Propinsi
Kalimantan. Timbul berbagai permasalahan tetrkait penerapan
Sistem Informasi kesehatan, disana digambarkan bahwa masih
ditemukannya beberapa puskesmas yang tidak sesuai dalam
proses pencatatan dan pendataan. Terbukti dengan masih
adanya 5 Puskesmas yang tidak menggunakan komputer dari
19 Puskesmas yang ada.Tidak hanya masalah tersebut saja,
yang menjadi penghambat atas penerapan SIK (Sistem
Informasi Kesehatan) di Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai
Timur, Propinsi Kalimantan.
Melainkan masih banyak sekali masalah yang timbul, yaitu :

13
a. Untuk mengakses data sulit karena terpisah antara
program.
b. Adanya perbedaan data antar bagian dengan data
yangsama, misalnya jumlah bayi.
c. Sulitnya menyatukan data karena format laporan yang
berbeda-beda.
d. Adanya pengambilan data yang sama berulang-ulang
dengan format yang berbeda-beda dari masing-masing
bagian.
e. Waktu untuk mengumpulkan data lebih lama, sehingga
pengolahan dan analisis data sering terlambat.
f. Pimpinan sulit mengambil keputusan dengan cepat dan
akurat karena data berbeda dan keterlambatan laporan.
Jadi, apabila melihat dari penjabaran di atas maka bisa
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang sering menghambat SIK
(Sistem Informasi Kesehatan) yang bersifat daerah (SIKDA) maupun
nasional (SIKNAS) berdasarkan gambaran di Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan adalah faktor geografis
(tempat dan lokasi), human resources medical atau tenaga kesehatan,
infrastruktur pendukung (komputer, software, dan lain-lain), dan
kebijakan mengenai SIKDA (Sistem Informasi Kesehatan Daerah)
maupun SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional).

2.4 Hubungan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dengan Surveilans.


Mengutip pernyataan dari CDC / ATSDR (Center for Diseas Control /
Agency for toxic Substance and Disease Regristary) menerangkan bahwa
Surveilans atau Surveillance is the ongoing systematic collection, analysis, and
interpretations of outcome-spesific data for use in the planning, implementation,
and evaluation of public practice.

14
Sedangkan SIK (Sistem Informasi Kesehatan) adalah gabungan perangkat
dan prosedur yang digunakan dalam program kesehatan untuk mengumpulkan,
mengolah, mengirimkan, dan menggunakan data untuk keperluan perencanaan,
monitoring, evaluasi, dan pengendalian (pengambilan keputusan).
Dengan melihat, kedua pengertian di atas kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dan Surveilans memilki
sebuah kesamaan dalam penerapannya.Yaitu sama-sama digunakan untuk
melakukan perencanaan (planning) di bidang kesehatan.
Di Indonesia Sistem Surveilans Epidemiologi merupakan subsistem dari
SIKNAS (Sistem Informasi Kesehatan Nasional) dan mempunyai fungsi strategis
dalam intelijen penyakit dan masalah kesehatan untuk penyediaan data dan
informasi epidemiologi dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat.
Jadi, SIK (Sistem Informasi Kesehatan) dengan Surveilans dapat kita
gambarkan melalui diagram sebagai berikut : Akan tetapi, surveilans tidak
berjalan secara semestinya seperti pengertiannya. Masih banyak permasalahan
yang muncul di tengah-tengahnya.
Berdasarkan observasi WHO (World Health Organization), 2004
menemukan beberapa temuan terkait surveilans seperti :
a. Kurangnya kesadaran akan pentingnya informasi surveilans penyakit
di kalangan pengelola program kesehatan, pejabat kesehatan, staf
pelayanan kesehatan dan staf surveilans sendiri di semua tingkat.
b. Informasi surveilans tidak digunakan dalam pengambilan keputusan.
c. Kualitas data Surveilans tidak memuaskan dan sulit diperbaiki
d. Tidak dilakukan analisis data surveilans secara memadai.
e. Penyelidikan kejadian luar biasa (KLB) dilakukan sembarangan.
f. Tidak ada motivasi di kalangan staf surveilans untuk meningkatkan
kemampuan diri.
g. . Berbagai sistem surveilans penyakit khusus sulit dikoordinasikan
dan diintegrasikan.

15
2.5 Contoh Sistem Informasi surveilans
a. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi geografis adalah alat bantu yang sangat esensial
dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali
kondisi alam dengan menggabungkan data spasial (peta wilayah termasuk
sungai, rawa, persawahan dan lain-lain) dan non spasial / atribut (angka
mortalitas, morbiditas, kebiasaan/pola hidup masyarakat dan lain-lain). Hasil
pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk peta digital.
Aplikasi GIS untuk P2M penyakit yaitu (Dodiet Aditya, 2014):
a) menemukan penyebaran dan jenis-jenis penyakit secara geografis,
b) meneliti perkembangan trend sementara suatu penyakit,
c) mengidentifikasi kesenjangan, celah di daerah terpencil,
d) mengurangi kerugian masyarakat melalui pemetaan dan stratifikasi
faktor-faktor risiko,
e) menggambarkan kebutuhan-kebutuhan dalam pelayanan kesehatan
berdasarkan data dari masyarakat dan menilai alokasi sumber daya
f) meramalkan kejadian wabah,
g) memantau perkembangan penyakit dari waktu ke waktu, dan
h) dapat menempatkan fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan yang
dapat dijangkau oleh masyarakat
b. Sistem Informasi Geografis dalam system informasi surveilans
epidemiologi DBD
Dalam sistem informasi surveilans epidemiologi DBD, sistem
informasi geografis dapat digunakan untuk memetakan faktor risiko sebagai
data spasial yang dibedakan sesuai tingginya faktor risiko.Dalam rangka
kewaspadaan dini, faktor risiko ini diperoleh dengan melakukan survei di
wilayah puskesmas yang dilakukan sebelum musim penularan.
Dari informasi ini dapat direncanakan suatu bentuk intervensi untuk
mengantisipasi terjadinya DBD dalam rangka sistem kewaspadaan dini 11.

16
Setelah memasuki musim penularan, kasus DBD yang diperoleh dari form So
dan form KD/RS serta kasus tambahan dari kegiatan PE diintegrasikan ke
dalam peta dengan cara “spot map” yaitu meletakkan titik pada peta sesuai
tempat tinggal penderita. Dengan cara tersebut dapat dijelaskan terjadinya
DBD dikaitkan dengan faktor risiko dan determinan penyakit lannya yang
meliputi faktor lingkungan, perilaku, kependudukan dan sarana pelayanan
kesehatan sebagai bahan evaluasi program pemberantasan penyakit DBD

2.6 Sistem Surveilens


Tipe-Tipe Sistem Surveilans, Pengumpulan, dan Entry Data Cara-cara
penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode
pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya. (KMK No.
1116/MENKES/SK/VIII/2003).
A. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan
atau faktor risiko kesehatan
b. Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau
situasi khusus kesehatan
c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah
kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. d. Studi
Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui
lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau
faktor risiko kesehatan

17
B. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi,
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana
unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut
dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
C. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan
atau bencana.
D. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau
tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya
E. Kemampuan dan Atribut (Sifat) Sistem Kemampuan dan atribut (sifat) system
terdiri dari (Romaguera, 2000) :
1. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan
pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi
yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa

18
data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu
besar dan prosedur yang terlalu rumit.
2. Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam
mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi
operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan
biaya, waktu dan tenaga.
3. Dapat diterima (Acceptability)
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi
individu, organisasi dan lembaga kesehatan.lnteraksi sistem dengan
mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan
petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan
terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor,
kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan.
Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya
kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang
terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar,
beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang
dijalankan dengan tepat
4. Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi
kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan
kemampuan mengidentifikasi adanya KLB.
5. Representatif (Representative).
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara
akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan
tempat.Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang
representatif.Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi

19
juga diskripsi atau ciriciri demografik dan infomasi mengenai faktor
resiko yang penting.
6. Tepat Waktu.
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan
kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan
interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak
meluas sehingga membahayakan masyarakat.Ketepatan waktu dalam
sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk
pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk
perencanaan program dalam jangka panjang.Teknologi komputer dapat
sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu
penyediaan informasi.

2.7 Jejaring Sistem Surveilans


2.7.1 Pengertian
Jejaring Surveilans Epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi
epidemiologi, analisis, dan peningkatan kemampuan surveilans
epidemiologi yang terdiri dari :
a. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan
penyelenggara pelayanan kesehatan, laboratorium dan unit
penunjang lainnya.
b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan
pusat-pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan
unit-unit surveilans lainnya.
c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional

20
d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait
nasional, bilateral negara, regional dan internasional.

2.7.2 Kegunaan Jejaring Surveilans


Jejaring surveilans yang digunakan dalam Surveilans Terpadu Penyakit
adalah :
a. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta
peningkatan kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara
Puskesmas, Rumah Sakit, laboratorium, unit surveilans di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans di Dinas Kesehatan
Propinsi dan Unit surveilans di Ditjen PPM&PL Depkes., termasuk
Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel.
b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program
terkait, pusat-pusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans
program pada masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen
PPM&PL Depkes, termasuk Puskesmas Sentinel dan Rumah Sakit
Sentinel.
c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatan
kemampuan sumber daya antara unit surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit
surveilans Ditjen PPM&PL Depkes.

21
JEJARING SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN

22
BAB III
PEMBAHASAN
“ Investigasi Wabah”

3.1 Pengertian Investigasi Wabah

Secara umum Wabah dapat diartikan sebagai kejadian penyakit melebihi dari
normal (kejadian yang biasa terjadi). Banyak definisi yang diberikan mengenai wabah
baik kelompok maupun para ahli diantaranya :

Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan atau kematian yang telah


meluas secara cepat, baik jumlah kasusnya maupun daerah terjangkit ( depkes RI,
DirJen P2MPLP : 1981).

Wabah adalah kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka ( UU RI No. 4 tahun
1984 ).

Wabah adalah timbulnya kejadian dalam suatu masyarakat, dapat berupa


penderita penyakit, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, atau kejadian lain
yang berhubungan dengan kesehatan yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan biasa
( Last : 1981 )

Selain kata wabah dikenal pula letusan ( outbreak ) apabila kejadian tersebut
terbatas dan dapat ditanggulangi sendiri oleh pemerintah daerah dan kejadian luar
biasa ( KLB ) apabila penanggulangannya membutuhkan bantuan dari pemerintah
pusat ( DirJen P2MPLP tahun 1981). Di Indonesia pernyataan adanya wabah hanya
boleh ditetapkan oleh mentri kesehatan.

23
3.1.1 Tiga komponen wabah :

 Kenaikan jumlah penduduk


 Kelompok penduduk disuatu daerah
 Waktu tertentu

3.1.2 Alasan melakukan penyelidikan adanya kemungkinan wabah :

1. Mengadakanpenanggulangan dan pencegahan

a) Ganas tidaknya penyakit

b) Sumber dan cara penularan

c) Ada atau tidaknya cara penanggulangan dan pencegahan

2. Kesempatan mengadakan penelitian dan pelatihan

3. Pertimbangan program

4. Kepentingan umum, politik, dan hokum

3.2 Kriteria Kerja Wabah / KLB

Kepala wilayah / daerah setempat yang mengetahui adanya tersangka wabah


(KJB penyakit menular) diwilayahnya atau tersangka penderita penyakit yang dapat
menimbulkan wabah, wajib seera melakukan tindakan – tindakan penanggulangan
seperlunya, dengan bantuan unit kesehatan setempat, agar tidak berkembang menjadi
wabah (UU No. 4 dan PerMenKes 560/ MenKes/ Per/ VIII/ 1989).

Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila


memenuhi kriteria sebagai berikut :

24
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian terus – menerus selama tiga kurun
waktu berturut – turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).
3. Peningkatan kejadian penyakit/ kematian, dua kali atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, minggu, bulan, tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam suatu bulan menunjukan kenaikan dua kali atau
lebih dibandingkan dengan angka rata – rata perbulan dalam tahun
sebelumnya.
5. Angka rata – rata perbulan selama satu tahun menunjukan kenaikan dua kali
lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata – rata perbulan dari tahun
sebelumnya.
6. Case fatality rate ( CFR ) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukan kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan dengan CFR dari periode
sebelumnya.
7. Proportional rate ( PR ) penderita dari suatu periode tertentu menunjukan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan periode, kurun waktu atau tahun
sebelumnya.
8. Kurun waktu atau tahun sebelumnya
9. Beberapa penyakit khusus menetapkan kriteria khusus : cholera dean demam
berdarah dengue.
 Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya ( pada daerah endemis
).
 Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode empat
minggu sebelumnya, daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.

25
3.3 Langkah Investigasi wabah

Langkah melakukan investigsi wabah dilakukan dengan menggunakan


pendekatan yang sistemik yang terdiri dari :

3.3.1 Persiapan Investigasi di Lapangan

Persiapan dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:

a) Investigasi : pengetahuan ilmiah perlengkapan dan alat

b) Administrasi : prosedur administrasi termasuk izin dan pengaturanperjalanan

c) Konsultasi : peran masing – masing petugas yang turun kelapangan

3.3.2 Pemastian Adanya Wabah

Dalam mementukan apakah wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai


berikut :

a) Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa
minggu atau bulan sebelumnya.

b) Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang
diharapkan.

c) Sumber informasi bervariasi bergantung pada situasinya

 Catatan hasil surveilans


 Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dan lain-
lain.
 Bila data local tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di
dekatnya atau data nasional.

26
 Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi
penyakit yang biasanya ada.

d) Pseudo endemik ( jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu suatu


wabah ) :

 Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita


 Adanya cara diagnosis baru
 Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
 Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa
 Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan

3.3.3 Pemastian Diagnosis

Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal
yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

a) Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah didiagnosis dengan patut

b) Untuk menyingkirkan kesalahan laboraturium yang menyebabkan


peningkatan kasus yang dilaporkan

c) Semua temuan klinis harus disimpulakan dalam distribusi frekuensi

d) Kunjungan terhadap satu atau dua penderita

3.3.4 Pembuatan Definisi Kasus

Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan


apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi

27
oleh waktu, tempat, dan orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi pasti (
compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.

3.3.5 Penemuan dan Penghitungan Kasus

Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan
kejadian yang diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis.
Informasi berikut ini dikumpulakan dari setiap kasus :

a) Data identifikasi ( nama, alamat, nomor telepon )

b) Data demografi ( umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan )

c) Data klinis

d) Faktor risiko, yang harus dibuat khusus untuk tiap penyakit

e) Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau member


umpan balik

3.3.6 Epidemiologi Deskriptif

2.3.6.1 gambaran waktu berdasarkan waktu

Perjalanan wabah berdasarkan waktu digamabarkan dengan grafik


histogram yang berbentuk kurva epidemic, gambaran ini membantu :

a) Member informasi samapai dimana proses wabah itu dan bagaimana


kemungkinan kelanjutannya

b) Memperkirakan kapan pemaparan terjadi dan memusatkan penyelidikan


pada periode tersebut, bila telah diketahui penyakit dan masa inkubasinya.

28
c) Menarik kesimpulan tentang pola kejadian, dengan demikian mengetahui
apakah bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran keduanya

Kemungkinan periode pemaparan dapat dilakukan dengan :

a) Mencari masa inkubasi terpanjang, terpendek, dan rata-rata

b) Menentukan puncak wabah atau kasus mediannya, dan menghitung mundur


satu masa inkubasi rata-rata

c) Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi
terpendek

Masa inkubasi penyakit adalah waktu antara masuknya agens penyakit sampai
timbulnya gejala pertama. Informasi tentang masa inkubasi bermanfaat billa penyakit
belum diketahui sehingga mempersempit diagnosis diferensial dam memperikan
periode pemaparan. Cara menghitung median masa inkubasi :

a) Susunan teratur ( array) berdasarkan waktu kejadiannya

b) Buat frekuensi kumulatifnya

c) Tentukan posisi kasus paling tengah

d) Tentukan kelas median

e) Median masa inkubasiditentukan dengan menghitung jarak antara waktu


pemaparan dan kasus median

3.3.6.2 gambaran wabah berdasarkan tempat

Gambaran wabah berdasarkan tempat menggunakan gambaran grafik


berbentuk Spot map. Grafik ini menunjukkan kejadian dengan titik/symbol tempat

29
tertentu yang menggambarkan distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan
atau jenis kejadian namun mengabaikan populasi.

3.3.6.3 Gambaran wabah berdasarkan ciri orang

Variable orang dalam epidemiologi adalah karakteristik individu yang


ada hubungannya dengan keterpajanan atau kerentanan terhadapa suatu
penyakit.Misalnya karakteristik inang ( umur, jenis kelamin, ras/suku, status
kesehatan) atau berdasarkan pemaparan ( pekerjaan, penggunaan obat-obatan)

3.3.7 Pembuatan Hipotesis

Dalam pembuatan suatu hipotesis suatu wabah, hendaknya petugas


memformulasikan hipotesis meliputi sumber agens penyakit, cara penularan, dan
pemaparan yang mengakibatkan sakit.

a) Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit itu:

 Apa reservoir utama agen penyakitnya?


 Bagaimana cara penularannya?
 Bahan apa yang biasanya menjadi alat penularan?
 Apa saja faktor yang meningkatkan risiko tertular?

b) Wawancara dengan beberapa penderita

c) Mengumpulkan beberapa penderita mencari kesamaan pemaparan.

d) Kunjungan rumah penderita

e) Wawancara dengan petugas kesehatan setempat

30
f) Epidemiologi diskriptif

3.3.8 Penilaian Hipotesis

Dalam penyelidikan lapangan, hipotesis dapat dinilai dengan salah satu


dari dua cara

a) Dengan membandingkan hipotesis dengan fakta yang ada, atau

b) Dengan analisis epidemiologi untuk mengkuantifikasikan hubungan dan


menyelidiki peran kebetulan.

c) Uji kemaknaan statistik, Kai kuadrat.

3.3.9 Perbaikan hipotesis dan penelitian tambahan

Dalam hal ini penelitian tambahan akan mengikuti hal dibawah ini

a) Penelitian Epidemiologi ( epidemiologi analitik )

b) Penelitian Laboratorium ( pemeriksaan serum ) dan Lingkungan


(pemeriksaan tempat pembuangan tinja )

3.3.10 Pengendalian dan Pencegahan

Pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin upaya


penanggulangan biasanya hanya dapat diterapkan setelah sumber wabah diketahui
Pada umumnya, upaya pengendalian diarahkan pada mata rantai yang terlemah dalam
penularan penyakit. Upaya pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit,
sumbernya, atau reservoirnya.

31
3.3.11 Penyampaian Hasil Penyelidikan

Penyampaian hasil dapat dilakukan dengan dua cara pertama Laporan


lisan pada pejabat setempat dilakukan di hadapan pejabat setempat dan mereka yang
bertugas mengadakan pengendalian dan pencegahan dan yang kedua laporan
tertulis.Penyamapin penyelidikan diantaranya

a) Laporan harus jelas, meyakinkan, disertai rekomendasi yang tepat dan


beralasan

b) Sampaikan hal-hal yang sudah dikerjakan secara ilmiah; kesimpulan dan


saran harus dapat dipertahankan secara ilmiah

c) Laporan lisan harus dilengkapi dengan laporan tertulis, bentuknya sesuai


dengan tulisan ilmiah (pendahuluan, latar belakang, metodologi, hasil, diskusi,
kesimpulan, dan saran)

d) Merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan

e) Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan
bahan rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang .

3.4 tujuan penyelidikan wabah / KLB

3.4.1 Tujuan umum penyelidikan KLB / wabah

a) Upaya penanggulangan dan pencegahan

b) Surveilans ( lokal, nasional, dan internasional )

c) Penelitian

d) Pelatihan

32
e) Menjawab keingintahuan masyarkat

f) Pertimbangan program

g) Kepentingan politik dan hukum

h) Kesadaran masyarakat

3.4.2 Tujuan khusus penyelidikan KLB / wabah

a) Memastikan diagnosa

b) Memastikan bahwa terjadi KLB/ wabah

c) Mengidentifikasi penyebab KLB

d) Mengidentifikasi sumber penyebab

e) Rekomendasi : cepat dan tepat

f) Mengetahui jumlah korban dan populasi rentan, waktu dan periode KLB,
serta tempat terjadinya KLB ( variabel orang, waktu dan tempat )

33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi adalah suatu Sistem yang dapat


membantukegiatan Surveilans epidemiologi yang meliputi pengumpulan data yang
terus menerus,pengolahan data dan analisa data penyakit untuk menghasilkan
informasi tentangpenyakit dengan cara membandingkan denganindikator kejadian
luar biasa, yang dapat membantu Seksi Pengamatan untukmenentukan rencana
kegiatan pemecahannya.
Penggunaan komputer di bidang kesehatan di negara-negara
berkembang,seperti di berbagai daerah di Indonesia masih belum merata. Tidak
hanya dari segifasilitas komputer dan jaringannya, tetapi dari segi sumber daya
manusia.DiIndonesia masih sedikit tenaga kesehatan yang sekaligus dapat
mengoperasikankomputer.Hal ini salah satu penyebab masih minimalnya penggunaan
computer sebagai pendukung kesejahteraan kesehatan masyarakat.Padahal, maksud
pemerintahmengadakan sistem informasi kesehatan berbasis komputer adalah
untukmempermudah pekerjaan dalam keterbatasan sumber daya manusia.Penggunaan
komputer tentunya tidak lepas dari listrik.

Wabah adalah suatu keadaan ketika dimana kasus penyakit atau peristiwa
yang lebih banyak daripada yang diperkirakan dalam suatu periode waktu tertentu di
area tertentu atau diantara kelompok tertentu. Dan dugaan terhadap suatu wabah
mungkin muncul ketika aktivitas surveilans rutin mendeteksi adanya suatu kluster
kasus yang tidak biasa atau terjadinya peningkatan jumlah kasus yang signifikan dari
jumlah biasanya dan diperlukan upaya evaluasi pada suatu masalah yang potensial
atau memulai investigasi.

34
B. Saran
Dengan adanya komputerisasi dan system informasi dalam surveilans
diharapkan pekerjaan semua unit yang tergabung pada surveilans dan dapat
membantu dalam pelaporan akan perkembangan suatu penyakit dapat cepat diketahui.

Investigasi wabah adalah peristiwa yang lebih banyak dari biasanya, misalnya
wabah DBD. Mencegah lebih baik daripada mengobati, maka dari itu investigasi
wabah dilakukan untuk mencegah KLB yang bisa saja terjadi di kemudian hari.

35
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Risky Ahmad.2015. Surveilans Epidemiologi.

KMK no 1116/MENKES. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans


Epidemiologi Kesehatan.

Wismarini, Dwiati. 2007. PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI SURVEILANS


EPIDEMIOLOGIDEMAM BERDARAH DENGUE UNTUK KEWASPADAAN
DINIDENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFISDI WILAYAH DINAS
KESEHATAN KABUPATEN JEPARA.

Rajab,Wahyudin.2009.Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa


Kebidanan.Jakarta:EGC.

Rianti,Emy,DKK.2009.Buku Ajar Epidemiologi dalam Kebidanan.Jakarta:Trans Info


Media.

36

Anda mungkin juga menyukai