Anda di halaman 1dari 12

KINERJA GROUND GRANULATED BLAST FURNAGE SLAG (GGBS)

SEBAGAI BAHAN PENGGANTI SEBAGIAN SEMEN UNTUK


SUSTAINABLE DEVELOPMENT

Oleh: Gidion Turu’allo*)

Abstrak

Berbagai alasan mengapa industri konstruksi beton tidak sustainabel. Pertama,produksi beton
menggunakan sumber daya alam yang sangat besar. Kedua, bahan pengikat utama dalam
beton adalah semen,yang mana produksi semen merupakan salah satu kontributor terbesar
terhadap emisi gas karbondioksida (CO2) yang menyebabkan pemanasan global dan
perubahan iklim. Alasan ketiga,banyak struktur beton yang durabilitasnya berkurang akibat
lingkungannya.

Paper ini menguraikan singkat penggunaan ground granulated blast furnage slag (ggbs)
sebagai cementitious material, menggantikan sebagian semen yang digunakan dalam
konstruksi beton. Mekanisme dan kinerja dari penggunaan ggbs dalam produksi beton seperti
pengurangan jumlah air yang diperlukan, meningkatkan workabilitas dan mengurangi resiko
keretakan beton akibat thermal dan drying shrinkage yang berhubungan dengan durabilitas
beton akan didiskusikan.

Kata kunci: emisi, ggbs, durabilitas, dan workabilitas


*) Staf pengajar pada Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tadulako, Palu

1. Pendahuluan

Beton merupakan material konstruksi yang paling umum digunakan, dimana bahan
utama pembuatannya adalah semen, aggregate halus, aggregate kasar dan air. Seringkali
orang berpikir bahwa untuk memproduksi beton, dengan kekuatan yang tinggi diperlukan
jumlah semen yang banyak pula. Akan tetapi penggunaan semen dalam jumlah yang banyak
akan meningkatkan panas hidrasi yang dihasilkan selama proses hidrasi semen tersebut.
Tingginya panas hidrasi yang dihasilkan sangat potensial menyebabkan susut dan retak
diawal proses pengerasan beton yang mana dapat mengurangi kekuatan dan durabilitas beton.

Dewasa ini, salah satu isu lingkungan yakni emisi gas CO2 menjadi sangat serius dan
memerlukan perhatian khusus, sering dibahas dipertemuan tingkat dunia. Gas CO2
merupakan salah satu gas yang merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan
iklim. Produksi satu ton dari semen disertai sekitar satu ton emisi gas CO2, hasil dari
pembakaran bahan bakar dan kalsinasi dari bahan baku pembuatan semen. Produksi semen
menghasilkan emisi gas CO2 sekitar 7% dari total emisi CO2. Sumber dari emisi gas CO2

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
dalam produksi semen tersebut berasal dari1: 50-55% kalsinasi batu kapur (CaCO3), 40-50%
pembakaran bahan bakar dan 0-10% dari tenaga listrik.

Masalah lain yang muncul adalah sustainabilitas dari sumber daya alam yang digunakan
dalam pembuatan semen2. Data statistik menunjukkan bahwa industri beton setiap tahunnya
memerlukan 1,6 milyar ton semen, 10 milyar ton pasir dan kerikil dan sekitar 1 milyar ton
air1.3. Produksi satu ton semen memerlukan 1,5 ton batu kapur (CaCO3), sumber daya alam
lainnya dan memerlukan energi listrik, bahan bakar minyak atau batu bara dalam jumlah yang
besar.
Tabel 1: Produksi semen dunia dari tahun 1995-20103
Produksi semen dunia
Tahun Produksi total (juta ton)
1995 1.396
2000 1.662
2005 1.839
2010 1.946

Tabel 1 di atas menunjukkan produksi semen dunia dalam tahun 1995 sampai 2010.
Peningkatan produksi semen disebabkan meningkatnya industri konstruksi setiap tahunnya.
Semen diproduksi melalui proses pemanasan batu kapur (CaCO3) dan bahan lainnya hingga
suhu 14500C dalam suatu kiln untuk menghasilkan klinker; proses ini meliputi penguraian
CaCO3 yang dipanaskan menghasilkan kapur (calcium hidroksida) dan CO2. Kapur tersebut
dicampur dengan material lainnya untuk pembuatan semen, sedangkan gas CO2 dilepaskan
bebas ke udara.
Kemungkinan sulit untuk menggantikan semen dalam memproduksi beton, akan tetapi bisa
diminimasi dengan menggunakan bahan pengganti sebagian semen (supplementary
cementitious materials) seperti fly ash, silica fume, ggbs dan lainnya. Dengan dukungan
teknologi moderen, penggunan bahan pengganti sebagian semen adalah solusi terbaik untuk
memenuhi kebutuhan industri konstruksi seperti beton mutu tinggi dengan durabilitas serta
kekuatan awal beton yang tinggi.
Ggbs mempunyai bahan penyusun yang serupa dengan semen hanya saja dalam jumlah
yang berbeda, sehingga ggbs bereaksi ketika ditambahkan dengan air. Akan tetapi hidrasi awal
dari ggbs sangat lambat dibandingkan dengan semen pada suhu pemeliharaan standard (20 oC).
Roy4 menyatakan bahwa kenaikan temperatur selama proses hidrasi dari semen menyediakan
energi untuk mengaktifkan alkali hidroksil (CaOH) yang selanjutnya bereaksi dengan partikel

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
ggbs. Dengan demikian diperlukan semen atau ion alkali sebagai aktivator untuk meningkatkan
reaksi dari ggbs tersebut.

2. Tinjauan pustaka
Ground granulated blast furnage slag (ggbs) adalah produk buangan pada proses
pembuatan besi yang mana senyawa utamanya terdiri dari SiO2, CaO, Al2O3, and MgO, mirip
dengan senyawa utama pembuatan semen seperti Tabel 2 berikut.

Tabel 2: Analisis kimia semen dan ggbs5,6,7,8


Oksida: % berat Pase (Bogue)
Senyawa Portland
Semen Ggbs
semen
CaO 62.12 41.41 C3S 49.4
SiO2 19.88 35.35 C2S 24.5
Al2O3 5.06 14 C3 A 10.8
Fe2O3 2.66 0.36 C4AF 7.5
SO3 3.19 0.1
MgO 2.09 7.45
K2O 0.59 -
Na2O 0.27 -
IR 0.71 0.21
LOI 2.93 0.31
Cl 0.06 0.014

2.1. Produksi ggbs

Bahan baku pembuatan besi yakni biji besi, coke dn limestone dimasukkan ke dalam
tungku kemudian dipanaskan hingga suhu 1500 oC. Dua produksi yang dihasilkan berupa
besi dan slag dalam bentuk cair. Slag berada di atas puncak karena lebih ringan dari besi
seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1: Diagram proses produksi GGBS9

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
2.2. Indeks aktivitas dari ggbs

Indeks aktivitas (istilah dalam British Standard) atau indeks aktivitas slag (istilah dalam
ASTM) ditentukan sebagai rasio (%) kekuatan tekan mortar yang terbuat dari 50% ggbs dan
50% semen terhadap kekuatan tekan mortar yang terbuat dari semen saja., dapat dinyatakan
sebagai berikut11-13:
𝑆𝑃
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠, % = 𝑋 100 ...............................1
𝑃

dimana: SP = kuat tekan mortar dari kombinasi ggbs dengan semen


P = kuat tekan mortar dari semen saja.

Berbeda dengan standar ASTM C-989-048, standar British European BS EN 15167–17,


tidak mengklasifikasikan ggbs atas beberapa grade seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3: Minimum activity index of GGBS7, 8

Indeks aktivitas minimum (%)


Umur (hari) ASTM C 989 – 04
BS EN 15167–01
Grade 80 Grade 100 Grade 120
7 - 70 90 45
28 70 90 100 70

2.3. Reaksi hidrasi ggbs

Hasil utama reaksi yang terbentuk ketika ggbs dicampur dengan semen dan air adalah
sama dengan hasil reaksi ketika hanya semen yang digunakan, yakni kalsium silikat hidroksit
(C-S-H)12. Akan tetapi hasil hidrasi ggbs ditemukan lebih bersifat gel dibandingkan dengan
hasil hidrasi dari semen saja, sehingga meningkatkan kepadatan pasta. Semakin banyak ggbs
yang bereaksi dam proses hidrasi maka pori yang yang dihasilkan semakin berkurang dengan
ukuran ynglebih kecil. Proses hidrasi ggbs dapat dilihat pada gambar berikut.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
(a) (b)

Gambar 2: Model: hidrasi awal (a) dan jangka panjang (b) dari ggbs dengan semen4

Lebih lanjut Roy menemukan bahwa hidrasi sekunder atau hidrasi lanjut dari semen
menghasilkan Ca(OH)2 dalam pasta atau beton. Pozzolanic reaksi dari ggbs menggunakan
Ca(OH)2 dari hidrasi semen untuk menghasilkan senyawa C-S-H tambahan. Mekanise hidrasi
ggbs dapat dinyatakan dengan jelas sebagai berikut13:

a. Reaksi primer:
Semen + air C-S-H + Ca(OH)2 ....................................2
Na(OH)
KOH

GGBS + air + Ca(OH)2 C-(N,K)-S-H ...................................3


Na(OH)
KOH
b. Reaksi sekunder:
1. Hasil reaksi utama semen + GGBS
2. Hasil reaksi utama semen + Hasil reaksi utama GGBS

3. Eksperimen

Semua percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini dilaksanakan pada laboratorium
sturktur dan beton, Jurusan Sipil Universitas Liverpool, Inggris.

3.1. Material

Semua material yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sumber yang sama dan
memenuhi standar British dan Eropa dan dikonfirmasi cocok untuk digunakan dalam

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
penelitian ini. Semen yang digunakan adalah semen portland type I klas 52.5 seperti pada
Tabel 2 di atas. Sementara ggbs yang digunakan disuplai oleh Civil + Marine Ltd. Aggregat
kasar yang digunakan adalah batu pecah dengan ukuran antara 5 – 20 mm. Agregat halus
yang digunakan adalah gradasi menengah.

3.2. Prosedur eksperimen

Untuk mengetahui efek dari suhu pemeliharaan terhadap pertumbuhan kekuatan beton
ggbs serta pengaruh level ggbs terhadap kekuatan beton, maka suhu pemeliharaan divariasi
pada 20 dan 50oC serta pemeliharaan secara adiabati dengan level ggbs 0, 20, 35, 50 dan
70%. Beton dicampur dan dituang ke mould sampai terisi setengah kemudian digetarkan lalu
mould tersebut diisi penuh lalu digetarkan kembali dengan menggunakan meja penggetar
seperti pada Gambar 3 di bawah. Lama waktu yang digunakan untuk pemadatan tersebut
tergantung pada workabilitas dari beton.

Gambar 3: Beton dicor ke dalam mould lalu dipadatkan di atas meja getar

Sebagian dari mould yang berisi beton tersebut dibungkus dengan plastik lalu
dimasukkan ke dalam bak air yang dipanaskan pada suhu 50oC. Kubus beton yang lain
dimasukkan ke camber yang distel pada suhu standar, 20oC. Sisa kubus beton yang
terbungkus tersebut dimasukkan camber yang dinamakan Temperature Applied Science
(TAS) untuk pemeliharaan secara adiabatik seperti pada Gambar 4.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
Gambar 4: Camber TAS untuk pemeliharaan beton secara adiabatik

Setelah 24 jam beton tersebut dikeluarkan dari mould lalu dikembalikan ke tempat
pemeliharaan masing-masing untuk pengujian selanjutnya. Beton tersebut diuji pada umur 6
dan 12 jam, 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256 dan 365 hari untuk mengetahui pertumbuhan
kekuatan beton ggbs.

4. Hasil dan pembahasan


4.1. Workabilitas beton

Dari hasil pengujian workabilitas beton yang dilakukan dengan pengujian slump beton
diperoleh hasil dimana slump untuk campuran beton ggbs yang mempunyai jumlah air
pencampur yang sama dengan campuran beton tanpa ggbs memiliki slump yang lebih tinggi.
British standard menganjurkan pengurangan air yang digunakan dalam beton ggbs 5 kg
untuk setiap meter kubik beton.

4.2. Pertumbuhan kekuatan beton ggbs

Gambar 5 di bawah menunjukkan pengaruh suhu pemeliharaan terhadap pertumbuhan


kekuatan beton ggbs. Pada umur awal beton, pertumbuhan kekuatan beton ggbs lebih tinggi
pada suhu yang lebih tinggi. Akan tetapi kekuatan beton ggbs yang dipelihara pada suhu yang
lebih tinggi pada umur selanjutnya lebih rendah dibandingkan dengan beton ggbs yang
dirawat pada suhu yang lebih rendah. Sebaliknya pertumbuhan kekuatan beton ggbs pada
umur awal beton lebih rendah akan tetapi lebih tinggi pada umur selanjutnya seperti yang
diperlihatkan Gambar 5 berikut. Hal ini disebut “crossover effect”

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
70

65

60 40 0C

55

Compressive strength (MPa)


50 30 0C
50 0C
45

40 20 0C

35

30 10 0C

25

20

15

10

0
5 0.5 1 2 4 8 16 32 64 28 5665
0.2 1 2 3
Age (days)
Gambar 5: Pengaruh suhu perawatan terhadap pertumbuhan kekuatan beton ggbs.

Hal ini disebabkan terbentuknya hasil hidrasi yang padat membungkus bagian semen/ggbs
yang belum bereaksi sehingga bagian tersebut terhalang dari air untuk hidrasi selanjutnya.
Hasil rekasi tidak memiliki cukup waktu untuk terdistribusi merata dalam pori-pori dari beton
yang sudah mengeras.
Gambar 6 di bawah menunjukkan pengaruh level ggs terhadap pertumbuhan kekuatan
beton. Kekuatan beton ggbs yang dirawat pada suhu standar (20oC) pada umur awal lebih
rendah dibandingkan dengan kekuatan beton yang terbuat hanya dari semen portland saja.
Akan tetapi kekuatan beton ggbs yang dirawat pada suhu standar tersebut setelah 32 hari
lebih tinggi dari kuat tekan beton dengan semen saja. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi ggbs
pada awal berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan semen.
90 90
85 a) PC45 b) 20GGBS45 c) 35GGBS45 d) 50GGBS45 e) 70GGBS45 85
80 80
75 75
Compressive strength (N/mm )

Compressive strength (N/mm )


2

70 70
65 65
60 60
55 55
50 50
45 45
40 40
35 35
30 50 0C 30
20 0C
25 20 C 0
50 0C 50 0C 25
20 50 0C 20
0
15 50 0C 20 C 20 0C 15
20 0C
10 10
5 5
0 0
0.25
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.25
0.5

0.25
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365

0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.25
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.25
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365

Age (days)
Gambar 6: Pertumbuhan kekuatan beton ggbs pada suhu dan level yang berbeda.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
Kekuatan beton ggbs yang dirawat pada suhu 50oC sangat signifikan meningkat
dibandingkan dengan yang dirawat pada suhu standar. Bahkan kekuatan beton ggbs yang
dirawat pada suhu tersebut pada umur awal sebanding dengan kuat tekan beton yang terbuat
dari semen saja. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih tinggi ggbs lebih cepat
terhidrasi seperti yang terlihat pada Gambar 5 di atas.
Gambar 6 di bawah memperlihatkan kenaikan suhu beton yang dipelihara secara
adiabatik untuk beton mutu C45. Kenaikan temperatur untuk beton 20% ggbs lebih tinggi
dari beton dengan hanya semen, dimana perbedaannya adalah 11.8oC. Ini disebabkan beton
dengan 20% ggbs mengandung binder yang lebih banyak dibandingkan beton yang terbuat
dengan hanya semen, yakni 373 kg/m3 dan 396 kg/m3 untuk beton dengan semen and 20%
ggbs secara berturut-turut. Ada dua titik penting dari kenaikan temperatur dalam beton yang
dirawat secara adiabatik. Pertama, periode yang dinamakan waktu pengikatan (dormant
period) dimana tidak ada kenaikan temperatur setelah dicor. Kedua, periode dimana suhu
meningkat secara terus menerus hingga mencapai puncak. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa waktu pengikatan beton dengan 70% ggbs lebih panjang. Dimana waktu pengikatan
bervariasi dari 4,42 sampai 12,02 jam untuk beton dengan semen dan 70% ggbs secara
berturut-turut.

Gambar 7: Kenaikan suhu pada beton ggbs yang dirawat secara adiabatik untuk level
ggbs yang berbeda.
Gambar 8 di bawah menunjukkan pertumbuhan kekuatan beton yang dirawat secara
adiabatik dan pada suhu standar.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
90 90
85 a) PC 45 b) 20GGBS45 c) 35GGBS45 d) 50GGBS45 e) 70GGBS45 85
80 80
75 75
Compressive strength (N/mm )

70 70

Compressive strength (N/mm )


2

2
65 65
60 60
55 55
50 50
45 45
40 20 0C 40
20 0C
35 0
20 C 0 20 0C 35
20 C
30 Adiabatic 30
Adiabatic
25 Adiabatic Adiabatic 25
Adiabatic
20 20
15 15
10 10
5 5
0 0

0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365
0.5
1
2
4
8
16
32
64
128
256
365

Age (days)

Figure 8: Pertumbuhan kekuatan beton pada suhu 200C dan yang dirawat secara adiabatik
beton mutu C45

Peningkatan kekuatan terbesar pada beton yang dirawat secara adiabatik terjadi dalam masa 4
hari pertama. Pada umur 4 hari tersebut, kekuatan beton dengan level 0 (beton dengan semen
saja), 50 dan 70% ggbs adalah 46,07 , 54,07 dan 45,53 N/mm2 secara berturut-turut, dimana
mencapai 84, 99 dan 83% dari kuat tekan beton dengan semen saja pada umur 32 hari (54,83
N/mm2).

5. Kesimpulan

Dari hasil pengujian kekuatan beton ggbs yang diperoleh dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
 Kekuatan awal beton ggbs yang dirawat dibawah suhu standar (20oC) yang
mempunyai kuat tekan rencana yang sama dengan beton dengan semen saja,
berkurang dengan meningkatnya level ggbs dalam beton. Akan tetapi pada beton
ggbs yang dirawat pada suhu yang lebih tinggi yakni 50oC, kekuatan beton pada
umur awal sangat meningkat dan sebanding dengan kuat tekan beton dengan semen
saja. Peningkatan kekuatan beton lebih signifikan pada beton dengan 70% ggbs. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level ggbs dalam beton, kekuatan beton
semakin sensitif terhadap suhu perawatan.
 Di bawah perawatan suhu standar, pertumbuhan kekuatan beton ggbs yang didesain
setara dengan kekuatan beton dengan hanya semen pada umur 28-hari umumnya
tercapai untuk beton dengan level ggbs sebagai pengganti semen sampai 50%.
Kekuatan beton dengan level ggbs yang lebih tinggi sedikit rendah dari beton dengan

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
semen saja pada umur yang sama, akan tetapi pertumbuhan kekuatannya melebihi
beton dengan semen saja pada umur yang lebih lama.
 Peningkatan suhu perawatan beton meningkatkan pertumbuhan kekuatan beton ggbs
pada umur awal. Akan tetapi perawatan dengan suhu yang tinggi pada umur awal
beton akan berdampak penurunan kekuatan beton pada umur dewasa, yang mana
diistilahkan ‘crossover effect’.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013
Daftar Pustaka

1. Mehta. P.K. and R.W. Burrows, “Building Durable Structures in the 21st Century.”
Concrete International, March 2001.
2. Tarun R. Naik, “Sustainability of Concrete Construction”, Practice Periodical on
Structural Design and Construction, ASCE Journal, May 2008.
3. Malhotra, V. M., “Role of supplementary cementing materials and superplasticizers in
reducing greenhouse gas emissions.” Proc.ICFRC Int. Conf. on Fiber Composites, High-
Performance Concrete,and Smart Materials, Indian Institute of Technology, Chennai,
India,489–499, 2004.
4. Roy, D. M., Hydration, structure, and properties of blast furnace slag cements, mortars,
and concrete. ACI 1982.
5. Castle-Cement, Laboratory Chemical Report, Limited, C. C., Editor 2009: Lancashire,
UK.
6. Civil+Marine, Chemical Analysis Report of GGBS, 2009.
7. BS EN 15167–1, Ground granulated blast furnace slag for use in concrete, mortar and
grout —, in Part 1 : Definitions, specifications and conformity criteria, 2006: London.
8. ASTM C 989-04, Standard Specification for Ground Granulated Blast-Furnace Slag for
Use in Concrete, 2004, ASTM International.
9. Euroslag, Granulated Blastfurnace Slag. Technical Leaflet No. 1 2003 [cited 2012
September]; Available from:
http://www.euroslag.com/fileadmin/_media/images/Research/FACT_SHEETS/Leaflet
GGBS.pdf.
10. BS EN 197-1, Cement - Part 1: Composition, specifications and conformity criteria for
common cements, 2000, British Standard Institution: London.
11. Virgalitte, S. J., Luther, M. D., Rose, J. H., Mather, B., Bell, L. W., Ehmke, B. A.,
Klieger, P., Roy, D. M., Call, B. M., and Hooton, R. D., Ground granulated blast-
furnace slag as a cementitious constituent in concrete. 1995.
12. Smolczyk, H.G., The effect of chemistry of slag on the strength of blast furnace cements.
Zem-Kalk-Gips, 1978. 31(6): p. 294-296.
13. Newman, J. B. and Choo, B. S., Advanced Concrete Technology, Volume 1: Constituent
Materials 2003: Elsevier Science & Technology.

Dipresentasikan pada: Seminar Nasional, “Inovasi Teknologi Berwawasan Lingkungan Dalam


Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Industri” dalam Rangka Peringatan 30 Tahun Pendidikan
Keteknikan di Propinsi Sulawesi Tengah, 22 Oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai