1
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas surveilans yang berjudul “SURVEILANS RUMAH
SAKIT DI RUMAH SAKIT ANAK DAN BUNDA HARAPAN KITA, JAKARTA “ ini dapat
terselesaikan. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui proses lapangan surveilans yang
terjadi di pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dan mahasiswa menjadi
lebih mudah untuk memahami tentang sistem surveilans.
Kelompok menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan ataupun penulisannya. Mungkin dalam Makalah ini terdapat
banyak kata yang kurang tepat, untuk itu kami mohon maaf. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga laporan hasil pengapatan surveilans di rumah sakit anak dan bunda harapan kita
ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
2
DAFTAR ISI
BAB I ......................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................ 7
PROFIL .................................................................................................................................... 26
3.1 Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita ....................................... 26
3.2 Visi dan Misi RS Anak dan Bunda Harapan Kita ............................................... 26
3.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita .................. 27
BAB IV .................................................................................................................................... 29
3
4.1 Penanggung Jawab Kegiatan Surveilans .............................................................. 29
BAB V ..................................................................................................................................... 43
PENUTUP................................................................................................................................ 43
5.2 Saran......................................................................................................................... 44
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi perkembangan teknologi membuat mobilisasi manusia
maupun barang menjadi sangat tinggi dan sangat cepat, kondisi tersebut berpengaruh
terhadap risiko penularan penyakit secara global. Dunia saat ini menghadapi
ancaman penjangkitan Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu timbulnya suatu kejadian
dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan atau kematian melebihi keadaan
biasa pada suatu kelompok masyarakat dalam periode waktu tertentu. Selain itu
perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global juga semakin cepat, kondisi ini
akan mempengaruhi pola dan jenis penyakit potensial KLB baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Indonesia mengalami episode besar Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
menular, beberapa penyakit potensial yang terjadi setiap tahunnya seperti malaria,
demam dengue, leptospirosis, diare, kolera, difteri, antraks, rabies, campak, pertusis
maupun ancaman flu burung pada manusia. Letak Indonesia yang strategis secara
geografis, kepadatan penduduk, iklim tropis dan buruknya infrastruktur kesehatan
menjadikan lahan subur untuk munculnya kembali penyakit menular, apabila tidak
dipantau dan dikendalikan maka akan meningkatkan jumlah kasus, meningkatkan
durasi wabah dan kematian serta potensi untuk menyebar ke negara tetangga.
Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien. Sasaran
penyelenggaraan Surveilans Kesehatan meliputi program kesehatan yang ditetapkan
berdasarkan prioritas nasional, spesifik lokal atau daerah, bilateral, regional dan global,
serta program lain yang dapat berdampak terhadap kesehatan.
Sistem Surveilans Epidemiologi mempunyai peran yang sangat penting sebagai
intelijen penyakit dan mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi epidemiologi
5
untuk manajemen kesehatan, mendukung pengambilan keputusan dan penyusunan
perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa
(SKD-KLB). Dalam konteks desentralisasi, daerah dituntut untuk dapat mandiri dan
mampu melaksanakan surveilansepidemiologi secara profesional.
Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita adalah badan layanan
umum dibawah Kementerian Kesehatan yang merupakan rumah sakit rujukan nasional
untuk kesehatan ibu dan anak yang memiliki tim surveilans untuk pengamatan berbagai
penyakit KLB dijakarta. Adapun sistem dan prosedur yang telah dilakukan Rumah Sakit
Anak dan Bunda ( RSAB ) Harapan Kita untuk pengamatan KLB.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan Manajemen Surveilans Epidemiologi Penyakit Potensi Kejadian
Luar Biasa (KLB) di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui manajemen surveilans epidemiologi penyakit potensi kejadian
luar biasa (KLB) di Rumah Sakit Anak Dan Bunda Harapan Kita, Jakarta.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Surveilans
WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis
berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan
menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam
membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, di dalam suatu sistem surveilans, hal yang perlu digaris bawahi adalah
:
a. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara
berkesinambungan, bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu
waktu.
b. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data,
namun yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis,
interpretasi data serta pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut,
sampai kepada evaluasinya.
c. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas
yang baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam
menghasilkan kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien.
2.2 Jenis – Jenis Surveilans
Jenis Surveilans Sistem surveilans sendiri, walaupun pada dasarnya terdiri dari
empat proses, yaitu pengumpulan data, analisis, interpretasi, serta diseminasi dan
feedback, memiliki fleksibilitas dalam penerapannya.
Berdasarkan pendekatan atau sumber data surveilans kesehatan Masyarakat
dibagi menjadi dua jenis:
A. Surveilans aktif
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
7
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans
aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas
yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi out break lokal. Kelemahan surveilans
aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community
surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung
dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan
diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat
membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin
(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di
tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang
memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi
kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006). Pada sistem surveilans ini dituntut
keaktivan dari petugas surveilans dalam mengumpulkan data, baik dari
masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan kesehatan. Sistem surveilans ini
memberikan data yang paling akurat serta sesuai dengan kondisi waktu saat
itu. Namun kekurangannya, sistem ini memerlukan biaya lebih besar
dibandingkan surveilans pasif.
B. Surveilans pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu sistem
kesehatan ada sistem pelaporan yang dibangun dari 10 unit pelayanan
kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan. Pelaporan
ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin manajerial
yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program (laporan manajerial
program). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif
murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan
8
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga
dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-
reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama
memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk
mengatasi problem tersebut, instrument pelaporan perlu dibuat sederhana dan
ringkas.
Berdasarkan Jenis Surveilans dibagi beberapa jenis diantaranya yaitu sebagai
berikut :
A. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas
orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus
penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last,
2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS
1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina, yaitu:
1. Karantina total
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan
orang yang tak terpapar.
2. Karantina parsial
9
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi
penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di
pospos lainnya tetap bekerja.
B. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara,
pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans
malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif,
tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,
karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit
vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya
untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif,
sehingga mengakibatkan inefisiensi.
C. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau
temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit. Surveilans
10
sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan
laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter
yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus
sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan
mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur
dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini
dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang
mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan,
laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans
sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara
yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber
daya yang terbatas.
D. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui
makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit
dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
E. Surveilans terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
11
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001,
2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:
Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services)
Menggunakan pendekatan solusi majemuk
Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural
Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya)
Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans
yang berbeda (WHO, 2002).
F. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya
epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman
aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemergingdiseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan
SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor
baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi.
12
2.3 Sumber Data Surveilans
Sumber data dalam survelans epidemiologi menurut kemenkes RI no.
1116/menkes/sk/VIII/2003:
a) Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat
b) Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan
kantor pemerintah dan masyarakat
c) Data demografi yang dapat diperoleh dari unit ststistik kependudukan dan
masyarakat
d) Data geografi yang dapat di peroleh dari unit unit meteorologi dan geofisika
e) Data laboratorium yang dapat di peroleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat
f) Data kondisi lingkungan
g) Laporan wabah
h) Laporan penyelidikan wabah/KLB
i) Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j) Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya
k) Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat
l) Laporan kondisi pangan.
13
Cakupan kegiatan surveilans sendiri cukup luas, mulai dari deteksi dini kejadian luar
biasa/ wabah, pencegahan penyakit menular, sampai kepada pencegahan penyakit kronik
(tidak menular) yang dapat dilakukan dalam jangka waktu perubahan pola perilaku
sampai kepada timbulnya penyakit tersebut. Surveilans dapat digunakan untuk
mengumpulkan data berbagai elemen rantai penyakit, mulai dati faktor resiko perilaku,
tindakan preventif, maupun evaluasi program dan cost unit. Dengan kata lain, sistem
surveilans diperlikan untuk mendapatkan gambaran beban penyakit suatu komunitas,
termasuk jumlah kasus, insidensi, prevalensi, case-fatality rate, rate mortalitas dan
morbiditas, biaya pengobatan, pencegahan, potensi epidemik dan informasi mengenai
timbulnya penyakit baru.
14
Tabel 1. Manifestasi klinis CRS
KELOMPOK A KELOMPOK B
Purpura
Gangguan pendengaran Splenomegali
Mikrosefali
Pigmentary retinopathy
setelah lahir
Catatan:
* Penyakit jantung kongenital yang termasuk ke dalam kriteria suspek CRS adalah
minimal salah satu dari:
1. Patent Ductus Arteriosus (PDA),
Khusus PDA pada bayi prematur jika PDA tidak menutup
spontan sampai bayi berusia 2 bulan, maka dikategorikan
suspek CRS.
2. Pulmonary Stenosis (PS)
3. Atrial Septal Defect (ASD)
4. Ventricular Septal Defect (VSD)
**Satu atau keduanya dihitung sebagai satu
15
Table 2. Jenis pemeriksaan untuk penetapan diagnosis suspek CRS
1) Suspek CRS
Bayi berusia <12 bulan dan memiliki minimal satu manifestasi klinis dari
kelompok A.
2) CRS klinis
Bayi berusia <12 bulan dengan:
- Dua (2) manifestasi klinis dari kelompok A; atau
- Satu (1) manifestasi klinis dari kelompok A dan satu (1) manifestasi klinis
dari kelompok B Yang tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
3) CRS Pasti
Kasus suspek CRS dengan pemeriksaan laboratorium
16
menunjukkan hasil salah satu diantara berikut:
- jika usia bayi <6 bulan: IgM rubella positif
- jika usia bayi 6 bulan - <12 bulan:
IgM dan IgG rubella positif; atau
IgG dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu 1 bulan) positif
sesuai standar laboratorium yang terakreditasi (WHO atau ISO atau
JCI)
4) Bukan CRS (Discarded CRS)
Suspek CRS yang tidak memenuhi kriteria CRS klinis dan tidak memenuhi
kriteria CRS pasti.
Mekanisme respon kekebalan pada CRS berbeda dengan yang terjadi pada
rubella atau penyakit virus lain. Saat dilahirkan serum bayi dengan CRS
mengandung IgG spesifik yang dibawa dari ibunya disamping antibodi IgG dan IgM
yang dibentuk dari tubuhnya sendiri. IgG spesifik rubella maternal ini juga bisa
ditemukan pada bayi normal yang dilahirkan dari ibu yang telah kebal terhadap
rubella. Karenanya, untuk mendiagnosis infeksi rubella congenital pada bayi,
dipakai IgM spesifik rubella. Produksi IgM oleh bayi paling cepat timbul pada
(Murray 2007)
trimester kedua saat usia kehamilan 20 minggu . Pada bayi dengan CRS,
IgM spesifik rubella bisa dideteksi hampir 100% pada umur 0 – 5 bulan; sekitar
60% pada umur 6 – 12 bulan; dan sekitar 40% pada umur 12 – 18 bulan; IgM jarang
terdeteksi lagi bila anak telah berusia 18 bulan atau lebih.
17
IgM spesifik rubella pada
bayi dengan CRS :
Gambar 1. Respon imun infeksi rubella terhadap ibu dan bayi(Chantler et al. 1982)
Karena timbulnya reaksi imunitas pada bayi dengan CRS mempunyai karakteristik yang
khas (seperti dijelaskan di sub bab imunologi), diagram alur penentuan kasus CRS dibedakan
menurut umur saat kasus itu ditemukan, yaitu: <6 bulan dan umur 6 bulan - <12 bulan
Gambar 2. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia < 6 Bulan
- Ibu penderita pernah terinfeksi rubela selama kehamilan (klinis atau lab positif)
- Ibu penderita pernah kontak dg penderita rubela selama kehamilan 18
- Dokter meyakini sebagai rubela
Bayi berusia < 1 bulan dengan manifestasi CRS yang pemeriksaan laboratoriumnya
negatif maka harus dilakukan pemeriksaan IgM kedua dengan jarak 1 bulan atau
maksimal sampai bayi berusia 6 bulan, karena setidaknya pada 20% bayi yang
terinfeksi, IgM rubella tidak dapat terdeteksi sampai usia 1 bulan (CDC, 2012 )
Gambar 3. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia 6 - <12 bulan
CRS pasti jika IgG dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu minimal 1 bulan)
memiliki hasil positif
Bayi berusia 6 - <12 bulan dengan hasil IgM negatif (IgM -) dan IgG positif (IgG +)
harus dilakukan pemeriksaan IgG kedua dengan jarak minimal 1 bulan
Bila sampai bayi berusia 12 bulan sampel darah kedua belum diperiksa, maka
kasus diklasifikasikan sesuai alur pada gambar 4.
19
c) Clinical Pathway (Penegakan Diagnosis) Kasus CRS
Clinical Pathway (CP) kasus CRS dibuat untuk menentukan diagnosis dan
memberikan rincian rencana tata laksana hari demi hari dengan standar
pelayanan yang dianggap sesuai yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu.
20
21
d) Pemeriksaan Spesimen Kasus CRS
o Anak usia <6 bulan hanya dilakukan pemeriksaan terhadap IgM
o Anak usia 6 - <12 bulan pemeriksaan dilakukan terhadap IgM dan IgG
23
Gambar 7. Alur Pengambilan Spesimen Suspek CRS 6 - <12 bulan
24
e) Pelaksana (Organisasi) Surveilans CRS
Evaluasi
Evaluasi terhadap surveilans CRS dilakukan secara berkala untuk melihat
keberhasilan surveilans CRS dalam mencapai tujuannya. Indikator yang
digunakan adalah indikator kinerja surveilans dan sejauh mana surveilans
CRS dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi di rumah sakit sentinel dapat dilakukan dengan:
o Menelaah register RS pada suatu periode tertentu (hospital record
review = HRR). Untuk menilai sensitifitas penemuan kasus di RS
dengan cara mengecek ada atau tidaknya kasus CRS yang
dilaporkan.(Lihat tata cara surveilans aktif RS pada BAB II).
o Mengecek keteraturan dan konsistensi kunjungan surveilans aktif
rumah sakit (SARS) untuk mencari kasus.
o Identifikasi penyebab rendahnya sensitifitas penemuan kasus di RS.
d. Peranan Tim Surveilans CRS Di Rumah Sakit
1. Peran Koordinator Rumah Sakit
- Bersama petugas surveilas PD3 I dinas kesehatan provinsi
melaksanakan pelatihan terhadap tenaga kesehatan di devisi-devisi
di rumah sakit.
- Memastikan bahwa pelaksanaan surveilans CRS di RS telah sesuai
dengan SOP.
- Mengidentifikasi suspect CRS dan memastikan kasus CRS telah
tercatat dan terlaporkan.
- Melakukan koordiasi dan komunikasi segera dengan koordinator
data dan kontak person di setiap devisi terkait setelah ditemukan
suspect CRS.
- Memastikan semua informasi klinis dan epidemiologis serta da5ta
yang lainnya yanga ada di form. Investigasi CRS( form CRS1)
telah diisi dengan lengkap oleh devisi terkait.
- Memastikan pengambilan, pmeriksaan dan pengiriman spesimen
sudah dilaksanakan sesuai SOP termasuk kelengkapan dokumen
pelaporan.
- Menentukan perlu tidaknya spesimen kedua.
- Menetapkan klasifikasi kasus berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.
- Memberi penjelasan kepada petugas rs dan keluarga yang kontak
langsung dengan penderita CRS agar mendapatkan imunisasi
rubella.
- Bersma dengan kontak person dan koordinator data melakukan
pertemuan rutin evaluasi surveilans CRS.
2. Peranan Petugas Surveilans CRS di RS
- Bersama petugas surveilans PD3I dinas kesehatan Provinsi dan
koordinator tim CRS RS melaksanakan pelatihan terhadap tenaga
kesehatan di devisi yang terkait dengan CRS di RS.
- Melakukan koordinasi dan komunikasi segera dengan koordinator
data dan koordinator RS setelah diketemukan kasus CRS.
- Memastikan form investigasi CRS didevisi terkait sudah terisi.
- Memastikan pengambilan spesimen sudah dilaksanakan sesuai
SOP.
- Mengkonsultasikan kasus suspect CRS ke devisi terkait.
- Memberi penjelasan kepada petugas RS dan keluarga yang kontak
langsung ke penderita agar mendapatkan imunisasi.
- Bersama dengan koordinator melakukan sosialisasi di unit masing-
masing dan pertemuan rutin dievaluasi surveilans CRS.
3. Peran koordinator RS CRS
- Melakukan koordianasi dan komunikasi segera di RS setelah
menerima iformasi kasus CRS.
- Memastikan semua kasus CRS telah tercatat dan terlaporkan.
- Memastikan semua informasi klinis, epidemiologis serta data
lainnya yang ada di form investigasi CRS telah diisi lengkap dan
benar.
- Memastikan semua kasus CRS telah dikonsultasikan ke bagian
terkait.
- Memastikan semua kasus CRS telah dilakukan pengambilan
spesimen.
- Melakukan koordinasi dengan lab. Rs dan PD3I dinad kesehatan
provinsi dalam pengiriman spesimen ke laboratorium nasional
campak rubella.
- Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium ke dalam formulir
investigasi CRS dan input ke web PD3I;
- Melakukan koordinasi dengan koordinator RS atau petugas
surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi dalam pengambilan
spesimen kedua
- Menginput data form investigasi CRS ke dalam format list kasus
CRS atau web PD3I, termasuk hasil laboratorium bila telah ada;
- Bila web PD3I tidak berfungsi, melaporkan format list kasus CRS
kepada petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi pada
tanggal 15 setiap bulannya (termasuk laporan nihil), dan
ditembuskan ke petugas surveilans PD3I Pusat melalui email
epidataino@gmail.com;
- Melakukan validasi data yang dikirimkan tim data PD3I pusat,
paling lambat tanggal 15 setiap bulannya;
- Mengarsipkan data surveilans CRS.
- Setiap bulan data yang telah diinput dalam web PD3I akan
dieksport ke excel dan diemail/diprint untuk disampaikan ke semua
tim CRS RS dan Petugas Surveilans PD3I provinsi;
- Membuat laporan bulanan ke dinas kesehatan provinsi.
e. Peran Laboratorium RS
- Bertanggung jawab terhadap pengambilan spesimen serum di RS.
- Jika laboratorium RS telah terakreditasi, maka pemeriksaan
spesimen serum dilakukan di RS;
- Jika laboratorium RS belum terakreditasi, maka sebagian spesimen
serum dapat diperiksa di RS (untuk kepentingan klinisi), sementara
sisanya disimpan pada suhu 2-80C. Spesimen yang telah disimpan
akan dikirim ke laboratorium nasional campak-rubella untuk
dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan surveilans CRS;
- Berkoordinasi dengan Koordinator Data RS terkait pemeriksaan
spesimen kasus CRS.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi
data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit/
pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit serta masalah
kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan
dilakukan.
Prinsip surveilans meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data,
pemberian umpan balik, pelaporan dan evaluasi. Beberapa macam surveilans ialah
surveilans individu, surveilans penyakit, surveilans sindromik, surveilans berbasis
laboratorium, surveilans terpadu dan durveilans masyarakat global.
Manfaat dari surveilans ialah memperkirakan besarnya masalah kesehatan
yang penting sebagai gambaran perjalanan alami suatu penyakit, deteksi KLB,
dokumentasi, distribusi, dan penyebaran peristiwa kesehatan, bermanfaat untuk
epidemiologi dan penelitian laboratorium, untuk kepentingan evaluasi pengendalian
dan pencegahan, sebagai tool monitoring kegiatan karantina, dapat memperkirakan
perubahan dalam praktek kesehatan dan sebagai perencanaan.
Surveilans yang dilaksanakan di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Jakarta diantaranya meliputi surveilans DBD, surveilans AFP, surveilans CRS,
surveilans kelainan bawaan kongenital (bird defect).
Sejalan dengan target global maka Indonesia telah berkomitmen untuk
mencapai eliminasi campak dan pengendalian rubellalCongenr“i:aI Rubella
Syndrome (SRS) tahun 2020. Survuilans CRS diperlukan untuk mengetahui
epidemiologi dan beban penyakit CRS di masyarakat. Data surveilans CRS juga
dapat digunakan sebagai alat advokasi untuk mendapatkan dukungan yang kuat dari
pemerintah dalam program pengendalian rubella di Indonesia. Untuk
membangun sistem surveilans CRS, indonesia telah mengembangkan surveilans
sentinel CRS yang melibatkan Rumah Sakit dan petugas koordinator surveilans
PD3I di 13 RS di 10 provinsi. Surveilans CRS dilaksanakan secara lintas program
dan melibatkan multi unit di Rumah Sakit. sehingga perlu harmonisasi yang
diperkuat oleh suatu pedoman yang mengatur jejaring kerja surveilans CRS secara
nasional.
5.2 Saran
1. Surveilans kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan dalam perencanaan
dan penanggulangan penyakit terutama dalam penanggulangan wabah
(KLB). Maka dari itu dalam pengoperasian data surveilans haruslah
relevan dan akurat sehingga dalam pengambilan keputusan menjadi tepat
sasaran. Pencatatan tepat waktu oleh unit terkait.
2. Pengisian formulir surveilans CRS diupayakan selengkap mungkin untuk
mempertahankan kualitas data dalam pelaksanaan kegiatan surveilans RS
guna menunjang dan mensukseskan program pemerintah serta
memberikan layanan kesehatan yang berdaya guna demi meningkatkan
derajat kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Indonesia, 2014. Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, Jakarta
Sutrisna, Bambang. 1986. Pengantar Metoda Epidemiologi. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
Wahyudin Rajab, M.Epid. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan, EGC.
Jakarta