Anda di halaman 1dari 45

TUGAS SURVEILANS

“SURVEILANS RUMAH SAKIT DI RUMAH SAKIT ANAK DAN


BUNDA HARAPAN KITA, JAKARTA “

TIM PELAKSANA KELOMPOK 1 :

1. ENGLA HARFITA GRAHINI 02180200005

2. FUAD ARIWIBOWO 02180200037

3. KARISTA AYU CHRISNA W 02180200030

4. MUTHIA FATIN 02180200064

5. NUR HIDAYAT PUJI UTOMO 02180200007

6. PUJI RIYANTO 02180200008

7. TITIK SUPRAPTINI 02180200063

PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA

1
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas surveilans yang berjudul “SURVEILANS RUMAH
SAKIT DI RUMAH SAKIT ANAK DAN BUNDA HARAPAN KITA, JAKARTA “ ini dapat
terselesaikan. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui proses lapangan surveilans yang
terjadi di pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dan mahasiswa menjadi
lebih mudah untuk memahami tentang sistem surveilans.

Kelompok menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan ataupun penulisannya. Mungkin dalam Makalah ini terdapat
banyak kata yang kurang tepat, untuk itu kami mohon maaf. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Semoga laporan hasil pengapatan surveilans di rumah sakit anak dan bunda harapan kita
ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………….3

BAB I ......................................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 5

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 6

1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 6

1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................................... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................................... 6

BAB II........................................................................................................................................ 7

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 7

2.1 Definisi Surveilans ..................................................................................................... 7

2.2 Jenis – Jenis Surveilans ............................................................................................ 7

2.3 Sumber Data Surveilans ......................................................................................... 13

2.4 Fungsi Surveilans .................................................................................................... 13

BAB III .................................................................................................................................... 26

PROFIL .................................................................................................................................... 26

3.1 Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita ....................................... 26

3.2 Visi dan Misi RS Anak dan Bunda Harapan Kita ............................................... 26

3.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita .................. 27

BAB IV .................................................................................................................................... 29

HASIL PENGAMATAN ......................................................................................................... 29

3
4.1 Penanggung Jawab Kegiatan Surveilans .............................................................. 29

4.2 Kompetensi Pelaksanaan Kegiatan Surveilans .................................................... 31

4.3 Jenis Surveilans yang Dilakukan di RSAB Harapan Kita .................................. 31

4.4 Tahapan Surveilans di RS ...................................... Error! Bookmark not defined.

BAB V ..................................................................................................................................... 43

PENUTUP................................................................................................................................ 43

5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 43

5.2 Saran......................................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 45

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi perkembangan teknologi membuat mobilisasi manusia
maupun barang menjadi sangat tinggi dan sangat cepat, kondisi tersebut berpengaruh
terhadap risiko penularan penyakit secara global. Dunia saat ini menghadapi
ancaman penjangkitan Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu timbulnya suatu kejadian
dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan atau kematian melebihi keadaan
biasa pada suatu kelompok masyarakat dalam periode waktu tertentu. Selain itu
perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global juga semakin cepat, kondisi ini
akan mempengaruhi pola dan jenis penyakit potensial KLB baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Indonesia mengalami episode besar Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
menular, beberapa penyakit potensial yang terjadi setiap tahunnya seperti malaria,
demam dengue, leptospirosis, diare, kolera, difteri, antraks, rabies, campak, pertusis
maupun ancaman flu burung pada manusia. Letak Indonesia yang strategis secara
geografis, kepadatan penduduk, iklim tropis dan buruknya infrastruktur kesehatan
menjadikan lahan subur untuk munculnya kembali penyakit menular, apabila tidak
dipantau dan dikendalikan maka akan meningkatkan jumlah kasus, meningkatkan
durasi wabah dan kematian serta potensi untuk menyebar ke negara tetangga.
Surveilans Kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien. Sasaran
penyelenggaraan Surveilans Kesehatan meliputi program kesehatan yang ditetapkan
berdasarkan prioritas nasional, spesifik lokal atau daerah, bilateral, regional dan global,
serta program lain yang dapat berdampak terhadap kesehatan.
Sistem Surveilans Epidemiologi mempunyai peran yang sangat penting sebagai
intelijen penyakit dan mempunyai tujuan menyediakan data dan informasi epidemiologi

5
untuk manajemen kesehatan, mendukung pengambilan keputusan dan penyusunan
perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa
(SKD-KLB). Dalam konteks desentralisasi, daerah dituntut untuk dapat mandiri dan
mampu melaksanakan surveilansepidemiologi secara profesional.
Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita adalah badan layanan
umum dibawah Kementerian Kesehatan yang merupakan rumah sakit rujukan nasional
untuk kesehatan ibu dan anak yang memiliki tim surveilans untuk pengamatan berbagai
penyakit KLB dijakarta. Adapun sistem dan prosedur yang telah dilakukan Rumah Sakit
Anak dan Bunda ( RSAB ) Harapan Kita untuk pengamatan KLB.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan Manajemen Surveilans Epidemiologi Penyakit Potensi Kejadian
Luar Biasa (KLB) di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui manajemen surveilans epidemiologi penyakit potensi kejadian
luar biasa (KLB) di Rumah Sakit Anak Dan Bunda Harapan Kita, Jakarta.

1.3.2 Tujuan Khusus


a) Mengetahui system surveilans yang ada di Rumah Sakit Anak dan Bunda
Harapan Kita, Jakarta.
b) Mengetahui proses pencatatan data surveilans epidemiologi penyakit potensi
KLB di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta.
c) Mengetahui pengolahan data surveilans epidemiologi penyakit potensi KLB
di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta.
d) Mengetahui pelaporan surveilans epidemiologi penyakit potensi KLB di
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta.
e) Mengetahui feed back pelaporan surveilans epidemiologi penyakit potensi
KLB di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Surveilans
WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis
berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan
menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam
membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, di dalam suatu sistem surveilans, hal yang perlu digaris bawahi adalah
:
a. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara
berkesinambungan, bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu
waktu.
b. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data,
namun yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis,
interpretasi data serta pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut,
sampai kepada evaluasinya.
c. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas
yang baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam
menghasilkan kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien.
2.2 Jenis – Jenis Surveilans
Jenis Surveilans Sistem surveilans sendiri, walaupun pada dasarnya terdiri dari
empat proses, yaitu pengumpulan data, analisis, interpretasi, serta diseminasi dan
feedback, memiliki fleksibilitas dalam penerapannya.
Berdasarkan pendekatan atau sumber data surveilans kesehatan Masyarakat
dibagi menjadi dua jenis:
A. Surveilans aktif
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
7
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans
aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas
yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggung jawab itu. Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi out break lokal. Kelemahan surveilans
aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community
surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung
dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan
diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat
membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin
(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di
tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang
memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi
kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006). Pada sistem surveilans ini dituntut
keaktivan dari petugas surveilans dalam mengumpulkan data, baik dari
masyarakat maupun ke unit-unit pelayanan kesehatan. Sistem surveilans ini
memberikan data yang paling akurat serta sesuai dengan kondisi waktu saat
itu. Namun kekurangannya, sistem ini memerlukan biaya lebih besar
dibandingkan surveilans pasif.
B. Surveilans pasif
Dasar dari sistem surveilans ini adalah pelaporan. Dimana dalam suatu sistem
kesehatan ada sistem pelaporan yang dibangun dari 10 unit pelayanan
kesehatan di masyarakat sampai ke pusat, ke pemegang kebijakan. Pelaporan
ini meliputi pelaporan laporan rutin program serta laporan rutin manajerial
yang meliputi logistik, administrasi dan finansial program (laporan manajerial
program). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan
menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang
tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif
murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan

8
melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga
dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-
reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya
rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama
memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk
mengatasi problem tersebut, instrument pelaporan perlu dibuat sederhana dan
ringkas.
Berdasarkan Jenis Surveilans dibagi beberapa jenis diantaranya yaitu sebagai
berikut :

A. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas
orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus
penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last,
2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS
1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina, yaitu:
1. Karantina total
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan
orang yang tak terpapar.
2. Karantina parsial

9
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi
penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di
pospos lainnya tetap bekerja.
B. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara,
pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans
malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif,
tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,
karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit
vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya
untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi duplikatif,
sehingga mengakibatkan inefisiensi.
C. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau
temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit. Surveilans

10
sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan
laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter
yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus
sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan
mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur
dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut
berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini
dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang
mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan,
laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans
sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara
yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber
daya yang terbatas.
D. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui
makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit
dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
E. Surveilans terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi

11
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001,
2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:
 Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services)
 Menggunakan pendekatan solusi majemuk
 Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural
 Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya)
 Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans
yang berbeda (WHO, 2002).
F. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya
epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman
aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemergingdiseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan
SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor
baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi.
12
2.3 Sumber Data Surveilans
Sumber data dalam survelans epidemiologi menurut kemenkes RI no.
1116/menkes/sk/VIII/2003:
a) Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat
b) Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan
kantor pemerintah dan masyarakat
c) Data demografi yang dapat diperoleh dari unit ststistik kependudukan dan
masyarakat
d) Data geografi yang dapat di peroleh dari unit unit meteorologi dan geofisika
e) Data laboratorium yang dapat di peroleh dari unit pelayanan kesehatan dan
masyarakat
f) Data kondisi lingkungan
g) Laporan wabah
h) Laporan penyelidikan wabah/KLB
i) Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j) Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya
k) Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat
l) Laporan kondisi pangan.

2.4 Fungsi Surveilans


Fungsi Surveilans Pada dasarnya data yang dihasilkan dalam suatu sistem surveilans,
digunakan untuk :
a. Mengetahui gambaran kesehatan suatu populasi masyarakat
b. Mengambil kebijakan yang dapat diterapkan dalam populasi tersebut, baik
mengenai pola perilaku maupun pencegahan suatu penyakit.
c. Monitor dan evaluasi program kesehatan yang dijalankan di masyarakat
d. Melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan data surveilans
e. Identifikasi masalah yang ada di populasi

13
Cakupan kegiatan surveilans sendiri cukup luas, mulai dari deteksi dini kejadian luar
biasa/ wabah, pencegahan penyakit menular, sampai kepada pencegahan penyakit kronik
(tidak menular) yang dapat dilakukan dalam jangka waktu perubahan pola perilaku
sampai kepada timbulnya penyakit tersebut. Surveilans dapat digunakan untuk
mengumpulkan data berbagai elemen rantai penyakit, mulai dati faktor resiko perilaku,
tindakan preventif, maupun evaluasi program dan cost unit. Dengan kata lain, sistem
surveilans diperlikan untuk mendapatkan gambaran beban penyakit suatu komunitas,
termasuk jumlah kasus, insidensi, prevalensi, case-fatality rate, rate mortalitas dan
morbiditas, biaya pengobatan, pencegahan, potensi epidemik dan informasi mengenai
timbulnya penyakit baru.

Penyakit menular yang potensial menimbulkan wabah di Indonesia dicantumkan


Permenkes 560/MENKES/PER/VIII/1989 tentang Penyakit potensial wabah yaitu:
Kholera,Pertusis, Pes, Rabies, Demam Kuning, Malaria, Demam Bolak-balik, Influenza,
Tifus Bercak wabah, Hepatitis, DBD, Tifus perut, Campak, Meningitis, Polio, Ensefalitis,
Difteri dan Antraks.

2.5 Kegiatan Surveilans CRS


Kegiatan surveilans CRS dilakukan melalui dua kelompok yaitu pada bayi (dengan
cacat kongenital) dan Ibu hamil, melalui pemantauan ibu hamil yang terinfeksi atau
dicurigai terinfeksi rubella
a. Definisi kasus

Klasifikasi kasus CRS dibedakan menjadi:


1. Suspek CRS
2. CRS klinis
3. CRS pasti
Untuk mendiagnosis kasus CRS perlu diketahui kumpulan manifestasi klinis yang
dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok A dan kelompok B.

14
Tabel 1. Manifestasi klinis CRS

KELOMPOK A KELOMPOK B
Purpura
Gangguan pendengaran Splenomegali
Mikrosefali

Penyakit jantung kongenital*


Retardasi mental
Meningoensefalitis

Katarak atau Glaukoma kongenital**


Kelainan “Radiolucent
bone”
Ikterik yang muncul dalam waktu 24 jam

Pigmentary retinopathy
setelah lahir

Catatan:

* Penyakit jantung kongenital yang termasuk ke dalam kriteria suspek CRS adalah
minimal salah satu dari:
1. Patent Ductus Arteriosus (PDA),
Khusus PDA pada bayi prematur jika PDA tidak menutup
spontan sampai bayi berusia 2 bulan, maka dikategorikan
suspek CRS.
2. Pulmonary Stenosis (PS)
3. Atrial Septal Defect (ASD)
4. Ventricular Septal Defect (VSD)
**Satu atau keduanya dihitung sebagai satu

15
Table 2. Jenis pemeriksaan untuk penetapan diagnosis suspek CRS

JANTUNG MATA THT


Ekokardiografi Slit Lamp OAE
EKG Funduskopi indirek (atau wide Jika pada bayi risiko tinggi
field Retinal Imaging/RetCam, bila pemeriksaan OAE
tersedia) menunjukkan hasil
Foto thoraks Tonopen “refer” maka langsung
dikategorikan suspek CRS
dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium.
Jika bukan pada
bayi risiko
tinggi, perlu
dilakukan pemeriksaan
OAE kedua dengan jarak
minimal 1 bulan kemudian.
Jika pemeriksaan OAE
kedua menunjukkan hasil
“refer” maka dikategorikan
suspek CRS dan
dilanjutkan dengan
pemeriksaan laboratorium

1) Suspek CRS
Bayi berusia <12 bulan dan memiliki minimal satu manifestasi klinis dari
kelompok A.

2) CRS klinis
Bayi berusia <12 bulan dengan:
- Dua (2) manifestasi klinis dari kelompok A; atau
- Satu (1) manifestasi klinis dari kelompok A dan satu (1) manifestasi klinis
dari kelompok B Yang tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
3) CRS Pasti
Kasus suspek CRS dengan pemeriksaan laboratorium

16
menunjukkan hasil salah satu diantara berikut:
- jika usia bayi <6 bulan: IgM rubella positif
- jika usia bayi 6 bulan - <12 bulan:
 IgM dan IgG rubella positif; atau
 IgG dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu 1 bulan) positif
sesuai standar laboratorium yang terakreditasi (WHO atau ISO atau
JCI)
4) Bukan CRS (Discarded CRS)
Suspek CRS yang tidak memenuhi kriteria CRS klinis dan tidak memenuhi
kriteria CRS pasti.

5) CRI (Congenital Rubella Infection/ Infeksi rubella kongenital)


Bayi berusia <12 bulan tanpa gejala klinik CRS, dalam pemeriksaan
laboratorium positif IgM rubella. Jika pada RS sentinel ditemukan bayi
berusia <12 bulan tanpa gejala klinik CRS, dalam pemeriksaan laboratorium
positif IgM rubella, maka selanjutnya dilakukan pemantauan hingga bayi
berusia 12 bulan. Apabila didapatkan minimal satu manifestasi klinis dari
kelompok A maka bayi dikategorikan sebagai CRS pasti dan dilaporkan.

b) Algoritma Klasifikasi Kasus CRS

Mekanisme respon kekebalan pada CRS berbeda dengan yang terjadi pada
rubella atau penyakit virus lain. Saat dilahirkan serum bayi dengan CRS
mengandung IgG spesifik yang dibawa dari ibunya disamping antibodi IgG dan IgM
yang dibentuk dari tubuhnya sendiri. IgG spesifik rubella maternal ini juga bisa
ditemukan pada bayi normal yang dilahirkan dari ibu yang telah kebal terhadap
rubella. Karenanya, untuk mendiagnosis infeksi rubella congenital pada bayi,
dipakai IgM spesifik rubella. Produksi IgM oleh bayi paling cepat timbul pada
(Murray 2007)
trimester kedua saat usia kehamilan 20 minggu . Pada bayi dengan CRS,
IgM spesifik rubella bisa dideteksi hampir 100% pada umur 0 – 5 bulan; sekitar
60% pada umur 6 – 12 bulan; dan sekitar 40% pada umur 12 – 18 bulan; IgM jarang
terdeteksi lagi bila anak telah berusia 18 bulan atau lebih.
17
IgM spesifik rubella pada
bayi dengan CRS :

• Umur 0 – 5 bulan = 100%


• Umur 6 – 12 bulan = 60%
• Umur 12 – 18 bulan = 40%
• Umur >18 bulan ,
jarang ditemukan IgM
(Chantler et al. 1982)

Gambar 1. Respon imun infeksi rubella terhadap ibu dan bayi(Chantler et al. 1982)

Karena timbulnya reaksi imunitas pada bayi dengan CRS mempunyai karakteristik yang
khas (seperti dijelaskan di sub bab imunologi), diagram alur penentuan kasus CRS dibedakan
menurut umur saat kasus itu ditemukan, yaitu: <6 bulan dan umur 6 bulan - <12 bulan

Gambar 2. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia < 6 Bulan

*Sangat dicurigai CRS bila :

- Ibu penderita pernah terinfeksi rubela selama kehamilan (klinis atau lab positif)
- Ibu penderita pernah kontak dg penderita rubela selama kehamilan 18
- Dokter meyakini sebagai rubela
Bayi berusia < 1 bulan dengan manifestasi CRS yang pemeriksaan laboratoriumnya
negatif maka harus dilakukan pemeriksaan IgM kedua dengan jarak 1 bulan atau
maksimal sampai bayi berusia 6 bulan, karena setidaknya pada 20% bayi yang
terinfeksi, IgM rubella tidak dapat terdeteksi sampai usia 1 bulan (CDC, 2012 )

Selama spesimen kedua belum diperiksa, maka kasus dinyatakan pending


maksimal sampai bayi berusia <6 bulan. Bila sampai batas waktu tersebut spesimen
darah kedua belum diperiksa, maka kasus diklasifikasikan sesuai alur pada gambar
3. Sedangkan bila suspek kasus CRS ditemukan pada usia 6 - <12 bulan, maka
diagram alur penentuan klasifikasinya adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Diagram Alur Penentuan Kasus CRS pada Bayi Usia 6 - <12 bulan

CRS pasti jika IgG dua kali pemeriksaan (dengan selang waktu minimal 1 bulan)
memiliki hasil positif

Bayi berusia 6 - <12 bulan dengan hasil IgM negatif (IgM -) dan IgG positif (IgG +)
harus dilakukan pemeriksaan IgG kedua dengan jarak minimal 1 bulan

Bila sampai bayi berusia 12 bulan sampel darah kedua belum diperiksa, maka
kasus diklasifikasikan sesuai alur pada gambar 4.

19
c) Clinical Pathway (Penegakan Diagnosis) Kasus CRS

Clinical Pathway (CP) kasus CRS dibuat untuk menentukan diagnosis dan
memberikan rincian rencana tata laksana hari demi hari dengan standar
pelayanan yang dianggap sesuai yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu.

Berikut adalah CP untuk kasus CRS yang secara keseluruhan perjalanan


penyakitnya sangat bervariasi, namun pada pelaksanaannya CP dapat disesuaikan
oleh masing- masing RS sentinel.

Tabel 3. Clinical Pathway (Penegakan Diagnosis) Kasus CRS

20
21
d) Pemeriksaan Spesimen Kasus CRS
o Anak usia <6 bulan hanya dilakukan pemeriksaan terhadap IgM
o Anak usia 6 - <12 bulan pemeriksaan dilakukan terhadap IgM dan IgG

Dilakukan pengambilan spesimen darah sebanyak minimal 1 cc agar


mendapatkan serum untuk pemeriksaan IgM rubella. Spesimen diambil oleh
laboratorium RS sesuai kesepakatan yang ditetapkan oleh masing-masing RS. Jika
laboratorium RS telah terakreditasi maka pemeriksaan spesimen dapat dilakukan di
laboratorium di RS. Jika laboratorium RS belum terakreditasi maka untuk
kepentingan klinisi sebagian spesimen dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium di
RS, sementara sisanya disimpan pada suhu 2-80C. Spesimen yang telah disimpan
akan dikirim ke laboratorium nasional campak-rubella untuk dilakukan
pemeriksaan untuk kepentingan surveilans CRS. Pengiriman tersebut dapat
dilakukan langsung oleh koordinator data RS atau diambil oleh petugas surveilans
PD3I dinas kesehatan provinsi. Pengiriman spesimen ke laboratorium nasional
campak-rubella disertai dengan formulir pengiriman spesimen (lampiran 5).

Pemeriksaan spesimen kedua dilakukan apabila:

o Anak usia <6 bulan:


Jika spesimen serum diambil saat bayi berusia <1 bulan namun sangat
dicurigai CRS dan hasil menunjukkan IgM negatif (IgM-), maka dilakukan
pengambilan spesimen serum untuk pemeriksaan IgM kedua dengan jarak 1 bulan
atau maksimal sampai bayi berusia 6 bulan. Pengambilan spesimen kedua ini
menjadi tanggung jawab petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi
berkoordinasi dengan koordinator data RS dan petugas laboratorium setempat.
Spesimen yang telah diambil sebagian dapat diperiksa di laboratorium RS yang
telah terakreditasi atau sebagian dikirim ke laboratorium nasional campak-rubella.

o Anak Usia 6 - <12 bulan:


Jika hasil menunjukkan IgM negatif (IgM-) dan IgG positif (IgG+), maka
dilakukan pengambilan spesimen serum untuk pemeriksaan IgM dan IgG kedua
22
untuk pemeriksaan IgG dengan jarak 1 bulan atau maksimal sampai bayi berusia
<12 bulan. Pengambilan spesimen kedua ini menjadi tanggung jawab petugas
surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi berkoordinasi dengan koordinator data RS
dan petugas laboratorium setempat. Spesimen yang telah diambil sebagian dapat
diperiksa di laboratorium RS yang telah terakreditasi atau sebagian dikirim ke

Semua spesimen kasus CRS harus diperiksa di laboratorium RS yang terakreditasi


ATAU di laboratorium campak-rubela nasional

Cara pengambilan dan penanganan spesimen, lihat Bab VI: Jejaring


Kerja Laboratorium
laboratorium nasional campak-rubella.

Gambar 6. Alur Pengambilan Spesimen Suspek CRS < 6 bulan

23
Gambar 7. Alur Pengambilan Spesimen Suspek CRS 6 - <12 bulan

24
e) Pelaksana (Organisasi) Surveilans CRS

o Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI


Sebagai koordinator dalam pelaksanaan surveilans CRS di tingkat nasional

o Dinas Kesehatan Provinsi


Sebagai koordinator dalam pelaksaaan surveilans sentinel
CRS di tingkat provinsi

o Rumah Sakit Sentinel


Sebagai pelaksana surveilans sentinel CRS yang mempunyai
organisasi tersendiri dengan dibentuknya tim CRS RS.

o Laboratorium Nasional Campak-Rubella


Sebagai pelaksana surveilans sentinel CRS dalam
pemeriksaan spesimen kasus CRS melalui koordinasi dengan
Dinas Kesehatan Provinsi.
BAB III
PROFIL

3.1 Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita


Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita adalah badan layanan
umum dibawah Kementerian Kesehatan yang merupakan rumah sakit rujukan
nasional untuk kesehatan ibu dan anak. Rumah sakit ini berdiri pada tanggal 22
Desember 1979 bertepatan dengan hari ibu nasional.
Pendirian RSAB Harapan Kita merupakan gagasan Ibu Tien Soeharto selaku
Ibu Negara Republik Indonesia berdasarkan pemikiran ibu yang sehat akan
melahirkan anak yang sehat, cerdas, dan luhur budi pekertinya, serta akan menjadi
generasi penerus yang dapat mengangkat derajat Bangsa Indonesia di masa yang akan
datang ke tingkat yang lebih baik.
Sampai dengan tanggal 22 Desember 2000, status RSAB Harapan Kita
berubah dari awalnya berstatus Satuan Kerja Instansi Pemerintah menjadi Perusahaan
Jawatan Rumah sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita (Perjan RSAB Harapan Kita).
Kemudian pada tanggal 23 Februari 2005 diubah lagi menjadi Rumah Sakit Anak dan
Bunda Harapan Kita yang kemudian selanjutnya diubah lagi menjadi Rumah Sakit
Pelaksanaan Teknis (UPT) Departemen Kesehatan, sejak tanggal 16 Juni 2005 hingga
sekarang, atau Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Badan Layanan Umum merupakan instansi di lingkungan
pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
3.2 Visi dan Misi RS Anak dan Bunda Harapan Kita
Visi RSAB Harapan Kita adalah “Terdepan dalam pelayanan kesehatan
perempuan, perinatal, dan anak”. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut maka telah
ditetapkan Misi yang hendak diemban RSAB Harapan Kita pada kurun waktu
tersebut, yakni sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan perempuan, perinatal, dan
anak yang aman dan berkualitas.
b. Menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan di bidang
kesehatan perempuan, perinatal, dan anak.
c. Menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan perempuan,
perinatal, dan anak.
d. Menyelenggarakan penelitian di bidang kesehatan perempuan,
perinatal, dan anak.
e. Meningkatkan jejaring dan sistem rujukan di bidang kesehatan
perempuan, perinatal, dan anak.
Berdasarkan visi dan misi di atas RSAB Harapan Kita memiliki kebijakan
mutu yaitu Direksi dan seluruh karyawan RSAB Harapan Kita bertekad menjadi
terdepan dalam pelayanan kesehatan perempuan, perinatal dan anak yang aman dan
berkualitas dengan manajemen yang transparan dan akuntabel melalui pemberdayaan
SDM yang profesional dan berintegrasi tinggi, berkomitmen, serta berorientasi pada
kepuasan pelanggan secara cepat, tepat, nyaman dan aman oleh tim yang terpadu.
3.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita dipimpin oleh Direktur Utama
dan empat Direktur, yaitu (1) Direktur Medik dan Keperawatan, (2) Direktur Sumber
Daya Manusia (SDM) dan Pendidikan, (3) Direktur Keuangan, (4) Direktur Umum
dan Operasional. Kemudian dibantu oleh SPI, 4 Komite Profesi, dan dilengkapi
dengan 9 bagian dan 22 instalasi. Berdasarkan Peraturan Menkes RI Nomor
:1683/Menkes/Per/XII/2005 telah ditetapkan organisasi dan tata kerja RSAB Harapan
Kita
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

4.1 Penanggung Jawab Kegiatan Surveilans


Adapun Peran Tim Surveilans CRS di RS, berdasarkan hasil pengamatan
pelaksanaan kegiatan surveilans di rumah sakit anak dan bunda harapan kita Jakarta
adalah sebagai berikut :
1. Peran Koordinator RS:
a) Bersama petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi melaksanakan
pelatihan terhadap tenaga kesehatan di divisi-divisi yang terkait dengan CRS
di RS masing-masing.
b) Memastikan bahwa pelaksanaan surveilans CRS di RS telah sesuai dengan
SOP.
c) Mengidentifikasi suspek CRS dan memastikan semua kasus CRS telah tercatat
dan terlaporkan.
d) Melakukan koordinasi dan komunikasi segera dengan koordinator data dan
kontak person di setiap divisi terkait setelah ditemukan suspek CRS.
e) Memastikan semua informasi klinis dan epidemiologis serta data lainnya yang
ada di form investigasi CRS (form CRS1) telah diisi dengan lengkap oleh
semua divisi terkait.
f) Memastikan pengambilan, pemeriksaan dan pengiriman spesimen sudah
dilaksanakan sesuai SOP termasuk kelengkapan dokumen pelaporan.
g) Menentukan perlu tidaknya pengambilan spesimen kedua.
h) Menetapkan klasifikasi kasus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
i) Memberi penjelasan kepada petugas RS dan keluarga yang kontak langsung
dengan penderita CRS agar mendapatkan imunisasi rubella.
j) Bersama dengan kontak person dan koordinator data melakukan pertemuan
rutin evaluasi surveilans CRS RS.
2. Peran Contact Person RS:
a) Bersama petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi dan koordinator
tim CRS RS melaksanakan pelatihan terhadap tenaga kesehatan di divisi-divisi
yang terkait dengan CRS di RS masing-masing;
b) Melakukan koordinasi dan komunikasi segera dengan koordinator data dan
koordinator RS setelah ditemukan kasus CRS;
c) Memastikan form investigasi CRS di divisi terkait sudah terisi;
d) Memastikan pengambilan spesimen sudah dilaksanakan sesuai SOP;
e) Mengkonsultasikan kasus suspek CRS ke divisi terkait;
f) Memberi penjelasan kepada petugas RS dan keluarga yang kontak langsung
dengan penderita CRS agar mendapatkan imunisasi rubella;
g) Bersama dengan koordinator melakukan sosialisasi di unit masing – masing
dan pertemuan rutin evaluasi surveilans CRS RS.
3. Peran Koordinator Data RS CRS:
a) Melakukan koordinasi dan komunikasi segera dengan koordinator RS setelah
menerima informasi kasus CRS;
b) Memastikan semua kasus CRS telah tercatat dan terlaporkan;
c) Memastikan semua informasi klinis, epidemiologis serta data lainnya yang ada
di form investigasi CRS telah diisi dengan lengkap dan benar;
d) Memastikan semua kasus CRS telah dikonsultasikan ke setiap bagian terkait;
e) Memastikan semua kasus CRS telah dilakukan pengambilan spesimen;
f) Melakukan koordinasi dengan laboratorium RS dan petugas surveilans PD3I
dinas kesehatan provinsi dalam pengiriman spesimen ke laboratorium nasional
campak-rubella;
g) Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium ke dalam formulir investigasi CRS
dan input ke web PD3I;
h) Melakukan koordinasi dengan koordinator RS atau petugas surveilans PD3I
dinas kesehatan provinsi dalam pengambilan spesimen kedua;
i) Menginput data form investigasi CRS ke dalam format list kasus CRS atau
web PD3I, termasuk hasil laboratorium bila telah ada;
j) Bila web PD3I tidak berfungsi, melaporkan format list kasus CRS kepada
petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi pada tanggal 15 setiap
bulannya (termasuk laporan nihil), dan ditembuskan ke petugas surveilans
PD3I Pusat melalui email epidataino@gmail.com;
k) Melakukan validasi data yang dikirimkan tim data PD3I pusat, paling lambat
tanggal 15 setiap bulannya;
l) Mengarsipkan data surveilans CRS.
m) Setiap bulan data yang telah diinput dalam web PD3I akan dieksport ke excel
dan diemail/diprint untuk disampaikan ke semua tim CRS RS dan Petugas
Surveilans PD3I provinsi;
n) Membuat laporan bulanan ke dinas kesehatan provinsi.
4. Peran Laboratorium RS
a) Bertanggung jawab terhadap pengambilan spesimen serum di RS.
b) Jika laboratorium RS telah terakreditasi, maka pemeriksaan spesimen serum
dilakukan di RS.
c) Jika laboratorium RS belum terakreditasi, maka sebagian spesimen serum
dapat diperiksa di RS (untuk kepentingan klinisi), sementara sisanya disimpan
pada suhu 2-80C. Spesimen yang telah disimpan akan dikirim ke laboratorium
nasional campak-rubella untuk dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan
surveilans CRS.
d) Berkoordinasi dengan Koordinator Data RS terkait pemeriksaan spesimen
kasus CRS.
4.2 Kompetensi Pelaksanaan Kegiatan Surveilans
Pelaksana Surveilans CRS
a) Tim pelaksana surveilans CRS di RS yaitu dokter Spesialis Anak, Spesialis
Jantung Anak, Spesialis Infeksi dan Penyakit Tropik Anak, Spesialis Neonatologi,
Spesialis Neurologi Anak, Spesialis Tumbuh Kembang Anak, Spesialis THT,
Spesialis Mata (terutama Spesialis Mata Anak), Spesialis Patologi Klinik, perawat
RS, petugas laboratorium RS, petugas rekam medis RS, dan koordinator data CRS
RS;
b) Petugas surveilans PD3I di provinsi;
c) Petugas laboratorium nasional campak-rubella.
4.3 Jenis Surveilans yang Dilakukan di RSAB Harapan Kita
A. SURVEILANS CRS
a. Definisi Kasus
Congenital Rubella Syndrome (CRS) adalah suatu kumpulan gejala
akibat infeksi virus rubella selama kehamilan. Virus rubella termasuk dalam
famili togaviridae dengan genus rubivirus. Virus rubella umumnya
menyebabkan penyakit yang ringan, 50% orang yang terinfeksi rubella tidak
terdiagnosis. Namun bila infeksi rubella terjadi pada masa kehamilan, virus
rubella dapat menembus sawar placenta dan menginfeksi janin. Akibat hal
tersebut dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin, antara lain: abortus, lahir
mati atau cacat berat kongenital (birth defects) apabila bayi tetap hidup. Risiko
infeksi dan cacat kongenital paling besar terjadi selama trimester pertama
kehamilan. Bayi dengan CRS biasanya menunjukkan satu atau lebih gejala
berupa gangguan pendengaran, kelainan mata, kelainan jantung, retardasi
mental dan cacat seumur hidup lainnya. Gangguan pendengaran adalah
kelainan tunggal yang paling sering.
Virus rubella ditularkan melalui droplet saluran pernapasan saat batuk
atau bersin. Bayi dengan CRS masih dapat mengekskresi virus rubella melalui
urin dan sekret nasofaring sampai usia 27 bulan, namun sebagian besar sudah
habis sebelum usia 1 tahun. Virus bisa ditemukan di sekret nasofaring
sebanyak 84% pada bayi dengan CRS pada bulan pertama kehidupannya,
kemudian menurun menjadi sekitar 62% pada umur 1 – 4 bulan; 33% pada
umur 5-8 bulan, 11% pada umur 9 – 12 bulan, dan hanya sekitar 3% pada
tahun ke dua kehidupannya. Bayi dengan CRS bersifat infeksius sehingga
maka prosedur isolasi harus dipertimbangkan dengan seksama, terutama bagi
bayi-bayi yang menjalani perawatan. Perlu diwaspadai juga bagi petugas
kesehatan yang merawat kasus CRS dapat tertular dan menularkan rubella
kepada orang lain dan menyebabkan terjadinya KLB.

b. Alur Surveilans CRS di RSAB Harapan Kita

Bayi berusia <1 bulan dengan manifestasi CRS yang pemeriksaan


laboratoriumnya negatif maka harus dilakukan IgM kedua jarak 1 bulan atau
maksimal sampai bayi berusia 6 bulan, karena setidaknya pada 20 % bayi
yang terinfeksi , IgM rubella tidak dapat terdeteksi sampai usia 1 bulan.
Dicurigai CRS bila : Ibu penderita pernah terinfeksi rubela selama kehamilan
(klinis atau lab positif), Ibu penderita pernah kontak dengan penderita rubela
selama kehamilan, dokter meyakini sebagai rubella.

c. Pelaksanaan Surveilans CRS


 Penemuan Kasus
Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada
ke devisi anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, neonatologi,
infeksi), devisi THT, devisi mata, dokter yang ada di devisi tersebut
bertanggung jawab melaporkan ke koordinator setiap suspek CRS ke
koordinator di masing-masing unit.
 Tata laksana surveilans CRS sebagai berikut :
1) Dokter yang pertama menemukan kasus melakukan :
- Pencatatan pada form CRS1.
- Mengambil spesimen darah 1 cc (merujuk ke laboratorium
RS).
- Melakukan pemeriksaan adanya kelainan pada jantung,
mata, THT atau kelainan minor lainnya (konsultasi kasus
ke devisi / KSM anak , THT dan mata).
2) Koordinator data melakukan :
- Memastikan kasus telah diperiksa di setiap devisi anak,
THT, dan mata.
- Memastikan form CRS 1 telah dilengkapi.
- Memastikan kasus telah diambil spesimen serum.
- Memastikan spesimen serum telah diperiksa serologi di
laboratorium RS telah terakreditasi).
- Berkoordinasi dengan petugas PD3I provinsi untuk
pengiriman spesimen serum ke laboratorium nasional
campak rubela (jika belum diperiksa di laboratorium RS)
dan pengambilan dan pemeriksaan spesimen darah kedua
(jika diperlukan)
- Pelaporan menggunakan web PD3I atau form CRS1.
- Berkoordinasi dengan koordinator tim CRS untuk
klasifikasi kasus
- Pengolahan dan analisa data.

Pada umumnya kasus CRS datang ke RS sesuai keluhan yang ada


ke divisi Anak (jantung, tumbuh kembang, neurologi, neonatologi,
infeksi), divisi THT dan divisi Mata (mata anak). Setiap suspek
CRS dilakukan tata laksana surveilans CRS.

Gambar 4. Diagram Alur Pelaksanaan Surveilans CRS di RS

 Pencatatan dan Pelaporan

Semua suspek CRS dicatat dalam formulir CRS1 (lampiran 1).


Semua variable dalam formulir tersebut harus terisi secara lengkap.
Selanjutnya jika formulir CRS sudah terisi dengan lengkap, koordinator
data memasukkan data ke web PD3I. Bila sistem web PD3I tidak berfungsi,
data CRS yang telah diinput ke dalam form list CRS dan dilaporkan ke
petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi pada tanggal 15 setiap
bulannya (termasuk laporan nihil), dan ditembuskan ke petugas surveilans
PD3I Pusat melalui email epidataino@gmail.com.
Gambar 5. Diagram Alur Pelaporan Surveilans CRS

Penemuan suspek CRS melibatkan banyak divisi di RS, sehingga


sebaiknya di setiap divisi tersedia form investigasi CRS1. Apabila ada
penderita suspek CRS, maka dokter di divisi dimana kasus tersebut ditemukan
langsung mengisi form investigasi CRS1. Pengisian form berkoordinasi
dengan koordinator data CRS. Sementara itu kasus dirujuk ke laboratorium RS
untuk pengambilan spesimen dengan menggunakan form pengiriman spesimen
(form spesimen). Jika laboratorium RS telah terakreditasi maka pemeriksaan
spesimen dapat dilakukan di laboratorium di RS. Jika laboratorium RS belum
terakreditasi maka untuk kepentingan klinisi sebagian spesimen dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium di RS, namun sisa spesimen serum
disimpan di suhu 2-8oC sebelum diambil oleh petugas surveilans PD3I
provinsi untuk dikirimkan ke laboratorium nasional campak – rubella.

Selanjutnya koordinator data memastikan kasus tersebut dikonsultasikan ke


semua divisi lain ( Anak, THT dan Mata) sampai form CRS1 terisi lengkap.
Jika spesimen diperiksa di laboratorium RS maka koordinator data juga
memastikan hasil laboratorium telah diinput ke dalam form CRS1. Kemudian
koordinator data menyerahkan form CRS1 tersebut ke Koordinator tim CRS.
Koordinator tim CRS memverifikasi dan mengklasifikasi suspek kasus yang
ditemukan pada form CRS1. Kemudian data diinput ke dalam web PD3I oleh
koordinator data CRS.
Sementara itu, jika spesimen akan diperiksa di laboratorium nasional
campak-rubella, maka koordinator data berkoordinasi dengan petugas
surveilans PD3I provinsi untuk mengirimkan spesimen ke laboratorium
nasional. Hasil pemeriksaan di laboratorium nasional akan langsung diinput ke
dalam web PD3I dan dikirimkan melalui email ke koordinator data RS dan
ditembuskan ke petugas surveilans PD3I provinsi dan Pusat
(epidataino@gmail.com ).

 Pengolahan Data dan Analisa


Analisa data CRS sama halnya dengan analisis data rutin, prinsip orang,
tempat dan waktu yang akan menjawab pertanyaan siapa, kapan, dimana,
mengapa dan bagaimana suatu kasus CRS akan dapat memberikan
masukan kepada program imunisasi. Oleh sebab itu tidak boleh adadari
komponen diatas yang tidak bisa dijawab agar hasil investigasi secra tepat
dapat mengarahkan program dalam upaya penanggulangan. Dengan
penyajian dalam bentuk tabel, grafik, akan membantu analisa yang akan
dilakukan.
Analisis yang dilakukan terhadap :
- Jumlah insidensi rs / 1000 kelahiran hidup.
- Kelengkapan dan ketetapan laporan bulanan CRS.\
- Distribusi kasus CRS berdasarkan jenis kelamin, bulan, tahun
dan tempat.
- Klasifikasi final seluruh suspect CRS yang ditemukan di Rumah
Sakit.
- Status imunisasi rubella ibu jadi penderi CRS.
- Golongan umur ibu dari penderita CRS.
 Pemantauan
Pemantauan terhadap pelaksanaan surveilans CRS harus dilakukan
untuk menjaga kualitas pelaksanaan surveilans CRS. Tujuan utama
pemantauan surveilans CRS adalah untuk melihat apakah sistem yang ada
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pemantauan ini harus diikuti
dengan upaya mengidentifikasikan dan memecahkan masalah yang
dihadapi bila pelaksanaan surveilans CRS tidak sesuai dengan yang
diharapkan.

Kapan dan bagaimana pemantauan harus dilakukan?

Pemantauan harus dilakukan secara rutin sehingga dapat


mengidentifikasi masalah yang menghambat pelaksanaan surveilans CRS
sedini mungkin. Pemantauan dilakukan terhadap:
o Jejaring tim surveilans CRS RS dan dinas kesehatan provinsi
o Penemuan kasus di semua rumah sakit sentinel.
o Pencatatan dan pelaporan kasus sampai dengan klasifikasi final.
o Adekuasi spesimen dan penyebab spesimen tidak adekuat.

Berdasarkan identifikasi masalah dilakukan upaya perbaikan agar


kinerja surveilans CRS dapat ditingkatkan. Pemantauan dan Evaluasi
dilakukan dengan menggunakan Formulir Pemantauan dan Evaluasi Kasus
CRS (Form. CRS2).
 Indikator Kinerja

Kriteria Indikator Batas Minimal

Pelaporan kasus Pelaporan tahunan kasus suspek CRS ≥1 per 10 .000


di RS Sentinel kelahiran hidup (di
provinsi RS
sentinel)

Investigasi adekuat Investigasi menyeluruh dengan


menggunakan form CRS1 yang diisi
data lengkap:
1. nama kasus,
2. tempat tinggal,
3. jenis kelamin,
4. tanggal lahir,
5. tanggal kunjungan pertama kali,
6. tanggal ditetapkan sebagai
suspek CRS,
7. tanggal pengumpulan spesimen,
≥80%
8. nama ibu,
9. usia ibu,
10. riwayat penyakit ruam ibu,
11. riwayat perjalanan ke daerah
endemis,
12. riwayat imunisasi ibu;
13. pemeriksaan klinis untuk:
gangguan pendengaran,
katarak kongenital, dan
penyakit jantung kongenital,
14. hasil klinis kasus CRS
(hidup atau mati) yang
dilakukan di RS

Konfirmasi Persentase kasus suspek CRS


laboratorium dengan spesimen darah adekuat ≥80%
(Spesimen untuk konfirmasi laboratorium (IgM
adekuat) / IgG, PCR) di laboratorium
terakreditasi.

Kecepatan deteksi Persentase kasus CRS pasti yang


kasus terdeteksi dalam tiga ≥80%

(3) bulan setelah kelahiran.

Kecepatan Spesimen (serologis atau virologi)


dalam diterima di laboratorium dalam waktu ≥80%
pengiriman lima (5) hari setelah pengambilan
spesimen spesimen

Kecepata Hasil pemeriksaan laboratorium


n (serologis atau virologi) dilaporkan ≥80%
pelapora oleh laboratorium dalam waktu
n hasil empat (4) hari setelah menerima
laborator spesimen
ium

 Evaluasi
Evaluasi terhadap surveilans CRS dilakukan secara berkala untuk melihat
keberhasilan surveilans CRS dalam mencapai tujuannya. Indikator yang
digunakan adalah indikator kinerja surveilans dan sejauh mana surveilans
CRS dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi di rumah sakit sentinel dapat dilakukan dengan:
o Menelaah register RS pada suatu periode tertentu (hospital record
review = HRR). Untuk menilai sensitifitas penemuan kasus di RS
dengan cara mengecek ada atau tidaknya kasus CRS yang
dilaporkan.(Lihat tata cara surveilans aktif RS pada BAB II).
o Mengecek keteraturan dan konsistensi kunjungan surveilans aktif
rumah sakit (SARS) untuk mencari kasus.
o Identifikasi penyebab rendahnya sensitifitas penemuan kasus di RS.
d. Peranan Tim Surveilans CRS Di Rumah Sakit
1. Peran Koordinator Rumah Sakit
- Bersama petugas surveilas PD3 I dinas kesehatan provinsi
melaksanakan pelatihan terhadap tenaga kesehatan di devisi-devisi
di rumah sakit.
- Memastikan bahwa pelaksanaan surveilans CRS di RS telah sesuai
dengan SOP.
- Mengidentifikasi suspect CRS dan memastikan kasus CRS telah
tercatat dan terlaporkan.
- Melakukan koordiasi dan komunikasi segera dengan koordinator
data dan kontak person di setiap devisi terkait setelah ditemukan
suspect CRS.
- Memastikan semua informasi klinis dan epidemiologis serta da5ta
yang lainnya yanga ada di form. Investigasi CRS( form CRS1)
telah diisi dengan lengkap oleh devisi terkait.
- Memastikan pengambilan, pmeriksaan dan pengiriman spesimen
sudah dilaksanakan sesuai SOP termasuk kelengkapan dokumen
pelaporan.
- Menentukan perlu tidaknya spesimen kedua.
- Menetapkan klasifikasi kasus berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.
- Memberi penjelasan kepada petugas rs dan keluarga yang kontak
langsung dengan penderita CRS agar mendapatkan imunisasi
rubella.
- Bersma dengan kontak person dan koordinator data melakukan
pertemuan rutin evaluasi surveilans CRS.
2. Peranan Petugas Surveilans CRS di RS
- Bersama petugas surveilans PD3I dinas kesehatan Provinsi dan
koordinator tim CRS RS melaksanakan pelatihan terhadap tenaga
kesehatan di devisi yang terkait dengan CRS di RS.
- Melakukan koordinasi dan komunikasi segera dengan koordinator
data dan koordinator RS setelah diketemukan kasus CRS.
- Memastikan form investigasi CRS didevisi terkait sudah terisi.
- Memastikan pengambilan spesimen sudah dilaksanakan sesuai
SOP.
- Mengkonsultasikan kasus suspect CRS ke devisi terkait.
- Memberi penjelasan kepada petugas RS dan keluarga yang kontak
langsung ke penderita agar mendapatkan imunisasi.
- Bersama dengan koordinator melakukan sosialisasi di unit masing-
masing dan pertemuan rutin dievaluasi surveilans CRS.
3. Peran koordinator RS CRS
- Melakukan koordianasi dan komunikasi segera di RS setelah
menerima iformasi kasus CRS.
- Memastikan semua kasus CRS telah tercatat dan terlaporkan.
- Memastikan semua informasi klinis, epidemiologis serta data
lainnya yang ada di form investigasi CRS telah diisi lengkap dan
benar.
- Memastikan semua kasus CRS telah dikonsultasikan ke bagian
terkait.
- Memastikan semua kasus CRS telah dilakukan pengambilan
spesimen.
- Melakukan koordinasi dengan lab. Rs dan PD3I dinad kesehatan
provinsi dalam pengiriman spesimen ke laboratorium nasional
campak rubella.
- Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium ke dalam formulir
investigasi CRS dan input ke web PD3I;
- Melakukan koordinasi dengan koordinator RS atau petugas
surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi dalam pengambilan
spesimen kedua
- Menginput data form investigasi CRS ke dalam format list kasus
CRS atau web PD3I, termasuk hasil laboratorium bila telah ada;
- Bila web PD3I tidak berfungsi, melaporkan format list kasus CRS
kepada petugas surveilans PD3I dinas kesehatan provinsi pada
tanggal 15 setiap bulannya (termasuk laporan nihil), dan
ditembuskan ke petugas surveilans PD3I Pusat melalui email
epidataino@gmail.com;
- Melakukan validasi data yang dikirimkan tim data PD3I pusat,
paling lambat tanggal 15 setiap bulannya;
- Mengarsipkan data surveilans CRS.
- Setiap bulan data yang telah diinput dalam web PD3I akan
dieksport ke excel dan diemail/diprint untuk disampaikan ke semua
tim CRS RS dan Petugas Surveilans PD3I provinsi;
- Membuat laporan bulanan ke dinas kesehatan provinsi.
e. Peran Laboratorium RS
- Bertanggung jawab terhadap pengambilan spesimen serum di RS.
- Jika laboratorium RS telah terakreditasi, maka pemeriksaan
spesimen serum dilakukan di RS;
- Jika laboratorium RS belum terakreditasi, maka sebagian spesimen
serum dapat diperiksa di RS (untuk kepentingan klinisi), sementara
sisanya disimpan pada suhu 2-80C. Spesimen yang telah disimpan
akan dikirim ke laboratorium nasional campak-rubella untuk
dilakukan pemeriksaan untuk kepentingan surveilans CRS;
- Berkoordinasi dengan Koordinator Data RS terkait pemeriksaan
spesimen kasus CRS.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi
data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit/
pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit serta masalah
kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan
dilakukan.
Prinsip surveilans meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data,
pemberian umpan balik, pelaporan dan evaluasi. Beberapa macam surveilans ialah
surveilans individu, surveilans penyakit, surveilans sindromik, surveilans berbasis
laboratorium, surveilans terpadu dan durveilans masyarakat global.
Manfaat dari surveilans ialah memperkirakan besarnya masalah kesehatan
yang penting sebagai gambaran perjalanan alami suatu penyakit, deteksi KLB,
dokumentasi, distribusi, dan penyebaran peristiwa kesehatan, bermanfaat untuk
epidemiologi dan penelitian laboratorium, untuk kepentingan evaluasi pengendalian
dan pencegahan, sebagai tool monitoring kegiatan karantina, dapat memperkirakan
perubahan dalam praktek kesehatan dan sebagai perencanaan.
Surveilans yang dilaksanakan di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Jakarta diantaranya meliputi surveilans DBD, surveilans AFP, surveilans CRS,
surveilans kelainan bawaan kongenital (bird defect).
Sejalan dengan target global maka Indonesia telah berkomitmen untuk
mencapai eliminasi campak dan pengendalian rubellalCongenr“i:aI Rubella
Syndrome (SRS) tahun 2020. Survuilans CRS diperlukan untuk mengetahui
epidemiologi dan beban penyakit CRS di masyarakat. Data surveilans CRS juga
dapat digunakan sebagai alat advokasi untuk mendapatkan dukungan yang kuat dari
pemerintah dalam program pengendalian rubella di Indonesia. Untuk
membangun sistem surveilans CRS, indonesia telah mengembangkan surveilans
sentinel CRS yang melibatkan Rumah Sakit dan petugas koordinator surveilans
PD3I di 13 RS di 10 provinsi. Surveilans CRS dilaksanakan secara lintas program
dan melibatkan multi unit di Rumah Sakit. sehingga perlu harmonisasi yang
diperkuat oleh suatu pedoman yang mengatur jejaring kerja surveilans CRS secara
nasional.
5.2 Saran
1. Surveilans kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan dalam perencanaan
dan penanggulangan penyakit terutama dalam penanggulangan wabah
(KLB). Maka dari itu dalam pengoperasian data surveilans haruslah
relevan dan akurat sehingga dalam pengambilan keputusan menjadi tepat
sasaran. Pencatatan tepat waktu oleh unit terkait.
2. Pengisian formulir surveilans CRS diupayakan selengkap mungkin untuk
mempertahankan kualitas data dalam pelaksanaan kegiatan surveilans RS
guna menunjang dan mensukseskan program pemerintah serta
memberikan layanan kesehatan yang berdaya guna demi meningkatkan
derajat kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Subdit Direktorat


Surveilans dan Respon KLB. 2011. Buku Pedoman Penyelidikan &
penanggulangan kejadian penyakit menulardan keracunan pangan (pedoman
epidemiologi penyakit). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Subdit Direktorat


Surveilans dan Respon KLB. 2012. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Ikatan Dokter Indonesia, 2014. Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, Jakarta

Nur Nasry Noor, Bahan kuliah Epidemiologi Dasar. FKM. Unhas.

Ridwan, 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat Surveilans Epidermiologi Sebuah Pengantar.


FKM-UNHAS.

Sutrisna, Bambang. 1986. Pengantar Metoda Epidemiologi. PT. Dian Rakyat. Jakarta.

Wahyudin Rajab, M.Epid. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan, EGC.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai