1. LATAR BELAKANG
Politik identitias kolonial inilah kiranya yang hendak dituju oleh hukum kewargaan
Regerings Reglement tahun 1854 yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga
golongan yakni Europeanen, Inlanders dan Vreemde Oosterlingen (Timur Jauh termasuk
Arab, India dan Tionghoa tapi tidak termasuk Jepang). Kebijakan rasial ini dilanjutkan
dengan Undang-undang Wet op de Nederlanderschap di tahun 1892 yang menetapkan
bahwa mereka yang berada di Nederland Indie (Indonesia) termasuk dalam hal ini yang
disebut inlanders dan disamakan dengan inlanders tidak diberi status nederlanders.
Sementara keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Surianame dengan
undang-undang tersebut memperoleh status Nederlanders. Politik Orde Baru dimulai
dengan suatu proyek kewargaan yang kompleks. Ia melibatkan tidak hanya peralatan
hukum, politik tetapi juga kebudayaan hingga filsafat.
2. TUJUAN PENULISAN
Setelah membaca dan menganalisis jurnal yang ditulis oleh Robet tahun 2009. Penulisan
ini bertujuan untuk melindungi identitas dan hak-hak kewargaan universalnya
Ahmadiyah diminta menanggalkan identitas partikularnya.
3. METODE
Tulisan ini menggunakan metode kajian pustaka dengan memfokuskan pada bahasan
tentang populisme dan bagaimana pemimpin populis diposisikan sebagai aktor. Kajian
ini sekaligus melihat bagaimana dan seberapa jauh antara kemungkinan populisme
menjadi sebuah gagasan untuk menjawab kebutuhan mencapai negara kesejahteraan dan
sebagai cara memecahkan kebuntuan pembangunan politik di Indonesia atau sebenarnya
kemunculan populisme hanya sebagai tren untuk mekanisme sirkulasi elit baru dalam
konteks yang lebih demokratis.
4. FAKTA-FAKTA UNIK
Gagasan ini dikencangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita). GBHN tahun 1979 misalnya menyebut
bahwa pembangunan nasional pada hakektanya adalah pembangunan Manusia
Indonesia seutuhnya.
Dengan modus pendefinsiian yang menjangkau jauh hingga ke ‘akhirat sana’, konsep
‘manusia Indonesia seutuhnya’ ini dilengkapi dengan suatu bobot ‘transenden’. Di
sinilah dunia-akhirat mau dijangkau dan ditetapkan secara pra-deterministik oleh
kekuasaan. Di sini berlaku suatu pandangan kosmologis Jawa yang uniknya dijamin
oleh sekaligus diabdikan pada tujuan politik pembangunan yang otoriter.
Melalui represi terhadap organisasi-organisasi yang mengajukan gagasan-gagasan
kelas maupun hak-asasi. Ini yang membuat Orde Baru terkenal dengan sikap anti-kiri
di satu sisi dan anti politik liberal di sisi yang lain.
Di dalam globalisasi, persoalaan mengenai kewargaan muncul sebagai akibat dari
tantangan terhadap bentuk-bentuk tradisional negara-bangsa oleh berbagai
perkembangan dalam ekonomi-politik internasional misalnya meluasnya rejim
monoter, naik/turunnya doktrin Marshall mengenai negara sosial, perpindahan buruh
migran, krisis perbatasan yang melahirkan pengungsi dan stateless peoples.