MANAJEMEN TERNAK
POTONG DAN KERJA
OLEH :
TIM DOSEN DAN ASISTEN
PROGRAM STUDI
PETERNAKAN FAKULTAS
PERTANIAN UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan hidayahNya
penyusun mampu menyelesaikan buku petunjuk praktikum Manajemen Ternak
Potong dan Kerja. Praktikum ini merupakan bagian dari materi kuliah yang diikuti
oleh mahasiswa S-1 Peternakan, D-3 Agribisnis Peternakan.
Petunjuk praktikum ini disusun untuk membantu mahasiswa dalam
melaksanakan praktikum pada mata kuliah Manajemen Ternak Potong dan Kerja.
Petunjuk praktikum ini untuk memandu mahasiswa dalam pelaksanaan praktikum
dilapangan pada saat pengambilan data-data yang berkaitan dengan faktor-faktor
penting yang harus diamati dan dipahami oleh mahasiswa.
Materi yang disusun dalam buku ini meliputi aspek-aspek teknis dan
ekonomis dalam suatu usaha ternak potong dan kerja. Diharapkan dalam praktikum
ini mahasiswa mampu mengevaluasi dan memberikan suatu solusi pada perusahaan
yang bersangkutan sehingga dapat dicapai efisiensi teknis dan ekonomis. Di
samping itu diharapkan mahasiswa mampu merencanakan suatu usaha ternak
potong dan kerja dengan pengetahuan yang didapat tentang aspek-aspek teknis dan
ekonomis tersebut.
Kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi
penyempurnaan petunjuk praktikum ini. Semoga petunjuk praktikum ini
bermanfaat untuk mahasiswa yang mempergunakannya.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
1. Praktikum wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah
Manajemen Ternak Potong dan Kerja baik kegiatan praktikum secara daring.
2. Praktikan wajib mengikuti seluruh kegiatan yang dilaksanakan yaitu asistensi,
kegiatan Live Streaming, pembuatan tugas dan responsi.
3. Kegiatan dan koordinasi praktikum dilaksanakan secara daring sesuai arahan
dari asisten.
4. Praktikan wajib mengerjakan syarat masuk serta mengerjakan tugas kelompok
secara bersama-sama dengan koordinasi dari ketua kelompok
5. Praktikan wajib mengumpulkan tugas praktikum sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan.
v
KEGIATAN PRAKTIKUM
MANAJEMEN TERNAK POTONG DAN KERJA
vi
I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK KELINCI
1
2
nutrisi kelinci pada masa pertumbuhan atau umur 4−12 minggu antara lain
digestible energy (DE) sebesar 2.500 kkal/kg, protein kasar (PK) 15%, serat
kasar (SK) 14%, lemak 3%, kalsium (Ca) 0,5% dan fosfor (P) 0,3%. Jumlah
pakan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan kelinci, hal tersebut akan
mempengaruhi produktivitas kelinci. Kelinci yang mengonsumsi melebihi
kebutuhan energi maka akan disimpan sebagai lemak tubuh termasuk lemak
daging (Cheeke, 1986).
Pakan kelinci dapat berupa pellet, pellet merupakan campuran bahan pakan
yang diproses secara mekanik sehingga menghasilkan pakan yang kompak.
Pellet yang diberikan dapat berupa crumble atau pellet (butiran) tanpa
mengubah kualitas pakan. Pellet dapat dicetak dalam pentuk gumpalan dan
silinder kecil. Tujuan pembuatan pellet adalah untuk mengurangi sifat berdebu
pakan, meningkatkan palatabilitas, mengurangi pakan yang terbuang,
mengurangi sifat voluminous pakan (Mukodiningsih et al., 2014).
Kelinci yang diberi makanan dalam bentuk pellet dan mash menunjukkan
bahwa kelinci lebih menyukai pakan konsentrat yang dibentuk pellet daripada
mash. Pertumbuhan kelinci yang diberikan pakan pellet lebih tinggi daripada
mash, hal ini karena pakan dalam bentuk pellet akan lebih lama tinggal dalam
saluran pencernaan dan diperlukan waktu lama untuk memecah butiran-butiran
pellet yang masuk dalam saluran pencernaan kelinci sedangkan pakan mash
yang bentuknya sudah halus sehingga waktu yang dibutuhkan untuk
mengecilkan partikel pakan hanya sebentar. Pakan yang lebih lama di dalam
saluran pencernaan akan mengalami penyerapan nutrien yang lebih baik
daripada pakan yang sebentar melewati saluran pencernaan khususnya pada
usus halus, tempat terjadinya penyerapan sari-sari makanan
(Nugroho et al., 2012).
B. Manajemen Perkandangan
Sistem perkandangan merupakan salah satu faktor yang penting bagi
kelinci. Sistem perkandangan berpengaruh terhadap sirkulasi udara di dalam
kandang sehingga dapat mempengaruhi tingkat stress pada kelinci
(Finzi et al., 1992). Kondisi tersebut menyebabkan konsumsi ransum menurun
dan meningkatnya konsumsi air sehingga zat – zat makanan yang diserap oleh
3
pemberian obat yang mengandung soulfadiazin dan trimetopin, obat diare ini
umumnya berbentuk butiran pil. Pencegahan dengan cara menghindari
pemberian pakan yang kurang berkualitas dan mengatur pemberian pakan
hijauan dan konsentrat agar seimbang selain itu juga memastikan kandang agar
selalu terjaga kebersihannya (Priyatna, 2011).
Penyakit radang paru – paru (Pneumonia) pada kelinci merupakan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Gejala penyakit radang
paru – paru pada kelinci yaitu kelinci mengalami kesulitan bernafas, sering
mangangkat kepala tinggi – tinggi karena kesulitan bernafas, kotoran encer,
mata dan telinga kebiru – biruan kadang keluar cairan bernanah. Cara
pencegahan dan pengobatan penyakit radang paru – paru yaitu dengan
memelihara kelinci dalam kandang yang tidak terkena aliran angin secara
langsung, ventilasi kandang yang baik sehingga udara di dalam kandang selalu
segar dan memberikan pakan bergizi (Huda, 2017).
Penyakit kembung pada kelinci disebabkan karena udara lembab, basah atau
terkena angin malam secara langsung dan cuaca jelek, kembung juga bisa
disebabkan oleh kesalahan dalam mengonsumsi makanan karena perbandingan
serat kasar, protein dan lemak tidak tepat. Gejala kelinci yang terserang entritis
yaitu berdiri dengan posisi membungkuk, kaki depan agak maju, daun telinga
turun serta tampak haus sehingga selalu mendekati air minum, kotoran kelinci
cenderung berwarna hijau. Pencegahan dan pengobatan dengan cara
menyingkirkan hijauan dan air minum yang tersedia, memberikan pakan
berupa pellet dan hay dalam kondisi kering. Pengobatan dilakukan dengan
memberikan antibiotik melalui pakan atau air minum pada induk yang
menyusui (Masanto dan Ali, 2017)
D. Manajemen Breeding
Masa birahi induk kelinci akan mulai kelihatan jelas bila sudah mencapai
umur 7 bulan. Kelinci tipe berat dengan ciri – ciri bila diusap – usap punggung
dia akan mengangkat bagian pantat lebih tinggi atau menungging. Proses
ovulasi kelinci terjadi sesudah dilakukan induksi dengan rangsangan dari luar.
Rangsangan ini dapat berupa penggunaan pejantan dengan atau tanpa
vasektomi, rangsangan listrik dan mekanis serta penggunaan hormon
5
perangsang ovulasi. Umur kawin yang baik pada kelinci adalah 6 bulan bagi
betina dan 7 bulan bagi jantan. Kelinci indukan dapat dikawinkan kembali 3 –
4 minggu setelah melahirkan. Pemeliharaan yang baik pada induk
menyebabkan induk dapat dikawinkan 2 minggu setelah melahirkan. Lama
bunting dihitung sejak betina kawin sampai beranak. Lamanya berkisar antara
31 – 32 hari tetapi kemungkinan paling singkat 29 hari atau paling lama 35 hari
(Cheeke et al., 1987).
Dewasa kelamin pada kelinci dipengaruhi oleh bangsanya. Kelinci
mencapai dewasa kelamin pada umur 4 – 8 bulan tergantung pada bangsa,
makanan dan kesehatan. Kelinci yang mendapat makanan dengan kualitas baik,
mencapai dewasa kelamin lebih dini. Kelinci tipe ringan mencapai dewasa
kelamin pada umur 4 bulan, tipe medium 5 – 6 bulan dan tipe berat umur 7 – 8
bulan. Umur kawin yang baik pada kelinci adalah 6 bulan bagi betina dan 7
bulan bagi jantan meskipun pada umur 5 bulan keduanya sudah dapat kawin.
Kelinci induk dapat dikawinkan kembali 3 – 4 minggu setelah melahirkan.
Pemeliharaan yang baik pada induk menyebabkan induk dapat dikawinkan 2
minggu setelah melahirkan (Raharjo, 1994).
Kelinci betina segera dikawinkan ketika mencapai dewasa pada umur 5
bulan (betina dan jantan). Kelinci yang terlalu muda jika dikawinkan akan
menyebabkan kesehatan kelinci terganggu dan mortalitas anak tinggi. Waktu
perkawinan pagi/sore hari di kandang pejantan dan biarkan hingga terjadi dua
kali perkawinan setelah itu pejantan dipisahkan.
E. Manajemen Limbah
Pupuk kandang seperti kotoran dan urine kelinci adalah pupuk yang
memiliki kandungan unsur N (2,72%), P (1,1%), K (0,5%) yang lebih tinggi
dibandingkan kotoran ternak lain seperti kuda, kerbau, sapi, domba dan babi
(Nurrohman et al., 2014). Urine kelinci adalah salah satu pupuk organik cair
yang memiliki kandungan nitrogen (N) 2,72% yang penting bagi tanaman.
Unsur N diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan bagian vegetatif
tanaman seperti daun, batang dan akar serta berperan pada saat tanaman
melakukan fotosintesis sebagai pembentuk klorofil (Rosdiana, 2015).
6
Satu ekor kelinci yang berusia dua bulan lebih atau yang beratnya mencapai
1 kg akan menghasilkan 28,0 gram kotoran lunak per hari dan mengandung 3
gram protein serta 0,35 gram nitrogen dari bakteri atau setara 1,3 gram protein.
Urine kelinci memiliki kandungan zat asam amino esensial, urin juga
mengandung 8 unsur mikro lain seperti Ca, Mg, Na, Cu, Zn, Mn dan Fe. Pupuk
kandang dari kotoran kelinci berepengaruh nyata terhadap pertumbuhan
maupun produksi rumput. Pemberian atau penambahan probiotik pada pupuk
keinci interaksinya mampu memberikan pengaruh nyata pada tanaman pakan
dan meningkatnya produksi hijauan sebesar 34,8 – 38,0% (Rahardjo, 2008).
II. MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK BABI
Ternak babi adalah ternak monogastrik dan bersifat prolific (banyak anak tiap
kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat
dipasarkan. Babi merupakan salah satu ternak penghasil daging yang
perkembangannya mengagumkan dan mempunyai keunggulan dibandingkan
dengan ternak lain dan ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa
pertanian dan restoran menjadi daging oleh sebab itu memerlukan pakan yang
mempunyai protein, energi, mineral dan vitamin yang tinggi. Lama hidup babi
berkisar antara 20 – 25 tahun, dengan lama produksi ekonomis 3 – 4 tahun
(Ensminger, 1991).
Berdasarkan statistik peternakan tahun 2016, populasi ternak babi tertinggi
terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (1,871,717ekor), Bali (803.920 ekor),
Sumatera Utara (1.120.261 ekor), Sulawesi Selatan (688.019 ekor), Papua (738.714
ekor), Sulawesi Utara (427.450 ekor), Kalimantan Barat (598.263 ekor), Sulawesi
Tengah (262.115 ekor), Kepulauan Riau (331.574 ekor), Kalimantan Tengah
(201.104 ekor), Sulawesi Utara (427.450 ekor).
Ternak babi yang dipelihara secara intensif dapat menghasilkan produksi
daging yang baik harus dijalankan dengan menjalankan manajement yang baik.
Manajemen pemeliharaan ternak memegang peranan paling penting dalam
keberhasilan usaha peternakan. Keberhasilan usaha peternakan ± 50% bergantung
pada manajemen pemeliharaan. Manajemen pemeliharaan secara garis besar
meliputi manajemen pakan, kesehatan, perkandangan, perlakuan tiap fase
pertumbuhan dan perlakuan untuk meningkatkan pertumbuhan, produktivitas dan
reproduktivitas ternak.
A. Manajemen Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha ternak babi, sebab
60% dari keseluruhan biaya dihabiskan untuk keperluan babi-babi induk
(bibit), dan 80% untuk keperluan babi fattening. Hal yang perlu diperhatikan
yaitu babi secara alamiah tergolong hewan yang makannya sangat rakus dan
suka makan apapun namun mereka perlu diberi makanan dengan perhitungan
yang benar dan sesuai. Konversi pakan babi terhadap makanan sangat bagus,
7
8
Ransum Starter, babi starter ialah anak babi yang masih menyusui
dengan umur 8 – 10 minggu. Pada fase atau periode ini mereka harus
mendapatkan ransum starter, yaitu ransum yang terdiri dari :
1) Komposisi bahan makanan yang mudah dihisap oleh anak babi dan pula
mudah dicerna (creep feeder).
2) Kandungan serat kasarnya rendah, misalnya dari bahan jagung giling
halus, tepung susu skim. Sebab susu kandungan proteinnya tinggi,
sedangkan jagung memiliki kadar cerna yang tinggi dan merupakan
sumber karbohidrat.
3) Kandungan protein 20 – 22 %, MP 70.
4) Serat kasar 3 %.
Ransum Grower, babi grower yaitu anak babi sesudah melampaui fase
starter sampai umur 5 bulan. Babi-babi yang telah melewati fase grower dan
mencapai berat 50 kg. Babi yang hidup pada fase ini harus mendapatkan
ransum grower, yaitu ransum yang terdiri dari :
1) Bahan yang agak kasar sedikit dari pada ransum starter.
2) Kadar protein kurang lebih 17%, MP 68.
3) Serat kasar 5%.
4) Ditambah ekstra hijauan segar, vitamin-vitamin dan mineral.
Ransum Fattening, babi fattening adalah babi yang digemukkan
sebagai babi potongan yang beratnya 50 – 100 kg. Penggemukan ini dimulai
semenjak mereka sudah melewati fase grower yang berat hidupnya 50 kg
sampai dengan bisa dipotong yaitu pada waktu mencapai berat 100 kg.
Ransum yang diberikan ialah ransum fattening, yang terdiri dari :
1) Bahan makanan yang agak kasar.
2) Kadar protein 14%, MP 69.
Ransum Bibit merupakan ransum yang diberikan kepada babi dara,
sebagai pengganti makanan fase grower atau babi bunting 3 bulan pertama.
Untuk menghindarkan keadaan babi yang terlalu gemuk maka babi harus
diberikan ransum khusus yaitu :
1) Bahan-bahan makanan yang kadar serat kasarnya relative tinggi kurang
lebih 8,5%.
10
3. Kandang Pejantan
Kandang pejantan ini sebaiknya dilengkapi dengan halaman
pengumbaran, agar pejantan bisa exercise (lantai) dan bisa melihat babi-babi
betina dari halaman. Ukuran kandang pejantan :
a. 2 x 3 m dan halaman 4 x 3 meter.
b. Tinggi kandang, bagian depan 2 m, belakang 1,5 m.
C. Manajemen Kesehatan
Periode perlu diperhatikan sehubungan dengan kepadatan anak babi adalah
saat kritis pada umur minggu pertama dan minggu kedua hilangnya antibodi
dari induk (Nugroho dan Whendrato, 1990). Kontrol yang paling efektif
terhadap penyakit adalah melalui tindakan pencegahan. Babi yang mengalami
stres akan lebih gampang terkena penyakit dan parasit maka pencegahan yang
paling efektif adalah dengan mengurangi stres tehadap makanan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Melakukan program vaksinasi.
2. Pemberian makan yang cukup pada segala tahap umur .
3. Mencegah terjadinya stres dengan sistem perkandangan baik.
4. Pemisahan ternak–ternak yang terkena penyakit.
5. Pembersihan dan pensucihamakan dari kandang dan perlengkapannya bila
terjadi penyakit dan diistirahatkan selama 3–4 minggu
(Williamson dan Payne, 1993).
Pada prinsipnya penyakit yang menyerang babi bisa digolongkan menjadi dua:
1. Penyakit Tak Menular, misalnya penyakit akibat kekurangan zat-zat
makanan tertentu (deficiency) seperti anemia, bulu rontok, rakitis,
keracunan dan lain-lain.
2. Penyakit Menular, penyakit yang disebabkan oleh gangguan dari suatu
organisme (bakteri, virus dan parasit) seperti cacing, kutu dan lain – lain.
Beberapa jenis penyakit yang sering menyerang ternak babi antara lain:
1. Penyakit kekurangan vitamin A
2. Anemia
Penyebab Anemia :
Kekurangan mineral, terutama zat besi dan tembaga.
13
6. Kudis (Scabies)
Penyebab :
Semacam kutu kecil, yang tidak terlihat oleh mata. Ada dua macam
kutu, yaitu:
Menyebabkan kulit yang digigit menjadi berlubang.
Kutu menggigit, terus menghisap darah tanpa membuat lubang pada kulit.
Gejala :
Nafsu makan menurun.
Pertumbuhan kurang normal.
Nampak suatu goresan yang gatal, karena kutu menembus kulit.
Pencegahan dan pengobatan :
Ternak yang sakit harus diisolasi, supaya tidak menular kepada yang lain.
Kandang harus dibersihkan, disemprot atau didesinfeksi.
Pengobatan dengan Scabisix atau obat lainnya seperti zalf yang dilumaskan
pada kulit dan diulangi sampai sembuh.
D. Manajemen Breeding
Keberhasilan di dalam usaha ternak babi adalah juga sangat tergantung
kepada pemeliharaan induk dan pejantan yang memiliki sifat-sifat baik.
Peternak yang maju, tentu saja akan selalu mengadakan seleksi terhadap
ternaknya. Seleksi berarti memilih hewan ternak yang bernilai tinggi, yakni
memilih babi-babi yang menguntungkan. Seleksi diharapkan ada perbaikan
karakter ekonomi tertentu, terutama mengenai :
- Pertumbuhan : Cepat
- Daya tahan : Kuat
- Produksi : Cukup Baik
Syarat-syarat yang perlu diperhatikan pada waktu memilih bibit:
1) Babi Sehat (letak puting simetris dan jumlah 12 buah kiri dan kanan).
2) Ambing yang besar, tubuh yang padat dan kompak.
3) Kaki lurus, tegak dan kokoh.
Pemilihan babi-babi dewasa yang hendak dijadikan bibit, bisa dilakukan
dengan cara, yakni atas dasar :
1. Pemilihan individu.
16
Kambing adalah salah satu ternak yang termasuk golongan ruminansia kecil
(Negara, 2016). Kambing banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia karena
memiliki banyak keunggulan yaitu kemampuan dalam reproduksi. Seekor kambing
betina dewasa mampu menghasilkan anak lebih dari satu perkelahiran. Hal ini
menjadi motivasi bagi peternak untuk membudidayakan kambing
(Segara et al., 2018). Kambing mampu beradaptasi dalam lingkungan yang kualitas
pakan rendah serta kuantitas pakan yang sedikit.
Jenis kambing yang dipelihara peternak di Indonesia antaranya adalah
kambing Kacang, kambing Ettawa, kambing Peranakan Ettawa (PE), kambing
Jawarandu, kambing Boer, kambing Saenen dan kambing Marica (Atmojo, 2007)
yang disitasi oleh Rini (2012). Kambing Kacang merupakan kambing asli dari
Indonesia. Kelebihan dari kambing Kacang adalah dapat hidup dengan baik
meskipun kualitas pakan dan lingkungan kurang baik, sebagai ternak penghasil
daging dan kulit, memiliki tingkat kesuburan reproduksi yang tinggi serta tahan
terhadap penyakit. Kambing Kacang memiliki kekurangan yaitu ukuran badan
relatif kecil dan pendek (Maisir, 2018). Hasil persilangan antara kambing Ettawa
dari India dengan kambing Kacang adalah kambing Peranakan Ettawa (PE).
Kambing Peranak Ettawa (PE) bersifat dwiguna, sehingga dapat menghasilkan susu
dan daging (Mulyono dan Sarwono, 2010) yang disitasi oleh Hidayat (2018).
Kambing Peranakan Ettawa (PE) memiliki beberapa tipe ras yaitu Peranakan
Ettawa Kaligesing, Peranakan Ettawa Senduro dan Peranakan Ettawa Jawarandu
(Kaleka dan Haryadi, 2013) yang disitasi oleh Rini (2012). Kambing Jawarandu
memiliki karakteristik secara fisik diantaranya adalah profil muka agak cembung,
telinga agak menggantung, tubuhnya memiliki warna belang antar coklat, hitam dan
putih serta, memiliki tanduk pada jantan maupun betina (Purbowati et al., 2015)
yang telah disitasi oleh (Al-Afkari et al., 2017)
A. Manajemen Pakan
Menurut Setiawan dan Arsa (2005), secara umum pakan ternak kambing
sebenarnya hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu pakan kasar, pakan penguat dan
17
18
pakan pengganti. Pakan kasar merupakan bahan pakan berkadar serat kasar
tinggi. Bahan ini berupa pakan hijauan yang terdiri dari rumput dan dedaunan.
Pakan kambing sebagian besar terdiri dari hijauan, yaitu rumput dan daun
daunan tertentu (daun nangka, daun waru, daun pisang dan daunan
leguminosa). Seekor kambing dewasa membutuhkan kira-kira 6 kg hijauan
segar sehari yang diberikan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Kambing lebih suka
mencari dan memilih pakannya sendiri di alam terbuka (Sosroamidjojo, 1985).
Siregar (1995) menjelaskan bahwa pemberian hijauan terbagi menjadi 2
macam yaitu hijauan yang diberikan dalam keadaan masih segar dengan kadar
air 70% dan hijauan yang diberikan dalam keadaan kering atau awetan. Hijauan
kering dapat berupa hay, sedangkan awetan dapat berupa silase.
Pemberian pakan hijauan diberikan sesuai kebutuhan ternak yaitu 3 – 4%
bahan kering dari bobot hidup (Sianipar dkk, 2006). Hijauan merupakan bahan
pakan berserat kasar yang dapat berasal dari rumput dan dedaunan. Kebutuhan
hijauan untuk kambing sekitar 70 % dari total pakan
(Setiawan dan Arsa, 2005). Pemberian pakan hijauan diberikan 10% dari bobot
badan (Sugeng, 1992). Menurut Mulyono dan Sarwono (2008) pada dasarnya
kambing tidak selektif dalam memilih pakan. Macam daun-daunan dan rumput
disukai, tetapi hijauan dari daun-daunan lebih disukai daripada rumput.
Hijauan yang baik untuk pakan adalah hijauan yang belum terlalu tua dan
belum menghasilkan bunga karena hijauan yang masih muda memiliki
kandungan PK (protein kasar) yang lebih tinggi.
Ketersediaan air minum untuk kambing harus ada setiap saat
(Sutama dan Budiarsana, 2009). Air diperlukan untuk membantu proses
pencernaan, mengeluarkan bahan-bahan yang tidak berguna dari dalam tubuh
(keringat, air kencing dan kotoran), melumasi persendian dan membuat tubuh
tidak kepanasan. Volume kebutuhan air pada kambing sangat bervariasi,
dipengaruhi oleh jenis kambing, suhu lingkungan, jenis pakan yang diberikan,
dan kegiatan kambing. Bobot kambing hidup 40 kg/ekor dan ransum kering
(dalam bahan kering) yang dibutuhkan ternak rata-rata sebanyak 0,8 kg dan air
minum minimal sebanyak 3 x 1 liter (3 liter). Kebutuhan air minum untuk
kambing berkisar 3-5 liter sehari (Mulyono dan Sarwono, 2008).
19
ternak kurang terjamin, lantai becek dan lembab, kuman penyakit, parasit dan
jamur berkembang subur yang menyebabkan kesehatan ternak kurang terjamin.
Kombinasi Kandang Panggung dan Kandang Lemprak
Kandang kombinasi merupakan tipe kandang yang sebagian kandang
bertipe panggung dan sebagian berlantai tanah. Biasanya digunakan untuk
ternak kambing dengan tujuan untuk pembibitan. Keunggulan dari kandang
kombinasi panggung dan lemprak adalah dapat meminamalisir segala resiko
yang ada pada kandang panggung maupun kandang lemprak sedangkan
kelemahannya adalah biaya pembuatan kandang sangat mahal.
Jenis-jenis Kandang :
Kandang Koloni / Kelompok :
Kandang koloni merupakan jenis kandang untuk memelihara ternak
kambing secara kelompok atau koloni. Luas kandang disesuaikan dengan
umur dan jumlah kambing yang dipelihara.
1. Umur 3 – 7 bulan, luas kandang rata-rata 0,5 m² / ekor.
2. Umur 7 – 12 bulan, luas kandang rata-rata 0,75 m² / ekor.
3. Umur >12 bulan, luas kandang rata-rata 1 – 1,5 m² / ekor.
Kandang Individu/Baterai :
Kandang Individu merupakan jenis kandang yang disekat-sekat , cukup
untuk 1 ekor saja, gerak kambing dibatasi.
Kandang Induk / Utama :
Kandang Induk merupakan tempat bagi induk ternak kambing untuk
beristirahat, makan, tidur dan membuang kotoran. Ukuran kandang
induk/utama, per ekor ternak kambing adalah 1 x 1 meter.
Kandang Beranak :
Kandang Beranak merupakan kandang untuk induk yang baru
melahirkan dan menyusui anaknya. Induk yang baru beranak dan sedang
menyusui penting dipisahkan dari ternak lain untuk menghidari anak
terinjak oleh ternak lain.
Kandang Pejantan :
Kandang Pejantan merupakan jenis kandang yang khusus digunakan
untuk seekor jantan pemacek. Kandang untuk pejantan sebaiknya cukup
23
luas, memperoleh sinar matahari pagi dan udara segar serta bersih.
Kandang pejantan sebaiknya terpisah dari kandang lainnya, tetapi tidak
terlalu jauh dengan kandang kambing betina. Hal ini bertujuan agar tidak
gaduh dan terjadi perkelahian. Luas kandang yang diperlukan untuk seekor
kambing pejantan pemacek adalah 1 x 1,5 m.
Kandang Kawin :
Kandang Kawin merupakan kandang yang khusus digunakan untuk
proses perkawinan ternak kambing. Kandang tersebut cukup luas dengan
ukuran minimal 4 x 6 m atau digunakan untuk kapasitas tampung 4 ekor :
1 ekor pejantan dengan 3 ekor betina. Kandang ini digunakan untuk
menampung ternak kambing betina yang diduga sedang berada dalam
masa birahi untuk dikawinkan.
Sarana Prasaran Kandang :
Tempat Pakan dan Minum
Tempat pemberian pakan dan air minum di dalam kandang yang dibuat
sedemikian rupa dengan tujuan agar tidak tercecer dan air minum tidak tumpah.
Gudang Makanan
Tempat penyimpanan sementara untuk pakan yang belum diberikan kepada
ternak. Penyimpanan hijauan dalam gudang sebaiknya tidak dalam ikatan agar
tidak mengalami fermentasi yang menimbulkan panas dan akan mengurangi
kualitas hijauan. Penyimpanan konsentrat dalam gudang hendaknya disimpan
pada tempat yang terhindar dari proses pembusukan dan serangan hama.
Tempat Umbaran
Tempat umbaran digunakan sebagai tempat excersice ketika kandang sedang
dibersihkan. Tempat umbaran akan sangat bermanfaat bagi ternak kambing yang
tidak pernah digembalakan (intensif) sehingga kesehatannya selalu terjaga
sekaligus merupakan tempat olahraga atau jalan-jalan bagi induk yang sedang
bunting. Kesulitan induk untuk beranak (Distokia) umumnya sering disebabkan
akibat kurangnya aktivitas bergerak dari induk yang sedang bunting.
Tempat Kotoran
Te,pat yang digunakan untuk menampung kotoran ternak.
24
C. Manajemen Kesehatan
Faktor-faktor yang diperhatikan untuk menjaga kesehatan ternak :
a. Memandikan Ternak minimal seminggu sekali dengan prosedur tubuh
ternak badannya digosok dengan sikat. Ternak yang tidak pernah dimandikan
terlihat bulunya kotor dan lembab. Manfaat dari memandikan ternak adalah
agar kuman penyakit, parasit dan jamur yang bersarang dapat
dicegah/diberantas.
b. Pencukuran bulu dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. Prosedur
pencukuran bulu yaitu menggunakan gunting rambut yang tajam, pencukuran
dilakukan sesuai dengan petunjuk yaitu dimulai dari bagian perut mengarah
ke depan sejajar dengan punggung ternak, menyisakan guntingan bulu
setinggi 0,5 cm.
c. Pemotongan kuku, kuku yang panjang apabila tidak segera dipotong dapat
mengakibatkan : ternak jantan mengalami kesulitan bila kawin, kuku yang
tidak dipotong dapat patah dan bisa mengakibatkan luka dan infeksi.
Pemeliharaan ternak kambing yang intensif disarankan untuk melakukan
pemotongan kuku secara berkala.
Situasi Penyakit Ternak :
a. Ciri-ciri Ternak Kambing Sehat yaitu berjalan teratur diatas keempat
kakinya, pernafasan tenang dan teratur, tidak batuk, hewan tidak kurus, tidak
terlihat penonjolan tulang rusuk, tulang punggung, tulang pinggul dan legok
lapar, otot-otot pantat berisi. Kulit mulus dan tidak ada luka. Pemeriksaan
kepala : Hewan dapat melihat, mata jernih dan terang, selaput lendir mata
basah dan berwarna merah muda, tidak ada kotoran atau eksudat dari mata,
hidung atau mulut, tidak ada pembengkakan. Pemeriksaan mulut : tidak ada
kotoran atau eksudat, tidak ada luka atau borok di mulut, hewan tidak
kekurangan cairan, ditandai dengan kulit yang elastis dan lemas, jika dicubit
kulit terangkat ke atas dan jika dilepaskan kulit kembali dengan cepat, tidak
ada tanda-tanda diare : anus bersih, kering dan tertutup, feses normal (tidak
keras, tidak lunak, tidak encer).
b. Ciri-ciri Ternak Kambing Sakit yaitu tidak makan, lesu, terbaring atau
berdiri. Tidak memandang, resah atau gemetar, bereaksi dengan hebat dan
25
optimum. Lama bunting ternak kambing dan domba rata rata 148 hari atau antara
140-159 hari (Mulyono, 1999). Selama masa kebuntingan kondisi induk harus
dijaga agar perkembangan anak dalam kandungan terjadi secara normal.
E. Manajemen Limbah
Limbah ternak yang berpotensi sebagai sumber pupuk organik adalah
kambing etawa dan domba. Limbah ternak kambing berupa feses dan urin
mengandung kalium relatif lebih tinggi dari limbah ternak lain. Feses kambing
mengandung N dan K dua kali lebih besar daripada kotoran sapi
(Balai Latihan Ternak, 2003). Feses kambing mengandung P lebih tinggi
daripada urin (Hardjowigeno, 2003). Urin kambing etawa mengandung hormon
alami golongan IAA, giberelin dan sitokinin lebih tinggi daripada urin ternak
lain (Prawoto dan Suprijadji, 1992).
Penggunaan POC limbah kambing + kompos padat per pohon per tahun
meningkatkan hasil 30-35% dibandingkan dengan pemberian kompos padat.
Hasil penelitian Haryanto (2011), pemberian POC urin domba terdekomposisi
berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi
kangkung. Dosis POC urin domba yang semakin banyak diberikan maka
semakin baik pertumbuhan dan produksi tanaman kangkung.
IV. MANAJEMEN PEMELIHARAN TERNAK SAPI
Sapi potong merupakan salah satu komoditi ternak yang dapat diambil
dagingnya untuk memenuhi kebutuhan protein dalm tubuh manusia. Usaha
peningkatan pengadaan daging sapi dalam jumlah maupun kualitasnya adalah
dengan usaha pengemukan sapi potong. Usaha penggemukan sapi potong
merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat peternakan yang mempunyai
prospek yang cerah untuk dikembangkan di masa depan. Hal ini terbukti dengan
semakin banyak diminati masyarakat baik dari kalangan peternak kecil, menengah
maupun swasta atau komersial. Usaha penggemukan sapi pada dasarnya adalah
mendayagunakan potensi genetik ternak untuk mendapatkan pertumbuhan bobot
badan yang efisien dengan memanfaatkan pakan serta sarana produksi lainnya.
Empat sistem penggemukan yang sering diterapkan di peternakan-peternakan
tertentu yakni sistem pasture fattening, dry lot fattening, sistem kombinasi yakni
pasture dan dry lot fattening dan sistem kereman atau penggemukan dry lot
fattening yang lebih sederhana. Keempat sistem penggemukan di atas, masing-
masing memiliki manajemen yang berbeda serta memiliki kelebihan serta
kelemahan. Prinsipnya, perbedaan sistem penggemukan sapi terletak pada teknik
pemberian pakan atau ransum, lama penggemukan serta umur dan kondisi sapi yang
akan digemukkan (Rudin, 2013).
Manajemen pemeliharaan ternak sapi pedaging meliputi pengelolaan pakan,
pengeloaan perkandangan, Perawatan dan pengamanan biologis serta pengeloaan
limbah. Manajemen ternak ayang baik akan menghasilkan produktifitas yang lebih
tinggi dan kesejahteraan yang baik. Hal ini menjadikan petingnya ilmu manajemen
pemeliharaan ternak untuk mencapai produksi optimal.
A. Manajemen Pakan
Pakan merupakan bahan makanan yang berupa bahan kering dan air. Bahan
makanan ini untuk kebutuhan hidup pokok ternak. Pakan sangat dibutuhkan oleh
ternak untuk tumbuh dan berkembang biak. Pemberian pakan dengan tujuan
proses pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu akan berlangsung dengan
baik. Pakan terdiri dari zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak berupa protein,
lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air (Tillman et al., 1991).
29
30
berbulu, helai daun mempunyai panjang 30-90 cm dan lebar 2,5 mm sedangkan
lidah daun sangat sempit dan berbulu putih pada ujungnya dengan panjang 3
mm. Rumput gajah banyak dijumpai di persawahan.Tingginya mencapai 5 m,
berbatang tebal dan keras, daun panjang, dan dapat berbunga seperti es lilin.
Kandungan rumput gajah terdiri atas 19,9% bahan kering (BK), 10,2% protein
kasar (PK), 1,6% lemak, 34,2% serat kasar, 11,7% abu, dan 42,3% bahan ekstrak
tanpa nitrogen (BETN). Produksi rata-rata sekitar 250 ton/ha/tahun.
B. Manajemen Perkandangan
Kandang merupakan tempat ternak melakukan segala aktivitas hidupnya.
Kandang yang baik adalah sesuai dengan persyaratan kondisi kebutuhan dan
kesehatan sapi. Persyaratan umum perkandangan adalah sinar matahari harus
cukup sehingga kandang tidak lembab, sinar matahari pada pagi hari tidak terlalu
panas dan mengandung sinar UV yang berfungsi sebagai desinfektan, lantai
kandang selalu kering dan memerlukan tempat pakan yang lebar sehingga sapi
mudah untuk mengkonsumsi pakan (Sasono, 2009). Bahan atap yang biasa
digunakan adalah genting, seng, asbes, rumbai, alang- alang (ijuk). Bahan
genting menggunakan bahan yang mudah didapat dan harga lebih efisien. Bahan
yang bayak digunakan adalah genting karena terdapat celah sehingga sirkulasi
udara cukup baik (Suranto,2003).
Perlengkapan kandang untuk sapi meliputi palungan yaitu tempat pakan,
tempat minum, saluran drainase, tempat penampungan kotoran, gudang pakan
dan peralatan kandang. Kandang harus dilengkapi dengan tempat penampungan
air (tangki air) yang dihubungkan dengan pipa ke seluruh kandang. Kandang
diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang
merugikan sehingga ternak memperoleh kenyamanan. Kepadatan kandang
diperhitungkan ±2 m per ekor (Santosa, 2001).
Kandang dapat dibuat bentuk ganda atau tunggal tergantung dari jumlah sapi
yang dimiliki. Kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris
atau satu jajaran sementara kandang tipe ganda penempatannya dilakukan pada
dua jajaran yang saling berhadapan atau bertolak belakang. Biasanya dibuat jalur
di antara kedua jajaran tersebut untuk jalan (Sugeng, 2002).
32
C. Manajemen Kesehatan
Penggemukan sapi umumnya dilakukan secara intensif dengan waktu yang
telah ditetapkan, misalkan 3 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 9 bulan. Peluang terkena
penyakit kemungkinan sangat kecil dikarenakan pemeliharaan dalam waktu
singkat. Penyakit yang paling umum menyerang yaitu pincang, pneumonia, flu,
dan lain-lain. Cara pencegahan yaitu dengan memisahkan ternak dari ternak
yang sehat dan kemudian diberikan obat (Lestari, 2014).
Pencegahan merupakan tindakan untuk melawan berbagai penyakit. Usaha
pencegahan meliputi karantina atau isolasi ternak, vaksinasi, deworming serta
pengupayaan peternakan yang higienis (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sapi-
sapi bakalan yang akan digemukkan atau yang baru dibeli di pasar hewan perlu
dimasukkan ke kandang karantina yang letaknya terpisah dari kandang
penggemukan. Pemberian vaksin dilakukan saat sapi bakalan di karantina.
Pemberian vaksin cukup dilakukan sekali untuk setiap ekor karena sapi hanya
dipelihara dalam waktu yang singkat yaitu sekitar 3-4 bulan (Abidin, 2008).
Tindakan pencegahan penyakit pada ternak sapi potong seperti menghindari
kontak dengan ternak sakit, kandang selalu bersih, isolasi sapi yang diduga sakit
agar tidak menular ke sapi lain, mengadakan tes kesehatan terutama penyakit
brucellosis dan tubercollosis, desinfeksi kandang dan peralatan dan vaksinasi
teratur. Penyakit yang sering menyerang sapi seperti antrax, ngorok, keluron.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan vaksinasi secara teratur (Syukur, 2010).
Sanitasi yaitu tindakan untuk menjaga kebersihan lingkungan setiap
harinya. Sanitasi bertujuan untuk menekan perkembangan penyakit yang dapat
menyerang ternak. Pemeliharaan kandang dengan sanitasi adalah tindakan
pencegahan (preventif) yang sangat baik (Soedono et al., 2003). Pengendalian
penyakit sapi yang paling baik menjaga kesehatan sapi dengan tindakan
pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi dengan
menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya termasuk memandikan sapi
serta sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan
pengobatan. Mengusakan lantai kandang selalu kering dan memeriksa kesehatan
sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk (Astiti, 2010).
33
D. Manajemen Breeding
Menurut Sarwono dan Arianto (2006) bahwa keberhasilan penggemukan sapi
potong tergantung pada pemilihan bakalan yang baik dan kecermatan selama
pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan dengan pemberian pakan
tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan di pasar hewan atau sapi
impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Bakalan dipilih dari sapi yang
memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah digemukkan. Prioritas utama
bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja, dan sepasang gigi serinya
telah tanggal. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu
Bos Indicus, Bos Taurus dan Bos Sondaikus. Bos Indicus merupakan bangsa sapi
yang terdapat di daerah tropis, Bos Taurus merupakan bangsa sapi yang terdapat
di daerah dingin dan Bos Sondaikus merupakan bangsa sapi yang terdapat di
daerah tropis. Sapi yang di usahakan sebagai ternak potong mempunyai ciri
antara lain :
1. Ukuran tubuh besar, berbentuk persegi panjang atau balok.
2. Kualitas dagingnya baik.
3. Laju pertumbuhannya cepat.
4. Efisiensi pakannya tinggi.
Menurut Sugeng, (2001) kriteria pemilihan sapi dari bentuk luarnya
yaitu :
1. Ukuran badan panjang dan dalam.
2. Bentuk tubuh segi empat, pertumbuhan tubuh bagian depan, tengah dan
belakang serasi dan garis badan atas dan bawah sejajar.
3. Paha sampai pergelangan kaki penuh berisi daging.
4. Dada lebar dan dalam serta menonjol.
5. Kaki besar, pendek dan kokoh.
Menurut Ngadiyono (2007) bahwa sapi bakalan ACC dengan kondisi kurus
tetapi sehat hanya membutuhkan waktu 60 hari untuk menjadi gemuk dengan
rataan bobot badan 454,35 kg dan konversi pakan 8,22 jauh lebih efisien
dibanding lama penggemukan 90 dan 120 hari. Kriteria pemilihan bakalan
yaitu berasal dari induk yang memiliki potensi genetik yang baik, umur bakalan
2 – 2,5 tahun, sehat dan tidak mengidap penyakit serta bentuk tubuh yang
34
36
37
lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air. Pakan merupakan salah satu faktor
kritis yang menentukan penampilan dari seekor kuda. (Tillman et al., 1991).
Pakan yang digunakan berupa bran dan pellet sedangkan pemberian pakan
tambahan berupa mitavite diberikan hanya untuk kuda yang akan dipakai dalam
perlombaan. Proses pencampuran pakan dengan mengambil bran sebanyak satu
ember, pellet sebanyak setengah gayung, menambahkan garam dan minyak
sayur kemudian semuanya dimasukkan dalam tempat pakan dan dicampur
dengan tambahan air. Kebutuhan air untuk kuda relatif antara 38 L sampai 45 L
per hari, bisa lebih apabila cuaca yang panas. Kuda lebih sedikit membutuhkan
air ketika cuaca dingin atau padang hijauan yang banyak kandungan airnya
(Parakasi, 1986).
B. Manajemen Perkandangan
Prinsipnya fungsi kandang adalah menyediakan kondisi lingkungan yang
nyaman dan sesuai bagi ternak. Bangunan kandang hendaknya dapat
mengisolasi atau setidaknya mengurangi pengaruh dari lingkungan luar yang
merugikan, misal terik matahari, air hujan, cuaca dingin dan lain sebagainya.
Pembangunan kandang untuk daerah tropis seperti di negara kita diusahakan
mempunyai ventilasi yang cukup untuk pertukaran udara. Kuda yang
dikandangkan membutuhkan ruang, udara, dan cahaya (Rahmat, 2005).
Stable seharusnya cukup besar agar kuda dapat bergerak dengan bebas, untuk
berbaring, rolling, dan bangun lagi tanpa terbentur dinding kandang. Ukuran
ideal untuk stable untuk kuda adalah 3,5 x 3,5 m dan untuk poni 3,5 x 3 m.
Konstruksi kandang dibuat dengan rangka dari kayu yang sangat kokoh sehingga
tahan lama. Atap bisa terbuat dari genting sehingga mampu untuk mengisolasi
terik matahari dan hujan.
C. Manajemen Kesehatan
Tindakan perawatan terhadap kuda secara garis besar diupayakan dalam
rangka pencegahan terhadap penyakit. Pencegahan penyakit dengan cara
melakukan program vaksinasi, menjaga kebersihan kuda, kandang dan
lingkungan kandang serta peralatan kandang, padang penggembalaan dan pakan
kuda. Temperatur kandang dijaga dan temperatur kandang yang baik adalah
temperatur yang memiliki variasi kecil terhadap temperatur di luar kandang.
38
Kuda betina yang baru pertama kali dikawinkan dipilih umur 3 tahun. Kuda
betina hanya mau dikawinkan apabila dalam kondisi subur, untuk mengetahui
subur tidaknya maka ditempatkan dengan kuda jantan apabila tidak menghindar
sewaktu dinaiki kuda jantan kemungkinan besar memang sedang dalam keadaan
subur (birahi) terkadang ada pula kuda betina yang “pura-pura” birahi (diam saja
sewaktu dinaiki pejantan).Usaha peternakan kuda hendaknya menerapkan cara
budidaya ternak kuda yang baik salah satunya adalah dalam pemilihan bibit kuda
yang akan dipelihara. Peternakan kuda umumnya memiliki cara atau tempat dan
daerah sendiri untuk mendapatkan bibit kuda yang baik, dan tidak jarang
peternakan tersebut mendatangkan bibit dari luar daerah bahkan dari luar negeri.
Hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan bibit di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Kriteria Umum
Kuda bibit harus sehat dan bebas dari cacat fisik seperti cacat mata,
pincang, lumpuh dan kelainan lainnya. Bibit kuda betina harus bebas dari
cacat alat reproduksi (tidak menunjukkan kemandulan). Kuda jantan harus
siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelamin.
2. Kriteria Khusus
Sifat kualitatif sesuai dengan sifat-sifat kuda menurut jenis kegunaan kuda
tersebut. Kuda pejantan merupakan salah satu faktor penting yang akan
menentukan hari depan peternakan kuda. Pejantan yang baik akan
menghasilkan keturunan yang baik pula. Cara memilih pejantan yang baik
adalah dengan cara melihat sertifikatnya, dari sini dapat ditelusuri
riwayatnya. Tingkat kesuburan yang dapat dipilih adalah yang menpunyai
nilai 60% apabila tingkat kesuburan di bawah 50% maka tingkat
kesuburannya relatif kecil.
E. Manajemen Limbah
Menurut Wheeler dan Zajackowski (2001) bahwa limbah yang dihasilkan
kuda terdiri dari 60% feses dan 40% urin. Rata-rata tiap ekor kuda dapat
menghasilkan 0,05 kg feses dan 0,03 kg cairan urin per 0,454 kg bobot badan
setiap harinya. Kuda yang memiliki bobot 454 kg dapat menghasilkan 22,7 kg
dan 13,62 kg urin per hari, total seluruhnya ialah 36,32 kg limbah yang
40
dihasilkan per hari. Jumlah feses kuda yang dihasilkan dipengaruhi oleh pakan
yang dikonsumsi, umur, dan bobot badan.
Feses yang dihasilkan menunjukan bahwa limbah yang dihasilkan dalam satu hari
dapat menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan sekitar apabila tidak ditangani
dengan baik dan benar. Kotoran ternak sendiri dapat menghasilkan emisi yang
dapat merusak lingkungan apabila tidak diolah, terutama emisi yang dapat
menimbulkan efek rumah kaca, yaitu gas CO2, CH4, dan NOx. Menurut Moss
(1993) bahwa kontribusi relatif komponen gas efek rumah kaca terhadap global
warming adalah carbon dioxide (C02) sebesar 49%, methane (CH4) sebesar 18%,
nitrous oxide (N20) sebesar 6% dan gas lainnya 27%. Gas-gas tersebut membentuk
suatu perisai yang menyebabkan panas yang keluar dari permukaan bumi tidak
dapat keluar dari apisan atmosfir, namun akan dipantulkan kembali ke bumi
sehingga menyebabkan kenaikan suhu bumi atau disebut juga dengan global
warming (Wardhana, 2004). Feses kuda yang dihasilkan dapat diolah lebih lanjut
menjadi suatu produk yang lebih bernilai. Cara umum pengolahan limbah yang
banyak dilakukan adalah pembuatan pupuk kompos dan biogas
41
VI. JUDGING
41
42
tersebut kehilangan cairan. Keadaan ini terjadi pada ternak yang terserang diare.
Mata, mulut, dan hidung ternak yang terdapat lendir berlebihan menunjukkan ternak
tersebut dalam keadaan sakit. Cara ternak berjalan dan berdiri dapat menjadi
abnormal ketika ada bagian tubuh yang sakit. Jika kuku ternak terinfeksi, maka
ternak tersebut akan terlihat pincang.
Kotoran dan urine harus keluar secara teratur, tidak berdarah, dan memiliki
kepadatan normal. Jika kotoran keluar dalam keadaan cair dan menempel di sekitar
ekor, maka ternak tersebut terkena diare. Rambut yang tumbuh di sekitar kulit harus
tumbuh normal, halus, dan mengkilap. Ternak yang terkena anemia akan memiliki
rambut yang kasar, kering, dan terjadi kerontokan. Kasus seperti ini akan terlihat
pula pada ternak yang terinfeksi dan mengalami defisiensi nutrisi.
Selanjutnya, penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan tulang-tulang rusuk
(ribs) untuk memilih ternak yang gemuk. Ternak kurus tidak selalu dalam keadaan
sakit, namun ternak yang gemuk menandakan produksi daging yang optimal. Tulang
rusuk sapi berjumlah 13 pasang. Semakin sedikit tulang rusuk yang membayang di
balik kulit, maka ternak tersebut semakin gemuk. Hal ini terjadi karena tulang rusuk
tertutup oleh perdagingan dan lemak.
Kegemukan ternak (sapi) dapat diketahui dengan meraba perkembangan otot di
antara tulang processus spinosus (tulang belakang) dengan processus transversus
(tulang rusuk rudimenter). Pada ternak yang gemuk, processus transversus tidak
dapat teraba oleh tangan dan terasa sekali perlemakan yang tebal di balik kulit. Pada
domba yang tertutup rambut tebal, perabaan dilakukan dengan tangan terbuka pada
punggung dari arah belakang dekat pangkal ekor sampai ke leher dengan jarak
perabaan tidak lebih dari 5 cm. Mengukur berbagai ukuran-ukuran tubuh seperti,
panjang badan, lingkar dada, tinggi gumba. Ukuran yang penting dalam mengetahui
kegemukan dan berat tubuh ternak tersebut adalah lingkar dada dan panjang badan.
Lingkar dada diukur melingkar di belakang sendi bahu (os. scapula).
Umumnya pertama-pertama ternak dilihat dari samping, kemudian dari
belakang dan terakhir dari depan. Observasi yang terpenting di sini adalah rentangan
panjang badannya karena semakin panjang maka volume dagingnya juga semakin
banyak.
Pengamatan dari belakang sapi jantan dengan bagian belakang lebar. Puncak dari
pantatnya harus lurus dan di daerah pangkal ekornya penuh/kompak. Puncak pangkal
43
ekor ke lutut tampak cukup dalam dan lebar, terlebih disukai lagi bila
bulat/menonjol, menunjukkan volume dagingnya yang lebih banyak.
Pengamatan di lakukan dari depan yang harus diamati adalah kepadatan pada
bagian depan dan kepadatan dari bagian dada. Bagian dada "brisket" yang
padat/kompak dan menggantung menunjukkan adanya lemak yang berlebihan.
Tulang kaki bagian depan juga diamati sama dengan cara pengamatan dari belakang.
Hal ini berarti ternak yang diinginkan adalah ternak dengan tulang yang besar/tebal
dan dapat berdiri tegak, dengan kaki yang padat/berat, yang dalam observasi ini
menunjukkan adanya hubungan ketebalan otot di bagian-bagian tubuh yang lain.
Body Condition Scoring (BCS) atau skor kondisi tubuh merupakan metode
yang digunakan untuk menilai secara subjektif tingkat kegemukan seekor ternak sapi
potong. Dengan melihat skor kondisi maka dapat diketahui baik buruknya
manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan oleh peternak. Evaluasi dengan BCS
efektif untuk mengukur sejumlah energi metabolik yang disimpan sebagai lemak
subkutan dan otot pada ternak.
Body condition produksi mempengaruhi produksi, reproduksi, dan kesehatan.
Ternak yang mempunyai kondisi tubuh sangat jelek (sangat kurus) dan atau sangat
gemuk dapat disebabkan oleh kekurangan nutrisi, kelebihan nutrisi, masalah
kesehatan dan atau manajemen yang tidak tepat.
Mengevaluasi kondisi tubuh ternak secara teratur dapat menghindarkan atau
membantu mengatasi kondisi tubuh yang ekstrim (tidak normal), dan meningkatkan
produktivitas dan probabilitas. Menilai kondisi tubuh heirfers (sapi dara) juga
direkomendasikan untuk membantu mengidentifikasi pemberian pakan dan
permasalahan manajemen. Cara terbaik memonitor perubahan-perubahan kondisi
tubuh selama laktasi dan sepanjang periode pertumbuhan adalah melakukan scoring
tubuh induk dan heirfers secara teratur.
Penilaian BCS menggunakan angka skala 1 sampai 5. BCS (1= sangat kurus,
2= kurus, 3= sedang, 4= gemuk, 5= sangat gemuk). Penilaian tersebut berdasarkan
pada pendugaan visual maupun dengan perabaan terhadap delapan bagian tubuh
ternak. Bagian tubuh tersebut antara lain pada bagian processus spinosus, processus
transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber
ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri dan pangkal ekor ke tuber
ischiadicus.
44
45
Socio Economic Research and Development, Bogor. 8 Maret 2002. 24 p.
Jurnal Litbang Pertanian.
Mariyono, Y. Anggraeni. dan A. Rasyid. 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan
dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)
Tahun 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Masanti, R dan Ali, A. 2017. Beternak kelinci potong. Penebat Swadaya, Jakarta.
Mukodiningsih, S. Sutrisno, C. I., Sulisyanto, B., Prasetiyono B. W. H. E. 2014.
Pengendalian mutu pakan. UPT Universitas Diponegoro Press, Semarang.
Mulyono, S. 1999. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penerbit Swadaya,
Jakarta.
Muswarni, R.Nofiar. 2014. KUDA : Manajemen Pemeliharaan dan
Pengembangbiakan. Penebar Swadaya.Jakarta
Nugroho, E., dan Whendrato, I. 1990. Beternak Babi. Semarang: Eka Offset. Hal :
29-40
Nurrohman, M. Suryanto, A. dan Karuniawan, P. W. 2014. Penggunaan fermentasi
ekstrak paitan (Tithonia Diversifolia L.) dan kotoran kelinci cair sebagai
sumber hara pada budidaya sawi (Brassica Juncea L.) secara hidroponik
rakit apung. Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 2 (8) : 649 – 657.
Nuschati, U. 2003. Penggunaan Kaliandra (Calliandra calotyrsus) untuk Substitusi
Konsentrat Pabrik dalam Pakan untuk Penggemukan Sapi Frisian Holstein
Jantan. Thesis Magister Sain. Jurusan Nutrisi Ternak, Fakultas Pasca
Sarjana. Universitas Diponegoro Semarang, Semarang.
Parakasi. 1986. Ilmu dan Makanan Ternak Monogastrik. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Prawirodigdo, S. Y. C., Raharjo, P. R., Cheeke dan N. M., Patton. 1985. Effect of
cage density on the performance of growing rabbits. Journal Appl Rabbit
Res. Vol. 8 (2) : 85 – 86.
Priyatna, N. 2011. Beternak dan bisnis kelinci pedaging. PT AgroMedia Pustaka,
Jakarta.
Raharjo, C. Y. 1994. Potential and prospect of an integrated rex rabbit farming in
supporting and export oriented agribusiness. Indonesian Agricultural
Research and Development Journal. 16 : 69 – 79.
46
Rahmat, S. A. 2005. Rencana Bisnis Penggemukan Sapi Potong di Perkebunan
Tebu Subang. Http : // www.rni.com//.
Reksohadiprodjo, S. 2000. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.
Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rianto, E. dan E. Purbowati. 2009. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Riwantoro. 2011. Pedoman Penataan Budidaya Ternak Babi Ramah Lingkungan.
Kementrian Pertanian Ditjen PKH. Jakarta. 15-20
Rosdiana. 2015. Pertumbuhan tanaman pakcoy setelah pemberian pupuk urin
kelinci. Jurnal Matematika, Saint dan Teknologi. Vol. 16 (1) : 1 – 8.
Rudin. 2013. Berbagai Sistem Penggemukan Sapi Potong. Fakultas Peternakan.
Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari.
Sajimin, Y., C. Rahardjo dan Nurhayati, D., Purwantari. 2005. Potensi kotoran
kelinci sebagai pupuk organik dan pemanfaatannya pada tanaman pakan dan
sayuran. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha
Agribisnis Rabbits.
Santosa dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha TernakPotong. Niaga Swadaya,
Jakarta.
Saragih, B. 2000. Kebijakan Pengembangan Agribisnis di Indonesia Berbasiskan
Bahan Baku Lokal. Bull. Peternakan edisi Tambahan hlm. 6 – 11.
Sarwono, B. dan B. M. Arianto. 2006. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
Edisi II. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sasono. 2009. Beternak Sapi Secara Intensif. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Setiawan, T. dan T. Arsa. 2005. Beternak Kambing Perah Peranakan
Ettawa. Penebar Swadaya, Jakarta.
Setyaningrum, dkk. 2003. Manajemen Ternak Potong. Unsoed. Purwokert
Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB,
Bogor.
Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor
Soedomo, R. 2000. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. PT.
Gramedia, Jakarta.
47
48
Soedono, A., R. F. Rusdiana dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Soehardjono, O . 1990. Pamulang Equestrion. Gramedia, Jakarta
Suci, D. M dan Lilis, K. 2017. Panduan beternak kelinci. Niaga Swadaya, Jakarta.
Sudarmono, A. S., dan Y. B. Sugeng. 2008. Sapi Potong. Edisi Revisi. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sugeng, B. 2002. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugeng, Y. B. 2001. Pengembangan Ternak Sapi. Gramedia, Jakarta.
Sukendar, A. 2004. Produktivitas dan dinamika populasi kambing Peranakan
Etawah di Desa Hegarmanah Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi.
Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor
Suranto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Sutama, I-K., I. G. M. Budiarsana, H. Setianto,& A. Priyanti. 1995. Productive and
reproductive performances of young Peranakan Etawah does. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner
Syefrizal. 2008. Manajemen Kesehatan Kuda.
Syukur. D. A., 2010. Beternak Sapi Potong. Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Bandar Lampung.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadipradja, S. Prawirakusuma, dan S.
Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak I. Universitas Gadjah Mada
Press, Yogyakarta.
Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Edisi
Ketiga. Andi Offset, Yogyakarta. Wheeler, E. & J. S. Zajaczkowski. 2001.
Horse Stable Manure Management.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis.
Tejamahan: S.G. N Djiwa Darmadja. An Introduction to Animal Husbandry
in The Tropics third edition.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Williamson, G. Dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
48