Anda di halaman 1dari 21

KARYA TULIS ILMIAH

PELAKSANAAN PROGRAM BIDANG PELAYANAN


KESEHATAN (YANKES) DI DINAS KESEHATAN
KABUPATEN LABUHANBATU

DISUSUN OLEH ;
SYAFRINAWATI

DINAS KESEHATAN KABUPATEN


LABUHANBATU
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Pertama-tama Saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberkati Saya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Saya
juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu saya
dalam pembuatan karya tulis ini dapat berbagai sumber yang telah saya pakai
sebagai data dan fakta pada karya tulis ini.
Saya mengakui bahwa Saya adalah manusia biasa yang mempunyai
keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat
diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan karya tulis ini yang telah
Saya selesaikan. Tidak semua hal dapat Saya deskripsikan dengan sempurna
dalam karya tulis ini. Saya melakukannya semaksimal mungkin dengan
kemampuan yang dimiliki.
Maka dari itu, Saya bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang
Budiman. Saya akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan perbaikan
dalam membuat karya tulis di masa datang.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini Saya mengharapkan banyak manfaat
yang dapat dipetik dan diambil dari karya ini. Semoga dengan adanya karya tulis ini
dapat memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai Pelaksanaan Program di
Bidang Pelayanan Kesehatan.

Rantauprapat, September 2021


Penulis

SYAFRINAWATI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………. 2
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Program Katarak ……………………..…………..………………….. 3
2.1.1 Faktor Risiko ……………………………..……………………. 4
2.1.2 Manifestasi Klinis Katarak …………………………………… 5
2.1.3 Penatalaksanaan Katarak ……………………………………. 5
2.2 Sunat Massal ……………………………..…………………………… 8
2.3 Jaminan Kesehatan nasional (JKN) ……….……………………… 10
2.3.1 Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan ….…………………. 10
2.3.2 Kepesertaan Jaminan Kesehatan ….…………….…………. 11
2.3 Krisis Kesehatan dan Pasaca Krisis Kesehatan ………………… 13

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik,
penyelenggaraan pelayanan publik atau penyelenggara merupakan setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Pembangunan nasional dalam pelaksanaan tidak terlepas dari sumber daya
manusia (SDM) dimana manusia adalah motor penggerak dalam pembangunan dan
merupakan sasaran dari pembangunan itu sendiri dengan mengelolah sumberdaya
yang lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menjelaskan bahwa kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial dan
ekonomis. Dan juga telah di tetapkan bahwa setiap orang berhak 3 memperoleh
pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, setiap elemen masyarakat baik individu,
keluarga, berhak memperoleh pelayanan atas kesehatannya dan pemerintah
bertanggung jawab mencanangkan, mengatur menyelenggarakan dan mengawasi
penyelenggaraan kesehatan secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui
upaya kesehatan seperti yang dicanangkan dalam Peraturan Mentri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) perlu adanya pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas oleh
penyelenggara kesehatan. Oleh sebab itu dituntut kinerja yang tinggi dari
penyelenggara kesehatan itu sendiri.
Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu, Penulis bertugas membantu
Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Bidang Yankes.

iii
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah
bagaimana pelaksanaan pelayanan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Labuhanbatu?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk
Mengetahui pelaksanaan pelayanan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Labuhanbatu.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Program Katarak


Katarak berasal dari bahasa Yunani “Katarrhakies” yang berarti air terjun.
Dalam bahasa Indonesia, katarak disebut sebagai bular dimana penglihatan seperti
tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa,
denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya.
Terdapat berbagai gejala awal yang menjadi petunjuk bahwa Anda menderita
penyakit katarak, gejala tersebut adalah :
1. Pandangan mata menjadi buram pada saat melihat suatu objek atau membaca
suatu tulisan.
2. Sensitifitas terhadap cahaya atau sinar menjadi tinggi.
3. Pada saat melihat objek benda dan cahaya dengan menggunakan satu mata
saja, objek dapat terlihat seperti ganda.
4. Kesulitan melihat pada malam hari.
5. Pada saat memandang sinar akan muncul lingkaran cahaya pada penglihatan.
Penyakit katarak, dapat diantisipasi dengan melakukan tiga tahapan
pemeriksaan mata bertujuan untuk mendiagnosa penyebab dan gejala penyakit
katarak sejak dini, diantaranya merupakan :
1. Periksa Mata (Tes Ketajaman Penglihatan)
Pasien akan diperlihatkan sebuah papan huruf yang terdiri dari berbagai huruf
besar hingga huruf kecil dan akan diminta untuk membacanya. Pemeriksaan
seperti ini harus dilakukan minimal setahun sekali.
2. Pemeriksaan Lampu
Celah Pemeriksaan jenis ini, menggunakan alat pembesar (Magnification) dan
bantuan cahaya ( Slit lamp ). Alat ini digunakan untuk mendeteksi apabila
adanya selaput atau benda kecil yang terdapat pada mata.

v
3. Pemeriksaan Retina Mata
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan obat tetes mata yang
berfungsi untuk membesarkan pupil mata dalam mengecek penyakit katarak
tersebut.

2.1.1 Faktor Resiko


Katarak merupakan suatu penyakit yang multifaktorial. Antara faktor risiko
penyakit katarak adalah usia yang lanjut, jenis kelamin perempuan, indeks massa
tubuh yang tinggi, hipertensi dan penyakit diabetes mellitus.
a. Usia yang lanjut
Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang berlaku pada pasien yang
berumur lebih dari 50 tahun yang tidak diakibatkan oleh trauma mekanik,
kimiawi atau radiasi yang diketahui. 48% dari kasus kebutaan diakibatkan oleh
jenis katarak ini. Antara mekanisme yang menybabkan berlakunya katarak
akibat usia adalah aggregasi protein dalam lensa, kerusakkan sel-sel serat
membran dan migrasi abnormal sel epitel lensa mata.
b. Jenis kelamin perempuan
Perempuan lebih cenderung mendapat penyakit katarak dari laki-laki.
Patogenitas yang spesifik terjadinya katarak akibat faktor risiko ini masih belum
difahami dengan sepenuhnya, namun hal ini kemungkinan karena penurunan
estrogen yang berlaku pasca menopause pada wanita.
c. Indeks massa tubuh yang tinggi
Indeks massa tubuh yang tinggi atau dengan lebih spesifik lagi, obesitas,
menunjukkan hubungan yang inkonsisten dengan kejadian katarak. Oleh itu,
kausalitas katarak akibat obesitas masih tidak dapat dibuktikan.
d. Hipertensi
Oleh karena katarak berhubungan dengan inflamasi sistemik berat, hipertensi
dapat mempengaruhi patogensis pembentukkan katarak melalui mekanisme
infalmasi. Selain itu, terdapat teori di mana hipertensi bisa menyebabkan
perubahan protein lensa yang terjadi pada katarak menjadi permanen. Namun,
hasil penelitian epidemiologi mash inkonsisten mengenai mekanisme hipertensi
sebagai faktor risiko katarak.

vi
e. Diabetes mellitus
Penyakit diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan stres
oksidatif, stress osmotic dan glikasi tanpa enzim pada lensa mata. Hal-hal ini
dapat menyebabkan kejadian katarak.

2.1.2 Manifestasi Klinis Katarak


Kebanyakkan pasien katarak mengalami penglihatan yang kabur. Onset
gangguan penglihatan ini adalah lambat dan progresif. Hal ini dapat bertimbul
melalui kesukaran membaca tulisan yang halus atau seseorang itu memerlukan
cahaya yang lebih terang dari biasa unuk membaca. Pasien juga mengalami
gangguan silau yang disebabkan oleh matahari atau lampu kenderaan pada hari
malam. Hal ini diakibatkan oleh dispersi cahaya yang berlaku akibat kekeruhan
lensa yang berlaku pada pasien katarak. Pasien juga dapat mengalami gangguan
persepsi warna, di mana warna kelihatan seperti desaturasi, kekurangan kontras
ataupun terdapat distorsi kekuningan. Oleh karena katarak bersifat progresif,
penurunan kemampuan penglihatan juga berlaku secara progresif. Katarak yang
mengganggu upaya penglihatan seseorang dapat didefinisikan dengan nilai Snellen
sebanyak 6/12. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan kekeruhan lensa yang progresif

2.1.3 Penatalaksanaan Katarak


Penatalaksanaan untuk katarak yang mengakibatkan gangguan penglihatan
signifikan umumnya adalah pembedahan. Ini karena penatalaksanaan kuratif selain
pembedahan belum dijumpai.Namun, terdapat juga penatalaksanaan farmakologi
yang menangani katarak secara simptomatik. Penatalaksanaan non farmakologi :
Penatalaksanaan farmakologi :
1. Inhibitor Aldose Reduktase (ARI) Obat ini berfungsi untuk menginhibisi enzim
aldose reduktase yang bermain peranan yang besar dalam pembentukkan
katarak gula. Contoh obat ARI adalah Alrestatin, Imretat dan Epalrestat.
2. Antioksidan Berfungsi untuk mengurangi stres oksidatif lensa yang diakibatkan
akumulasi poliol pada katarak diabetik. Contoh obat antioksidan adalah seperti
asam alfa lipoik, vitamin E dan piruvat. Namun, beberapa penelitian
mengatakan bahwa obat-obat ini memberi efek kurang signifikan dalam
penanganan katarak.

vii
3. Obat Untuk Penanganan Edema Macular Setelah Pembedahan Katarak. Obat-
obat seperti anti inflamatorik non-steroid dapat menghalang enzim
siklooksigenase yang berfungsi untuk menghasilkan prostaglandin (Pollreisz,
A.dan Schimdt-Erfurht, U. 2010). 2.2.8.2 Pembedahan Pembedahan
merupakan satu-satunya penatalaksanaan kuratif dari katarak, di mana lensa
akan diangkat dan digantikan oleh lensa palsu, lensa donor atau kaca mata
afakia.
Penatalaksanaan katarak dilakukan berdasarkan tingkat keparahan katarak
dan terganggunya kualitas hidup pasien. Saat ini tatalaksana pembedahan masih
menjadi satu satunya tatalaksana kuratif dari katarak.
Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan yang terbukti mampu
memperlambat atau menghilangkan katarak. Beberapa agen yang diduga dapat
memperlambat pertumbuhan katarak adalah penurun sorbitol, aspirin, dan vitamin C,
namun belum ada bukti yang signifikan mengenai hal tersebut
Berikut merupakan indikasi dan kontraindikasi pembedahan katarak. Indikasi :
1. Penurunan kualitas penglihatan sehingga menganggu kehidupan seharian
pasien.
2. Anisometropeia signifikan.
3. Lensa mengakibatkan inflamasi atau glaukoma sekunder.
4. Lensa mengakibatkan angle closure.
5. Kekeruhan lensa mengganggu diagnosis atau penatalaksanaan dari kondisi
segmen posterior.
Kontraindikasi :
1. Kualitas penglihatan pasien belum lagi mengganggu aktivitas seharian.
2. Pembedahan tidak dapat membaiki kualitas penglihatan, dan tidak terdapat
indikasi untuk mengangkat lensa yang lain.
3. Pasien tidak dapat melalui pembedahan dengan aman akibat komormiditas
okular atau lainnya.
4. Penanganan pasca operasi pasien tidak dapat dilakukan.
5. Pasien atau keluarga pasien tidak memberiinformed consent.
Terdapat beberapa jenis teknik pembedahan untuk mengangkat lensa dalam
kasus katarak :

viii
1. Pharmacoemulsification.
2. Manual Small Incision Cataract Surgery.
3. Extracapsular Cataract Extraction.
Tujuan dari tindakan pembedahan ini adalah untuk mengangkat lensa yang
keruh dari mata.
Operasi katarak dari waktu ke waktu semakin berkembang, baik dalam hal
teknik operasi, bentuk dan panjang sayatan, arsitektur luka, dan jumlah jahitan. Hal
ini ditujukan agar tercapainya prosedur operasi yang aman dan juga memiliki
efektivitas yang tinggi. Parameter keberhasilannya adalah pemulihan yang cepat,
efek samping dan komplikasi yang minimal, serta tajam penglihatan setelah operasi
optimal dan stabil, sehingga kualitas hidup pasien dapat menjadi lebih baik.
Operasi katarak merupakan operasi yang paling banyak dilakukan di dunia.
Metode yang pada umumnya dipilih adalah metode yang menyisakan bagian
posterior dari kapsul lensa yang disebut juga dengan ekstraksi katarak
ekstrakapsular.
Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, pada arah superior atau
temporal. Dibuat celah di kapsul anterior (anterior capsulorhexis), kemudian nukleus
dan korteks lensa dikeluarkan. Lensa intraokular dimasukkan kedalam kantong
kapsul yang disokong oleh kapsul posterior.
Tidak seperti ekstraksi katarak ekstrakapsuler, operasi ini membuang lensa
dan kapsul secara keseluruhan tanpa meninggalkan kapsul posterior. Operasi
ekstraksi katarak intrakapsuler diindikasikan untuk katarak hipermatur, intumescent
cataract, katarak dengan dislokasi lensa akibat zonula yang tidak stabil, dan jika
fasilitas mikroskop operasi kurang memadai. Metode ini dahulu dilakukan sebelum
teknik katarak ekstrakapsuler semakin dikembangkan.
Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari metode ini yaitu prosedurnya
relatif mudah, menggunakan peralatan yang sederhana dan pemulihan visus dapat
dilakukan dengan menggunakan kacamata 10 Dioptri segera setelah operasi.
Sedangkan kekurangannya adalah irisan yang besar membuat penyembuhan
menjadi lebih lama, dapat menimbulkan komplikasi iris dan vitreous inkarserata,
ablasio retina, serta mencetuskan astigmatisma.

ix
Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak ekstrakapsular dengan
mengemulsifikasikan lensa menggunakan gelombang ultrasonik 40.000 MHz. Teknik
fakoemulsifikasi banyak digunakan saat ini.
Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik untuk memecah nukleus yang
keras sehingga isi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui insisi kecil berukuran
2,5 - 3,0 mm. Ukuran insisi yang sama juga cukup untuk memasukkan lensa
intraokuler yang dilipat. Jika lensa intraokuler rigid digunakan, insisi harus
diperpanjang hingga 5 mm.

2.2 Sunat Massal


Menurut Gunawan (2016), para ahli modern telah mendapatkan berbagai hasil
penelitian ilmiah, bahwa bermacam-macam penyakit organ seks yang muncul lebih
banyak ditemukan pada orang-orang yang tidak dikhitan. Prof. Wezwill menulis
sebuah artikel, ia menyatakan. “saya pada awalnya adalah salah seorang yang
sangat menentang dan memusuhi khitan. Pada tahun 1975 saya telah mulai
mengampanyekan larangan khitan. Namun, pada decade delapan puluhan saya
mendapati hasil sebuah penelitian medis yang mengungkapkan adanya
peradangan-peradangan pada kelamin anak-anak yang tidak dikhitan. Setelah itu
saya meneliti lebih lanjut dan melakukan pengujian secara seksama terhadap hasil
penelitian yang didapatkan sebelumnya. Ternyata hasil yang didapatkan cukup
mengejutkan, yaitu sebaliknya dari pada yang selama ini saya yakini. Bahwa
penelitian tersebut benar, dimana anak yang tidak dikhitan akan timbul pada
kelaminnya berbagai penyakit yang membahayakan. Sejak itulah akhirnya saya
berubah haluan 180 derajat dengan mengampanyekan khitan agar dilakukan bagi
anak-anak.
Khitan merupakan suatu keharusan bagi setiap umat muslim di seluruh dunia.
biasanya sunat dilakukan kepada laki-laki muslim namun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pada laki-laki non muslim. Sunat adalah tindakan memotong
kulit di ujung kemaluan seorang laki-laki. Bicara soal khitan saya akan membahas
khitan tradisional di masyarakat pada umumnya. Khitan tradisional dilakukan saat
anak berusia kurang lebih 9 sampai 15 tahun, berikut ini tahap-tahap khitan
tradisional:

x
1. Anak akan disuruh mandi pada saat hari masih sangat pagi. di bersihkan
seluruh kemaluan anak sampai benar-benar bersih. Si anak lalu di suruh
berendam di air yang sangat dingin. kegunaannya adalah untuk proses bius
tradisional agar tidak terlalu sakit saat kulit kulupnya di potong.
2. Si anak di dudukkan di pangkuan orangtuanya berhadapan dengan
calak/mantri/paraji/tukang sunat dan badan, tangan, dan kaki mereka dipegang
erat-erat ini dimaksudkan agar anak tidak bergerak sewaktu di sunat karena
akan membahayakan. biasanya dibutuhkan 3 orang untuk memegangi badan,
tangan, dan kaki si anak agar tidak meronta.
3. Jika si anak sudah terpegangi erat-erat maka juru sunat tersebut akan mulai
beraksi. Ditariknya ujung kulup anak lalu di tarik ke belakang agar kepala penis
anak tersebut mumcul. kemudian diambilnya kapas dan dibersihkan kepala
penis tersebut dari kotoran kotoran yang menempel. setelah dirasa cukup
bersih rongga diantara kulup dan kepala penis akan dimasukkan sebatang
bambu lalu juru sunat tersebut akan memberi tanda dimana akan memotong
kulup tersebut.
4. Juru sunat akan menarik sepanjang panjangnya kulit kulup tersebut hingga si
anak berteriak hal itu bertujuan agar kulit kulup mudah untuk di potong. setelah
di tarik sebilah bambu penjepit di jepitkan pada kulup anak tersebut terdengar
si anak berteriak kesakitan karena penjepit tersebut memang dipasang sangat
kuat agar tidak mudah terlepas dan dimaksudkan agar kepala penis tidak ikut
terpotong.
5. Setelah penjepit di pasang maka selanjutnya adalah proses pemotongan. juru
sunat akan mengambil alat potong. biasanya alat yg digunakan adalah sebilah
bambu tajam/pisau kecil/bisa juga pecahan batok kelapa kering yang tajam.
juru sunat akan membacakan mantra. lalu dipotongnya kulup anak tersebut
dengan mengesekkan alat potong tersebut ke kulit kulup si anak. si anak pun
meangis sekencang-kencangnya karena sakit luarbiasa, panas, perih di
kemaluannya para orangtua biasanya akan lebih erat memegangi anak
tersebut karena anak tersebut akan lebih kuat meronta-ronta. sekitar 2 menit
proses pemotongan berlangsung. dan selama itu pula biasanya si anak
menagis dan meronta sekencang-kencangnya.

xi
6. Setelah proses pemotongan selesai juru sunat akan menarik penjepit bambu
sampai terlepas. pada saat penjepit di lepas darah akan deras keluar dari luka
potongan tadi. juru sunat akan menarik sisa kulup ke belakang dan melipatnya
ke dalam lalu mengambil perban dan melilitnkan pada kemaluan anak tersebut.
7. Setelah semuanya selesai si anak lalu di tidurkan dan biasanya akan diberikan
ucapan selamat dan mendapat hadiah, uang maupun yang laun dari keluarga
dan tetangganya yang datang menjenguk. terdengar si anak masih menangis
kesakitan pada kemaluannya. setelah itu biasanya akan diadakan acara
selamatan bagi si anak. Itulah sedikit cerita proses khitan tradisional yang ada
di masyarakat kita. namun pada jaman sekarang keberadaanya sudah tak lagi
nampak kecuali di pelosok pedalaman. Khitan tradisional dianggap sudah tak
lagi baik di gunakan karena menimbulkan kesakitan yang luar biasa.

2.3 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)


2.3.1 Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Menurut Undang-undang No.40 tahun 2004, Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial. BPJS yang dimaksud adalah:
1. Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
2. Perusahaan Perseroan Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN).
3. Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI).
4. Perusahaan Perseroan Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan kesehatan. Penyelenggarakan pelayanan kesehatan meliputi
semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa
fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.71 tahun 2013 pasal 2, fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan adalah :
1. Puskesmas atau setara;
2. Praktik dokter;

xii
3. Praktik dokter gigi;
4. Klinik pratama atau yang setara; dan
5. Rumah sakit kelas D pratama atau yang setara
Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan adalah:
1. Klinik utama atau setara;
2. Klinik rumah saki umum; dan
3. Rumah sakit khusus
Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS
kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komperhensif, pelayanan
komperehensif adalah pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, pelayanan kebidanan dan pelayanan kesehatan darurat medis,termasuk
pelyanan penunjang meliputi pemeriksaan labolatorium sederhana dan pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.3.2 Kepesertaan Jaminan Kesehatan


Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Pekerja adalah setiap
orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, hukum, atau badan lainnyan
yang memperkerjakan tenaga kerja, atau penyelenggaraan negara yang
memperkerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
lainnya. Setiap orang, selain pemberi, pekerja dan penerima bantuan iuran yang
memenuhi persyaratan dalam program jaminan sosial wajib mendaftarkan dirinya
dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program
jaminan sosial yang diikuti.
Pemerintah mendaftarkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan anggotanya
sebagi peserta kepada BPJS. Peserta PBI adalah masyarakat Indonesia yang
masuk dalam kategori fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta Jaminan
Kesehatan Nasional. Farkir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Orang
Tidak Mampu adalah orang mempunyai sumber mata pemcaharian, gaji atau upah,

xiii
yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu
membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya (PP No.101, 2012).
Dalam kebijakan program JKN yang menjadi peserta memiliki ketentuan
tersendiri. Peserta dalam program ini adalah setiap orang, termasuk orang asing
yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar
iuran. Peserta tersebut meliputi: PBI JKN dan bukan PBI JKN dengan rincian
sebagai berikut:
a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu.
b. Peserta bukan PBI adalah peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang
yang tidak mampu yang terdiri atas:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil;
2. Anggota TNI;
3. Anggota Polri;
4. Pejabat Negara;
5. Pegawai Pemerintahan Non Pegawai Negeri;
6. Pegawai Swasta; dan
7. Pekerja yang tidak termasuk urutan 1 sampai dengan 6 yang menerima
upah
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, yaitu:
1. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri.
2. Pekerja yang yang tidak termasuk nomor 1 yang bukan penerima upah.
3. Pekerja sebagaimana dimaksud nomor 1 dan nomor 2, termasuk warga
negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya, yaitu:
1. Investor;
2. Pemberi kerja;
3. Penerima pensiun;
4. Veteran;
5. Perintis kemerdekaan; dan
6. Bukan pekerja yang tidak termasuk urutan 1 sampai 5 yang mampu
membayar iuran.
4) Penerima pensiun terdiri atas:
xiv
1. Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
2. Anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pension;
3. Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
4. Penerima pensiun selain nomor 1, nomor 2, nomor 3; dan
5. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana
dimaksud pada poin 1 sampai dengan 4 yang mendapat hak pensiun.

2.4 Krisis Kesehatan dan Pasca Krisis Kesehatan


Krisis Kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau
adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang
membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak
memadai.
Penyediaan obat dalam situasi krisis merupakan salah satu unsur penunjang
yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada saat krisis. Oleh karena itu
diperlukan adanya persediaan obat dan perbekalan Kesehatan sebagai penyangga
bila terjadi krisis mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat. Penyediaan
dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan krisis
pada dasarnya tidak akan membentuk sarana dan prasarana baru, tetapi
menggunakan sarana dan prasarana yang telah tersedia, hanya intensitas
pekerjaannya ditingkatkan dengan memberdayakan sumber daya daerah (Kab/Kota/
Provinsi). Pengaturan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan adalah
sebagai berikut:
1. Posko Kesehatan langsung meminta obat dan perbekalan kesehatan kepada
Dinas Kesehatan setempat.
2. Obat dan Perbekalan Kesehatan yang tersedia di Pustu dan Puskesmas dapat
langsung dimanfaatkan untuk melayani korban krisis, bila terjadi kekurangan
minta tambahan ke Dinkes Kab/Kota (Instalasi Farmasi Kab/Kota).
3. Dinkes Kab/Kota (Instalasi Farmasi Kab/Kota) menyiapkan obat dan
perbekalan kesehatan selama 24 jam untuk seluruh sarana kesehatan yang
melayani korban krisis baik di Puskesmas, pos kesehatan, RSU, Sarana
Pelayanan Kesehatan TNI dan POLRI maupun Swasta.
xv
4. Bila persediaan obat di Dinkes Kab/Kota mengalami kekurangan dapat segera
meminta kepada Dinkes Provinsi dan atau Depkes c.q Pusat Penanggulangan
Krisis berkoordinasi dengan Ditjen Binfar dan Alkes.
Prinsip dasar dari pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada situasi
krisis adalah harus cepat, tepat dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, dengan
banyaknya institusi kesehatan yang terlibat perlu dilakukan koordinasi dan
pembagian wewenang dan tanggung jawab.
Pendayagunaan tenaga mencakup:
1. Distribusi Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan untuk
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah Dinas Kesehatan. Pada saat
krisis, bantuan kesehatan yang berasal dari dalam/luar negeri diterima oleh
kantor kesehatan pelabuhan (KKP) yang akan didistribusikan kepada instansi
yang berwenang, dalam hal ini Dinas Kesehatan.
2. Mobilisasi Mobilisasi SDM kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan SDM kesehatan pada saat dan pasca krisis bila:
- Masalah kesehatan yang timbul akibat krisis tidak dapat diselesaikan oleh
daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari daerah atau regional.
- Masalah kesehatan yang timbul akibat krisis seluruhnya tidak dapat
diselesaikan oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari
regional, nasional dan internasional.
Langkah-langkah mobilisasi yang dilakukan:
1. Menyiagakan SDM kesehatan untuk ditugaskan ke wilayah yang terkena krisis
2. Menginformasikan kejadian krisis dan meminta bantuan melalui:
- Jalur administrasi/Depdagri (Puskesmas  Camat  Bupati  Gubernur 
Mendagri)
- Jalur administrasi/Depkes (Puskesmas  Dinkes Kab/Kota  Dinkes Provinsi
 Depkes)
- Alur rujukan medik (Puskesmas  RS Kab/Kota  RS Prov  RS rujukan
wilayah  Ditjen Bina Yanmed/ Depkes).

xvi
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Ada Beberapa Program di Bidang Yankes yaitu Katarak, Sunat Massal,
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Krisis Kesehatan dan Penanganan
Krisis Kesehatan.
Katarak berasal dari bahasa Yunani “Katarrhakies” yang berarti air terjun.
Dalam bahasa Indonesia, katarak disebut sebagai bular dimana penglihatan seperti
tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa,
denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya.
Penyakit katarak, dapat diantisipasi dengan melakukan tiga tahapan
pemeriksaan mata bertujuan untuk mendiagnosa penyebab dan gejala penyakit
katarak sejak dini, diantaranya yaitu Periksa Mata (Tes Ketajaman Penglihatan),
Pemeriksaan Lampu dan Pemeriksaan Retina Mata.
Khitan merupakan suatu keharusan bagi setiap umat muslim di seluruh dunia.
biasanya sunat dilakukan kepada laki-laki muslim namun tidak menutup
kemungkinan dilakukan pada laki-laki non muslim. Sunat adalah tindakan memotong
kulit di ujung kemaluan seorang laki-laki. Bicara soal khitan saya akan membahas
khitan tradisional di masyarakat pada umumnya. Khitan tradisional dilakukan saat
anak berusia kurang lebih 9 sampai 15 tahun.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan kesehatan. Penyelenggarakan pelayanan kesehatan meliputi
xvii
semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa
fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.
Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS
kesehatan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komperhensif, pelayanan
komperehensif adalah pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, pelayanan kebidanan dan pelayanan kesehatan darurat medis,termasuk
pelyanan penunjang meliputi pemeriksaan labolatorium sederhana dan pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Krisis Kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau
adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang
membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak
memadai.
Penyediaan obat dan SDM Kesehatan dalam situasi krisis merupakan salah
satu unsur penunjang yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada saat
krisis. Oleh karena itu diperlukan adanya persediaan obat dan perbekalan
Kesehatan sebagai penyangga bila terjadi krisis mulai dari tingkat kabupaten,
provinsi sampai pusat. Penyediaan dan pendistribusian obat dan perbekalan
kesehatan dalam penanggulangan krisis pada dasarnya tidak akan membentuk
sarana dan prasarana baru, tetapi menggunakan sarana dan prasarana yang telah
tersedia, hanya intensitas pekerjaannya ditingkatkan dengan memberdayakan
sumber daya daerah (Kab/Kota/ Provinsi).

xviii
xix
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Kualitas Pelayanan Kesehatan Puskesmas Di Kecamatan Enrekang


Kabupaten Enrekang. UNHAS. 2015
Depkes RI, Pedoman Teknis Krisis Kesehatan Penanggulangan Bencana, Jakarta,
2007
Dewantara Bangun, Tradisi Khitanan (Rekontruksi Pengetahuan Dari Praktik Khitan
Pada Pria Non Muslim Di Kota Medan), USU, 2018
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 Tentang
Penanggulangan Krisis Kesehatan
Retno Dwi Harianti, Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) Di Kota Semarang, UNNES, 2017

20

Anda mungkin juga menyukai