Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH NEGOSIASI ANTAR PERADABAN DALAM KONSTRUKSI

KEBANGSAAN INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING:BEN S.GALUS

DISUSUN OLEH:

1. TAUFIK DWI ANDRIANTO (191100414)


2. UMU SALAMAH (191100415)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) YOGYAKARTA

S1 KEPERAWATAN

2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,yang telah melimpahkan rahmat,hidayah,dan
inayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Negosiasi antar peradaban dalam konstruksi kebangsaan Indonesia”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir
kata kami berharap semoga makalah tentang “Negosiasi antar peradaban dalam konstruksi
kebangsaan Indonesia” ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 30 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

BAB I

PENDAHULUAN......................................................................................................................................3

A. Latar Belakang.....................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah................................................................................................................4

C. Tujuan...................................................................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN……....................................................................................................................................5

A. Definisi....................................................................................................................................6

a. Peradaban………………………………………………………………………………………………….………………7

b. Negosiasi…………………………………………………………………………………………………….……………..8

B. Negosiasi Peradaban Indonesia dari masa ke masa...........................................................9

a. Pada masa awal dekade ke 2 abad ke 20……………………………………………………..………….10

b. Pada masa penjajahan Jepang…………………………………………………………………………………11

c. Pada masa kemerdekaan Indonesia………………………………………………………….…………….12

BAB III

PENUTUP................................................................................................................................................13

A. Kesimpulan.........................................................................................................................14

B. Saran....................................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini, peradaban manusia sangat maju pesat dengan perabagan pada zaman
dulu, baik dari tatanan masyarakat, kondisi lingkungan, teknologi yang terus berkembang
seiring perkembangan zaman. Mungkin peradaban kita sekarang ini akan lebih tertinggal
dibanding peradaban anak cucu kita besok.

Di Indonesia peradaban terus berganti, mulai dari masa kolonialisme sampai di zaman
reformasi telah terjadi berbagai peristiwa penting yang bisa dijadikan sebagai sejarah.Dari
sejarah tersebut kita dapat mengerti sejarah di Indonesia dari berbagai masa yang ada.Di
dalam masa tersebut tentu ada hubungan yang saling mempengaruhi antara pihak local
maupun asing sehingga terjadi kesepakatan dalam pengambilan keputusan. Hal ini tentu akan
terus berhubungan ke masa masa selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud peradaban dan negosiasi?

2.Apa yang terjadi di masa masa kolonialisme sampai masa reformasi?

3.Bagaimana bernegosiasi dalam konstruksi kebangsaan Inonesia?

4.Apa saja bernegosiasi dalam konstruksi kebangsaan Indonesia?

C.Tujuan

1. Memahami peradaban yang terjadi di Indonesia

2. Memahami konsep negosiasi peradaban kebangsaan Indonesia

3. Mengetahui tujuan negosiasi antar peradaban di Indonesia

4. Memahami hasil yang diperoleh dari keputusan bersama dalam negosiasi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

- Peradaban
Peradaban atau tamadun memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan masyarakat
manusia. Seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada suatu masyarakat yang
kompleks dicirikan oleh praktek dalam pertanian, hasil rekayasa dan pemukiman,
berbanding dengan budaya lain, anggota anggota sebuah peradaban akan disusun dalam
pembagian kerja yang rumit dalam struktur dalam hierarki social

Peradaban dapat juga diartikan suatu kumpulan identitas terluas dari seluruh dari
budidaya manusia, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik seperti
bangunan, jalan, dan lainnya maupun non fisik seperti nilai nilai, tatanan, seni budaya
ataupun IPTEK yang teridentifikasi melalui unsur objektif umum, seperti bahasa, sejarah,
dan lainnya

- Negosiasi
Negosiasi merupakan bentuk dari interaksi sossial pada pihak pihak yang terlibat
berusaha untuk saling menyelesaikan suatu tujuan yang bertentangan dan berbeda.
Kegiatan negosiasi merupakan proses saat kedua belah pihak yang memiliki kepentingan
dengan elemen elemen kompetisi dan kerja sama. Serta termasuk yang ada didalamnya,
suatu tindakan yang dilakukan saat melakukan negosiasi untuk mempengaruhi atau
kerjasama dengan orang lain dengan memiliki tujuan tertentu
B. Negosiasi antarperadaban dalam konstruksi kebangsaan Indonesia

A. pada awal decade ke dua abad ke 20/Masa penjajahan Belanda (1605-1942)

Awal dekade kedua abad ke-20, pergumulan antararus peradaban itu mengalami
gelombang pasang. Gerakan – gerakan sosial intelegensia menjadi beraneka bentuk.
Ekspresi dari beragam gerakan ini dalam ruang publik dimungkinkan dan juga dibatasi
oleh struktur peluang politik yang ada, oleh pengaruh-pengaruh eksternal, dan juga oleh
dinamika internal dalam komunitas intelegensia.
Struktur peluang politik pada decade ini mencerminkan karakter khas kepemimpinan
gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) dan penerus nya Van Limburg Stirum (1916-
1921), yang tergolong kaum ethici progresif yang memiliki kepedulian besar terhadap
kemajuan dan pergerakan di tanah jajahan.
Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok-kelompok misi Kristen
memperoleh angin segar, karena selain dia seorang ethici progresif , dia juga seorang
pendukung partai Kristen yang gigih, dengan cepat misi Kristen meluaskan aktivitasnya
dalam ranah luas. Infeksifikasi uasaha kristenisasi ini berbenturan dengan intensifikasi
dengan islamisasi.
Selain aktivitas Kristen dan islam, intensitas sentimen- sentimen keagamaan di ruang
public hindia menjadi memanas oleh adanya kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual
dan sekte-sekte agama yang baru. Pada dekade kedua dari abad ke duapuluh,
perhimpunan-perhimpunan keagamaa baru seperti ini secara aktif merekrut pada
anggotanya, terutama dari segmen masyarakat kota yang tercabut sdari akarnya.
Faktor lain yang menyebabkan makin memanaskan ruang public dalam dekade
tersebut adalah meningkatnya kepercayaan diri orang-orang keturunan tionghoa.
Melambungnya kepercayaan diri ini mengubah sikap mental mereka dalam relasinya
dengan penguasa dan komunitas lain tanah air (shiraishi, 1990:35-38)
Pada dekade ini, orang-orang pernakan campuran Eropa-Indonesia (indo) juga
meramaikan public dengan mendirikan partai politik hindia pertama berbasis
multiculturalisme, indische partij (IP). Dipimpi oleh seorang jurnalis indo, E.F.E Douwes
Dekker, plus dua orang intelektuak pribumi, Tjipto mangunkusumo dan Suwardi
Surjaningrat , partai ini berusaha mengupayakan suatu aliansi antara orang-orang indo
dan orang-orang hindia pribumi yang terdidik, untuk memperjuangkan kesedejahteraan
hak dengan para penduduk keturunan Eropa. Dalam usaha ini, mereka mulai
mempromosikan “nasionalisme Hindia” yang menidealkan suatu identitas bersama
berdasarkan kriteria kewargaan (kependudukan) Hindia ketimbang atas dasar kriteria
etnik atau agama (Mcvey, 1965: 18 ; Van Niel, 1970: 63)

Last but not least, dekade ini juga ditandai oleh keterlibatan langsung organisasi-
organisasi politik Belanda dalam urusan-urusan politik Hindia. Dalam dekade inilah
benih-benih marxisme dan komunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan
di bumi Hindia. Para propagandis marxisme/komunisme menggenapi ketegangan ruang
public dengan membentuk himpunan-himpunan kiri. Dimulai dengan kampanye
sosialisme melalui aktivitas-aktivitas jurnalistik dan serikat buruh pekerja kereta api
(VSTP), sneevliet melangkah lebih jauh dengan mengorganisasi sebuah pertemuan
orang-orang sosial democrat di Surabaya pada 9 mei 1914, yang menghasilkan
pembentukan indische sociaal- democratische Vereeniging (ISDV) dalam perkembangan
lebih lanjut ISDV mengembangkan kecenderungan-kecenderuangan revolusioner,
terutama setelah mendapatkan stimulus baru dan keberhasilan revolusi komunis
(Bolsheviks) di Rusia pada 1917, yang menyebabkan elemen-elemen sosialis yang lebih
moderat di bawah pimpinan Ch.C. Cramer memisahkan diri dan membentuk Partai sosial
demokrat Hindia sebagai cabang dari SDAP di negeri Belanda (Furnivall, 1944: 248).
Meskipun anggota ISDV dan ISDP, paling tidak untuk beberapa tahun kebanyakan
terdiri dari orang-orang belanda, ideologi marxisme/komunisme mempengaruhi wacana
public dan mendorong lahirnya sebuah kelompok intelegensia politik/komunis pribumi
yaitu “Sama Rata Hindia Bergerak” yang didirikan di Surabaya pada 1917 dibawah
inisiatif Adolf Baars. Perhimpunan ini hnaya bertahan satu tahun, tetapi usaha yang lebih
serius untuk membentuk kader-kader sosialis radikal di kalangan pribumi dikerjakan oleh
ISDV.
Melalui strategi “blok dalam” (block within), yaitu strategi penyemaian kader
komunis dalam organisasi tertentu, terutama dalam tubuh Serikat Islam yang luas
pengaruhnya, komunisme secara cepat memperoleh banyak pengikut. Kerjasama antara
kader-kader komunis di dalam dan di luar SI membentuk perserikatan komunis di India
pada 1920 dan setelah kader-kadernya di dalam SI dikeluarkan pada 1921, perserikatan
ini bermetamorfosis menjadi PKI pada 1924.
Pendirian himpunan-himpunan kiri di Hindia menggoda kelompok-kelompok politik
lain di Belanda untuk mengembangkan sayapnya di tanah jajahan. ISDV disaingi dengan
berdirinya Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (NIVB, perhimpunan liberal) pada
akhir tahun 1916. Himpunan ini memiliki hubungan dengan kaum liberal moderat di
Negari Belanda dan didirikan dengan tujuan untuk menyatukan kelangan progresif . lalu
munculah partai-partai seperti Partai Etis Kristen (CEP) dan Partai Katolik Hindia (IKP)
masing-masing pada tahun 1917 dan 1918. CEP dan IKP mempromosikan otonomi yang
lebih luas bagi Hindia, namun dengan memiliki “asosiai” yang kuat dengan negeri
Belanda serta untuk menjadikan Kristen sebagai basis ideology Negara. Semua organisasi
ini merekrut keanggotaan campuran yang terdiri dari kaum blijvers, kaum trekkers,
orang-orang timus asing, dan para elit hindia.

Dibawah bayang-bayang kesadaran sosial dan kepentingan yang yang saling bersaing,
beragam gerakan sosial tumbuh dengan mengekspresikan keanekaragaman
ideologis.kesadaran kemajuan dan pembebasan kaum terjajah muncul disepanjang garis
perbedaan identitas kolektif .situasi ini mendorong kebangkitan protonasionalisme
berbasis kesamaan identitas etnis, agama dan kelas.
Perbenturan antaridentitas kolektif terjadi antara lain karena unsur-unsur “tradisi
kecil” dalam lokalitas tertentu mempertautkan diri dengan “tradisi besar” berskala global.
Pada setiap “tradisi besar” ada elemen kosmopolitanisme dengan klaim totalitas universal
yang besifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan benturan antarperadaban.
Beruntunglah, betapapun terjadi persaingan, kesemuanya dipersatukan oleh komitmen
pada pembebasan kemanusiaan, untuk menghadirkan keadilan dan keadaban bagi kaum
terjajah. Dalam kenyataan lokal, selalu terbuka kemungkinan proses penyerbukan silang
budaya antarperadaban, sehingga setiap peradaban, tidak menampakan diri sebagai total
paket yang monolitik, melainkan suatu mozaik yang mengandung keragaman yang
member peliang bagi proses negosiasi, percampuran, dan kerjasama lintas-peradaban.
Demikianlah, ideologi pan-islamisme Al-Afghani dan reformisme-modernisme islam
ala ‘Abduh pada mulanya memang menjadi sumber inspirasi bagi perumusan ideologi
islam di tanah air sebagai respon terhadap kolonialisme dan kehadiran komunisme.
Pengaruh kehadiran inelektual kiri dan relevansi doktrin-doktrin sosialis bagi rakyat
terjajah juga menstimulus para intelektual islam untuk memodifikasi ideologi dengan
mengkombinasikan nya dengan Al-quran, kombinasi ini dikenal sebagai “sosialisme
Islam” terlebih setelah kekhalifahan (ottoman) di Turki sebagai jantung Pan-Islamisme
dihapukan oleh Mustafa Kemal pada bulan februari 1924.
Disisi lain kosmopolitanisme komunitsa internasional juga terbukti memerlukan
adaptasi terhadap realitas lokal. Tan malaka, dalam kapasitas sebagai seorang pemimpin
komunis sejak akhir 1921, berusaha meredakan ketegangan antara para pemimpin
komunis dan islam sebelum ditangkap pada bulan maret 1922.
Begitu juga dengan ketertarikan komunitas tionghoa pada kosmopolitanisme
tiongkok, terjadi penyesuaian yang di timbulkan baik oleh realitas di “hulu” maupun di
“hilir”. Di China sendiri, doktrin kosmopolitanisme mendapatkan tandingan dari konsepsi
nasionalisme yang dikembangkan Sut Yat Sen, sedangkan di tanah air, komunitas
tionghoa nyatanya tidaklah monolitik. Bahkan dalam perkembangannya, kemudian
muncul pula partai politi Tionghoa Indonesia, yang bercorak nasionalis.
Munculnya gerakana nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
membawa pengaruh besar kepada kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia untuk
terserap ke dalam orbit semangat kebangsaan Indonesia.

Demikian pula halnya dengan komunitas Kriten-Katolik, secara perlahan mereka


melepaskan keterikatannya dengan kekritenan Eropa, seperti melalui pengembangan
gereja-gereja suku. Proses negosiasi dan persilangan budaya antar peradaban itu
mengarah pada penguatan komitmen bersama pada situasi kesengsaraan ekonomi dan
penindasan politik yang makin mencengkram, memburuknya perekonomian Hindia
pasca-perang dunia I dan depresi ekonomi dunia yang hebat pada 1930-an menyediakan
lahan yang subur bagi merajalelanya radikalisme.
Ditengah meluasnya semangat perlawanan politik, pe,erintah colonial berusaha
mengekang potensi ketidakpatuhan ini dengan mengencangkan rezim rust en orde
(ketentaman dan ketertiban) yang bersifat represif.
Situasi penderitaan bersama ini memunculkan semangat emansipasi yang digali dari
pelbagai unsur peradaban dan pengalaman. Semangat emansipasi ini mendorong gerakan
anti-kolonialisme yang mengarah pada usaha penciptaan komuitas impian bersama
“imagined political community” yang melampaui eksklusivitas identitas-identitas
komunialisme.
Peluang kearah penciptaan kearah komunis politik bersama itu itu dibuka oleh
penggunaan keode “Indonesia” sebagai kode kebangsaan baru, yang di populerkan oelh
para aktivis mahasisa Indonesia si Belanda, hal ini di tandai dengan berubah nya nama
indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922, dan diubah
kagi menjadi “perhimounan Indonesia” pada tahun 1924.
Salah seorang tokoh yang paling menonjol dari PI adalah Mohammad hatta. Dalam
sebelas tahun masa studinya di Belanda (1921-1931), dia mempelajari aneka pemikiran,
ideologi, dan pergerakan dunia semasa, terlibat dalam wacana publik, mengurus
organisasi, berceramah di berbagai perkumpulan di Eropa, dan ikut serta dalam gerakan
internasional menentang kolonialisme. Mengikuti secara seksama perkembangan
gerakan-gerakan nasionalis di tanah air, dia dan anggota dan anggota PI lainnya kecewa
karena gerakan-gerakan itu bukan hanya gagal membentuk sebuah organisasi berbasis
massa yang kuat untuk melawan Belanda, mrlainkan juga terperangkap dalam spiral
rivalitas di antara mereka sendiri.
Para intelektual PI percaya bahwa kecenderungan PKI untuk menggunakan kekerasan
dan kerusuhan massa secara premature hanya akan mengakibatkan hilangnya nyawa
rakyat Indonseia secara sia-sia, dengan menolak ideologi Islam, komunisme, dan
nasionalisme kesukuan(etna-nasionalisme) sebagai basis bagi kebangsaan dan
kemerdekaan Indonesia, PI mengajukan konsepsi ideologi dengan berusaha mencari
sintesis antarperadaban.
Persatuan nasional berarti keharusan untuk melakukan pengikatan bersama dari
ragam ideologi dan identitas (etnis,agama,dan kelas) ke dalam front perjuangan bersama
untuk melawan kolonial,persatuan nasional merupakan tema utama dari indsiche partij,
non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan
tema dari Serekat Islam.
Tidak lama berselang, para pemimpin perhimpunan mahasiswa nusantara di kairo,
djama’ah Al Chairiah (berdiri 1922), seperti Iljas Ja’kub dan Muchtar Litfi, pasca
kegagalan kongres islam sedunia di Kairo dan Mekkah, tidak melihat lagi relevansi dari
proyek Pan Islamisme, kedua orang tersebut memimpin partai persatuan muslimin
Indonesia (PMI) pada tahun 1932, dengan slogan “Islam dan Kebangsaan”, yang
memrpersatukan diri dengan gerakan nasionalisme modern (Ricklefs, 1993: 190)
Seperti halnya para aktivis mahsiswa di negeri yang terobsesi dengan ide blok
nasional. Soekarno dan para mahasiswa aktivis lainnya di Hindia juga menganut idela
ang sama. Algemene studieclub (ASC) berdiri di Bandung pada tahun 1926. Pada tahun
1926 Soekarno menulis esai dalam majalah milik ASC, Indonesia moeda, dengan judul
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-
ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa peradaban dalam kerangka konstruksi
kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat
Indonesia mempunyai tiga sifat : “nasionalisme, islamistis, dan marxistis”, lebih kanjut
dia katakana, adalah mungkin bagi kaum nasionalis untuk bekerja sama dengan kaum
islamis dan marxis.
Selain itu, dikatakan bahwa kaum marxis pun bias memiliki komitmen pada persatuan
nasional. Dalam konteks perjuangan nasional, “kita kini melihat persahabatan kaum
marxis dengan kaum nasionalisndi negeri tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum
marxis dengan kaum islamis di negeri Afganistan”. Dalam pandangannya, teori marxisme
itu bias berubah dan bahwa marx dan engels itu bukanlah nabi-nabi yang bisa
mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman.
Di sisi lain, karena ada stimulus pemikiran dan pergerakan internasional dalam
formasi kebangsaan Indonesia, nasionalisme Indonesia membalas kontribusi internasional
ini dengan mengembangkan nasionalisme yang lapang, yang mempertautkan diri dengan
kemanusiaan universal dalam pergaulan antarbangsa (internasionalisme), solidaritas
internasional ini pada awal pertumbuhan nya terutama dipertautkan dengan bangsa-
bangsa terjajah lainnya, terutama di Asia sebagai kawasan terdekat, dengan
mengembangkan perasaan senasib-sepenanggungan dalam kerangka “Revolusi Asia”
atau “Pan-Asiatisme”. Hatta menyebut kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905
dalam merebut kembali semenanjung Liaotung sebagai pangkal kebangkitan Asia. Lebih
lanjut dikatakan, selain kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan Revolusi
Rusia (1917) member contoh baru bagi pergerakan kebangsaan di India tentang
bagaimana melawan pemerintah, yang menguatkan sayap kiri pergerakan rakyat.
Sementara itu, politik devide-et-impera-nya-lord Curzon juga dipatahkan oleh kebesaran
Mahatma Gandhi yang dapat menyatukan umat Hindu dan Muslim yang dalam kerapatan
besar di Amristar (Desember 1919), akhirnya Hatta menyatakan bahwa revolusi Asia
serta Pan-Asiatisme memberitahukan, “bahwa matahari telah tinggi serta memaksa
penduduk Indonesia turut serta memaksa penduduk Indonesia turut berkejar-kejara
dengan bangsa lain menuju padang kemajuan dan kemerdekaan. Selain dengan itu,
soekarno dalam tulisannya di suluh Indonesia muda (1928), “ Inodesia dan Pan-
Asiatisme”, menyatakan bahwa, “paham Pan-Asiatisme ini pasti dapat hidup dan bangkit
di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara bangsa-bangsa Asia pastilah
melahirkan persatuan perangai, persatuan nasib pastilah melahirkan persatuan rasa.
Dengan kesadaran akan persatuan rasa kemanusian antar bangsa menjadi jelas bahwa
sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia adalah nasionalisme
luas, yang berdimensi international.
B. Pada Masa Penjajahan Jepang(1942-1945)

Hubungan sibiosis antara internasionalisme dan nasionalisme ini memperoleh


dimensi baru selama pendudukan jepang, pada masa perang dunia(1942-1945). Penduduk
jepang sejak januari 1942 merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalisme
Indonesia. Kemenangan mudah jepang atas belanda menciptakan kesan yang luar biasa
bagi orang-orang Indonesia.
Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai “Saudara Tua
Asia” dan pada awalnya, jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka dating
sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka oleh banyak kalangan disambut
secara antusias.
Dalam perkembangannya,peralihan kekuasan dari penjajah lama ke penjajah baru
memang tidak ubahnya bak sebuah peribahasa : “Lepas dari mulut buaya , masuk mulut
harimau”. Meski demikian, kepentingan perang jepang secara tidak terduga
menghadirkan sebuah katalis bagi konsolidasi nasionalisme Indonesia.
Penduduk Jepang , dengan fokusnya pada usaha-usaha kemiliteran, menunjukan
perhatian yang setengah hati pada persekolahan konvensional, namun dengan penuh
semangat memperkenalkan jenis pendidikan baru yang di butuhkan bagi upaya perang
Jepang, yaitu pendidikan militer dan para militer.
Dengan “janji“ memberikan hak pemerintahan sendiri kepada bangsa Indonesia
dikemudian hari, Jepang mensponsori pendirian sebuah payung organisasi nasionalis
yang inklusif pada 9 Maret 1943, bernama Pusat Tenaga Kerja (PUTERA). Gerakan ini
menyatukan seluruh perhmpunan politik maupun nonpolitik terdahulu di Jawa dan
Madura, dan di pimpin oleh 4serangkai. Soekarno sebagai ketua, Hatta sebagai wakil
ketua, dengan Suwardi Surdjaningrat (Ki Hajat Dewantara) dan seorang pemimpin
reformismodernis muslim terkemuka, Mas Mansur, sebagai anggota.
Dibawah naungan PUTERA, pihak Jepang membentuk sejumlah organisasi militer
dengan system hierarki komando menurut garis kewibawaan tradisional, pernghormatan
kepada orangtua di pandang dapat membuahkan kesetian, disiplin, dan kesediaan
berkorban. Salah satu yang penting ialah Sukarela Tentara Pembela Tanah Air (PETA),
yang didirikan pada bulan September 1943. Bagi Jepang, organisasi-organisasi ini
merupakan sarana untuk merebut dukungan rakyat Indonesia terhadap usaha-usaha
perang Jepang. Namun, bagi para pemimpin nasionalis, hal itu dijadikan kendaraan
untuk memperluas kontak mereka dengan massa yang pada masa pemerintahan kolonial
Belanda sangat dibatasi (kahin, 1952:108)
Melalui struktur barisan-barisan militer seperti barisan pelopor (sejak September
1944) sebagai lascar (Garda Pembela) dari Djawa hokokai, dan hisbullah (sejak desember
1944) sebagai laskar dari masyumi, hubungan diantara kaum terpelajar dipusat-pusat kota
dengan kaum tidak terpelajar dipinggiran kota, kota kecil, dan pedesaan terbentuk.
pendidikan yang kaku dan batas-batas antar elite dan nonelite yang terbangun sejak lama
akibat kebijakan-kebijakan kolonial mulai luluh.
Namun, yang menjadi sebab utamanya ialah berlangsungnya komunikasi antara
pemuda terpelajar dan nonterpelajar yang sama-sama menjadi anggota laskar tertentu,
yang memungkinkan ideologis nasionalis mencapai makna konkretnya.
Jejak-jejak terakhir warisan Jepang dalam konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia adalah perannya dalam mensponsori pembentukan BPUPK dan PPKI. Dalam
desain Jepang, kemerdekaan Indonesia itu merupakan suatu mata rantai dalam
lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, meski dalam perkembangannya,
kenyataan historis kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Pasifik memberi peluang
bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan pilihan dan orientasi internasional nya
tersendiri.

Kemanusiaan (internasionalisme) dalam perumusan pancasila dan konstitusi


Kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam sejarah
kebangsaan Indonesia. Sila ini mengandung berbagai unsur pendapat dari para founding
fathers bangsa Indonesia. Berikut ini adalah sekilah sejarah dari terciptanya berbagai
upaya penegakkan kemanusiaan dan HAM.

Diawali dari pandangan Radjiman Wediodiningrat yang mengutamakan nilai


kegotong royongan di Indonesia ketika melawan jepang. Semangat kegotong royongan
yang dilontarkan Radjiman ini mendapat peneguhan di persidangan BPUPK, Muhammad
Yamin diawal persidangan telah menyebutkan, tujuan kemerdekaan dengan salah satu
dasarnya adalah “kemanusiaan” (internasionalisme). Prinsip ini memperoleh formulasi
yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila pada siding
BPUPK, 1 Juni 1945.

Dalam prinsip kebangsaan yang Seekarno tekankan sebagai prinsip pertama,


Soekarno juga mengingatkan bahaya dari prinsip kebangsaan itu. Salah satunya adalah
Chauvinisme, yaitu mengagungkan bangsa sendiri, dan merendahkan bangsa lain. Seperti
yang terjadi pada Eropa, dengan Deutschland uber allesnya, dan lain-lain. Soekarno
menekankan bahwa prinsip kebangsaan Indonesia harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia, dan kekeluargaan bangsa-bangsa. Oleh karena itu Soekarno
mengutip pernyataan Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”. Inilah prinsip
kedua yang ia namakan internasionalisme atau peri kemanusiaan. Selanjutnya Soekarno
menekankan, yang ia maksud internasionalisme bukanlah kosmopolitanisme, yang tidak
mau adanya kebangsaan. Menurutnya, Internasionalisme dan nasionalisme saling
berkaitan. Kedua-duanya saling membutuhkan.

Dalam rancangan pebukaan UUD, peletakan prinsip internasionalisme itu


terletak sebagai sila kedua dari Pancasila. Kemudian kata kemanusiaan ditambahkan
dengan sifat adil dan beradab, menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab. Orientasinya
sendiri bersifat ganda, kedalam dengan memuliakan hak asasi manusia sebagai individu
maupun kelompok, dan keluar dengan ikut memperjuangkan kedamaian dan keadilan
dunia.

Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan terkandung di semua


alinea, terutama alinea pertama dan keempat. Dalam pembukaan ini terlihat jelas bahwa
pendiri bangsa tidak sekedar menginginkan berdirinya suatu bangsa, namun memiliki
argumen yang kuat dalam persoalan hidup dan beroperasinya Negara. Argumen yang
pertama menegaskan bahwa kolonialisme adalah penindasan atas manusia dan atas
bangsa. Argumen yang kedua adalah self determination yang nantinya menjadi fondasi
dasar dari HAM.
Selanjutnya mengenai isu HAM, terjadi masalah dalam hubungannya dengan
konsep Negara kekeluargaan. Namun sebenarnya dai awal telah disebutkan bahwa
konsep Negara kekeluargaan ini tidak bercorak tunggal, melainkan perpaduan dari
banyak unsur. Kemudian kebijakan ini menimbulkan banyak pro dan kontra.

Pada rapat Besar 11 Juli 1945, Moh. Yamin mengatakan bahwa tiap konstitusi
dari bangsa merdeka terbentuk atas tiga bagian, yaitu Declaration of Rights, Declaration
of Independence, dan konstitusi. Atas pendapat ini, Soepomo menyatakan ketidak
setujuannya, karena Declaration of Rights sendiri berdasar pada individualisme. Atas
perbedaan pendapat ini, Soekarno mengajukan alternatif, yaitu membuat Declaration of
Rights dalam suasana kekeluargaan. Tentang ide ini, Soepomo setuju terhadap
Declaration of Rights. Agus Salim mempunyai pendapat lain. Baginya tidak penting
paham apa yang dianut, yang terpenting adalah dalam hukum dasar harus terdapat pagar-
pagar penjaga keadilan supaya keadilan itu sendiri tetap berlaku.

Pada Rapat Besar 15 Juli 1945, Soekarno menegaskan bahwa dengan


diterimanya rancangan pembukaan UUD, anggota telah mufakat bahwa dasar, falsafah,
dan sistem yang dipakai dalam penyusunan rancangan UUD adalah dasar kekeluargaan
(gotong royong). Maka Soekarno menegaskan, bangsa Indonesia harus mengenyahkan
pikiran dan paham individualisme dan liberalisme. Soepomo memperjelas lagi,
sebenarnya bukannya dalam Negara yang bersifat kekeluargaan tidak ada jaminan bagi
hak dasar individu, tetapi menghendaki agar warga lebih mengedepankan pemenuhan
kewajiban daripada sekedar menuntut hak.
C. Pada Masa Kemerdekaan

Setelah itu, Moh. Hatta menghendaki agar ada jaminan yang lebih tegas atas
hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya
penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan. Harus dihindari
kemungkinan Negara kekeluargaan berubah menjadi Negara kekuasaan. Oleh karena itu
menurutnya perlu dimasukkan beberapa pasal mengenai hak warga Negara. Usul Hatta
ini mendapat dukungan dari Soekiman dan M. Yamin. Soekiman memandang bahwa
perlu mempererat perhubungan pembentukan Negara dengan jiwa rakyat. Sedangkan M.
Yamin mengusulkan agar aturan kemerdekaan warga Negara dimasukkan kedalam
Undang-Undang Dasar.

Dari berbagai argument tersebut, akhirnya pada tanggal 15 Juli juga Soepomo
bersedia menempuh pilihan komromistis, namun tetap tidak akan menentang sistematik
dari rancangan anggaran dasar. Bentuk komprominya adalah dalam UUD dapat
ditambahkan pasal yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan
berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan lain lain yang diatur
oleh Undang-Undang. Setelah itu terjadi beberapa perubahan terhadap pasal-pasal pada
UUD.

Meskipun pasal-pasal tentang hak dasar sendiri terbatas jumlahnya, adanya


pasal-pasal itu sendiri sudah meliputi apa yang kemudian disebut tiga generasi hak
manusia, yaitu:
1. Generasi pertama: hak sipil dan hak politik. Generasi ini terkait dengan hak
sipil, yang terkait langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan juga konteks habeas
corpus yang menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut hak
hidup, hak kebebasan beragama, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya,
hak mengemukakan pendapat, dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan
bersama.
2. Generasi kedua: hak demokratis. Generasi kedua HAM terkait dengan proses
sebuah Negara membuahkan kebijakan dalam kondisi yang memungkinkan suatu
kehidupan semakin manusiawi. Hak yang termasuk adalah hak atas layanan kesehatan,
hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas jaminan sosial.
3. Generasi ketiga: hak ekonomi social-kultural-kolektif. Generasi ketiga ini
bagian dai pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang
maupun yang akan dating, baik satu komunitas maupun antar komunitas. Yang termasuk
didalamnya adalah hak hak atas perlindungan lingkungan, hak masyarakat adat, hak
ekonomi dan pembangunan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebagainya.
Alhasil, walau dalam rumusan yang supel, secara substantive cakupan dan
komitmen HAM dalam UUD 1945 telah merefleksikan tuntutan perlindungan HAM, dan
mampu mengatasi apa yang kemudian akan tertuang dalam hak-hak asasi dari PBB. Bisa
dipahami jika Moh. Hatta mengatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD paling modern
pada zamannya.
Jelas kemudian bahwa Negara Indonesia adalah Negara kekeluargaan yang
menghormati hak-hak asasi warga Negara dan manusia pada umumnya, sebagai individu
maupun kelompok. Penghormatan Negara kekuasaan Indonesia ini semakin jelas
sosoknya pada konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dari aspek kedalam, komitmen untuk
memuliakan HAM mendapat kerangka pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif.
Dari aspek keluar, komitmen Indonesia pada perdamaian dan keadilan dunia memperoleh
landasan yang lebih kuat. Untuk selanjutnya, komitmen pada kemanusiaan dan HAM
berlanjut pada siding konstituante.

Sementara itu, muncul pula kritikan terhadap UUD tentang HAM yang hanya
menyebut hak, tidak menyebut kewajiban. Hal ini didukung partai nasionalis yang
menyesalkan tidak adanya kewajiban warga Negara. Atas kritikan itu, kemudian pada 9
Desember 1958, panitia persiapan konstitusi berhasil melengkapi keputusan mengenai
rancangan pasal UUD mengenai HAM, hak dan kewajiban warga Negara, yang berisi
ketentuan mengenai 35 hak dan kewajiban. Panitia Persiapan Konstitusi juga telah
berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD
baru. Meskipun demikian, sejarah berbicara lain, dekrit Presiden 5 Juli 1959
mengembalikan ketentuan HAM seperti yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi, perlu
diingat bahwa dengan kembalinya ke UUD 1945 pun, secara substantive tidak
mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusian universal dan
penghormatan HAM

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Peradaban manusia terus mengalami perubahan, mulai dari peradaban yang tertinggal
hingga peradaban menjadi maju seperti sekarang ini, hal ini tentunya membuat manusia
terus berkembang untuk mengikuti peradaban yang ssemakin maju
Di Indonesia sudah banyak terjadi perubahan dalam peradaban dimulai dari datangnya
belanda ke Indonesia hingga peradaban sekarang ini.Di dalam peradaban datangnya
belanda banyak terjadi negosiasi yang saling disetujui oleh kedua belah pihak, begitu
pula dengan peradaban yang terjadi selanjutnya.

B. Saran

Diharapkan pembaca dapat memahami isi makalah penulis ini, dan memperluas
wawasan dari berbagai sumber lain. Karena makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu diharapkan saran yang dapat membangun sehingga
kedepannya kami dapat membuat makalah yang penulisan, tata bahasanya serta kerapihan
pengetikan lebih baik daripada makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Majalah Pro Justitia
No. 2 Tahun IX April 1991

Cassese, Antonio, ‘Hak Menentukan Nasib Sendiri’ dalam ‘Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai
Pilihan’, ELSAM, Jakarta, 2001
della Porta, Donatella dan Keating, Michael (eds) ‘Approaches and Methodologies in the
Social Sciences’, Cambridge University Press, 2008

Eddie Riyadi Terre, 2006. Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak
Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks
Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: ELSAM dan AMAN

Gross, Leo, Essays on international law and organization, Volume 1, Transnational Publishers

Anda mungkin juga menyukai