Anda di halaman 1dari 13

Perkembangan Bank Syariah Di Arab Saudi Dan Bahrain

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : Perbankan Internasional

Dosen Pengampu : Khaidar Rahmini Jamila, M.Sc.IBF

Disusun Oleh : Kelompok III

Bayu Prayogi 0503182183


Ice Rahwani Purba 0503182221
Nur Maghfirah 0503181082

PERBANKAN SYARIAH VII-A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Allah SWT. Penulis ucapkan atas rahmat dan karunia Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Perbankan Syariah yang berjudul
“Perkembangan Bank Syariah di Arab Saudi dan Bahrain". Terima kasih kepada dosen mata
kuliah yang sudah memberikan bimbingan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan oleh karena itu
penulis meminta maaf jika ada kesalahan dalam penulisan. Penulis juga menghargai kritikan
beserta saran yang membangun agar makalah menjadi lebih baik.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca atas perhatiannya.
Semoga dapat bermanfaat untuk penulis dan bisa menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN. .....................................................................................................................1
Latar Belakang. .......................................................................................................................1
Rumusan Masalah. ..................................................................................................................2
Tujuan. ....................................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN. ........................................................................................................................3
Perkembangan Bank Syariah Di Arab Saudi. ...........................................................................3
Perkembangan Bank Syariah Di Bahrain. ...............................................................................6

BAB III
PENUTUP. .................................................................................................................................9
Kesimpulan. ............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA. .............................................................................................................. 10


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan dan keuangan Islam diterjemahkan sebagai lembaga keuangan yang memiliki
kecocokan dengan etos dan sistem nilai Islam. Perbankan islam dalam pengertian umumnya
bukan hanya untuk menghindari bunga berdasarkan transaksi, tetapi juga untuk menghindari
Gharar (penipuan), serta larangan-larangan yang terdapat di dalam Syariah Islam dan
beberapa praktik yang tidak sesuai dengan etika dan untuk berpartisipasi di dalam pencapaian
tujuan serta ekonomi islam. 1 Perbankan syariah dalam peristilahan internasional dikenal
sebagai Islamic Banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat
dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syariah itu sendiri. Bank syariah pada awalnya
dikembangkan sebagai suatu respon kelompok ekonom dan praktisi perbankan muslim yang
berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tesedia jasa
transaksi keuangan yang dijalankan sesuai dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah
Islam. 2 Sejarah kelahiran bank syariah pada abad ke-20 tidak terlepas dari hadirnya dua
gerakan Islam modern, yaitu gerakan-gerakan neorevivalis (proses pembaharuan untuk
menghidupkan kembali semua struktur sosial, moral, dan agama kepada dasar aslinya yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah) dan modernis (gerakan yang membangun metodologi dalam
memahami makna dari nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah). Sekitar tahun 1940-an, dimana
para cendikiawan Islam seperti Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud
Ahmad (1952) mengemukakan konsep dasar bagi hasil, yang sesuai dengan syariat Islam ke
dalam tulisan-tulisan yang mereka buat. Pemaparan yang lebih lengkap mengenai konsep-
konsep dasar tentang perbankan syariah ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la
Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Bank dengan konsep
syariah, secara kelembagaan pertama kali didirikan pada tahun 1963 di Mesir, dengan nama
Myt-Ghamr Bank. Pemimpin perintis usaha ini adalah Ahmad El Najjar, yang
permodalannya dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.

1
Veithzal Rivai, Islamic Banking and Finance, Yogyakarta: BPFE, 2012, h.1.
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, cet ke-1, 2002
2
Myt-Ghamr Bank dinilai sukses menggabungkan manajemen perbankan Jerman dengan
prinsip-prinsip muamalah berdasarkan syariat Islam, dengan meng-aplikasikannya dalam
pelayanan produk bank yang efektif dan sesuai untuk daerah pedesaan, yang hampir seluruh
industrinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik yang tidak
mendukung, pada tahun 1967 Myt-Ghamr Bank ditutup. Kemudian untuk menggantikan
Myt-Ghamr Bank, pada tahun 1971, di buat kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social
Bank, namun tujuan dari bank ini lebih bersifat sosial dari pada komersil.
Perkembangan bank syariah memasuki fase yang baru pada tahun 1974. Negara-negara
yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam bersepakat mendirikan sebuah institusi
keuangan yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-
negara anggota OKI. Maka didirikanlah Islamic Development Bank (IDB). Walaupun
utamanya IDB adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk
proyek pembangunan di negara-negara anggotanya, tetapi dalam prakteknya bank ini
menerapkan prinsip-prinsip dasar syariat dalam mengelola keuangannya, dengan
menghilangkan unsur bunga di dalam pelayanannya, hal ini mengukuhkan IDB sebagai
institusi keuangan internasional yang berbasiskan syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Perkembangan Bank Syariah Di Arab Saudi
2. Perkembangan Bank Syariah Di Bahrain

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Untuk mengetahui perkembangan Bank Syariah Di Arab Saudi
2. Untuk mengetahui perkembangan Bank Syariah Di Bahrain
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bank Syariah di Arab Saudi

Merujuk fakta sejarah, aktifitas perbankan telah ada dan eksis dimulai sejak zaman
Rasulullah Saw. Ketika hidup di masyarakat Makkah maupun Madinah. Dengan julukan al-
amin, beliau terkenal sebagai seorang yang mendapat kepercayaan menyimpan segala deposit
masyarakat Arab Quraisy sampai ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau melantik Ali bin
Abi Thalib untuk mengembalikan segala deposit itu kepada pemiliknya (Arifin, 2006). Salah
seorang sahabat nabi yang bernama Zubair bin Awwam mengembangkan kegiatan rasulullah,
beliau suka menerima uang dari kaumnya dalam bentuk pinjaman, bukan deposit. Karena
jika ia menerima dalam bentuk deposit dikhawatirkan uang tersebut akan hilang. Ada dua
sebab kenapa Zubair menerimanya dalam bentuk pinjaman. Pertama, karena jika akadnya
akad pinjaman ia berhak untuk memutar uang tersebut untuk diinvestasikan.

Kedua, jika transaksi berbentuk pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya


dalam keadaan utuh seperti semula (Arifin, 2000). Maka, pada awal Islam telah ada dua
macam praktik simpanan (deposito) yang diterapkan, yaitu: wadi’ah yad amanah dan wadi’ah
yad dhamanah. Munculnya variasi ini adalah karena perkembangan wacana dari pemanfaatan
tipe simpanan tersebut yang di masa Rasulullah mempunyai konsep awal yaitu sebagai suatu
amanah, lalu bergeser menjadi pinjaman sebagaimana yang dicontohkan oleh Zubair bin
Awwa tersebut (Arifin, 2006).Al-Gaoud dan Lewis (2001) menambahkan bahwa umat Islam
telah mengenal institusi keuangan pertama kali pada zaman Khalifah Umar bin Khottob
dengan baitul mal sebagai penyimpanan kas Negara. Ketika berbagai peperangan
dimenangkan oleh kaum muslimin para pejuang muslim mendapatkan harta rampasan perang
(ghanimah), hingga pada masa Umar bin Khottob mempunyai kebijakan beda terkait dengan
ghanimah tersebut. Umar mengelola harta ghonimah untuk kemaslahatan kaum muslimin
secara menyeluruh. Menurut Umar semua warga negara yang miskin harus diberikan pensiun
tahunan yang diambil dari pengelolaan harta ghanimah.
Hal ini terilhami oleh dan meniru birokrasi orang Persia, yang tujuannya adalah
mendaftar semua warga umat agar dapat memfasilitasi pendistribusian kekayaan yang
diperoleh. Dana-dana umat yang diperoleh dari wilayah-wilayah yang ditaklukkan disimpan
di baitul mal.Dapat dikatakan bahwa perbankan Islam memiliki sejarah unik. Karena
memiliki karakteristik tersendiri sehingga berbeda dengan perbankan konvensional, sehingga
acuan perbankan Islam bukanlah dari perbankan konvensional itu sendiri namun mengacu
pada Baitut tamwil (baitul mal). Dalam sejarahnya, lembaga ini hanya menyimpan harta
kekayaan negera dari zakat, infak, sedekah, pajak, dan harta rampasan perang. Pada
perkembangannya, pada zaman para sahabat dan generasi selanjutnya, berkembang pula
lembaga lain yang disebut dengan Baitut tamwil, yang menampung dana-dana masyarakat
untuk diinvestasikan ke proyek-proyek atau pembiayaan perdagangan yang menguntungkan
(Huda dan Heykal, 2010). Pada masa-masa setelahnya, baitut tamwil berkembang menjadi
lembaga keuangan Islam yang tersistem dengan rapi, sehingga sangat disegani dan
diperhitungkan di kawasan Timur Tengah. Menurut Baballali (1989) bank yang lahir pertama
di dunia adalah bank yang didirikan di kota Bunduqiya pada pertengahan abad ke-12,
tepatnya pada tahun 1157 M atau tahun 552 H. Aktifitas-aktifitas perbankan saat itu cukup
pesat dan beragam, terutama di saat-saat perekonomian umat Islam sedang mengalami
kemajuan.

1. Perkembangan Bank Syariah di Arab Saudi

Arab Saudi Sektor perbankan di Saudi Arabia terdiri atas 26 bank komersil dibawah
regulasi The Saudi Arabian Moneraty Authority (SAMA). Dari total 26 bank tersebut, 12
diantaranya adalah bank nasional sedangkan 14 lainnya bank swasta asing. Tahun 2017 adalah
tahu recovery dan konsolidasi sektor industri perbankan di Saudi Arabia. Harga minyak secara
signifikan membaik di tahun 2017 sehingga aset pada sektor perbankan mulai stabil. Pemerintah
Saudi Arabia memiliki peran vital dalam mendukung likuiditas industri perbankan dengan
memberikan akses seluas-luasnya pada pasar keuangan domestik maupun global, sehingga
pertumbuhan kecukupan modal perbankan bertambah kuat. Sektor perbankan saudi Arabia
dihadapkan pada tekanan meningkatnya biaya dalam pengelolaan bisnis.
Sama halnya seperti negara-negara GCC sebelumnya, yaitu Kuwait, Qatar dan Oman,
pemerintah Saudi Arabia juga sangat baik dalam mengelola sektor perbankan. Ditunjukkan nilai
rasio kecukupan modal (CAR) dan ROA yang cukup tinggi sementara rasio kredit macet cukup
rendah. Namun pemerintah Saudi Arabia cukup berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan
atau kredit terlihat pada rasio LDR yang hanya mencapai rata-rata sebesar 84,60% ditahun 2016
dan turun menjadi 13,64% ditahun 2017.

Secara umum, audit dalam Islam berarti mengamati dan memeriksa operasi yang
mencakup proses mengendalikan, meninjau dan melaporkan tentang transaksi. Transaksi
menurut hukum Islam berarti memberikan kepercayaan diri yang berharga, akurat, tepat waktu,
dan laporan yang adil bagi para pembuat keputusan. Audit syariah berbeda dan jauh lebih luas
dari pada audit konvensional karena auditor syariah harus memiliki kualifikasi dalam
pengetahuan agama Islam dan disiplin keuangan terkait, sementara persyaratan untuk audit
konvensional hanya tergantung pada latar belakang akuntansi dan keuangan.

Saat ini, negara dengan pemain terbesar dalam industri keuangan Islam adalah Arab
Saudi. Namun, undang-undang yang mengatur pengoperasi bank syariah tidak ada. Padahal,
Arab Saudi memiliki bank sentral yang dikenal dengan Saudi Arabian Monetary Agency SAMA
sebagai Badan Moneter Arab Saudi. Bahkan SAMA tidak memberikan lisensi individual untuk
bank syariah. Hal ini mengakibatkan tanggung jawab kesyariahan ditanggung oleh Dewan
Syariah dari bank masing-masing. Sehingga peran dari Dewan Syariah bisa saja dipengaruhi oleh
pasar untuk mengembangkan internal mereka.

Fenomena pertumbuhan keuangan Islam, khususnya di sektor Perbankan Islam yang


melaju dengan cepat, tak terlepas dari asal-usulnya, dimana perbankan Islam mulai dibibitkan
(Aldohni, 2008). Negara-negara Dewan Kerjasama Teluk adalah detak jantung pertumbuhan
industri keuangan Islam di dunia, tidak hanya karena letak dua tempat suci umat Islam (Makkah
dan Madinah) di Arab Saudi dan mayoritas populasinya adalah Muslim, yang mana bisa memicu
semangat religiusitas umat dalam kepatuhan syariah, namun juga karena beberapa faktor utama,
sebagaimana dirinci oleh Asaad (2007), yaitu: adanya pengaruh positif dari negara-negara Islam
lainnya; kemajuan teknologi keuangan dunia dan tingkat permintaan lokal yang sangat tinggi,
seiring dengan menjamurnya para investor dengan semangat dan jumlah yang luar biasa.
Meski demikian, Arab Saudi sejatinya sedang menerapkan pendekatan pasif (passive
approach) dalam mengembangkan sektor keuangan dan perbankan Islam, dengan menggunakan
model otoritas pengawasan tunggal dalam yuridiksi dimana bank Islam dan bank konvensional
beroperasi secara berdampingan. Bahkan, ketika hampir semua negara GCC berpikir tentang
rancangan peraturan perbankan Islam, Kerajaan Arab Saudi justru hampir tidak melakukan
pergerakan, dan belum pernah mengeluarkan satu dokumen pun yang berkaitan dengan keuangan
dan perbanakan Islam.Arab Saudi tidak memiliki dewan penasehat syariah nasional atau suatu
lembaga yang memiliki otortias tunggal di keuangan Islam. Sistem yang diterapkan, lebih mirip
dengan sistem tata kelola syariah di Inggris, dimana resolusi atau fatwa keuangan lebih
merupakan produk inisiatif sendiri, daripada arahan regulator atau persyaratan peraturan (Hasan,
2010). Beberapa lembaga fatwa bersifat Internasional dan berbasis di kota Makkah dan Jeddah,
seperti ―International Islamic Fiqh Academy di bawah OIC di Jeddah, dan "Islamic Fiqh
Academy of Muslim World League” di Makkah, tidak memiliki otoritas yang mengikat publik
atau sistem, juga tidak ada hubungan struktural atau konsultatif. Pembentukan Dewan Pengawas
Syariah (Shariah Supervisory Board) di masing-masing bank berbasis non-Riba di Arab Saudi,
justru bersifat lebih inisiatif sendiri daripada birokratif (Grassa, 2013). Banyaknya Dewan
Pengawas Syariah tanpa merujuk pada sebuah lembaga tunggal yang memiliki otoritas resmi,
akan berdampak pada meningkatnya keragaman fatwa, dan tidak menutup kemungkinan terjadi
kontradiksi yang signifikan antara satu fatwa dengan fatwa lainnya.

B. Bank Syariah di Bahrain

1. Perkembangan Bank Syariah di Bahrain

Bahrain adalah negara dengan struktur ekonomi 0.29% bidang pertanian, 41.45%
industri dan 56.99% services. Bahrain merupakan off-shore banking heaven terbesar di Timur
Tengah. Di negeri yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 660.000 jiwa per Desember 1999
tumbuh sekitar 220 local dan off-shore banks. Tidak kurang dari 22 diantaranya beroperasi
berdasarkan syariah. Di antara bank-bank yang beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi
Islamic Bank of Bahrain anak perusahaan Citi Corp. N.A, Faysal Islamic Bank of Bahrain, dan
Al-Barakah Bank. Sumber pendapatan Bahrain berasal dari minyak bumi, dan berfokus pada
sektor Hydrocarbon. Mata uang yang digunakan adalah Dinar Bahrain.
Dibawah otorisasi Central Bank of Bahrain’s (CBB) terdapat segmen perbankan
konvensional sebanyak 23 bank retail konvensional, 69 bank whosesale dengan sejumah 36
kantor perwakilan yang tersebar diseluruh dunia. Terdapat 6 bank islam retail dan 18 bank islam
wholesale. Dari data tersebut hingga 2017 terdapat 3 bank konvensional dan 5 bank islam
diperdagangkan di lantai bursa Bahrain. Central Bank of Bahrain’s (CBB) mengimplementasikan
persyaratan transparansi dan peningkatan kualitas bisnis perbankan di Bahrain. CBB telah
mengeluarkan aturan penerapan Basel III complaint framework tahun 2018. Pada tahun 2017
juga telah menerbitkan aturan Sandbox environment bagi kebutuhan inovasi dan produk platform
perusahaan FinTech. Di awal tahun 2018, Central Bank of Bahrain’s (CBB) menerbitkan
guidelines untuk risiko pasar, Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio
(NSFR) sejalan dengan persyaratan Basel III. Tahun 2018 adalah tahun pertama diterapkannya
IFRS 9 bagi sektor keuangan dan perbankan. Central Bank of Bahrain’s (CBB) secara proaktif
mempromosikan inovasi produk perbankan antara lain : digitalisasi, cybersecurity, big data,
analytics, Artificial Intelligent, wallets and payment, blockchain dan electrical-Know Your
Customer (e-KYC).

Tahun 2017, Al-Baraka Banking Group, Kuwait Finance House (KFH) dan Bahrain
Development Bank (BDB) melauncing konsorsium fintech global pertama, yang memberikan
peluang bagi islamic banks untuk bertransaksi melalui fintech. Strategi yang digunakan adalah
crowd funding platform untuk menyokong pertumbuhan sector Usaha Kecil dan Menengah.
Sektor perbankan Bahrain tetap akan menghadapi disruption global yang menuntut kecukupan
modal yang tinggi, legalisasi hukum yang lebih sederhana. Volatilitas pasar juga menjadi
tantangan bagi sektor perbankan kedepan. Namun disisi lain, disruption global tetap memberikan
peluang dan keuntungan melalui investasi pada teknologi, inovasi dan manajemen yang
memberikan nilai tambah pada kustomer dan pemilik modal. Berdasarkan analisis risiko politik
yang dikeluarkan oleh Fitch, Bahrain adalah negara dengan risiko politik yang cukup aman.
Pertumbuhan ekonomi Bahrain dipicu oleh kenaikan sektor non-migas, dengan pertumbuhan
sebesar 3,6% pada tahun 2017 dan 3,2% pada tahun 2016. Pertumbuhan ekonomi negara
dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur dan program ekspansi sektor non migas, sementara
sektor migas mengalami pertumbuhan yang stagnan.
Sektor keuangan Bahrain berfluktuasi akibat tekanan dan kompetisi global serta
pemberlakuan regulasi baru dalam hal stabilitas, transparansi dan ketahanan sektor keuangan.
Stabilitas sektor keuangan di Bahrain diharapkan akan terus meningkat dengan semakin kuatnya
infrastruktur dan sektor non migas terutama sektor pariwisata. Kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Bahrain, terutama Bank Sentral, memperluas likuiditas pasar keuangan yang
berimbas bagi sektor perbankan.

Bahrain telah menjadi pemimpin keuangan Islam global dengan menjadi tuan rumah
lembaga-lembaga keuangan Islam Timur Tengah (State Bank of Paskistan, tt). Bahrain telah
menduduki pasar utama bagi sukuk (obligasi syariah), termasuk sukuk jangka pendek
pemerintah. Pada saat ini di Bahrain terdapat 29 bank-bank Islam. 50 Islamic Mutual Funds
(Reksadana), dan 18 Takaful (perusahaan asuransi Islam). Diperkirakan industry keuangan Islam
di Bahrain akan tumbuh sebesar 20%.27 The Central Bank of Bahrain (CBB) bertugas mengatur
dan mengawasi seluruh sector keuangan di Bahrain, baik perbankan konvensional maupun
syariah. Baik bank konvensional maupun bank Islam tunduk pada ketentuan yang sama,
termasuk persyaratan yang ditetapkan oleh perjanjian-perjanjian Basel. CBB merupakan bank
sentral pertama yang melaksanakan standard dari Accounting and Auditing Organization fot
Islamic Financial Institutions (AAOIF) untuk pasar lokal dan kemudian juga diadopsi oleh
Sudan, Jordan, dan Qatar (State Bank of Pakistan, tt).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam hal kepatuhan syariah, perkembangan inovasi produk sebagai tuntutan persaingan
dalam bisnis keuangan, tentu membutuhkan fatwa dan regulasi yang kuat dan mampu
mengakomodir semua kebutuhan pasar. Dalam sebagian besar kasus, kelemahan mekanisme
kontrol dari otoritas yang lebih tinggi, akan berdampak pada munculnya produk-produk
kontroversial dan diklaim sesuai syariah, padahal, sejatinya tidak dapat diterima secara umum,
namun beberapa dewan syariah dan akademisi mengakui kesesuaiannya dengan syariah Islam.
Jika ini berlanjut, pada gilirannya, akan mengancam stabilitas industri keuangan Islam.
Sebagaimana diungkapakan Obaidullah (2005),salah satu kelemahan industri keuangan Islam
terletak pada mekanisme justifikasi fatwa terhadap transaksi-transaksi keuangan. Perkembangan
ini, boleh dinilai sangat wajar, sebagai konsekuensi dari upaya modifikasi akad-akad klasik
untuk beradaptasi dengan praktek keuangan modern, namun harusnya apologi ini tidak berlarut
terlalu lama. Selain itu, peraturan-peraturan baru mengenai keuangan global, menjadi tantangan
terbesar yang harus diselesaikan oleh yurisdiksi-yurisdiksi atau sistem moneter yang ingin serius
mengoperasikan lembaga keuangan dan perbankan yang bebas riba. Saudi Arabia, tetap harus
mengevaluasi diri, meski sempat digadang sebagai sistem moneter yang paling tangguh saat
krisis yang menimpa dunia tahun 2008. Kelonggaran regulasi terhadap bank-bank asing dan
konvensional, seharusnya dapat diatasi dan diminimalisir, jika pemerintah memang serius ingin
menerapkan sistem ekonomi Islam di negaranya.
DAFTAR PUSTAKA

Veithzal Rivai, Islamic Banking and Finance, Yogyakarta: BPFE, 2012,


Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002

Asaad, Reem M, 2007, The Regulatory Framework of Islamic Banking in Saudi Arabia, Sixth
Conference of Saudi Economic Association, Kerajaan Saudi Arabia.

Obaidullah, Mohammed, 2005, Islamic Financial Services, Associate Professor Islamic


Economics Research Center, Jeddah, Saudi Arabia: King Abdulaziz University.

IFSB, 2014, Islamic Financial Services Industry Stability Report 2014, Kuala Lumpur-Malaysia:
Islamic Financial Services Board.

jurnal.stie-aas.ac.id

ejournal.umm.ac.id

Anda mungkin juga menyukai