Anda di halaman 1dari 7

TEKNOLOGI PENGAWETAN BAHAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI (Cabai Merah)

Nathania Trixie Kweman dan Mardiah

Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan


Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Pengawetan cabai merah dapat dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi yaitu
dengan proses blansing dan pengeringan. Tujjuan praktikum ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pengawetan suhu tinggi terhadap masa simpan dan kualitas berdasarkan mutu
organoleptik yaitu warna, aroma, rasa, dan tekstur setelah penyimpanan. Praktikum ini
dilakukan dengan 2 perlakuan yaitu kontrol dan blansing dan diamati setelah bahan
dikeringkan dan dibubukkan pada hari ke-0, ke-1, ke-3, dan ke-5. Hasil pengujian cabai
merah didapatkan bahwa perlakuan blansing lebih baik dibandingkan control untuk
mengawetkan cabai merah baik dihari ke-0 hingga hari ke-5. Perlakuan blansing
mengalami perubahan warna lebih cerah dan memiliki aroma yang sangat kuat
dibandingkan dengan bubuk cabai tanpa perlakuan blansing. Perlakuan blansing dapat
meningkatkan mutu dan pengeringan mampu memperpanjang umur simpan cabai.

Kata Kunci: Blansing, cabai merah, pengeringan, organoleptik

PENDAHULUAN
Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan hasil pascapanen yang dikenal
dengan rasa dan warna yang tajam. Rasa pedas pada cabai dihasilkan dari komponen
kimia yang terkandung di dalamnya yang disebut capsaicin, sedangkan warna merah yang
tampak pada cabai merah berasal dari senyawa karotenoid. Pada cabai merah terkandung
vitamin dan mineral yaitu kalsium 0.29%; fosfor 0.78%; besi 0.012%; kalium 3.74%; dan
kaya akan vitamin B kompleks (Take, dkk., 2012).
Cabai merupakan buah dan sayuran yang mudah mengalami kerusakan. Hal ini
dikarenakan cabai merupakan produk segar yang memiliki kandungan air yang masih
tinggi. Kerusakan cabai dapat disebabkan oleh kapang, khamir dan bakteri sehingga
menyebabkan mutu cabai menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan untuk

1
memperpanjang umur simpan yang dapat dilakukan dengan cara pengawetan seperti
dengan cara pemberian suhu panas yaitu pengeringan dan blansing.
Menurut Tunde-Akintunde, dkk., (2014), blanching juga dapat menghemat energi
yang dibutuhkan saat pengeringan karena membutuhkan waktu yang lebih singkat
dibandingkan tanpa perlakuan blansing sehingga menyebabkan penurunan biaya.
Pemansan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya perubahan kandungan
nutrisi seperti vitamin C, namun dengan adanya perlakuan pendahuluan seperti blansing
dapat mencegah kehilangan vitamin C. Menurut Bilang, dkk., (2017), blansing juga
bertujuan untuk menginaktifkan mikroba pembusuk dan juga memperbaiki kualitas cabai
seperti warna dan nutrisinya. Mikroba yang dapat dinonaktifkan seperti bakteri asam laktat
(BAL) sehingga warna segar cabai dapat dipertahankan. Selain blansing, pengeringan
digunakan untuk menghambat tumbuhnya mikroorganisme pembusuk dengan mengurangi
jumlah air.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi jumlah air yang terdapat dalam bahan
pangan sampai batas dimana mikroorganisme dan enzim tidak dapat beraktivitas dan
menyebabkan pembusukan. Pengeringan bahan menggunakan energi panas akan
menyebabkan menguapnya air dalam bahan. Dalam proses pengeringan, kandungan
kimia dalam cabai seperti capsaicin dapat terganggu, sehingga perlu dilakukan suhu
pemanasan yang sesuai yaitu sekitar 50-60 oC (Jamilah, dkk., 2019). Pengeringan dapat
menyebabkan perubahan warna yang disebabkan oleh adanya proses pencoklatan non-
enzimatis yang biasanya tidak diharapkan. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi
jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan dan meningkatkan umur simpan karena
mikroorganisme pembusuk umumnya membutuhkan kandungan air yang tinggi untuk
dapat beraktivitas.
Warna cabai merah disebabkan oleh kandungan yang ada pada cabai yaitu
kandungan karotenoid yang tinggi. Menurut Pundir, dkk., (2016) karotenoid yang terdapat
pada cabai terbagi 3 yaitu alfa-karoten, beta-lutein dan zeaxanthin. Kandungan vitamin A
dan C yang tinggi pada cabai merupakan salah satu keunggulan cabai. Pada cabai kering,
vitamin A meningkat hingga 100 kali lipat namun kandungan vitamin C menurun.
Kandungan vitamin A yang tinggi dibutuhkan karena bermanfaat sebagai antioksidan untuk
mencegah berbagai penyakit seperti kanker. Selain itu, kandungan dalam cabai
bermanfaat sebagai antibakteri dan meningkatkan imunitas tubuh. Menurut Hidayat, dkk.,

2
(2013) kandungan karotenoid pada cabai dapat terganggu oleh proses pemanasan dan
menurunkan tingkat kecerahan pada cabai yang diakibatkan oleh teroksidasinya
karotenoid oleh panas.
METODE PRAKTIKUM

Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum yang berjudul Teknologi Pengawetan Bahan Pangan dengan Suhu
Tinggi dilakukan pada hari Jumat tanggal 20 September 2019 di Laboratorium Mikrobiologi
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah cabai merah yang diperoleh
dari Pondok Indah Pasar Buah Jalan Setia Budi, Medan.

Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah panci stainless steel, oven
pengering, tirisan, blender, sendok stainless steel, kompor dan gas, piring plastik, dan
sarung tangan plastik.

Prosedur Praktikum
Cabai dicuci dan kemudian ditiriskan, kemudian cabai dibagi menjadi 2 bagian
yaitu diblansing dengan suhu 82-93 oC selama 3-5 menit dan tanpa diblansing atau control.
Kemudian cabai dikeringkan di dalam oven pengering pada suhu 50 oC sampai cabai
kering dan selanjutnya dihaluskan. Setelah cabai dihaluskan, dilakukan pengamatan
secara organoleptk (warna, aroma/bau, dan rasa) dan visual (ada/tidaknya lapisan,
perubahan warna, aroma, dan pertumbuhan kapang) pada hari ke-0, ke-1, ke-3, dan ke-5.
Adapun skema praktikum dapat dilihat pada Gambar 1.

Dicuci cabai dan ditiriskan

Diberi 2 perlakuan, yaitu:


Diblansing cabai dengan suhu 82-93 oC selama 3-5 menit dan tanpa di blansing

Dikeringkan bahan dalam oven pengering (50 oC) kemudian dihaluskan

Diamati secara organoleptik dan visual pada hari ke-0, ke-1, ke-3, dan ke-5.
3
Gambar 1. Skema percobaan pengeringan cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Data pengamatan secara organoleptik (Cabai Merah)
Uji Organoleptik
Pas Bahan/Perlakuan Warna Rasa Aroma Tekstur
abcde abcde abcde abcde
4 Cabai Merah
 Kontrol
- 0 hari 54455 44444 34333 33333
- 1 hari 44544 44544 34443 33443
- 3 hari 44554 43444 44333 34443
- 5 hari 44444 44444 33433 43333
 Blansing
- 0 hari 55545 55544 43444 44455
- 1 hari 55555 54444 44333 45543
- 3 hari 54444 44454 43334 44454
- 5 hari 44444 55454 33343 54543

Tabel 2. Data pengamatan visual (Cabai Merah)


Pas Bahan/ Perlakuan Pengamatan Visual
4 Cabai Merah
- Kontrol - Tidak terjadi perubahan warna
- Aroma kuat
- Tidak ada kapang

- Blansing - Terjadi perubahan warna


- Aroma sangat kuat
- Tidak ada kapang

Keterangan:
Warna, aroma, rasa, dan tekstur:
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = agak suka
4 = suka
5 = sangat suka
A, b, c, d, e= panelis

4
Pengamatan
Pengamatan yang digunakan pada praktikum ini adalah uji hedonik dan deskriptif.
Dalam uji hedonik meliputi pengamatan warrna, aroma, rasa, dan tekstur. Dalam uji
deskriptif meliputi ada tidaknya kapang, terbentuknya lapisan, perubahan warna dan
aroma.
Pembahasan
Pengolahan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan
meningkatkan mutu dari bahan pangan tersebut. Pada proses pengolahan, dapat terjadi
perubahan-perubahan seperti pencoklatan baik secara enzimatis dan non-enzimatis. Pada
cabai, dapat terjadi pencoklatan non-enzimatis yang disebabkan oleh pemanasan
sehingga terjadi penguraian gula dan asam amino. Perubahan ini dapat diminimalisir
dengan cara penurunan suhu saat proses pemanasan (Toontom, dkk., 2012).

Gambar 2. Cabai merah bubuk


Pengeringan cabai merah menjadi bubuk cabai merah memiliki pengaruh positif
baik dari segi penampakan maupun kandungannya. Berdasarkan percobaan yang
dilakukan, perlakuan pendahuluan pada cabai sebelum dikeringkan pada praktikum ini
adalah blansing, dimana bahan dikukus selama 3-5 menit pada suhu 82-93 oC. Hal ini
dilakukan untuk mencegah pertumbuhan kapang dan menginaktifkan enzim yang tidak
dikehendaki. Hal ini sesuai dengan literatur Saputro dan Susanto (2016) yang menyatakan
bahwa pengawetan pada cabai dapat dilakukan dengan megolahnya menjadi cabai bubuk
dan diberi perlakuan pendahuluan yang berguna untuk menguraikan pektin dan
mengurangi jumlah mikroba pada bahan.
Pengolahan cabai merah menjadi bubuk cabai merah dapat memberikan dampak
setelah pengolahan yaitu seperti pada perubahan warna, aroma dan rasa. Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil pada bubuk cabai merah yang diberi
perlakuan pendahuluan blansing memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan bubuk
cabai tanpa perlakuan blansing. Hal ini dikarenakan blansing bertujuan untuk
meningkatkan mutu baik secara fisik maupun kimia seperti pada organoleptiknya. Hal ini

5
sesuai dengan literatur Saputro dan Susanto (2016) yang menyatakan bahwa pemanasan
dapat meningkatkan kecerahan warna, nutrisi dan tekstur bahan.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, bubuk cabai dengan perlakuan
blansing memiliki aroma yang sasngat kuat dibandingkan bubuk cabai tanpa perlakuan
pendahuluan blansing. Hal ini dikarenakan cabai mengandung senyawa volatil yang
menimbulkan aroma khas cabai yang muncul seiring dilakukannya proses pengolahan. Hal
ini sesuai dengan literatur Saputro dan Susanto (2016) yang menyatakan bahwa cabai
juga mengandung senyawa volatil yaitu oleoresin yang menghasilkan aroma khas cabai.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil rasa dari bubuk
cabai merah yang dihasilkan cukup disukai oleh panelis. Rasa termasuk salah satu
parameter penting karena penerimaan konsumen tergantung pada rasa. Bubuk cabai
disukai panelis karena rasa khas cabai masih ada setelah dilakukan pengawetan menjadi
bubuk cabai. Hal ini dikarenakan adanya proses blansing yang mencegah perubahan pada
flavor, aroma dan perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan pangan. Hal ini sesuai
dengan literatur Saputro dan Susanto (2016) yang menyatakan bahwa perebusan
dilakukan untuk menghambat dan mencegah aktivitas enzim yang dapat menimbulkan
perubahan seperti pencoklatan enzimatis, perubahan flavor atau aroma, serta
pembusukan.
Tekstur yang dihasilkan pada praktikum ini dengan perlakuan blansing lebih
disukai oleh panelis dibandingkan tanpa perlakuan blansing. Hal ini dikarenakan blansing
dapat memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan seperti pembusukan yang
menyebabkan tekstur berkurang. Hal ini sesuai dengan literatur Saputro dan Susanto
(2016) yang menyatakan bahwa pemanasan dengan media air meningkatkan tekstur
bahan kering dan menghambat aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan
pembusukan.

KESIMPULAN

Pengawetan dengan suhu tinggi yang diberi perlakuan pendahuluan seperti blansing
dapat meningkatkan kualitas cabai merah baik dari segi organoleptik maupun segi visual. Hal ini
disebabkan oleh blansing mampu menginaktifkan enzim dan mikroba yang tidak dikehendaki untuk
beraktivitas, sehingga umur simpan cabai merah juga menjadi lebih panjang dan awet.
Pengeringan cabai merah dapat meningkatkan kecerahan warna jika dilakukan pada suhu
yang tepat, meningkatkan nutrisi dan tekstur bahan. Namun, pengeringan juga dapat

6
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non-enzimatis pada cabai jika dilakukan pada suhu
terlalu tinggi sehingga diperlukan pengeringan pada suhu yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Ajaykumar, M. T., L. J. Sandeep dan G. B. Madhukar. 2012. Effect of pretreatments on


quality attributes of dried green chilli powder. International Science Congress
Association Journal of Engineering Sciences. 1(1) : 71-74.

Bilang, M., A. Laga dan Trinoviyani. 2017. Pendugaan umur simpan cabai bubuk
fermentasi dari cabai rawit (Capsicum frutences l.) dan cabai merah (Capsicum
annuum l.) menggunakan metode akselerasi pendekatan labuza. Jurnal Rekayasa
Pangan. 11(2) :13-22.

Hidayat, K., M. Syaiful dan K. H. Dewi. 2013. Kajian proses pengolahan cabai secara
kering menjadi cabai blok. Jurnal Agroindustri. 3(1) : 23-30.

Jamilah,M., Kadirman dan R. Fadilah. 2019. Uji kualitas bubuk cabai rawit ( Capsicum
frutescens) berdasarkan berat tumpukan dan lama pengeringan menggunakan
cabinet dryer. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian. 5(1) : 98-107.

Pundir, R., R. Rani,S. Tyagi, dan P. Pundir. 2016. A dvance review on nutritional
phytochemical, pharmacological and antimicrobial properties of chili. International
Journal of Ayurveda and Pharma Research. 4(4) : 53-59.

Saputro, M. A. P. dan W. H. Susanto. 2016. Pembuatan bubuk cabai rawit (kajian


konsentrasi kalsium propionat dan lama waktu perebusan terhadap kualitas
produk). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 4(1) : 62-71.

Toontom, N., M. Meenune, W. Posri, dan S. Lertsiri. 2012. Effect of drying method on physical
and chemical quality, hotness and volatile flavour characteristics of dried chilli.
International Food Research Journal. 19(3) : 1023-1031.

Tunde- Akintunde, T. Y., O. J. Oyelade dan B. O. Akintunde. 2014. Effect of drying


temperatures and pre-treatments on drying characteristics, energy consumption,
and quality of bell pepper. Agricultural Engineering International: CIGR Journal.
16(2) : 108-118.

Anda mungkin juga menyukai