Anda di halaman 1dari 58

PERENCANAAN KOTA KULTURAL II

DESA NGADAS, KECAMATAN


PONCOKUSUMO

2021

PERENCANAAN KOTA KULTURAL II

PENGARUH AJARAN LELUHUR DAN MITOS PADA


BENTUKAN RUANG BERMUKIM, SUKU TENGGER
DESA NGADAS. KECAMATAN PUNCOKUSUMO, KABUPATEN MALANG

Oleh:
JUNIAR IRIANI LA SINTA
18.24.037

PROGRAM STUDI PERENCANAAN Program


WILAYAH
Studi Perencanaan&Wilayah
KOTA Dan Kota
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN (FTSP)
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 1
Institut Teknologi Nasional Malang
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................3
1.2 Tujuan dan Sasaran.............................................................................................4
1.2.1 Tujuan..........................................................................................................4
1.2.2 Sasaran........................................................................................................4
1.3 Lingkup Studi.....................................................................................................5
a. Lingkup Materi...............................................................................................5
b. Lingkup Area..................................................................................................5
1.4 Sistematika Pembahasan.................................................................................7
BAB II...........................................................................................................................9
Kajian Teori...................................................................................................................9
2.1 Budaya Bermukim..............................................................................................9
2.1.1 Sejarah Dusun Ngadas................................................................................9
2.1.2 Sistem Kekerabatan...................................................................................11
A. Kondisi Kerukunan Beragama di Desa Ngadas............................................11
2.1.3 Asal Usul Suku Tengger...........................................................................13
2.2 Pembentukan Ruang.........................................................................................14
2.2.1 Ruang Bermukim......................................................................................14
2.3 Studi Kasus Pembentukan Ruang.....................................................................15
2.3.1 Mitos..........................................................................................................15
2.3.2 Kepercayaan..............................................................................................16
A. Pengaruh Kepercayaan terhadap Karakter Masyarakat Desa Ngadas adalah
sebagai berikut......................................................................................................16
B. Aspek kepercayaan yang mempengaruhi ruang...........................................17
2.3.3 Adat Istiadat..............................................................................................20
BAB III........................................................................................................................25
Pembentukan Ruang Permukiman Penetapan Variabel..............................................25
3.1 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 1....................25
3.2 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 2....................27

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 2
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

3.3 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 3....................29


BAB IV........................................................................................................................32
ANALISA....................................................................................................................32
4.1 Pola Ruang/Pembentukan Ruang Pada Topik – Lokasi Terpilih.....................32
4.1.1 Analisa Ruang bermukim Berdasarkan Mitos..........................................32
4.1.2 Analisa Ruang yang dipengaruhi oleh Mitos Berdasarkan Kepercayaan
Masyarakat...............................................................................................................33
4.1.3 Kategorisasi Bentukkan Ruang Bermukim Berdasarkan Mitos................34
A. Ruang Sakral.................................................................................................34
4.2 Pola Ruang/Pembentukan Ruang Pada Topik – Pada Studi Kasus..................36
4.3 Perbandingan antara lokasi terpilih dengan studi kasus...............................37
4.4 Telaah Kritis Pembentukan Ruang...............................................................43
BAB V.........................................................................................................................47
PENUTUP...................................................................................................................47
5.1 Kesimpulan.......................................................................................................47
5.2 Saran.................................................................................................................47

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 3
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah budaya kini dipakai dalam mendeskripsikan suatu kegiatan atau hal
yang telah dipakai dalam berbagai jenjang waktu, budaya berjangka waktu dan
diwariskan serta menyebar dan mempengaruhi tingkah laku dan kegiatan sehari-
hari masyarakat. Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya akan
keberagaman sehingga budaya yang dimiliki oleh Indonesia juga cukup
bervariasi. Budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya
merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekelompok orang
dan diturunkan pada generasi berikutnya.
Budaya juga hadir pada kepercayaan bermukim suatu masyarakat yang biasa
dikenal dengan Budaya bermukim. Budaya bermukim yang dianut masyarakat di
suatu tempat merupakan bagian dari budaya masyarakat keseluruhan seperti
halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat tradisional memiliki tata cara turun
temurun yang diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti halnya sebuah
nama yang melekat pada diri seseorang.
Budaya bersifat unik, sehingga antar satu tempat dengan tempat lainnya bisa
sangat berbeda maknanya. Sedangkan manusia akan mengekspresikan dirinya
pada lingkungan tempat tinggalnya akan diwujudkan dalam berbagai simbolisme
sesuai dengan budaya mereka. Bagaimana manusia memilih tempat tertentu dan
menggunakan berbagai kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berkomunikasi
pada dasarnya merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat
dalam kaitan dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan
juga merupakan perwujudan budaya mereka. Masyarakat Sasak di Pulau Lombok
dikenal sebagai masyarakat agamis sekaligus memegang adat yang yang cukup
teguh. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak umumnya hidup
berkelompok berdasarkan ikatan keluarga baik sebagai keluarga inti maupun
keluarga majemuk. Berbagai peristiwa budaya baik terkait dengan daur hidup dan

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 4
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

berbagai acara adat berkaitan dengan acara keagamaan dilaksanakan masyarakat


Sasak akan selalu terkait dengan penggunaan ruang tertentu. Tatanan ruang
permukiman masyarakat Sasak nampak dipengaruhi oleh kepercayaan mereka,
diantaranya adalah pada penentuan arah atap bangunan yang berorientasi ke
Gunung Rinjani, sehingga bangunan dalam satu rumpun keluarga dibuat berjajar
searah. Dari contoh ini bisa dikatakan budaya dapat membentuk sebuah aturan
permukiman “Pembentukkan Permukiman oleh budaya”
Pada kenyataannya Konsep ruang hunian menurut tradisi Jawa berbeda
dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Dijawa sendiri, Tidak ada sinonim
kata ruang dalam bahasa Jawa. yang mendekati adalah Nggon, kata kerjanya
menjadi manggon dan panggonan berarti tempat atau place (Kartono, 2005).
Akibatnya, terjadi pemahaman yang berbeda terhadap tampilan ruang-ruang ideal
(termasuk rumah) pada masyarakat Jawa. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa perbedaan ideologi atau konsep ideal inilah yang membuat metode
penciptaan ruang ideal berbeda di Barat dan Timur, yaitu aspek fungsional yang
bertentangan dengan filsafat. Dalam perkembangan zaman modern, banyak orang
Timur (termasuk orang Indonesia dan Jawa/suku) yang giat menciptakan ruang-
ruang dengan konsep Barat, namun nyatanya masih ada sebagian orang yang
mempertahankan warisan masa lalu dengan berbagai cara, media, Harapannya
warisan ini akan lestari.
Terkadang untuk mempertahankan tradisi turun temurun ada beberapa
kelompok masyarakat yang masih hidup dengan mempertahankan ciri khas dari
leluhur. Diantara sekian banyaknya permukiman tradisional yang ada di
Indonesia, salah satunya Permukiman di Desa Ngadas.
Desa Ngadas Merupakan desa yang berada di dalam (enclave) Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Secara administratif berada di
Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Uniknya,
penduduk Desa Ngadas didominasi oleh Suku Tengger (Agustapraja, 2017;
Batoro, Setiadi, Chikmawati dan Purwanto, 2011; BBTNBTS, 2013). Desa
Ngadas membentang di lereng Gunung Semeru pada ketinggian 1200-2500 meter

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 5
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

(Agustapraja, 2017; Anggiana & Bergas, 2014; Budiyanti, 2015; Endarwati,


2013). Penduduk Desa Ngadas merupakan petani ladang yang tangguh dan
memiliki pola bermukim yang mengelompok di bukit-bukit (supanto,2016;
sutarto 2006) Masyarakat suku Ngadas sangat memiliki ketergantungan yang kuat
akan lahan pertanian sehingga lahan pertanian memiliki citra yang kuat dalam
kehidupan masyarakat Ngadas.
Masyarakat Ngadas lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di ladang
daripada didalam rumah mereka. Diketahui setiap keluarga memiliki satu gubuk
atau rumah ladang di sekitar ladang tempat merka bercocok tanam. Desa Ngadas
merupakan Desa yang kental adat istiadatnya, masyarakatnya masih menjalankan
ritual adat setiap tahunnya mengikuti ajaran leluhur kemudian nilai-nilai leluhur
juga masih dipertahankan oleh masyarakatnya termasuk juga nilai kekerabatan,
nilai sosial dan lain sebagainya sehingga itu mempengaruhi pola permukiman
Suku Tengger, Desa Ngadas yang dimana akan dibahas dalam Paper ini yaitu
“Pengaruh Ajaran Leluhur dan Mitos Pada Bentukan Ruang Bermukim,
Suku Tengger, Desa Ngadas. Kecamatan Puncokusumo, Kabupaten
Malang”
1.2 Tujuan dan Sasaran
1.2.1 Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini ialah untuk mengkaji pola
permukiman Suku Tengger yang ada di Desa Ngadas, Kec. Puncukosumo,
Kab. Malang. Dimana, Pola permukiman tersebut dipengaruhi oleh banyak
hal yang bersifat kultural yaitu diantaranya Sistem kekerabatan, system
kepercayaan, adat istiadat hingga Mitos yang mempengaruhi budaya
bermukim Desa Ngadas dan Pola Hidup masyarakatnya yang dimana bahasan
ini tentunya sangat sesuai dengan studi kami Perencanaan Kota Kultural II.
1.2.2 Sasaran
Sasaran dari penulisan Paper ini tertera dalam poin-poin berikut ini:
1. Memberikan kajian terkait Sejarah terbentuknya Desa Ngadas
2. Mengidentifikasi Pola bermukim Suku Tengger di Desa Ngadas

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 6
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

3. Mengidentifikasi budaya bermukim masyarakat Desa Ngadas


4. Mengidentifikasi sistem kekerabatan, sistem adat istiadat, Mitos dan
Kepercayaan mempengaruhi Tatanan Permukiman Desa Ngadas

1.3 Lingkup Studi


a. Lingkup Materi
Materi Pembahasan dari paper ini akan memusat pada kultural yang
dimiliki oleh Masayarakat Suku Tengger, Desa Ngadas. Kecamatan
Puncokusumo. Yaitu diantaranya akan dikaji mengenai Sejarah
Perkembangan Terciptanya Kampung adat ini yang dimana melalui informasi,
penciptaan kampung adat ini sangat erat kaitannya dengan Adat istiadat
leluhur yang masih dipertahankan sampai sekarang kemuadian juga akan
dilihat system kekerabatan antar masyarakat yang cukup beragam Agama
serta keyakinannya yang mampu menciptakan kerukunan kemudian juga
Budaya bermukim Masyarakat Tengger yang dikenal Mengelompok
mengikuti Lokasi Ladang serta keterkaitan Mitos dengan bentukan ruang
bermukim Desa Ngadas.
b. Lingkup Area
Lokasi Studi Kasus dalam paper ini yaitu di Desa Ngadas, Kecamatan
Puncokusumo, Kab. Malang

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 7
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Gambar 1. 1 Peta Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo


Kabupaten Malang

Gambar 1. 2 Tampilan Suasana Desa


Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kab. Malang
(Sumber: DesaNgadas_Official Instagram)

Gambar 1. 3 Permukiman Suku Tengger


Desa Ngadas, Poncokusumo. Kab. Malang
(Sumber: Javanologi.com)

Terlihat ketinggian desa Ngadas dari daratan sedang yaitu sekitar 2300m di
atas permukaan laut. Desa Ngadas terletak di Kecamatan Poncokusumo,
Kabupaten Malang, berbatasan dengan Desa Tetangga yang meliputi:
 Sebelah Utara : Desa Moro Rejo Kecamatan Tosari Pasuruan
 Sebelah Barat : Desa Gubugklakah Kecamatan Poncokusumo Malang
 Sebelah Selatan : Desa Ranu Pani Kecamatan Senduro Lumajang
 Sebelah Timur : Desa Ngadisari Kecamatan Suka Pura Probolinggo
Menurut data Badan Pengelola Desa Ngadas, Desa Ngadas memiliki luas
sekitar 395 hektar, dan luas lahan terbagi dalam beberapa Peruntukkan. Seperti
fasilitas umum, pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, kegiatan
ekonomi, dll.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 8
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

 Luas tanah yang disediakan untuk pemukiman sekitar 14 hektar


 Luas lahan yang digunakan untuk pertanian sekitar 381 hektar.
 Luas tanah di sekitarnya dan perkebunan-Ha.
 Areal lahan hutan produksi dekat Ha.
 Luas lahan untuk fasilitas umum adalah sebagai berikut: 0,800 Ha untuk
perkantoran, 0,1000 Ha untuk sekolah, olah raga-hektar, dan 1,490 m2
untuk pemakaman umum.
Secara umum wilayah Desa Ngadas memiliki karakteristik geologi berupa
tanah hitam yang sangat cocok untuk pertanian dan lahan tanam. Persentase
kesuburan tanah di desa Ngadas dipetakan sebesar 381 Ha lahan sangat subur.
Dengan cara ini, semua jenis sayuran, kubis, kentang dan brambang cocok
dibudidayakan di Desa Ngadas.
1.4 Sistematika Pembahasan
Sistematika Pembahasan Paper ini akan disistematika menjadi 5 BAB yang
saling berkaitan satu sama lain. Sebelum memasuki BAB 1 akan didahului
dengan: Halaman sampul, Halaman judul, Halaman kata pengantar, Halaman
daftar isi, Halaman daftar tabel, Halaman daftar gambar dan abstrak
BAB I PENDAHULUAN
Pada Pendahuluan Berisi Latar Belakang dari masalah yang di ambil, Tujuan
dan Sasaran dalam penulisan paper ini, dan lingkup studi kasus yang terdiri dari
lingkup materi dan lingkup area/ lokasi studi dan Sistematika Pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI
Pada Kajian Teori akan berisi tentang Konsep Teori yang dibahas terkait
dengan kasus studi “Pengaruh Ajaran Leluhur dan Mitos Pada Bentukan Ruang
Bermukim, Suku Tengger, Desa Ngadas. Kecamatan Puncokusumo, Kabupaten
Malang” yang disesuaikan dengan naskah asli dari referensi rujukan.
BAB III PEMBENTUKAN RUANG PERMUKIMAN
Bab Pembentukan Ruang Permukiman merupakan isi Kajian dari Beberapa
Jurnal/ Makalah Penelitian dengan 3 jenis judul/studi kasus berbeda yang
dianggap serupa dengan kasus studi terkait Pola Permukiman Adat yang

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 9
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

berdasarkan Proses Membaca diketahui memiliki kesamaan bahasan dengan


Kasus Studi Desa Ngadas Suku Tengger.
BAB IV ANALISA
Pada bab analisa berisi Pola ruang/ Pembentuakan ruang pada topik lokasi
terpilih memuat resume dari Topik Jurnal kasus studi yang lokasi terpilih,
kemudian berisi Pola ruang/ Pembentukan ruang yang memuat Perbandingan
Resume dari naskah asli Jurnal yang dikaji, kemudian akan dibandingakan
melalui pembahasan Yaitu bahasan yang membandingkan antara kasus di lokasi
terpilih dan kasus studi pada jurnal/ Makalah penelitian yang diambil.
BAB V PENUTUP
Berisi Kesimpulan dan Saran atau rekomendasi yaitu bagian akhir dari
permasalahan kasus, dimana didapatkan dari pengkajian dari BAB 1 samapai
BAB IV. Kemudian pada bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran-
lampiran terkait.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 10
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

BAB II

Kajian Teori
2.1 Budaya Bermukim
Dalam buku "Theories of Culture," Annual Review of Anthropology (1974).
Yang diterjemahankan oleh Amri Marzali didapatkan kesimpulan konsep budaya
yang telah disepakati oleh beberapa "cultural adaptionist" yaitu Budaya adalah
sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja
menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam
"cara-hidup-komuniti" ini termasuk teknologi dan bentuk organisasi ekonomi,
pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik,
kepercayaan dan praktek keagamaan, dan seterusnya.
Budaya bermukim yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan bagian
dari budaya masyarakat keseluruhan seperti halnya adat istiadat. Kelompok
masyarakat tradisional memiliki tata cara turun temurun yang diwarisi sebagai
bagian yang tak terlepaskan seperti halnya sebuah nama yang melekat pada diri
seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya, sehingga pola-pola perilaku
masyarakatnya berbeda-beda.
Rapoport dalam Wikantiyoso (1997:26), mengemukakan bahwa Permukiman
tradisional diyakini sebagai perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat,
dan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai sosial budaya warganya yang berpijak
pada norma adat dalam proses penyusunannya. Kemudian Pola pemukiman dapat
dianggap sebagai ekspresi dari konsepsi manusia mengenai ruang serta
merupakan hasil dari upaya manusia untuk mengubah dan memanfaatkan
lingkungan fisiknya berdasarkan atas pandangan-pandangan dan pengetahuan
yang dimilikinya mengenai lingkungan tersebut (Ahimsa-Putra, 1995: 14). Bagi
Rouse (1972: 96) pola permukiman adalah kajian tentang cara-cara distribusi
aktivitas-aktivitas budaya manusia dan pranata-pranata sosialnya keseluruh

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 11
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

kawasan. Pola semacam itu, dapat mencerminkan sistem budaya, sistem sosial,
atau sistem ekologi, bahkan juga merupakan cerminan kaitan-kaitan antara ketiga
sistem tersebut.
Dalam budaya bermukim masyarakat ngadas beberapa yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut.
2.1.1 Sejarah Dusun Ngadas
Penyebaran komunitas Tengger ke empat arah mata angin yang
mengelilingi Gunung Bromo seolah menyimpan misteri mistik. Semacam konsep
kearifan kejawen yang berbunyi, Suku Tengger seolah mengidentifikasi diri
sebagai kiblat papat dan gunung Bromo sebagai pancer-nya. Artinya, keseluruhan
aktivitas ritual suku Tengger terpusat di Gunung Bromo.

Gambar 2. 1 Lokasi Terpilih, Desa Ngadas

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 12
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Gambar 2. 2 Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Kab. Malang

Desa Ngadas yang terletak di ujung timur Kabupaten Malang yang


terpisah dengan desa lain membuat desa ini sangat orisinil dalam manjalankan
adat dan budaya Tengger, baik adat desa maupun spiritualitas. Mereka tetap
memegang teguh budaya yang diwariskan nenek moyangnya, ditunjukkan
dengan menghormati para leluhur yang babat alas (buka lahan) untuk
menghidupi keluarganya. Mereka tetap meyakini leluhur akan menciptakan
kedamaian di desa.
Masyarakat Ngadas masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan
leluhurnya sejak tahun 1737. Desa Ngadas mempunyai berbagai macam
keunikan budaya dan adat-istiadat. Di antaranya, berbagai macam upacara adat
dan kebudayaan masih utuh yang terus diagungkan.
Keyakinan mereka dengan menggelar upacara adat akan memberikan
keselamatan desa dari bahaya. Pada awalnya Desa Ngadas merupakan hutan
lebat. Seseorang yang bernama Mbah Sadek membabat hutan dan bermukim di
daerah tersebut sebagai orang pertama. Kemudian, Mbah Sadek meninggal tahun
1831. Pada makam Mbah Sadek hingga kini masih tetap terjaga, bahkan di

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 13
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

makam yang disakralkan masyarakat tersebut sering digunakan berbagai upacara


adat, terutama saat melakukan ritual bersih desa.
2.1.2 Sistem Kekerabatan
A. Kondisi Kerukunan Beragama di Desa Ngadas

Gambar 2. 3 Masyarakat Desa Ngadas yang saling membantu


Sumber: Profil Desa Ngadas
Sistem kekerabatan masyarakat Dusun Ngadas sangat erat. Meskipun
terdapat tiga agama yaitu Hindu, Budha, dan Islam, namun mereka hidup
berdampingan secara rukun dan saling menghormati. Jika menyangkut tradisi
masyarakat Tengger, mereka akan bersatu mengikuti adat yang berlaku yaitu
sebagai masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan
rajin bekerja. Mereka hidup sederhana, tenteram, dan damai. Nyaris tanpa
adanya keonaran, kekacauan, pertengkaran maupun pencurian. Suka bergotong
royong dengan didukung oleh sikap toleransi yang tinggi, disertai sesuatu yang
khas, karena senantiasa mengenakan “kain sarung” kemanapun mereka pergi.
Tidak terbatas laki-laki, namun wanita pun juga, yang dewasa maupun anak-
anak, semua berkain sarung.
Kerukunan beragama masyaarakat Desa Ngadas Terwujud dalam Praktik
kesharian di dalam masayarakat. Terlebih spasial maupun pola permukiman di
desa ngadas tidak ada pembagian secara khusus. semua umat beragama
membaur antra umat agama satu dengan umat agama lainnya. Hal ini
menandaan tidak ada persoalan dalam perbedaan agama, dan rasa kebersamaan
sebagi warga Tengger sangat kuat mendukung terwujudnya kerukunan ini.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 14
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Praktik saling menghormati ditunjukkan dengan kesediaan untuk memenuhi


undangan dari orang lain. Dalam tradisi Desa Ngadas, undangan ini disebut
sayan, apabila seseorang mendapatkan undangan untuk menghadiri hajatan
warga yang lain maka ia harus hadir. Tradisi membagi makanan juga biasa
dilakukan, terutama pada saat hari raya. Pola pemukiman yang membaur
menjadikan tetangga kanan-kiri tanpa membedakan agama akan mendapatkan
ater-ater atau bingkisan makanan. Pada hari raya Karo, terdapat tradisi genten
cecelukan, yaitu tradisi saling mengundang makan tetangga. Bagi yang diundang
untuk makan harus datang, dan sebaliknya di kesempatan lain harus
mengundang orang yang telah mengundang tersebut.
Praktik kerjasama dalam urusan kemasyarakatan maupun pribadi juga hal
yang umum dilakukan oleh warga Desa Ngadas. Dalam kegiatan umum kegiatan
seperti gotong-royong dan kerja bakti dilakukan bersama-sama oleh warga tanpa
membeda-bedakan agama, seperti berbaikan jalan, dan juga pembangunan
sarana umum jalan dan sekolahan. Bahkan dalam pembangunan rumah ibadah di
Desa Ngadas, semua warga turut berpartisipasi, misalnya dalam pembangunan
masjid di Dusun Ngadas yang turut bergotong royong tidak hanya umat Islam
saja, tetapi umat Buddha dan Hindu pun turut membantu. Sebaliknya pula, pada
saat pembangunan Wihara dan Pura, umat Islam pun turut membantu dalam
proses pembangunannya.
Demikian juga dalam pelaksanaan kegiatan tradisi, seperti perayaan Karo
dan perayaan lainnya, semua warga masyarakat terlibat dalam persiapannya
maupun prosesinya. Tradisi perayaan Tengger yang ada di Desa Ngadas diikuti
oleh semua umat beragama yang ada. Hal ini karena tradisi tersebut merupakan
budaya Tengger yang bagi warga Desa Ngadas harus dipelihara, dan menjadi
ikatan penguat sesame warga Tengger di Desa Ngadas. Berbagai tradisi yang
dilaksanakan oleh warga Desa Ngadas merupakan sarana pertemuan antarwarga
sehingga mampu menjadi daya rekat atau kohesi sosial dalam masyarakat.
Ternyata masih terlihat perbedaan pola bermukim berdasarkan agama
tertentu di Dusun Ngadas. Masyarakat muslim Tengger di Dusun Ngadas

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 15
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

dominasi tinggal di bagian desa yang memiliki kelerengan lebih rendah


dibandingkan masyarakat yang beragama Hindu dan Budha. Hal tersebut juga
dipengaruhi oleh sejarah masuknya agama-agama ke Dusun Ngadas.
Masyarakat Tengger masih percaya dengan dengan roh halus, benda-benda
gaib, tempat-tempat keramat serta berbagai mitos. Dalam kehidupan social
masyarakat Tengger di Dusun Ngadas tidak terdapat pembagian kelas social
secara khusus.
Secara tradisi, masyarakat Tengger di pimpin oleh seorang dukun. Seorang
kepala dukun biasanya berasal dari kalangan berkemampuan finansial cukup
baik. Dalam struktur sosial masyarakat Tengger, posisi dukun, lebih-lebih
kepala dukun, menduduki posisi teratas. Dalam urusan spiritual (yang juga
berdimensi sosial), ia berada di atas kepala desa, bahkan di atas kepala daerah
(bupati), karena ia bagai seorang begawan atau guru, atau suhu. Karena itulah,
jabatan kepala dukun merupakan jabatan yang sangat strategis dalam struktur
sosial masyarakat Tengger.
2.1.3 Asal Usul Suku Tengger
Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku
Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari
Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger
diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro
Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger
yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden
Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli
orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat
masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara
Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah
Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian
melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan
Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 16
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama


pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.
Suku Tengger di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki keunikan tentang
mitos yang berbeda dengan suku lainnya. Menurut pitutur sesepuh Desa, Desa
Ngadas terbentuk sekitar tahun 1794, penduduknya berasal dari pelarian warga
Majapahit, karena desakan dari kerajaan dan penganut agama baru yaitu Islam.
Mereka yang masih ingin mempertahankan kepercayaannya menyingkir ke
pegunungan Tengger.
Pada awalnya mereka hanya menempati bagian lereng tengah pada
ketinggian 600-1200 meter dpl. Seiring dengan berjalannya waktu, pada
pertengahan abad XVII program tanam paksa yang dilakukan Belanda
menjadikan seluruh Kawasan Lereng Tengan dijadikan sebagai perkebunan kopi
yang merupakan komoditas unggulan yang diharapkan dari program tanam
paksa. Penganut kuat dari program tanam paksa mengakibatkan sebagian
masyarakat yang tinggal di wilayah lereng tengan melakukan migrasi menempati
daerah-daerah di bagian lereng atas pada ketinggian 1200-2500 meter dpl. Hal ini
dilakukan untuk menghindari pengaruh-pengaruh dari luar komunitas dan untuk
mempertahankan tradisi yang dibawa masyarakat sejak zaman Majapahit
(Hafner,1999)
2.2 Pembentukan Ruang
Tempat bermukim atau tempat hidup manusia merupakan suatu wadah untuk
mengekspresikan eksistensi dirinya (Norberg-Schulz, 1971). Dari pendapat
tersebut bisa dikatakan bahwa suatu ruang terbentuk sesuai dengan masyarakat
yang mendiami ruang tersebut. Penciptaan ruang dalam hal ini adalah usaha untuk
secara lebih akurat mengakomodasi norma dan nilai manusia, baik sebagai
individu maupun anggota kelompok tersebut dalam ruang ber-makna (‘tempat’
atau place). Dengan demikian ‘tempat’ atau place dalam konteks penataan ru-ang
merupakan suatu ruang di mana seseorang memiliki keterikatan emosional
spiritual dan kultural material (Relph, 1976). Di samping itu, juga ruang tempat

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 17
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

manusia mewujudkan eksis-tensinya sesuai dengan konteks kultural setem-pat


(Norberg-Schulz, 1971).
Ruang bemukim merupakan wadah yang tidak lepas dari aktivitas kehidupan
masyarakat, baik manusia yang berkelompok maupun berkelompok dan saling
berinteraksi, semuanya merupakan bagian dari wadah manusia. Ruang adalah
bidang yang dibatasi oleh dinding dan atap (terdiri dari elemen permanen atau
non permanen) Ruang yang dapat dimanipulasi diartikan sebagai dapat
menampung ruang-waktu / dimensi atau permanen / dimensi kegiatan masyarakat
atau semua tempat yang dihasilkan olehnya. (Robinson, 2004). Meskipun sistem
ruang secara operasional diartikan sebagai perwujudan ruang berbasis waktu
(ruang permanen dan sementara), namun didasarkan pada fungsi dan perannya
(inti budaya dan ruang budaya sekunder), serta berdasarkan ruang tradisionalnya,
yaitu ruang primitif / tradisional. Ruang semi tradisional / campuran dan ruang
non-tradisional / non-tradisional. Unsur-unsur tradisional (Samadhi T. Nirarta,
2004)
2.3 Studi Kasus Pembentukan Ruang
Mitos adalah peristiwa di suatu daerah di masa lalu yang bersifat misterius
atau rahasia, dan diyakini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, yang
berujung pada penegakan aturan dan ritual di suatu daerah tertentu. Hingga saat
ini, sebagian masyarakat masih dipengaruhi konsep ruang hidup atas dasar nilai
mistik. Namun, mitos ini dapat berubah seiring dengan perubahan nilai-nilai yang
dianut masyarakat. Dalam studi kasus ini saya jadikan sebagai acuan, karena
penelitian ini juga melakukan studi kasus pada warga Suku Tengger di Desa
Ngadas, Kabupaten Malang. Masyarakat desa Ngadas masih memegang teguh
kepercayaan asli (Budho Tengger) yang meyakini bahwa tanah di sekitarnya
sacral, Sehingga mempengaruhi masyarakat untuk melindunginya dengan tidak
menebang pohon untuk melindungi lingkungan sekitarnya, karena diyakini akan
berakibat fatal bagi yang melakukannya

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 18
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Dalam Jurnal penelitian ini disebutkan bahwa ada beberapa hal yang
mempengaruhi ruang bermukim masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas,
Kabupaten Malang, yang di uraikan sebagai berikut:
2.3.1 Mitos
Mitos merupakan adalah suatu system komunikasi yang memberikan
pesan yang berkenaan dengan aturan-aturan masa lalu, ide, ingatan dan
kenangan atau keputusan-keputusan yang diyakini (Barthes, 1981:193)
Mitos merupakan jenis cerita masyarakat yang mengisahkan tentang
manusia atau mahkluk dan peristiwa luar biasa yang di luar logika manusia.
Mitos terbagi kedlam dua jenis yaitu mitos pembukaan sesuatu tempat dan
mitos asal usul. Misalnya mitos penciptaan suatu negeri dan mitos Tokoh
masyarakat, Misalnya Raja- Raja. Cerita-cerita mitos biasanya tidak dapat
dikesan pengarangnya, dan ia diwarisi dari generasi ke generasi, secara lisan
atau tulisan (Hasihim Awang, 1986, Hal, 61)
Cerita mistik ini rupanya berpengaruh pada Karakter masyarakat di Desa
Ngadas saat ini. Yaitu sebagai berikut
- Masyarakat percaya bahwa kesuburan tanah disekitarnya adalah
karena tanahnya suci, ini dapat dilihat dari masih mayoritas mata
pencaharian utama di Desa Ngadas adalah di sector pertanian
- Peranan tokoh Rara Anteng dan Joko Seger sangat melekat di hati
masyarakat Tengger sehingga dianggap sebagai cikal bakal
masyarakat. Karena hal ini masyarakat Tengger merasa sauadara
walaupun sudah berlainan desa, karena merasa satu kekerabatan
- Peranan tokoh Adat yaitu Mbah Dukun untuk menyampaikan cerita
mistik tentang kawasan Tengger terhadapmasyarakat di Desa Ngadas
ini secara turun temurun agar adat istiadat asli dan kepercayaan asli
dapat terus dipertahankan
- Cerita mistik tentang Kawasan Tengger saat ini masih diyakini oleh
masyarakat di Desa Ngadas. Ini dapat dilihat dengan mayoritasnya
agama yang dianut masih agama Budho Tengger.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 19
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

2.3.2 Kepercayaan
A. Pengaruh Kepercayaan terhadap Karakter Masyarakat Desa Ngadas
adalah sebagai berikut
- Tanah tempat merek hidup dan mecari makan adalah suci, mereka
percaya tanah merupakan trandensi dari tangan Bopo Kuoso dan Ibu
Pertiwi yang diyakini sebagai wujud penciptaan, dan juga
pedanhyangan dapat menolong hasil panen mereka, Begitu juga
dengan bertenak yang dimana masyarakt percaya adanya roh-roh halus
yang dapat membawa bencana bagi hewan ternak.
- Hubungan sosial terjalin didasari pada aturan –aturan menurut
kepercayaan asli Suku Tengger di Desa Ngadas.
- Peranan Toko Adat yaitu Mbah Dukun yang menjadi pemimpin
masyarakat ini diyakini bahwa doa-doa yang dipanjatkan mbah dukun
yang akan dikabulkan dan semua matra dari mbah dukun merupakan
doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dana lam semesta.
- Kepercayaan masayarakat Suku Tenger esa Ngadas menganut tiga
agama yaitu:
 Budho Tengger/ kepercayaan asli dari seluruh masyarakat suku
Tengger yang ada disekitasr pegunungan semeru dan Bromo
yang berorientasi pada empat unsur dan empat kiblat arah mata
angina dalm setiap ujon dan persembahan yang dilakukan yang
dipengaruhi oleh mitos,
 Hindu, Keyakinan Hidu ini tidak seperti yang ada di Bali
namun lebih cenderng pada budha Tengger dalam hal ritual
 Islam, telah menjadi kepercayaan yang dianut oelh sebagian
besar Dusun Jara IJo dan dipengaruhi oelh Cerita mitos egenda
Ajisaka yang mempengarui orientasi pada penguburan mayat
umat muslim di Desa Ngadas.
B. Aspek kepercayaan yang mempengaruhi ruang

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 20
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Kosmologi jawa dapat dimaknai sebagai konsep-konsep yang dimiliki


manusia Jawa mengenai mitos, norma, dan pandangan hidup, termasuk
eksistensi terhadap jagad alit dan jagad gede yang mempengaruhi segala sisi
kehidupan (Pitana, 2007). Masyarakat Desa Ngadas sangat konsisten dalam
mengedepankan kepercayaan terhadap kosmologi jawa ini sehingga
merekapun mengenal mitos, norma dan pandangan hidup spesifik yang
sanagat dipengaruhi oleh aspek kejawaan/ ‘kejawen’ nya. Satu hal yang
diketahui dari kepercayaan masayrakat desa Ngadas yaitu animism atau ada
yang menyebutnya sebagai ajaran Agama Jawa.
Asalnya kepercayaan animisme adalah dari zaman prasejarah dan bagian
kepercayan ini masih bertahan sampai sekarang. Penganut animisme adalah
orang yang percaya bahwa tempat-tempat atau obyek punya kekuatan
tersendiri, misalnya orang yang percaya dengan mahluk halus, roh leluhur dan
hantu yang mendiami macam-macam tempat. Dalam Kasus di Ngadas
masayarkatnya juga mengenal, menghormati dan mempercayai berbagai
makhluk halus dan roh leluhur yang mendiami berbagai tempat, seperti
Kuburan/Makam. Ppesarean. Sungai, sumber air dan mata air (tuk atau
mbelik) Pohon besar, dan lain lainnya. Seringkali tempat-tempat ini menjadi
lokasi yang dihormati, dan sering disebut kramat atau punden. Selain terhadap
makhluk halus (baik yang dianggap jahat maupun baik), bentuk penghormatan
ini dilakukan kepada arwah tokoh pendiri desa, atau yang mbabat alas.
Lingkungan geografis Pulau Jawa, termasuk Kabupaten Malang memang
cocok dengan lambang agama Hindu. Dalam agama Hindu ada kepercayaan
tentang Gunung Semeru, tempat yang dianggap sebagai rumah para Dewa-
Dewa Hindu dan sebagai penghubung antara bumi (manusia) dan Kayangan.
Kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak
Gunung Semeru. Hingga saat ini masyarakat percaya terhadap gunung serta
menganggap gunung sebagai tempat bersemayamnya Dewa-Dewa atau
mahluk halus. Selanjutnya daerah bergunung-gunung masih dipakai oleh

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 21
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

manusia Jawa sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib. Konteks
ini secara nyata terekam di Ngadas.
Masyarakat Desa Ngadas mengaplikasikan kepercayaan yang dipunyai
dalam daur hidupnya, mulai dari lahir, sampai meninggal. Kondisi ini
membuat ruang yang tercipta di sekelilingnya sangat dipengaruhi, sehingga
membentuk pola permukiman yang berbasiskan kepercayaan. Salah satu
contoh nyata adalah dalam memperingati hari kelahiran, masyarakat Ngadas
akan meletakkan sesaji di beberapa tempat di dalam rumah, salah satunya
diletakkan di depan tungku. Aturan Aturan lain yang ada tentang tungku
adalah kayu yang dipakai untuk membakar tidak boleh menghadap ke arah
Barat.
Dalam kepercayaan masyarakat Ngadas, anggota keluarga maupun
siapapun tidak diperbolehkan untuk melewati depan tungku, selain itu arah
kayu yang digunakan sebagai bahan bakar tungku tidak boleh menghadap ke
arah Barat (menghadap aliran air) karena dipercaya akan mempengaruhi
sumber mata air yang melewati permukiman Ngadas. Tabel 2.1
memperlihatkan sebaran masyarakat dan sesaji yang terjadi pada berbagai
upacara adat/ kepercayaan di Ngadas.
Tabel 2. 1 Matrik Lokasi Kunjungan Sesaji dan Mayarakat

Sumber: Hasil Observasi, Sari (2013)

a. Pola permukiman

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 22
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Aturan yang berkembang dalam sistem peletakan rumah di Ngadas adalah


bahwa rumah orang tua harus berada di depan atau paling kanan, lalu diikuti
dengan anak paling tua dan seterusnya. Alternatif pola yang lain adalah rumah
orang tua di depan dan diikuti dengan rumah anak memanjang ke belakang,
sehingga pola permukiman yang terjadi adalah menyebar ke arah kanan dan
kiri serta ke belakang mengikuti jalur jalan utama.

Gambar 2. 4 Pola Peletakkan dan Penempatan ruang untuk pendirian rumah di Ngadas
Sumber: Hasil Observasi, Sari (2013)
Pada kasus di Ngadas, tanpa disadari masyarakat telah membentuk
sebuah kelompok masyarakat yang membatasi kegiatan-kegiatan mereka
dengan ruang-ruang keramat yang ada. Hal ini dilihat dari pembatasan
kegiatan di sekitar tempat-tempat keramat, sehingga bisa disimpulkan bahwa
masyarakat Ngadas bila dilihat dari kultur masyarakatnya, cenderung hidup
secara mengelompok.
Tidak ada permukiman di sebelah Utara Danyang dikarenakan
Danyang dan kawasan sekitar Danyang merupakan tempat keramat atau tidak
boleh digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat manusiawi selain itu
juga karena terdapat aliran sumber air Banyu Wedok. Berdasarkan hal ini
lokasi tersebut tidak diperbolehkan untuk kegiatan apapun, karena takut
merusak kualitas air Banyu Wedok (cadangan air jika sumber air dari lereng
Gunung Semeru tercemar). Ngadas juga diapit oleh 2 (dua) buah aliran
sumber air, yaitu aliran sumber air lereng Gunung Semeru yang terletak di
Sebelah Selatan dan aliran sumber air Banyu Wedok yang terletak di sebelah
Utara.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 23
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

2.3.3 Adat Istiadat


Adat istiaat adalah bagian yang ideal dari budaya. Adat istiadat adalah
dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang bertingkah laku dalam
masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu memerlukan usaha untuk
memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam pengertianini berfungsi
sebagai dasr pembangun hukum adat positif yang lain. Adat istiadat yang lebi
nyata yang menjadi kebutuhan masayarakata dalam kehidupan sehari-hari
(Mohammad Daud Ali, 199:196) istilah adat istiadat seringkali diganti dengan
adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata
adat istiadat biasanyaaktivitas selalu berulang dalam jangka waktu tertentu.
Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam proses
terwujudnya hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi yang
diberikan oleh van den berg yang dengan teori reception in complex menurut
pandangan adat istiadat suatu tradisi dan kebiasaan nenek moyang kita juga
sebagai keanekaragaman budaya. Istilah adat istiadat seringkali diganti
dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama.
Ada beberpa aturan yang masih dilakukan oleh masyaraat di Desa Ngadas
dalam mata pencaharian bertani dan beternak, yaitu sebagai berikut:
- Setiap kegiatan awal menanam tanaman selalu melakukan selamatan
pada lading/ kebun dengan bentuk doa (mantra) dan sesajen yang
diletakkan pada lading/ kebun, Punden, Dahnyang dan Makam Mbah
Sedek
- Menggunakan peralatan bertani tradisional seperti cangkul, arit dan
kapak dalam mengolah tanah dan menanam juga dalam pemeliharaan.
- Mengunaan pupuk kandang dari ternak peliharaan dan pupuk yang ada
dihutan
- Setiap akan panen harus melakukan selamatan seperti awal panen
- Setiap melakukan ritual dan hajatan wajib memberikan sesajen pada
lading/kebun

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 24
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

- Dalm pemeliharaan ternak masyarakat seku tengger megikuti aturan


yaitu dengan memperlakukan ternaknya dengan baik
- Harus permisi dulu dengan membaca mantera ketika akan membunuh
hewan ternak
- Dalam pemeliharaan ternak tidak boleh membangun kandang ternak
menjadi satu dengan rumah
- Aturan menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan
penghormatan kepada hewan dan juga menaruh sesajen di Kandang
ternak setiap malam senin dan malam kamis
- Adanya aturan bagi masyarakat untuk wajib menjaga “walima yang
salah satunya adalah Wassi (Cukup ilmu pengetahuan)
- Adanya aturan keharmonisan dan kelestarian dan dalam kehidpan
sehari-hari mereka juga berpegang kepada pralima yang mereka sebut
sebagai “kawruh buda” dan Catur Paramitha” yang mempengaruhi
hubungan sosial masyarakat.
- Peranan mbah dukun dalam aturan adat adalah sebagai tokoh yang
wajib melestarikan aturan-aturan ini secara turun temurun
Adapun atura-aturan yang berhubungan dengana kepercayaan yang
dilakukan masyarakat adalah:
- Adanya aturan adat untuk wajib melakukan upacra ritual Pujan/
selamatan yang ada didesa Ngadas
- Adanya aturan untuk tida melakukan upacara ritual diwaktu yag salah,
misalnya di dahulukan sebelum waktunya
- Adanya aturan untuk setiap masayarakat yang mau melakukan hajatan
harus memebrikan sesajen pada beberapa tempat yang dianggap sakal
dan keramat
- Tidak boleh membangun rumah pada posisi melawan arah sunduk
pada pertigaan dan perempatan jalan
- Tidak boleh menaruh tempat tidur dengan melawan sunduk dalam
rumah baik didalam kamar maupun luar kamar maupun luar kamar

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 25
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

- Anak perempuan dan wanita yang sedang hamil dilarang berlama-lama


berdiri diatas pintu atau di tengah pintu
- Apabila pulang dari berpergian jauh, baik dari lading ataupun dari
tempat lain, ketika memasuki rumah harus terlebih dahulu membasuh
tangan dan kaki
- Laki-laki dilarang membangun mengambil nasi sendiri didalam bakul
nasi, sebaliknaya diambilkan oleh istrinya.
- Penempatan kamar mandi dan kandang ternak tidak boleh didalam
rumah harus diluar rumah
- Tidak boleh menempatkan tungu di dapur secara sembarangan arena
akan berakibat buruk
- Adanya aturan untuk tidak sembarangan orang yang boleh pergi
menebang kayu.
Ritual-ritual yang suku tengger berdasarkan karakter masyarakat adalah:
- Ritual pada pertanian adalah setiap hari raya kasado masyarakat
membawa sebagian hasil panen pertanian mereka untuk dibuang ke
kawah Gunung Bromo. Liliwet yaitu bagian dari upacara karo yaitu
memantrai senjata yang digunakan sebagai peralatan sehari-hari dalam
pertanian. Tegal pesahan dalam upacara karo dan pendirian rumah yaitu
tanaman pertanian dengan tujuan keselamatan khasil panen dengan
menaruh sesajen di lading/tegal dan kebun dan melakukan pujan kapat,
pujan kawolu, pujan kasongo, upacara unan-unan dan upacara pujon
bari’an dan selametan untuk lading dan kebun di setiap kegiatan awal
menanam tanaman baru panen dengan doa/mantra dn sesajen oleh dukun
pada punden, dahnyang, makam mbah sedek dan lading/ kebun. Untuk
ritul beternak adalah menghormati binatang ternak dan rojo koyo yang
berada di hutan sana. Ritual ini merupakan bagian dari upacara karo
- Bagian ritual upacara karo, yaitu Pregan, Makna pregan ialah nilai
kegotoroyongan

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 26
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

- Tumpang bandungan yang maknanya adalah adanya rasa saling tolong


adalah adanya rasa saling tolong menolong dan tumpang ijen yang
maknanya adalah adanya rasa saling tolong menolong dan tumpeng ijen
yang maknanya adalah lambing dewa, sang Hyang Widiwasa, dan sebagai
lambing persatuan bagi seluruh rakyat masyarakat Suku Tengger.
- Peranan tokoh ada pada Bapak Dukun Ngantrulin pada ritual-ritual
/upacara adat yang ada di Desa Ngadas yaitu pada upacara kasado sebagai
ritual pelantikan seorang dukun dan setiap ritual baik besar maupun kecil
yang ada di Desa Ngadas selalu dipimpin oleh mbah Dukun Ngantrulin
- Ritual yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat suu Tneger adalah
semua ritual adat baik besar maupun kecil semua orientasinya
berdasarkan kepercayaan asli Suku Tengger yaitu Budho Tengger.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 27
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

BAB III
Pembentukan Ruang Permukiman Penetapan Variabel
3.1 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 1
Konsep Pola Spasial Permukiman Di Kasepuhan Ciptagelar
Susilo Kusdiwanggo
Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono 167, Malang
Leluhur Ciptagelar yang dikenal sebagai komunitas Pancer Pangawinan
adalah masyarakat adat berdasarkan pada budaya padi, yaitu masyarakat yang
masih memiliki keyakinan, kepercayaan, dan religi pada padi. Mentalitas asli
leluhur Ciptagelar adalah berbudaya padi huma dengan paparakoan sebagai
atribut, karakternya, dan jejak spasial masyarakat peladang. Ngalalakon
adalah satu bentuk sistem kepercayaan budaya padi yang wajib dijalankan.
Ngalalakon merupakan aktivitas memindahkan permukiman ke titik nadir.
Budaya bermukim dipengaruhi oleh ritual ngalalakon ini. Bagaimanakah
konsep pola spasial permukiman dari leluhur Ciptagelar yang berbasis budaya
padi dan selalu berpindah? Jurnal Penelitian ini bertujuan menggali konsep
dasar yang melandasi pola spasial permukiman pada masyarakat budaya padi
di Kasepuhan Ciptagelar. Melalui metode etnografi, unit-unit informasi
dianalisis secara thick description dan domain analysis hingga
membangkitkan konsep spasial sebagai salah satu tema kulturalnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa paparakoan huma menjadi rujukan dasar atas
konsep pola spasial permukiman di Kasepuhan Ciptagelar. Pola spasial
permukiman Kasepuhan Ciptagelar tidak semata berorientasi pada
pembangunan fisik saja, melainkan juga sebagai usaha membangun keyakinan
untuk peningkatan dan penyempurnaan diri. Peran dan kehadiran Leuit Jimat

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 28
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

menjelaskan bahwa permukiman Ciptagelar merupakan refleksi dan bentuk


penyempurnaan atau akumulasi terkini dari pencapaian puncak-puncak
kebudayaan padi dari generasi Ciptagelar sebelumnya

Kesimpulan dari jurnal penelitian diatas adalah sebagai berikut:


Walaupun telah terjadi proses akulturasi budaya padi di Ciptagelar
antara huma/ladang (asli) dan sawah (asimilasi), namun budaya asli ladang
masih tetap memiliki daya tahan primordial. Paparakoan adalah salah satu
artefak atau produk budaya padi huma yang masih terproteksi dan
terpreservasi dari zaman leluhur hingga saat ini di lahan agrikultur.
Paparakoan memuat informasi spasial asli dari komunitas Pancer Pangawinan
sebagai masyarakat budaya padi yang bermentalitas peladang. Jejak artefak
paparakoan tidak saja hadir di lahan agrikultur, melainkan juga di lembur
(permukiman). Konsep pola spasial permukiman Kasepuhan Ciptagelar
berdasarkan pada konstelasi paparakoan huma. Konstelasi paparakoan hadir di
permukiman (lembur) Ciptagelar dengan beberapa penyesuaian karena faktor
kosmologi, yaitu paparakoan sebagai mandala tempat bersemayam jiwa-jiwa
dan paparakoan sebagai hunian manusia tempat beraktivitas.

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 29
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Gambar 3. 1 Situasi Permukiman Ciptagelar


Sumber: Hasil Analisis, Jurnal Penelitian Susilo Kusdiwanggo
Penyesuaian terjadi pada zona suwung paparakoan. Zona suwung
lembur dipersiapkan untuk kehadiran Leuit Jimat. Leuit Jimat bukan
merupakan bangunan hunian manusia, melainkan wadah bersemayamnya
entitas Sri yang supernatural. Leuit Jimat adalah generator kehidupan. Sebagai
pohon hayat, Leuit Jimat adalah sebuah ekspresi total dari kreativitas dan
keabadian serta pengulangan penciptaan (the repetition of the creation) dan
pembaharuan dunia (the renewal of the world). Leuit Jimat terlibat dalam
budaya bermukim sebagai aktivitas nyata bukan sekadar ritual dan mitos.
Setiap kali Leuit Jimat berpindah tempat, setiap kali pula siklus kehidupan
baru dibangkitkan. Leuit Jimat sebagai axis mundi yang berpindah tempat
adalah perspektif baru dalam konsep ruang vertikal sekaligus sebagai
pengulangan bentuk kehidupan dan pembaharuan dunia.
Leuit Jimat yang baru hadir pada tahun 1898 menunjukkan bahwa
elemen permukiman komunitas ini bersifat dinamik. Kasepuhan Ciptagelar
sebagai permukiman terkini merupakan refleksi dan bentuk penyempurnaan

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 30
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

atau akumulasi terkini dari pencapaian puncak-puncak kebudayaan padi dari


generasi Ciptagelar sebelumnya. Kehadiran pola pengolahan padi sawah dan
Leuit Jimat merupakan pencapaian puncak-puncak kebudayaan padi tersebut.
Pada mulanya, puncak-puncak budaya merupakan subsistem budaya padi.
Namun pada gilirannya akan mengaglomerasi menjadi sistem baru yang
mensubversi sistem lama. Suatu saat nanti, jika dalam kisah ngalalakon
mencapai puncak kebudayaan lagi, maka tidak menutup kemungkinan puncak
kebudayaan tersebut akan tersulam pada permukiman terbaru dan membentuk
tatanan kehidupan baru pula. Bagi antar-generasi kasepuhan, budaya
bermukim dan permukiman tidak lagi dilihat sebagai prinsip baku tatanan
sosial-kultural padi yang kaku, melainkan dipandang sebagai komitmen atas
nilai-nilai budaya padi yang terbarukan. Permukiman Masyarakat budaya padi
Ciptagelar menunjukkan bahwa kebudayaan tidak berhenti dan statik,
melainkan cair dan dinamik.

Gambar 3. 2 Sebaran Unsur Penyusunan Permukiman Ciptagelar


Sumber: Hasil Observasi, Jurnal Penelitian Susilo Kusdiwanggo

Tabel 3. 1 Kelompok Unsur Penyusunan Permukiman

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 31
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Sumber: Hasil Observasi, Jurnal Penelitian Susilo Kusdiwanggo

3.2 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 2


Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Sasak Dusun
Limbungan Kabupaten Lombok Timur
Rina Sabrina, Antariksa, Gunawan Prayitno
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Karakter dari suatu suku dapat dilihat dari tradisi dan budaya yang terbentuk
dalam suatu permukiman dan masih menjaga local wisdom mereka, hal ini
dapat terlihat dari permukiman tradisional Suku Sasak di Dusun Limbungan
Kabupaten Lombok Timur, yang menjaga rumah adat mereka dari segala
perubahan. Tujuan dari studi adalah mengidentifikasi karakteristik non fisik
sosial budaya masyarakat Dusun Limbungan, dan mengidentifikasi
karakteristik fisik pola tata ruang permukiman yang terbentuk, menganalisis
pola tata ruang permukiman tradisional yang terbentuk akibat pengaruh fisik
dan non fisiknya, dan kearifan lokalnya, serta menentukan arahan pelestarian
bagi permukiman tradisional Limbungan. Metode yang digunakan adalah
deskriptif-evaluatif. Hasil studi menunjukkan bahwa konsep keruangan makro
yang terbentuk dari tatanan fisik lingkungan hunian memperlihatkan adanya
pembagian ruang permukiman berdasarkan guna lahan, yaitu tempat hunian di
bagian tengah, dan lahan pertanian di bagian luar area permukiman. Dari hasil
struktur ruang permukiman tradisional Suku Sasak Limbungan terbentuk
berdasarkan konsep filosofi, yaitu konsep arah sinar matahari, konsep
terhadap gunung rinjani, konsep pembangunan rumah dan elemennya secara
berderet dan tanah berundak-undak, dan konsep bentuk rumah yang seragam
terdiri dari rumah yang berjajar (suteran). Penempatan elemen rumah (bale)

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 32
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

berupa panteq memiliki posisi saling berhadapan dengan bale. Pola


pengembangan tata ruang masyarakat Sasak di Dusun Limbungan berorientasi
pada nilai kosmologi berdasarkan sistem kepercayaan dan tradisi-tradisi
masyarakat yang berbasis budaya sehingga menghasilkan ruang-ruang khusus.
Kesimpula dari jurnal penelitian iini yaitu sebagai berikut:
Pola permukiman Dusun Limbungan dipengaruhi oleh faktor berikut:
1. Faktor kepercayaan penduduk terhadap faktor keamanan dan rumah
penduduk dalam memperoleh cahaya matahari karena bagunan rumah
yang tidak memiliki jendela, hal ini yang memandang arah timur
sebagai arah yang diutamakan sebagai sumber kekuatan selain itu juga
didukung sebagai alat pertahanan untuk mengetahui saat mereka saat
diserang oleh musuh.

Gambar 3. 3 Konsep Arah Sinar Matahari, Pola Arah Hadap Timur

Semua permukiman adat di Dusun Limbungan menghadap ke arah


timur (sinar matahari) menunjukkan pembentukan karakter masyarakat
Sasak bahwa yang muda juga harus melindungi yang tua, dan jika ada
musuh menyerang maka kaum yang mudalah yang terlebih dahulu
harus menyerang
2. Faktor hukum adat yang menuntut penduduk Limbungan untuk
menjaga rumah asli mereka baik dari bahan rumah yang terbuat dari
bahan alam, orientasi massa bangunan, serta pola rumah asli Suku
Sasak tersebut. Adanya kepatuhan penduduk terhadap hukum adat dan
kearifan lokal (genius local) penduduk merupakan faktor paling
penting terhadap pelestarian keutuhan rumah asli ini

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 33
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Gambar 3. 4 Rumah Adat Masyarakat Sasak, Dusun Limbungan

3. Membentuk pola grid yang mengelompok menjadi satu kesatuan,


rumah-rumah dan elemennya disusun berjejer rapi seperti tusuk sate,
pola ini mencerminkan system kekerabatan.

Gambar 3. 5 Pola dan Konsep arah Hadap Baleq Sasak, Dusun


Limbungan

4. Pola rumah tradisional di Dusun Limbungan membentuk ruang-ruang


yang communal space, yaitu di antara jejeran bale yang berhadapan ini
merupakan daerah comunal space bagi penduduk dusun, yaitu
terdapatnya lumbung dan berugaq sebagai tempat bersosialisasi
penduduk dusun. Selainitu dapat dilihat perletakkan bale yang

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 34
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

berhadapan dan sejajar dengan panteq yang terdiri dari Lumbung dan
berugaq yang telah menerapkan konsep Islam yaitu konsep tawazun
dan fungsional. Konsep tawazun (keseimbangan) dapat dilihat posisi
berugaq sebagai bangunan publik dan merupakan communal space
saling berhadapan denganbale (bangunan privat). Konsep
fungsionaltercermin dalam posisi lumbung yang mewakili satu bale
selain berfungsi sebagai ruang bersama sekaligus digunakan
untukmengawasi dan memberi kemudahan melayanai bangunan bale.

3.3 Pembentukan Ruang Permukiman/perkotaan pada studi kasus 3


Pola Ruang Permukiman Dan Rumah
Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa
Wayan Ganesha, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Desa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat
Tigawasa memiliki perbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya
yang telah mendapat pengaruh dari kedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut
terletak pada karakteristik sosial budaya masyarakat serta pada pola tata ruang
permukiman rumahnya. Tujuan studi ini adalah untuk mengindentifikasi
karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa dan pola tata
ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata
ruang permukiman rumah tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari
sosial budaya masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola ruangnya.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-evaluatif. Data–data
diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner, serta wawancara. Hasil studi
diketahui bahwa pola permukiman makro desa Tigawasa dilandasi oleh
konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makronya dibagi menjadi
tiga zona. Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 35
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

pada konsep tata letaknya. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi
memiliki tingkat kesakralan/kesucian lebih tinggi dari wilayah yang
bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman terbentuk akibat pengaruh
sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte
Dewa Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lain
material bangunan serta lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan
utama (sakaroras) kini berada diluar sakaroras.
Pola permukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat.
Permukiman masyarakat mengelompok di tengah–tengah desa yang
dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan tegalan dan perkembangannya
menyebar pada lokasi pertanian yang berada pada luar wilayah Banjar Dauh
Pura. Banjar Dauh Pura berada di pusat atau di tengah–tengah desa dan
terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dan tempat suci, yaitu Pura Desa dan
Pura Dalem yang menjadi satu dengan Pura Desa,
sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar dauh pura dengan
wilayahnya berada di luar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya
masyarakat mengatakan wilayah tersebut dengan istilah “kubu”. Kubu
merupakan rumah tinggal di luar pusat permukiman di ladang, di perkebunan
atau tempat tempat kehidupan lainya. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan
sebagai suatu lingkungan permukiman, menempati unit-unit perkebunan atau
ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang
kubu sebagai rumah tempat tinggal serupa pola dengan rumah/umah (Gelebet,
et al. 1985 :39)

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 36
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Gambar 3. 6 Pola Permukiman Desa Tigawasa


Sumber: Hasil Observasi, Jurnal Penelitian Wayan Ganesha, Antariksa, Dian Kusuma
Wardhani
Kesimpulan dari jurnal penelitian ini adalah sebagai berikut:
Rekomendasi:
Pola ruang tradisional dalam lingkup desa (makro)
1. Pembatasan pembangunan di zona utama dan nista mandala terutama dari
penduduk yang berasal dari luar wilayah desa dengan menjalankan
sepenuhnya ketentuan yang ada dalam awig–awig desa. Hal ini
dikarenakan kehidupan masyarakat Desa Adat Tigawasa dari dulu hingga
sekarang selalu diselimuti oleh aturan adat.
2. Menjaga aturan yang selama ini telah berlaku, yaitu dengan tidak
mengijinkan pembangunan rumah adat (panti) di luar wilayah Banjar
Dinas Dauh Pura (zona madya mandala) sehingga kekhasan pola
permukiman tetap terjaga.
Pola ruang tradisional dalam lingkup unit hunian (mikro)
1. Pembatasan terhadap bagian rumah yang boleh direnovasi, seperti hanya
sebatas estetika bangunan. Namun jika sampai merubah unit bangunan

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 37
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

hendaknya dilarang karena dapat menghilangkan ciri pola ruang


tradisional yang dimiliki.
2. Memberikan intensif terhadap penduduk yang masih menjaga rumah
tradisional Bali Aga.
3. Dalam pembangunan bangunan baru diharapkan masyarakat tetap
mengacu pada konsep Hulu Teben sehingga kelestarian pola ruang
tradisonal yang telah ada tetap berhan dan lestari.
4. Memberikan pemahaman pemahaman kepada generasi muda akan
pentingnya menjaga kelestarian rumah tradisional Bali Aga Desa
Tigawasa sebagai suatu warisan yang berharga sehingga nantinya jika
sampai pada saat generasi tersebut mendiami rumah tradisonal senantiasa
selalu menjaga kelestarian dari rumah tradisional Bali Aga tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan kesimpulan yang dapat diambil pada studi ini,
antara lain:
1. Desa Adat Tigawasa tidak mengenal adanya strata sosial (tingkatan kasta).
Seluruh penduduknya menganut agama Hindu Sekte Sambu;
2. Karakteristik Pola Tata Ruang Tradisional Desa Adat Tigawasa: Dalam
system pembagian tata ruang secara makro, Desa Adat Tigawasa
mengikuti konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala. Ditinjau dari segi
pola desa adat yang ada di Bali, Desa Adat Tigawasa masuk ke dalam pola
II, yaitu satu desa mencakup desa adat; Untuk pola ruang dalam unit
hunian penduduk mengacu pada Konsep Hulu-teben. Dalam lingkup desa,
perubahan pola ruang tradisional desa adalah semakin berkembanganya
permukiman yang semula hanya terdapat pada wilayah Banjar Dinas Dauh
Pura berkembang menjadi permukman-permukiam yang tersebar ke
seluruh wilayah desa secara tidak terpola; Dalam lingkup unit hunian
penduduk, pergeseran pemanfatan ruang terjadi pada natah/pekarangan
rumah yang makin meyempit karena adanya pergeseran dari dapur, dapur

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 38
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

yang mulanya berada di dalam sakaroras kemudian dibangun di luar dari


sakaroras.

BAB IV

ANALISA
4.1 Pola Ruang/Pembentukan Ruang Pada Topik – Lokasi Terpilih
4.1.1 Analisa Ruang bermukim Berdasarkan Mitos
Berdasarkan kebudayaan dan mitos Suku Tengger yang ada di Desa
Ngadas. Ruang yang dipengaruhi oleh mitos masyarakat Suku Tengger di Desa
Ngadas berdasarkan:

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 39
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Tabel 4. 1 Ruang yang Dipengaruhi Oleh Mitos


Aspek Ruang yang dipengaruhi
Ladang/tegalan dan kebun
Kandang ternak
Pepunden
Dahnyang (petilasan raden panji
Mata Pencaharian wulung)
Makam mbah sendek
Sanggar persembahan
Gunung Bromo
Pura dibawah Gunung Bromo
Tingkat Pendidikan -
Bentuk ruang bermukim
Ruang berembuk
Hubungan Sosial Tanah adat
Aturan penempatan rumah
hunian
Peranaan
Bawah kaki Gunung Bromo
sesepuh/Tokoh Adat
Tempat ini selain digunakan
untuk melakukan ritual upacara
Kasodo juga untuk melantik
seorang dukun yang dipimpin
oleh coordinator para Dukun
Tengger.

Sanggar Pamuja/Vihara
tempat yang biasa digunaan
masyarakat setempat yang
beragama budho tengger dan
tempat mbah dukun melakukan
pemujaan kepada Bopo Koso.
Sanggar persembahan ini juga
tempat pembakaran
persembahan yang
diperuntukkan bagi ke empat
unsur yang diyaini oleh
masyarakat.

Dhanyang
tempat kumpulnya roh para
leleuhur di Desa Ngadas dan ini
adalah tempat yang selalu
digunakan mbah dukun untuk
melakukan ritual dan juga

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 40
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

Aspek Ruang yang dipengaruhi


tempat bersemedi. Punden
adalah tempat bersemedi dan
Makam.
Sumber: Hasil Analisa Jurnal 2021
4.1.2 Analisa Ruang yang dipengaruhi oleh Mitos Berdasarkan
Kepercayaan Masyarakat
Ada beberpa pedoman yang saat ini masih dianut masayarakat Desa
Ngadas diantaranya adalah sebagai berikut:
Objek Keterangan
makam berorientasi pada tuga arah
yaitu orientasi pada Gunung
Semeru bagi Dukun, Gunung
Makam Bromo bagi Masyarakat yang
beragama Budho Tengger dan
Hindu dan Kearah Utara bagi yang
beragama Islam
Orientasi Bangunan dibagi menjadi
Bnagunan dua bangunan sakral dan bangunan
untuk hunian

sanggar Pamujaan/Vihara
Bangunan
Pura
Sakral
Dahnyang
Hutan yang diaggap Keramat yang
tidak boleh di tebang pohonya
adalah yang berada disebelah
Timur menuju jemlang dan yang
Hutan memisahan Dusun Ngadas dan Jrak
Ijo dan Seputaran Sumber Mata air
pada bagian Barat

Menurut Kepercayaan masyarakat


Desa Ngadas jalan saat ini adalah
sebgaai prasarana yang terbentuk
oleh pengaruh mitos yang
menunjukan arah empat kiblat mata
Jalan angin dan juga setiap tikungan jalan
diyakini memiliki penunggunya
yaitu setiap pertigaan jalan dan
perempatan jalan yang ada di
Dusun Ngadas dan Perempatan di
Jemlang
Sumber: Hasil Analisa Jurnal 2021

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 41
Institut Teknologi Nasional Malang
PERENCANAAN KOTA KULTURAL II
DESA NGADAS, KECAMATAN
PONCOKUSUMO

4.1.3 Kategorisasi Bentukkan Ruang Bermukim Berdasarkan Mitos


Analisa bentukkan ruang bermukim berdasarakan mitos dilihat dari
karakter masyarakat di Desa Ngadas dapat dikategorisasikan berdasarkan
pandangan masyarakat setempat (Sumber: Hasil Wawancara dengan Pak Carik dan
Pak Wardiono) dalam aktivitas yang dilakukan oleh masayarakat di Desa Ngaas
menjadi dua kategori yaitu runag sakral dan ruang profan.
A. Ruang Sakral
Ruang sakral ini dilihat ari masyarakat di Desa Ngadas yang menggap
beberpa tempat kramat karena berkaitan dengan aturan-aturan yang didasari oleh
kepercayaan asli masyarakat Suku Tengger yang diwariskan oleh leluhur mereka
dan sampai saat ini masih ada. Namun demikian ada perubahan dalam
penempatannya namun tidak mengurangi kesakralannya, yaitu Sebagai berikut:

Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan 42
Institut Teknologi Nasional Malang
Ruang Sakral Aturan Penempatan Ruang Sakral Dan Orientasi

Penempatannya dibagian timur tepat arah matahari terbit karena menurut keyakinan Budho Tengger matahari adalah wujud penciptaan Bopo
Kuoso yang memberikan sumber kehidupan bagi mereka dan juga adalnya pagar menandakan batasan bahwa tempat ini sakral

Untuk bangunan pemujaan pada Bopo Kuoso yaitu sanggar Pamuja/Vihara berorientasi pada gunung tertinggi yaitu Gunung Semeru sebagi
Sanggar Pamujaan / Vihara
kediaman sang Hyang Widi Wasa dan Roh-Roh halus tingkatan tinggi
Tempat biasayanya masyaraat setempat yang
bergama Budjo Tengger dan Mbah Dukun Sanggar persembahan ini adalah tempat pembakaran persembhaan yang diperuntukkan bagi ke empat unsur dan merupakan tempat pusatnya
melakukan pemujaan kepada sang Hyang Widi dilakukan ritual pembakaran persembahan bagi masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas pada upacara Unang-unang dan hanya boleh dimasuki
Wasa/Bopo Kuoso. oleh dukun. Bnagunan ini tidak boleh dibangun di sembarangan tempat sayaratnya yaitu:
 Tidak boleh ditempat yang penuh keramaian oleh sebab itu dalam peletakannya ditaruh dekat Pamujaan/Vihara dan dipagari
 Harus diletakkan dibawah pohon besar dan ditandai pohon tersebut
 Orientasi menghadap Gunung Tertinggi yaitu Semeru

Pura
Bangunan peribadatan bagi masyarakat Hindu Penempatannya di bagian Timur tepat arah matahari terbit, alasannya sama dengan Budho Tengger hanya perbedaanya bangunan pemujaan pad
Tengger di Desa Ngadas. Tempat ini adalah Sang Hyang Widi dan menempatan sanggah pada rumah tiap umat agama Hindu seperti di Bali dan untuk bangunan Pura berorientasi pada
tempat masyarakat melakukan pemujaan kepada Gunung tertinggi yaitu Gunung Semeru Sebagai tempat kediaman Sang Hyang Widi/Dewa-Dewa dan Roh-Roh halus Tingkatan Tinggi
sang pencipta/ Sang Hyang Widi (Dewa-dewa).
Dahnyang
Penempatan banguannnya dikarenakan disinilah tempat Raden Panji Wulung berdiam dan roh-roh para leluhur berkumpul/Pusat kosmologi
Tempat kumpulnya roh para leluhur di Desa
mahkluk halus. Oleh sebab itu adanya larangan untu memetik apapun dilokasi tersebut. Dahnyang bentuknya menyerupai gunung dan didalamnya
Ngadas. Tempat ini selalu digunakan dukun untuk
terdapat batu yang dikeramatkan dan juga berorientasi pada gunung tertinggi
melakukan ritual dan juga tempat bersemedi.
Punde
tempat yang menurut mbah dukun adalah tempat
yang biasnya digunakan oleh mabh dukun untuk Punde dibatasi oleh pagar dari semak-semak
bersemedi dan tidak sembarangan orang boleh
masuk ke tempat ini
Untuk penempatan makam tidak ada aturan hanya orientasi makam yang dipengaruhi oleh mitos yaitu orienasi pada tiga arah, yaitu:
 Gunung Semeru: bagi sesepuh Desa/Para Dukun. Orientasi makam sesepuh Desa berorientasi pada Gunung Semeru
Makam
 Gunung Bromo: bagi masyarakat yang beragama Budho Tengger dan Hindu
 Utara : bagi masyarakat yang beragama Islam
Tabel 4. 2 Analisa Ruang Sakral Desa Ngadas
Sumber: Hasil Analisa Jurnal 2021
4.2 Pola Ruang/Pembentukan Ruang Pada Topik – Pada Studi Kasus
Mitos di Desa Ngadas sangat mempengaruhi masayarakat Desa Ngadas, bukan
hanya mempengaruhi dari sisi sosial masyarakatnya namun Mitos juga
mempengaruhi Pola Ruang, masih ada ruang-ruang yang terbentuk berdasarkanmitos
yang dijaga oleh masyarakat walau terkadang ada perubahan penempatan namun
tidak menghilangkan keterkaitan terbentuknya ruang dengan mitos. Bentukan Ruang
itu kemudian dikategorikan menjadi dua yaitu ruang sakral (Suci) tempat melakukan
pemujaan, tempat berkumpulnya roh para leluhur dll dan ruang profane, yaitu ruang
hunian masyarakat.
Mitos yang ada mempengaruhi:
1. Adanya aturan dalam orientasi Banguan sakral yang harus mengarah pada
Gunung Tertinggi
2. Adanya aturan dalm penempatan Banguan sakral dan tidak boleh adanya
bangunan lain di dekatnya
3. Adanya batasan pagar/semak-semak sebagai batasan bahwa tempat ini sakral
keramat
4. Adanya aturan untuk tokoh adat saja yang boleh masuk pada bangunan sanggar
persembahan
5. Tidak boleh menebang pohon /memetic tanaman apapun disekitar tempat sakral
6. Adanya tauran dalam orientasi rumah yang tidak boleh melawasn arah sunduk
7. Adanya aturan dalam penempatan bangunan rumah disebelah kiri rumah induk/
belakang sesuai urutan umur
8. Tidak adanya batasan pagar antar rumah yang satu dengan yang laininya karena
pagar adalah penandaan untuk batasan fusuk bangunan sakral dan yang tidak
9. Pada setiap rumah tidak boleh meletakkan Tungku perapian sembarangan
4.3 Perbandingan antara lokasi terpilih dengan studi kasus
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
Pengaruh Mitos Pada Bentukan Konsep Pola Spasial Pelestarian Pola Permukiman Pola Ruang Permukiman Dan
Ruang Bermukim di Desa Permukiman Di Kasepuhan Tradisional Suku Sasak Dusun Rumah
Ngadas Kecamatan Ciptagelar Limbungan Kabupaten Tradisional Bali Aga Banjar
Poncokusumo (Susilo Kusdiwanggo-Prodi Lombok Timur Dauh Pura Tigawasa
Judul (Maria Christina Endarwati- Arsitektur Fakultas Teknik (Rina Sabrina, Antariksa, (Wayan Ganesha, Antariksa,
Jurusan Teknik Perencanaan Universitas Brawijaya) Gunawan Prayitno-Jurusan Dian Kusuma Wardhani-
Wilayah dan Kota ITN Perencanaan Wilayah dan Jurusan Perencanaan
Malang) Kota Fakultas Teknik Wilayah dan Kota Fakultas
Universitas Brawijaya) Teknik Universitas Brawijaya)
Pembahasan Penelitian ini mengambil studi Jurnal ini bertujuan menggali Tujuan dari Jurnal adalah Mengindentifikasi karakteristik
kasus pada warga Suku Tengger konsep dasar yang melandasi mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Desa
di Desa Ngadas, Kabupaten pola spasial permukiman pada non fisik sosial budaya Adat Tigawasa dan pola tata
Malang. Masyarakat desa masyarakat budaya padi di masyarakat Dusun ruang permukiman rumah yang
Ngadas masih memegang teguh Kasepuhan Ciptagelar. Melalui Limbungan, dan terbentuk. Kemudian
kepercayaan asli (Budho metode etnografi, unit-unit mengidentifikasi karakteristik menganalisis pola tata ruang
Tengger) yang meyakini bahwa informasi dianalisis secara thick fisik pola tata ruang permukiman rumah tradisional
tanah di sekitarnya sacral, description dan domain analysis permukiman yang terbentuk, yang terbentuk akibat pengaruh
Sehingga mempengaruhi hingga membangkitkan konsep menganalisis pola tata ruang dari sosial budaya
masyarakat untuk spasial sebagai salah satu tema permukiman tradisional yang masyarakatnya serta
melindunginya dengan tidak kulturalnya. Hasil penelitian terbentuk akibat pengaruh perubahan-perubahan pola
menebang pohon untuk menunjukkan bahwa fisik dan non fisiknya, dan ruangnya. Metode yang
melindungi lingkungan paparakoan huma menjadi kearifan lokalnya, serta digunakan adalah metode
sekitarnya, karena diyakini akan rujukan dasar atas konsep pola menentukan arahan pelestarian deskriptif-evaluatif. Data–data
berakibat fatal bagi yang spasial permukiman di bagi permukiman tradisional diperoleh melalui observasi
melakukannya. Inti pembahasan Kasepuhan Ciptagelar. Pola Limbungan. lapangan, kuisioner, serta
dari penelitian ini adalah spasial permukiman Kasepuhan Hasil Jurnal ini menunjukkan wawancara. Hasil studi
mengkaji hubungan Mitos, Ciptagelar tidak semata bahwa konsep keruangan diketahui bahwa pola
Kepercayaan dan adat istiadat berorientasi pada pembangunan makro yang terbentuk dari permukiman makro desa
desa Ngadas yang sangat fisik saja, melainkan juga tatanan fisik lingkungan Tigawasa dilandasi oleh konsep
berpengaruhi terhadap sebagai usaha membangun hunian memperlihatkan Tri Hita Karana dan Tri
Bentukan Ruang Bermukim keyakinan untuk peningkatan adanya pembagian ruang Mandala, tata ruang makronya
Masyarakat Desa Ngadas dan penyempurnaan diri. Peran permukiman berdasarkan guna dibagi menjadi tiga zona.
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
dan kehadiran Leuit Jimat lahan, yaitu tempat hunian di Tingkat hunian rumah (mikro)
menjelaskan bahwa bagian tengah, dan lahan dilandasi oleh konsep hulu–
permukiman Ciptagelar pertanian di bagian luar area teben pada konsep tata
merupakan refleksi dan bentuk permukiman. Dari hasil letaknya. Wilayah yang
penyempurnaan atau akumulasi struktur ruang permukiman memiliki topografi lebih tinggi
terkini dari pencapaian puncak- tradisional Suku Sasak memiliki tingkat
puncak kebudayaan padi dari Limbungan terbentuk kesakralan/kesucian lebih
generasi Ciptagelar sebelumnya. berdasarkan konsep filosofi, tinggi dari wilayah yang
yaitu konsep arah sinar bertopografi rendah. Pola tata
matahari, konsep terhadap ruang permukiman terbentuk
gunung rinjani, konsep akibat pengaruh sistem
pembangunan rumah dan kepercayaan masyarakatnya
elemennya secara berderet dan sebagai pemeluk Agama Hindu
tanah berundak-undak, dan Sekte Dewa Sambu. Terdapat
konsep bentuk rumah yang perubahan pola permukiman
seragam terdiri dari rumah rumah antara lain material
yang berjajar (suteran). bangunan serta lokasi dapur
Penempatan elemen rumah yang bergeser dari dalam
(bale) berupa panteq memiliki bangunan utama (sakaroras)
posisi saling berhadapan kini berada diluar sakaroras
dengan bale. Pola
pengembangan tata ruang
masyarakat Sasak di Dusun
Limbungan berorientasi pada
nilai kosmologi berdasarkan
sistem kepercayaan dan
tradisi-tradisi masyarakat yang
berbasis budaya sehingga
menghasilkan ruang-ruang
khusus.
G  Ruang (Robinson, Penelitian ini menggunakan Menurut Tanudirjo (2003), Secara teoritis yang
G 2004) Ruang metode etnografi. Tema-tema pelestarian justru harus dilihat didefinisikanoleh Rapoport
G bermukim adalah kultural yang muncul dalam sebagai suatu upaya untuk (1977), place merupakan suatu
G suatu peta yang penelitian tidak dimaknai dalam mengaktualkan kembali lingkungan, sebagai suatu
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
G dibatasi dinding dan kerangka strukturalisme, warisan budaya dalam konteks perpaduan yang bersifat
G atap, baik oleh elemen melainkan dideskripsikan secara sistem yang ada sekarang. struktural, bukan merupakan
G permanen maupun berlapis (thick description) Pelestarian juga harus dapat hasil acak. Lingkungan
G tidak permanen, dan berdasarkan pemahaman mengakomodasikan merupakan hubungan saling
Teori secara operasional komunitas (emik). kemungkinan perubahan ketergantungan yangmenerus
G ruang diartikan semua Geertz (1973) menyatakan karena pelestarian harus antara elemen-elemen fisik dan
G tempat yang mampu bahwa bagian yang kritis dari dianggap sebagai upaya untuk
G mewadahi atau etnografi adalah thick memberikan makna
G dihasilkan dari description, yaitu
G kegiatan masyarakat sebuah deskripsi detail yang baru bagi warisan budaya itu manusia yang ada didalamnya,
G yang bersifat ekstrim dari seluruh detail data sendiri Widayati (2002). hubungan ini berjalan rapi dan
G temporal/nondimensio kualitatif yang coba ditangkap   memiliki pola
G nal maupun oleh peneliti pada sebuah rona Menurut Koentjaraningrat
Ggggg permanen/dimensional sosial dengan kehidupan orang- (1984), kebudayaan adalah
 Sistem Ruang: orang di dalamnya. sistem tata nilai dan segala
G (Samandhi T. Niarta, Thick description merupakan manifestasinya akan tercermin
G 2004) Sistem Ruang penjelasan mendalam di mana melalui gaya hidup
G didefinisikan secara data yang diamati berada pada masyarakatnya melalui
G operasional sebagai tiga paras (level), yaitu pertama, kehidupankeseharian.
G perwujudan ruang apa yang sebenarnya terjadi; Sedangkan lingkungan
G berdasarkan waktu kedua, apa yang dianggap orang merupakan perwujudan fisik
Gg (ruang permanen dan terjadi; ketiga apa yang mereka dari kebudayaan masyarakat.
G temporer), anggap seharusnya terjadi Sehingga, untuk mengetahui
G berdasarkan fungsi (Pranowo, 1991). kebudayaan dalam suatu
G dan perannya (ruang   wilayah, dapat dilihat melalui
G cultural core dan lingkungan yang terbentuk.
cultural secondary),
G berdasarkan
G ketradisionalannya
Gg yaitu ruang asli/
tradisional, semi
G tradisional/ campuran,
dan non
G tradisional/tidak
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
G mengandung unsur
G tradisional
 Mitos: (Hashim
G Awang, 1986, hal 61)
G Mitos merupakan
G jenis cerita
G masyarakat yang
G mengisahkan tentang
G manusia atau mahkluk
G dan peristiwa luar
G biasa yang di luar
G logika manusia. Mitos
terbagi kedlam dua
G jenis yaitu mitos
G pembukaan sesuatu
tempat dan mitos asal
usul. Misalnya mitos
penciptaan suatu
negeri dan mitos
Tokoh masyarakat,
Misalnya Raja- Raja.
Cerita-cerita mitos
biasanya tidak dapat
dikesan
pengarangnya, dan ia
diwarisi dari generasi
ke generasi, secara
lisan atau tulisan
 Adat Istiadat:
(Mohammad Daud
Ali, 1999: 196) adat
istiaat adalah bagian
yang ideal dari
budaya. Adat istiadat
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3

adalah dalil dan ajaran


mengenai bagaimana
orang bertingkah laku
dalam masyarakat.
Rumusannya sangat
abstrak, karena itu
memerlukan usaha
untuk memahami dan
merincinya lebih
lanjut. Adat dalam
Variabel Pembahasan:  Variabel Pembahasan:  Variabel Pembahasan:  Variabel Pembahasan:
 Mitos  Budaya padi  Sistem Kelembagaan  Pola Ruang,
 Kepercayaan  Budaya bermukim -Hukum adat  Permukiman Rumah,
 Ruang Bermukim  Permukiman  Sistem Kekerabatan  Bali Aga
 Adat Istiadat Kasepuhan Ciptagelar  Kehidupan ekonomi  Desa Adat
Variabel
 Aturan Bermukim  Spasial  Kehidupan religi dan
Budaya
 Penggunaan lahan
 Stritur ruang
 Pola tata ruang
Pembanding: Penelitian Pada studi kasus ini Penelitian ini membahas tema Penelitian ini membahas
Perbanding
membahas lokasi studi terkait enegnai pelestarian indentifikasi Karakteritik sosial
an Studi
permukiman pegunungan, selain permukiman tradisional, yang budaya masayarakat desa Adat
kasus
itu juga inti dari isi jurnal ini dilatar belakangi oleh potensi Tigawasa dan pola ruang
dengan
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
Judul Paper tentang etnografi permukiman Budaya dan adat istiadat serta permukiman yang terbentuk.
yang berimplikasi pada pola permukiman tradisionalnya Hal ini juga memiliki
bermukim dan Pola Ruanag yang masih terjaga, yang dpat kesamaan dengan kasus pada
permukiman-nya dimana hal ini dikembangkan secara lebih lokasi terpilih yaitu
juga menjadi bahasan dari Paper jauh. hal ini mempunyai mengidentifikasi budaya
saya. Terkait Terbentunya pola persamaan dengan, studi kasus bermukim serta system
ruang permukiman Desa yang saya ambil mengenai kekerabatan Masayarakat Desa
Tengger yang dipengaruhi oleh permukiman tradisional di Ngadas, yang berpengaruh
mitos serta kebudayaan dan adat Desa Ngadas, dimana desa terhadap pila ruang
Istiadat Suku Tengger. Untuk Ngadas merupakan salah satu permukiman Desa Ngadas.
temuan dari jurnal ini berupa Desa Di Kbaupaten Malang
diketahui, Walaupun telah yang penduduknya masih
terjadi proses akulturasi budaya mempertahankan Adat istiadat
padi di Ciptagelar antara dan budaya leluhur yang dapat
huma/ladang (asli) dan sawah dikembang kan lebih lanjut.
(asimilasi), namun budaya asli Tema bhasan ini juga memuat
ladang masih tetap memiliki bagaimana kebijaakn khuss
daya tahan primordial. Terbukti yang dapat mengatur tentang
dengan temuan Aterfak bentuk pelestarian kawasan
Paparakoan. Paparakoan adalah Permukiman adat ini.
salah satu artefak atau produk
budaya padi huma yang masih
terproteksi dan terpreservasi
dari zaman leluhur hingga saat
ini di lahan agrikultur.
Paparakoan memuat informasi
spasial asli dari komunitas
Pancer Pangawinan sebagai
masyarakat budaya padi yang
bermentalitas peladang. Jejak
artefak paparakoan tidak saja
hadir di lahan agrikultur,
melainkan juga di lembur
(permukiman). Konsep pola
Pembanding  Lokasi Terpilih Studi Kasus 1 Studi Kasus 2 Studi Kasus 3
spasial permukiman Kasepuhan
Ciptagelar berdasarkan pada
konstelasi paparakoan huma.
Konstelasi paparakoan hadir di
permukiman (lembur)
Ciptagelar dengan beberapa
penyesuaian karena faktor
kosmologi, yaitu paparakoan
sebagai mandala tempat
bersemayam jiwa-jiwa dan
paparakoan sebagai hunian
manusia tempat beraktivitas.
Sumber: Hasil Analisa Jurnal 2021
4.4 Telaah Kritis Pembentukan Ruang
Dalam proses mengerjakan paper ada beberapa jurnal ilmiah yang dipakai untuk menggali informasi mengenai pola
permukiman adat, dari hasil pencarian diambil 3 Jurnal yang terbagi menjadi Jurnal studi kasus 1, Jurnal studi kasus 2, dan
Jurnal Studi Kasus 3. Dalam jurnal ilmiah ini di temukan beberapa informasi yang dapat dikataan sangat membantu dalam
memberikan gambaran terbentuknya suatu kawasan pembentukkan ruang dalam sisi kultural. Ketiga studi kasus ini juga
mempunyai beberapa kesamaan dengan Tema paper yang saya pilih. Dalam setiap karya tulis tentu mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing yang dimana dilihat dari konteks bahasan Jurnal itu. Sehingga jika di tulis kelebihan dan
kekurangan jurnal dilihat dari tingkat kesamaan pembahasan dengan tema yang dipilih, uraiannya dapat di lihat pada tabel
berikut ini:

  Judul Kelebihan Kekurangan


Jurnal Studi Kasus 1 Konsep Pola Spasial Permukiman Di  Penelitian ini menggali Konsep dasar yang melandasi  Terdapat beberapa perubahan pada
Kasepuhan Ciptagelar pola spasial permukiman pada masyarakat budaya padi di Permukiman Kasepuhan Ciptagelar
(Susilo Kusdiwanggo-Prodi Arsitektur Kasepuhan Ciptagelar melalui budaya padi sebagai latar diakibatkan oleh proses akuturasi budaya
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya) belakang budaya sekaligus sebagai mentalitas berpikir padi di ciptagelar antara huma/lading
dan berperilaku. Budaya padi disadari sebagai dasar (asli) dan sawah (asimilasi). Walaupun
utama yang melandasi kehidupan komunitas Ciptagelar. budaya aslinya masih tetap memilii daya
 Menggunakan Metode etnografi yaitu Thick description tahan yang dominan
yang memuat penjelasan yang detail dari seluruh detail  Kemungkinan akan terjadi beberapa kali
data kualitatif yang coba ditangkap oleh peneliti pada perubahan pada budaya kasepuhan
sebuah rona sosial dengan kehidupan orang-orang di citagelar ini dikarenakan proses
dalamnya. Thick description merupakan penjelasan berpindah-pindah masyarakatnya.
mendalam di mana data yang diamati berada pada tiga  Migrasi pada dasarnya adalah fenomena
paras (level), yaitu pertama, apa yang sebenarnya terjadi; mengisi suatu relung lingkungan atau
kedua, apa yang dianggap orang terjadi; ketiga apa yang ruang baru, ekonomi, dan politik di mana
mereka anggap seharusnya terjadi (Pranowo, 1991). imigran beradaptasi dan mengakibatkan
 Pada jurnal penelitian ini mempunyai keterkaitan antara difusi, perubahan perilaku, dan
pola permukiman masayarakat Kasepuhan dengan tempat pergeseran budaya (Binford, 2001).
mereka bercocok tanam dimana, pada masayaraat desa Pergeseran budaya bisa membawa
Ngadas juga mempunyai keterikatan dengan Ladang perubahan budaya. Hal ini tidak
mereka. mengherankan karena budaya dapat
 System kekerabatan yang di Ciptakan oleh Kasepuhan dilihat sebagai dinamika proses. Migrasi
  Judul Kelebihan Kekurangan
Ciptagelar sangat erat berisfat dependen-kolektif terjadi karena adanya perubahan budaya.
(Gotong-Royong) mementingkan organisasi kerja,
solidaritas kelompok yang kuat, dan memandang lokalitas
sebagai satu kesatuan sosial
 Elemen penyusunan Permukiman Cipta gelar yaitu Leuit
Jimat dan Beberpa banguan lain yang bersinergi
membentuk pola spasial permukiman.
 Mempunyai orientasi terbentuknya permukiman:
Orientasi permukimankasepuhan ciptagelar sendiri
ditentukan oleh kiblat Leuit Jimat yang menghadap ke
arah talapak. Saat ini orientasi permukiman Ciptagelar
menghadap ke selatan. Talapak adalah situs megalitikum
yang dikeramatkan oleh karuhun Ciptagelar, berisi kode-
kode informasi tersembunyi yang merekam jejak
kepercayaan karuhun Ciptagelar. Keberadan talapak
berada di dekat sumber air, atau pertemuan sumber
beberapa hulu sungai. Talapak dapat dikatakan identik
dengan mandala. Talapak lebih dulu hadir sebelum
permukiman dibangun. Talapak menjadi prasyarat atas
dibangunnya permukiman baru.
 Mempunyai beberpa bangunan utama: beberapa
kelompok bangunan utama yang berada di tengah
permukiman, yaitu (1) bale warga, (2) studio televisi dan
radio, (3) tihang kalapa, (4) dapur panyayuran, (5) tihang
awi, (6) imah gede, (7) ajeng, (8) pangkemitan wetan, (9)
pangkemitan kulon, (10) Leuit Jimat, (11) mushola, dan
(12) saung lisung rurukan. tiga di antaranya merupakan
bangunan lama yang dibawa dari permukiman
sebelumnya (permukiman Ciptarasa) dalam ritual
ngalalakon, yaitu ajeng, pengkemitan, dan Leuit Jimat.
Selebihnya adalah bangunan baru yang dibangun di
permukiman baru (Ciptagelar).
 Persebaran bangunan ditentukan oleh beberapa faktor: (1)
sumbu jalan, Tampak bahwa struktur permukiman
terbangun dari keberadaan bangunan (solid) dan alun-
alun (void), termasuk akses jalannya. Bangunan-
bangunan berkumpul di sekitar alun-alun. Jalur jalan ke
utara, barat, dan timur memiliki jari-jari yang panjang.
Jalur jalan ke arah selatan sangat pendek. Jari-jari jalan
samar dan seolah melebur ketika bertemu alun-alun.
Berdasarkan rekonstruksi jejak jalan, menunjukkan
bahwa jari-jari jalan saling bersilangan tetapi tidak saling
  Judul Kelebihan Kekurangan
memotong di alun-alun, melainkan membentuk pusaran
sendiri yang terpisah dari alun-alun yang ditempati oleh
Leuit Jimat. (2) sumbu bangunan dan orientasi, Selain
pola ruang berdasarkan sumbu jalan, konfigurasi
bangunan-bangunan di sekitar tengah permukiman juga
menunjukkan pola ruang tertentu. Secara skematik,
sumbu dan orientasi atau arah hadap bangunan yang
mengelompok membangun garis imajiner tertentu.
Merujuk pada aktivitas dan kedekatan relasi budaya padi
masyarakat Ciptagelar, tidak semua bangunan tersebut
memiliki peran yang sama. Beberapa diantaranya
memiliki nilai signifikansi dan hierarki tertentu.
Berdasarkan nilai tersebut, semua bangunan yang berada
di tengah permukiman dapat direduksi menjadi beberapa
bangunan saja. Apabila bangunan hasil reduksi tersebut
direkonstruksi, maka akan muncul komposisi masa
bangunan yang membangun pola ruang tertentu (parako).
Berdasarkan rujukan pada paparakoan huma, elaborasi
antara sumbu jalan, sumbu bangunan, dan orientasi
bangunan di tengah permukiman, menunjukkan bahwa
pola spasial permukiman yang terbentuk semakin jelas
mengikuti pola paparakoan huma. Garis-garis imajiner
paparakoan lembur, menciptakan zona-zona ruang yang
juga identik dengan zona ruang paparakoan huma.
Jurnal Studi Kasus 2 Pelestarian Pola Permukiman Tradisional  Mempelajari Karakter suatu suku yang dilihat dari tradisi -
Suku Sasak Dusun Limbungan Kabupaten dan budaya yang terbentuk dalam suatu permukiman
Lombok Timur yang masih menjaga local wisdom mereka.
(Rina Sabrina, Antariksa, Gunawan  Studi kasus ini dipilih dikarenakan dalam pembahasan
Prayitno-Jurusan Perencanaan Wilayah studi kasus ini masayrakat suku sasak masih menjaga
dan Kota Fakultas Teknik Universitas rumah adat mereka dari segala perubahan. Dalam
Brawijaya) pemahasan studi kasus ini juga mengidentifikasi
karakteristik non fisik sosial budaya masyarakat Dusun
Limbungan, dan mengidentifikasi karakteristik fisik pola
tata ruang permukiman yang terbentuk, menganalisis pola
tata ruang permukiman tradisional yang terbentuk akibat
pengaruh fisik dan non fisiknya, dan kearifan lokalnya,
serta menentukan arahan pelestarian bagi permukiman
tradisional Limbungan.
 Pada studi kasus ini menunjukkan bahwa konsep
keruangan makro yang terbentuk dari tatanan fisik
lingkungan hunian memperlihatkan adanya pembagian
ruang permukiman berdasarkan guna lahan, yaitu tempat
  Judul Kelebihan Kekurangan
hunian di bagian tengah, dan lahan pertanian di bagian
luar area permukiman. Dari hasil struktur ruang
permukiman tradisional Suku Sasak Limbungan
terbentuk berdasarkan konsep filosofi, yaitu konsep arah
sinar matahari, konsep terhadap gunung rinjani, konsep
pembangunan rumah dan elemennya secara berderet dan
tanah berundak-undak, dan konsep bentuk rumah yang
seragam terdiri dari rumah yang berjajar (suteran).
Penempatan elemen rumah (bale) berupa panteq memiliki
posisi saling berhadapan dengan bale. Pola
pengembangan tata ruang masyarakat Sasak di Dusun
Limbungan berorientasi pada nilai kosmologi
berdasarkan sistem kepercayaan dan tradisi-tradisi
masyarakat yang berbasis budaya sehingga menghasilkan
ruang-ruang khusus.
 Pada studi kasus ini mengidentifikasi karakteristik sosial
budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa dan pola tata
ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian
menganalisis pola tata ruang permukiman rumah
tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari sosial
budaya masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola
Pola Ruang Permukiman Dan Rumah
ruangnya.
Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura
 Tata letak permukiman Desa Tigawasa dipengaruhi oleh
Tigawasa
aspek kultural yaitu Konsep Tri Hita dan Tri mandala,
Jurnal Studi Kasus 3 (Wayan Ganesha, Antariksa, Dian  -
tata ruang makronya dibagi menjadi tiga zona. Tingkat
Kusuma Wardhani-Jurusan
hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben
Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas
pada konsep tata letaknya. Wilayah yang memiliki
Teknik Universitas Brawijaya)
topografi lebih tinggi memiliki tingkat
kesakralan/kesucian lebih tinggi dari wilayah yang
bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman
terbentuk akibat pengaruh sistem kepercayaan
masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte
Dewa Sambu.
BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada pembahasan Bab-bab sebelumnya telah dijelaskan secara rinci mengenai
Permukiman Tradisonal di Desa Ngadas, Begitupula studi kasus pembandingnya
yaitu Permukiman Tradisional Desa Limbungan, Desa Ciptagelar dan Desa
Tigawasa. Baik aspek budaya bermukim, Faktor Pembentukkan ruang dan
hubungan Antar aspek budaya dengan Pembentukkan kehidupan masyarakat serta
ruang Desa.
Pada Bagian Kesimpulan akan ditarik kesimpulan mengenai jurnal terkait
desa Ngadas yang berdasaran perbandingan oleh beberapa Jurnal yang diambil
sebagai tolak ukur.
Kesimpulan yang dapat diambil, baik itu Permukiman Tradisional di Desa
Ngadas, Desa Limbungan, Desa Ciptagelar maupun Desa Tigawasa, Keempat
kasus Desa Tradisional ini memiliki pola ruang dan struktur ruang yang
dipengaruhi oleh “Budaya” baik perilaku masyarakat turun temurun, Adat
istiadat, Kepercayaan yang dijaga, system mata pencaharian, pembagian ruang,
estetika ruang maupun Mitos yang ada dan berpengaruh langsung pada kehidupan
didalam permukiman tradisional ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa “Budaya” atau “Kultural” sangat
mempengaruhi pola yang terbentuk pada suatu ruang permukiman tradisional
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rapoport dalam Wikantiyoso
(1997:26), mengemukakan bahwa Permukiman tradisional diyakini sebagai
perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat, dan sangat erat kaitannya
dengan nilai-nilai sosial budaya warganya yang berpijak pada norma adat dalam
proses penyusunannya.
5.2 Saran
Saran atau rekomendasi ini ditujukan khusus pada studi kasus yang ada di Desa
Ngadas namun juga bisa menjadi saran yang diberikan untuk studi kasus
pembandingnya yaitu sebagai berikut:
- Perlunya penentan Program pembangunan yang memperhatikan dan
menyesuaikan dengan karakter mayarakat setempat sehingga program
pembangunan yang direncanakan dapat berjalan dengan baik dan dapat
memberikan manfaat khususnya dalam hal pendidikan. Pembangunan yang
dilakaukan harus benar-benar mencirikhaskan yang ada dalam masyarakat
- Pembangunan fisik desa harus memperhatikan dan menggunakan unsur-
unsur ruang yang telah berkembang di masyarakat terutama yang
menyangkut bentukan-bentukan ruang tradisional
- Dalam perencanaan permukiman masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas
harus dipertimbangkan untuk tetap berlakunya mitos yang mengandung
nilai-nilai positif yang ada sehingga nilai-nilai positif yang terkandung
didalam mitos tidak aan hilang, melainkan akan tetap terus terpelihara yang
pada akhirnya dapat diwarisan kepada anak cucu.

Anda mungkin juga menyukai