Ilmu Negara
Ilmu Negara
No. Soal
1. 5 Fakta Perbedaan Pemilu di Indonesia dan Amerika Serikat
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia baru saja rampung. Dari 171 daerah yang
menyelenggarakan Pilkada, hampir seluruhnya berjalan lancar. Suksesnya penyelenggaraan Pilkada
semakin meningkatkan citra Indonesia di kancah dunia.
Dalam urusan Pemilu, bangsa Indonesia boleh berbangga diri. Pelaksanaan pemilu di Indonesia bisa
dibilang tidak kalah canggih dengan negara pionir demokrasi terbesar di dunia, Amerika Serikat.
Namun, ada sejumlah hal yang membedakan terkait dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia dan
Amerika. Berikut adalah fakta-faktanya.
1. Sistem Pemilihan
Mirip dengan Indonesia, mayoritas pemimpin dan wakil rakyat di Amerika dipilih secara langsung. Di
negeri Paman Sam ini, suara yang masuk dihitung secara proposional. Artinya, jumlah suara yang
diperoleh calon berbanding lurus dengan jumlah warga yang memilihnya.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk Pemilihan Presiden.
Dalam pelaksanaan Pilpres, Amerika masih menggunakan sistem Dewan Pemilih (Electoral College).
Alih-alih memilih pasangan capres/cawapres secara langsung, warga negara Amerika diminta memilih
sejumlah Dewan Pemilih yang dicalonkan oleh Partai.
Dewan Pemilih yang berjumlah 538 orang itulah yang nantinya akan menentukan siapa Presiden terpilih.
Guna memudahkan pemilih, biasanya masing-masing anggota Dewan telah terlebih dahulu
mendeklarasikan capres pilihannya.
Celakanya, ada banyak kasus di mana Dewan Pemilih melanggar sumpahnya. Mereka mengkhianati
kepercayaan pemilih, dan tidak memilih calon yang mereka janjikan.
Sistem Dewan Pemilih ini semakin diperumit dengan adanya mekanisme penghitungan suara secara
sapu bersih (Winner Takes All). Artinya, Partai yang memenangkan mayoritas suara akan menyapu
bersih seluruh kursi Dewan Pemilih yang diperebutkan di negara bagian tersebut. Hal ini berlaku tanpa
kecuali, meskipun selisih perolehan suaranya sangat tipis.
Sistem Dewan Pemilih dan mekanisme penghitungan sapu bersih suara ini telah mengantarkan Donald
Trump terpilih menjadi Presiden ke-45 Amerika di tahun 2016.
Pada saat itu, Trump memenangkan pemilihan setelah mengamankan 62,9 juta suara yang bernilai 306
kursi Dewan Pemilih. Perolehan suara Trump ini sebenarnya masih lebih sedikit ketimbang lawannya
Hillary Clinton yang memperoleh 65,8 juta suara.
Namun, karena nilai suara Hillary tersebut hanya menghasilkan 232 kursi Dewan Pemilih, maka Trump
lah yang berhak melenggang ke Gedung Putih.
1 dari 7
HKUM4209
2. Waktu Pemilihan
Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika dilaksanakan serentak. Dalam setiap pemilihan, warga negara
Amerika memilih pemimpin dan wakil mereka di tingkat distrik, negara bagian, dan di tingkat pusat
(federal).
Bedanya, pemilihan di Amerika diselenggarakan setiap empat tahun sekali, yaitu pada hari Selasa pada
minggu kedua di bulan November.
Yang unik, pemilihan anggota Senat (DPD) di Amerika tidak dilakukan secara bersamaan. Anggota
Senat dipilih dalam 3 gelombang melalui Pemilu yang digelar setiap 2 tahun sekali. Dengan demikian,
kinerja anggota Senat tidak akan terganggu meski memasuki tahun pemilu. Dalam setiap siklus, hanya
1/3 anggota Senat yang harus bertarung dalam pemilihan.
3. Partisipasi Pemilih
Meski tercatat sebagai salah satu negara demokrasi tertua dan terbesar di dunia, tingkat partisipasi
pemilih di Amerika tergolong rendah.
Pada tahun 2016, jumlah pemilih yang mengikuti pemilu hanya 59,7%. Bandingkan dengan Indonesia
yang pada pilkada serentak 2018 lalu diikuti oleh 73,2% pemilih.
2 dari 7
HKUM4209-3
Analisis bentuk pemilihan yang ada pada negara bersusun tunggal (pada soal diwakili oleh Indonesia)
dan negara bersusun banyak (Amerika)!
1. Sistem Pemilihan
Mirip dengan Indonesia, mayoritas pemimpin dan wakil rakyat di Amerika dipilih secara langsung. Di
negeri Paman Sam ini, suara yang masuk dihitung secara proposional. Artinya, jumlah suara yang
diperoleh calon berbanding lurus dengan jumlah warga yang memilihnya.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk Pemilihan Presiden.
Dalam pelaksanaan Pilpres, Amerika masih menggunakan sistem Dewan Pemilih (Electoral College).
Alih-alih memilih pasangan capres/cawapres secara langsung, warga negara Amerika diminta memilih
sejumlah Dewan Pemilih yang dicalonkan oleh Partai.
Dewan Pemilih yang berjumlah 538 orang itulah yang nantinya akan menentukan siapa Presiden terpilih.
Guna memudahkan pemilih, biasanya masing-masing anggota Dewan telah terlebih dahulu
mendeklarasikan capres pilihannya.
Celakanya, ada banyak kasus di mana Dewan Pemilih melanggar sumpahnya. Mereka mengkhianati
kepercayaan pemilih, dan tidak memilih calon yang mereka janjikan.
Sistem Dewan Pemilih ini semakin diperumit dengan adanya mekanisme penghitungan suara secara
sapu bersih (Winner Takes All). Artinya, Partai yang memenangkan mayoritas suara akan menyapu
bersih seluruh kursi Dewan Pemilih yang diperebutkan di negara bagian tersebut. Hal ini berlaku tanpa
kecuali, meskipun selisih perolehan suaranya sangat tipis.
Sistem Dewan Pemilih dan mekanisme penghitungan sapu bersih suara ini telah mengantarkan Donald
Trump terpilih menjadi Presiden ke-45 Amerika di tahun 2016.
Pada saat itu, Trump memenangkan pemilihan setelah mengamankan 62,9 juta suara yang bernilai 306
kursi Dewan Pemilih. Perolehan suara Trump ini sebenarnya masih lebih sedikit ketimbang lawannya
Hillary Clinton yang memperoleh 65,8 juta suara.
Namun, karena nilai suara Hillary tersebut hanya menghasilkan 232 kursi Dewan Pemilih, maka Trump
lah yang berhak melenggang ke Gedung Putih.
3 dari 7
HKUM4209
2. Waktu Pemilihan
Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika dilaksanakan serentak. Dalam setiap pemilihan, warga negara
Amerika memilih pemimpin dan wakil mereka di tingkat distrik, negara bagian, dan di tingkat pusat
(federal).
Bedanya, pemilihan di Amerika diselenggarakan setiap empat tahun sekali, yaitu pada hari Selasa pada
minggu kedua di bulan November.
Yang unik, pemilihan anggota Senat (DPD) di Amerika tidak dilakukan secara bersamaan. Anggota
Senat dipilih dalam 3 gelombang melalui Pemilu yang digelar setiap 2 tahun sekali. Dengan demikian,
kinerja anggota Senat tidak akan terganggu meski memasuki tahun pemilu. Dalam setiap siklus, hanya
1/3 anggota Senat yang harus bertarung dalam pemilihan.
3. Partisipasi Pemilih
Meski tercatat sebagai salah satu negara demokrasi tertua dan terbesar di dunia, tingkat partisipasi
pemilih di Amerika tergolong rendah.
Pada tahun 2016, jumlah pemilih yang mengikuti pemilu hanya 59,7%. Bandingkan dengan Indonesia
yang pada pilkada serentak 2018 lalu diikuti oleh 73,2% pemilih.
4 dari 7
HKUM4209-3
Simpulkan menurut pendapat anda konsep federal yang ada pada kasus di atas (empirisme)
dibandingkan dengan teori ahli!
1. Sistem Pemilihan
Mirip dengan Indonesia, mayoritas pemimpin dan wakil rakyat di Amerika dipilih secara langsung. Di
negeri Paman Sam ini, suara yang masuk dihitung secara proposional. Artinya, jumlah suara yang
diperoleh calon berbanding lurus dengan jumlah warga yang memilihnya.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk Pemilihan Presiden.
Dalam pelaksanaan Pilpres, Amerika masih menggunakan sistem Dewan Pemilih (Electoral College).
Alih-alih memilih pasangan capres/cawapres secara langsung, warga negara Amerika diminta memilih
sejumlah Dewan Pemilih yang dicalonkan oleh Partai.
Dewan Pemilih yang berjumlah 538 orang itulah yang nantinya akan menentukan siapa Presiden terpilih.
Guna memudahkan pemilih, biasanya masing-masing anggota Dewan telah terlebih dahulu
mendeklarasikan capres pilihannya.
Celakanya, ada banyak kasus di mana Dewan Pemilih melanggar sumpahnya. Mereka mengkhianati
kepercayaan pemilih, dan tidak memilih calon yang mereka janjikan.
Sistem Dewan Pemilih ini semakin diperumit dengan adanya mekanisme penghitungan suara secara
sapu bersih (Winner Takes All). Artinya, Partai yang memenangkan mayoritas suara akan menyapu
bersih seluruh kursi Dewan Pemilih yang diperebutkan di negara bagian tersebut. Hal ini berlaku tanpa
kecuali, meskipun selisih perolehan suaranya sangat tipis.
Sistem Dewan Pemilih dan mekanisme penghitungan sapu bersih suara ini telah mengantarkan Donald
Trump terpilih menjadi Presiden ke-45 Amerika di tahun 2016.
Pada saat itu, Trump memenangkan pemilihan setelah mengamankan 62,9 juta suara yang bernilai 306
kursi Dewan Pemilih. Perolehan suara Trump ini sebenarnya masih lebih sedikit ketimbang lawannya
Hillary Clinton yang memperoleh 65,8 juta suara.
Namun, karena nilai suara Hillary tersebut hanya menghasilkan 232 kursi Dewan Pemilih, maka Trump
lah yang berhak melenggang ke Gedung Putih.
5 dari 7
HKUM4209
2. Waktu Pemilihan
Seperti di Indonesia, pemilu di Amerika dilaksanakan serentak. Dalam setiap pemilihan, warga negara
Amerika memilih pemimpin dan wakil mereka di tingkat distrik, negara bagian, dan di tingkat pusat
(federal).
Bedanya, pemilihan di Amerika diselenggarakan setiap empat tahun sekali, yaitu pada hari Selasa pada
minggu kedua di bulan November.
Yang unik, pemilihan anggota Senat (DPD) di Amerika tidak dilakukan secara bersamaan. Anggota
Senat dipilih dalam 3 gelombang melalui Pemilu yang digelar setiap 2 tahun sekali. Dengan demikian,
kinerja anggota Senat tidak akan terganggu meski memasuki tahun pemilu. Dalam setiap siklus, hanya
1/3 anggota Senat yang harus bertarung dalam pemilihan.
3. Partisipasi Pemilih
Meski tercatat sebagai salah satu negara demokrasi tertua dan terbesar di dunia, tingkat partisipasi
pemilih di Amerika tergolong rendah.
Pada tahun 2016, jumlah pemilih yang mengikuti pemilu hanya 59,7%. Bandingkan dengan Indonesia
yang pada pilkada serentak 2018 lalu diikuti oleh 73,2% pemilih.
6 dari 7
HKUM4209-3
Dari contoh kasus di atas terlihat konsep pemisahan kekuasaan yang ada di Amerika. Analisis manfaat
pemisahan kekuasaan seperti yang digunakan Amerika terkait proses pemilu di negaranya!
7 dari 7