Anda di halaman 1dari 46

M

MODUL ADMINISTRASI PAJAK KELAS XII

BAGIAN PERTAMA
ANGSURAN PPh PASAL 25
A. Pendahuluan
Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Wajib Pajak membayar sendiri pajaknya melalui angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25)
b. Melalui pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga maupun dibayar atau terutang di luar negeri (PPh
Pasal 21, 22, 23, dan 24).
B. Rumus Menghitung Angsuran PPh Pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
C. Menghitung Angsuran Bulanan
Pengaturan angsuran bulanan PPh Pasal 25 untuk tahun 2005 sehubungan dengan penyesuaian PTKP sesuai
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No Kep 62/PJ/2005 Tanggal 14 Maret 2005 diatur:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran bulanan
Pajak
b. Permohonan pengurangan besarnya angsuran bulanan Pajak Penghasilan
c. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
dengan disertai fotokopi Surat Pemberitahuan tahunan PPh 1770 atau 1770 S tahun 2004 berikut tanda
terima SPT Tahunan dan daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak.
d. Apabila dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak secara
lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak
tersebut dianggap disetujui dan Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran angsuran bulanan Pajak
Penghasilan
e. Besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
untuk bulan-bulan sebelum bulan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir Tahun Pajak yang lalu.
f. Besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
g. Besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri Wajib Pajak Orang Pribadi untuk
bulan-bulan setelah permohonan pengurangan angsuran disampaikan
h. Peraturan ini hanya berlaku pada masa peralihan sehubungan perubahan PTKP.
i. Peraturan ini berlaku mulai tanggal ditetapkan yaitu tanggal 14 Maret 2005.

Angsuran PPh Pasal 25 sebelum SPT Tahunan Disampaikan


Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk
bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret
2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001
adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Angsuran PPh Pasal 25 dalam Hal Terbit SKP
M
MODUL ADMINISTRASI PAJAK KELAS XII

Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya
setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan
Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar
Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah
sebesar Rp 2.000.000,00.
Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar
atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25


Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya
setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
Angsuran PPh Pasal 25 Jika Terdapat Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan,Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan UU
PPh.
Angsuran PPh Pasal 25 atas Penghasilan Tidak Teratur
Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan,
harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tidak
termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing
dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan
usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
M

Misalnya, Penghasilan teratur Wajib Pajak dari usaha dagang dalam tahun 2004 Rp 51.000.000,00
dan penghasilan tidak teratur dari menyewakan mobil selama 3 tahun yang dibayar sekaligus pada tahun
2004 sebesar Rp 21.000.000,00. Mengingat penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan Pajak
Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak pada tahun 2004 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Angsuran PPh Pasal 25 jika SPT Tahunan Terlambat Disampaikan
Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan
Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan atau diberikan perpanjangan menyampaikan SPT.
Kemudian untuk besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung sebagai berikut:
1. Bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut sampai dengan bulan
disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan yang bersangkutan
2. Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak
Penghasilan
M

Contoh:
1. SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2011 disampaikan tanggal 25 Mei 2012, dengan data
sebagai berikut:
a. Penghasilan Neto/Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000
b. Pajak Penghasilan Terutang
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 400.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
c. PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah Rp 42.500.000,00
2. PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2011 sebesar Rp 5.000.000,00
a. Besarnya PPh Pasal 25 untuk Masa Januari dan Februari 2012 masing-masing adalah sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2011 sebesar Rp 5.000.000,00.
b. Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan April 2012 masing- masing sama
besarnya dengan PPh Pasal 25 untuk masa bulan Desember 2011 yaitu sebesar Rp 5.000.000,00.
c. Besarnya PPh Pasal 25 untuk masa Maret sampai dengan Desember 2010 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 sebagai berikut:
1) Penghasilan Neto 2011/Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar perhitungan sebesar Rp
500.000.000,00
2) PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 adalah: 10% x
Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp400.000.000,00 = Rp 120.000.000,00
Rp 132.500.000,00
3) PPh Pasal 22, Pasal 23. dan
Pasal 24 tahun pajak 2003 Rp 42.000.000,00
Rp 90.000.000,00
4) PPh Pasal 25 untuk masa bulan Maret sampai dengan Desember 2012
Rp 90.000.000,00 x 1
= Rp 7.500.000,00 setiap bulan.
12
M

d. Oleh karena PPh Pasal 25 masa bulan Maret sampai dengan April 2012 yang telah disetor
masing-masing sebesar Rp 5.000.000,00, maka atas kekurangan masing- masing sebesar Rp
2.500.000,00 harus disetor dan terutang bunga sebesar:
1) Untuk masa Maret 2012 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 April 2012 sampai dengan
tanggal penyetoran.
2) Untuk masa April 2012 sebesar 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2012 sampai dengan
tanggal penyetoran.

Angsuran PPh Pasal 25 jika SPT Tahunan Diberikan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan
Dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak
Penghasilan, maka besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung sebagai berikut:
1. Bulan-bulan mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan sampai dengan
bulan sebelum disampaikan SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama dengan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan perhitungan sementara yang disampaikan oleh
Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.
2. Setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal
25
M

BAGIAN KEDUA
PPh PASAL 26

A. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk
usaha tetap (BUT) di Indonesia.
B. Pemotong PPh Pasal 26
1. Badan Pemerintah
2. Subjek Pajak dalam negeri
3. Penyelenggara Kegiatan
4. BUT
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
C. Tarif dan Objek PPh Pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
berupa :
1) dividen
2) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
3) royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
4) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
5) hadiah dan penghargaan
6) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
7) Premi swap dan transaksi lindung lainnya
8) Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
1) penghasilan dari penjualan harta di Indonesia
2) premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
conduit company atau special purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di
negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang
M

didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia


4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
M

5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak
pada persetujuan.
M

No. Jenis penghasilan Tarif Dasar pengenaan Sifat


1. Dividen 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
imbalan sehubungan dengan jaminan
pembelian utang
3. Royalty, sewa, dan penghasilan lain 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
sehubungan dengan penggunaan harta
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
pekerjaan,. Dan kegiatan
5. Hadiah dan penghargaan 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
6. Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
Lainnya
8. Keuntungan karena pembebasan utang 20% atau tarif P3B Jumlah bruto Final
9. Penghasilan dari penjualan atau 20% x (perkiraan Harga jual Final
pengalihan harta di Indonesia, kecuali penghasilan neto
yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU PPh atau tarif P3B)
yang diterima wajib pajak luar negeri
selain BUT
di Indonesia
10 Premi asuransi, termasuk premi re-asuransi
a. Dibayarkan tertanggung kepada 20% x (50% atau Premi yang dibayar Final
perusahaan asuransi di luar negeri, 10% atau tariff
baik P3B)
secara langsung maupun melalui
pialang
b. Dibayarkan perusahaan asuransi di 20% x (10% atau Premi yang dibayar Final
Indonesia kepada perusahaan asuransi 2% atau tarif P3B)
di luar negeri, baik secara langsung
maupun melalui pialang
c. Dibayarkan perusahaan re-asuransi di 20% x (5% atau Premi yang dibayar Final
Indonesia kepada perusahaan asuransi 1% atau tarif P3B)
diluar negeri, baik secara langsung
maupun melalui pialang
11 Penghasilan dari penjualan atau 20% x perkiraan Harga jual Final
pengalihan saham sebagaimana dimaksud Phs Neto atau
dalam pasal tariff
18 ayat (3c) UU PPh P3B
12 Penghasilan BUT, kecuali ditanamkan 20% atau tarif P3B Penghasilan kena Final
kembali ke Indonesia pajak dikurangi
PPh BUT di
Indonesia

Premi asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayarkan Kepada Perusahaan Asuransi Luar
Negeri Pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan
penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto tersebut adalah:
1. Atas premi yang dibayar tertanggung kepada perusahan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar.
2. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan
asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari
jumlah premi yang dibayar.
3. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah premi yang dibayar.
M

Contoh PPh Pasal 26


1. PT. Fast food di Indonesia membayarkan royalti kepada PT.Fast Food yang ada di USA atas lisensi
yang diberikan sebesar Rp. 2.000.000.000. Berapa PPh yang dipotong atas royalti tersebut?
Jawab :
PPh Pasal 26 yang dipotong : 20% X 2.000.000.000 = Rp. 400.000.000
2. Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Cunha, mengasuransikan bangunan bertingkat ke
perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 1995 sebesar Rp1
Miliar.
Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1 Miliar = Rp500.000.000,00
PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000,00 = Rp100.000.000,00 (10% x Rp1 Miliar)
Jika PT Cunha mengasuransikan kepada perusahaan asuransi di dalam negeri, PT Handoko, dengan
membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 Miliar, dan kemudian PT Handoko mereasuransikan
sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi
sebesar Rp500 juta.
Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500 juta = Rp50.000.000,00
PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT Handoko adalah = 20% x Rp50 juta = Rp10.000.000,00 (2%
x Rp500.000.000,00)
M

BAGIAN KETIGA
PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

A. Pengertian
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985 untuk
menggantikan Pajak Penjualan (PPn).

Pengertian Umum
Dalam Undang-undang No. 42 Tahun 2009 yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontinen yang di dalamnya
berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukun yang
menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk
dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
M

9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari Luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak
Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke Luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang,
tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa
termasuk mengeskpor jasa, atau memanfaatkan jasa dari Luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang
dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah
sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai
lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertamabahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undag
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
M

20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan
cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang- undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang
Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan
Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari Luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh ekpsortir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di Luar Daerah Pabean.
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke Luar Daerah Pabean.
Secara kronologis, sejarah perkembangan pemungutan pajak pertambahan nilai di Indonesia meliputi:
a. Pajak Pembangunan I
b. Pajak Peredaran Tahun 1950
c. Pajak Penjualan
d. Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atau disingkat PPN
dan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik
konsumsi barang maupun konsumsi jasa. Oleh karena itu, barang yang tidak dikonsumsi di dalam Daerah
Pabean (diekspor), dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). Sebaliknya, atas impor barang dikenakan
pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri. Sesuai dengan pertimbangan keadaan ekonomi,
sosial, dan budaya, tidak semua jenis barang dan jasa dikenakan pajak.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap
pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan.
Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur
perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan
M

barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan
mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba perusahaan merupakan unsur
pertambahan nilai menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat yang berpenghasilan
rendah dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi, serta dalam upaya mengendalikan pola konsumsi
yang tidak produktif dari masyarakat, maka atas penyerahan atau atas impor barang-barang berwujud yang
tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa adanya Pajak
Pertambahannya Nilai dan dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu
barang impor. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilaksanakan berdasarkan sistem faktur, sehingga atas
penyerahan barang dan atau penyerahan jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan
barang dan atau penyerahan jasa yang terutang pajak.
Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada negara selisih antara Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut dari pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak (Pajak Keluaran)
dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada penjual Barang Kena Pajak dan atau pemberi Jasa
Kena Pajak (Pajak Masukan). Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang dipungut.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak lebih besar daripada
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut, maka kelebihan Pajak Pertambahan Nilai tersebut
dikompensasikan. Sedangkan yang dikembalikan hanyalah kelebihan Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa
Pajak pada akhir tahun buku Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

B. Karakteristik PPN di Indonesia


PPN di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh PPn, yaitu:
1. Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak
yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang
menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak).
2. Pajak Objektif
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif
subjek pajak tidak dipertimbangkan.
3. Multistage Tax
PPN dikenakan secara bertahap pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan
sampai ke peritel).
4. Nonkumulatif
M

PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karakteristik multistage tax karena
PPN mengenal adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar
bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa.
5. Tarif Tunggal
PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single tariff), yaitu 10% (sepuluh persen) untuk
penyerahan dalam negeri dan 0% (nol persen) untuk ekspor Barang Kena Pajak.
6. Credit Method/Invoice Method/Indirect Substruction Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasi pengurangan pajak
yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran
(output tax) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa yang disebut
Pajak Masukan (input tax).
7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas impor Barang Kena Pajak dikenakan PPN sedangkan atas ekspor Barang Kena Pajak tidak
dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan yaitu pajak dikenakan di tempat barang
dan jasa akan dikonsumsi.
8. Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan barang modal dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
Jasa Kena Pajak (JKP).

C. Kewajiban Menyetor PPN


PPN merupakan pajak tidak langsung artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pihak-pihak (subjek) yang mempunyai kewajiban
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terdiri atas:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam Daerah
Pabean dan melakukan ekspor BKP Berwujud/BKP Tidak Berwujud/JKP. Pengusaha Kena Pajak
adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang PPN dan PPnBM tidak termasuk Pengusaha Kecil.
Pengusaha dikatakan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun. Termasuk Pengusaha Kena Pajak
antara lain:
 Pabrikan atau produsen
 Importir dan indentor
 Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan atau importir
 Agen utama dan penyalur utama pabrikan atau importir
 Pemegang hak paten atau merek dagang BKP
 Pedagang besar (distributor)
 Pengusaha yang melakukan hubungan penyerahan barang
 Pedagang eceran (peritel)
PKP mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. PPN dan PPnBM
yang disetorkan dan dilaporkan PKP tersebut dapat dibebankan kepada
M

konsumen pada saat terjadi transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP. Jika PKP tidak melakukan hal
itu, dia yang mempunyai kewajiban membayar sejumlah PPN dan PPnBM.
2. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dalam satu tahun. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP,
selanjutnya wajib melaksanakan kewajiba sebagaimana halnya PKP.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Orang pribadi atau badan yang melakukan impor barang kena pajak.
5. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penjualan barang yang menurut tujuan semula tidak untuk
dijual kembali.
6. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri dengan persyaratan
sebagai berikut:
1) Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh
orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
2) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang
ditanam dan dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a) Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis dan/atau
baja.
b) Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha
c) Luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi)
7. Pemungut Pajak yang ditunjuk oleh Pemerintah
Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendahara
Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendahara Proyek.

D. Mekanisme Pembayaran PPN


Pembayaran PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak kepada pihak penjual (pihak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak) yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena
Pajak, atau dengan cara membayarkannya secara langsung ke negara.
1. Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual
Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah berstatus sebagai Pengusaha Kena
Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun
dari pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara
seperti ini merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum. Dengan
mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai
(Pajak
M

Keluaran). Pajak Keluaran yang telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan
atau tidak disetorkan ke negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak Keluaran tersebut
dengan Pajak Masukan atau Cash Outflow.
2. Pembayaran PPN Secara Langsung ke Negara
Mekanisme pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara langsung ke
negara, dilakukan apabila:
1) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada
Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang pembayaran PPN kepada
pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke negara
2) Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar
PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus Barang Kena Pajak
yang diimpornya
3) Dalam hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar
4) Dalam hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, dimana
pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut akan menyetor sendiri PPN
yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak
Standar
5) Dalam hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila persyaratan-
persyaratannya dipenuhi
6) Dalam hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi
7) Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak Keluaran yang
lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas paling lambat untuk
menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran –VS- Pajak Masukan) adalah pada tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya. Terdapat Pengusaha Kena Pajak tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya
menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu berstatus
kurang bayar.
E. Objek PPN
PPN dikenakan atas pertambahan nilai yang terjadi karena kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Penyerahan/impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP/JKP/BKP tidak berwujud
a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak maupun
Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan BKP harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
3) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
M

Kegiatan yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:


1) Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2) Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha (leasing)
3) Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4) Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP
5) Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan
6) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang.
7) Penyerahan BKP secara konsinyasi
Kegiatan yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
a) Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD).
b) Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang.
c) Penyerahan BKP sebagaimana dimaksud pada angka 1f dalam hal PKP memperoleh izin
pemusatan tempat pajak terutang (sentralisasi).
b. Impor BKP
Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Siapa pun
yang memasukkan BKP ke dalam Daerah Pabean dikenakan pajak tanpa memerhatikan apakah
dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak.
c. Penyeraha JKP di dalam Daerah Pabean dikenakan pajak tanpa memerhatikan apakah dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya ataukah tidak.
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean oleh siapa pun dikenakan PPN. Contoh: Pengusaha A
yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B
yang berkedudukan di Hong Kong. Atas pemanfaatan merek di dalam Daerah Pabean oleh
Pengusaha A terutang PPN.
e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa
manajemen, jasa teknik, dll) di dalam Daerah Pabean.
Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean oleh siapa pun dikenakan PPN. Contoh:
Pengusaha C di Surabaya memanfaatkan JKP dari Pengusaha D yang berkedudukan di Singapura.
Atas pemanfaatan JKP di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha C terutang PPN.
f. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP
Ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan adalah Pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai PKP.
g. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP
M

Pengusaha yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud adalah hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
Pengertian BKP Tidak Berwujud yaitu:
a) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusatran, kesenian, atau karya ilmiah,
paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
b) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah.
c) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.
d) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1) penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2), atau pemberian pengetahuan atau informasi
pada angka 3) berupa:
 Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit kabel, serta optik atau teknologi yang
serupa.
 Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel,
serat/optik atau teknologi yang serupa.
 Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi.
e) Penggunaan atau hak menggunakan hak film gambar hidup ( motion picture film), film atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
f) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak sebagaimana tersebut di atas.
h. Ekspor JKP oleh PKP
Termasuk dalam pengertian ekspor JKP adalah penyerahan JKP dari dalam Daerah Pabean ke Luar
Daerah Pabean oleh pengusaha kena pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP
Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar
Daerah Pabean.
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Pengenaan pajak ini
dilakukan dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN. Untuk
melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari PPN ini, maka diatur tentang batasan kegiatan
membangun sendiri.
3. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan,
sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikendalikan.
Penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila PPN yang dibayar pada saat perolehannya
tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang PPN, kecuali jika tidak dapat
dikreditkannya PPN tersebut karena bukti
M

pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi
lengkap sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN.
F. Barang yang Tidak Dikenakan Pajak
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 pengertian barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak saja. Berdasarkan UU No. 11 Tahun
1994 yang merupakan perubahan pertama dari UU No. 8 Tahun 1983 menjadi barang berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak
berwujud pengertian ini tetap dipakai berdasarkan Undang-undang No. 42 Tahun 2009 yang merupakan
perubahan ke empat dari UU No. 8 Tahun 1983, yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antara
lain hak atas Merek Dagang, Hak Paten, dan Hak Cipta.

BARANG TIDAK KENA PAJAK


UU No. 18/2000 UU No. 42/2009
(1) Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam (1) Dihapus.
Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak (2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
dikenakan pajak berdasarkan Undang- Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok
undang ini ditetapkan dengan Peraturan barang sebagai berikut:
Pemerintah. a. Barang hasil pertambangan atau hasil
(2) Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan pengeboran yang diambil langsung dari
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana sumbernya;
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas b. Barang kebutuhan pokok yang sangat
kelompok-kelompok barang sebagai berikut: dibutuhkan oleh rakyat banyak;
a. Barang hasil pertambangan atau hasil c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
pengeboran yag diambil langsung dari restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
sumbernya; meliputi makanan dan minuman baik yang
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk
sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; makanan dan minuman yang diserahkan oleh
c. Makanan dan minuman yang disajikan di usaha jasa boga atau katering;
hotel, restoran, rumah makan, warung dan d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
sejenisnya;
d. Uang, emas batangan, dan surat-
surat berharga.

a. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang ini.
Pada dasarnya semua barang dikenakan PPN, kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN dan PPnBM.
M

Berdasarkan Pasal 4A ayat (1) UU PPN dan PPnBM, jenis barang yang tidak dikenakan PPN berdasarkan
UU ini ditetapkan dengan PP No. 144 Tahun 2000 jo. KMK-653/KMK.03/2001 jo. KEP-68/PJ./2002
tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN.
Pasal 4A ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 dan PP No. 144 Tahun 2000 menjelaskan bahwa penetapan
jenis barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan BKP) didasarkan atas kelompok- kelompok barang
sebagai berikut: (negative List)
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, adalah
minyak mentah (crudle oil), gas bumi (tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi langsung oelh
masyarakat seperti elpiji), panas bumi, pasir, dan krikil, batu bara sebelum diproses menjadi briket
batu bara, bijih besi, bijih timah, biji emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih
bauksit;
2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak yaitu:
a) Beras dan gabah yaitu segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan
hitam atau beras ketan putih, sepanjang berbentuk sebagai berikut:
 Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih;
 Digiling;
 Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak;
 Beras pecah;
 Menir (groats) dari beras.
b) Jagung yaitu segala jenis agung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan
atau popcorn (jagung brondong) sepanjang sepanjang berbentuk sebagai berikut:
a) Jagung yang telah dikupas/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan;
b) Menir (groats) beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
c) Sagu yang berbentuk:
a) Empulur sagu;
b) Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu.
d) Kedelai yaitu segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai
hitam, sepanjang berbentuk kacang kedelai pecah atau utuh.
e) Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium, baik bentuk curah maupun briket.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya, baik
yang dikonsumsi ditempat maupun yang dibawa pulang (take away), untuk menghindarin pengenaan
pajak perganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah, tidak termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
Penyerahan Jasa Boga/Katering oleh Pengusaha Jasa Boga/Katering merupakan penyerahan JKP yang
dikenakan PPN (KMK-418/KMK.03/2003). Ruang lingkupnya adalah penyediaan makanan dan atau
minuman lengkap dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya, untuk keperluan tertentu berdasarkan
kontrak/perjanjian tertulis/perjanjian tidak tertulis.
4) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
M

G. Jasa Kena Pajak


Kelompok jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
144 Tahun 2000 Tanggal 22 Desember 2000 sebagai berikut:
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik yang jenisnya meliputi:
1) Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2) Jasa dokter hewan;
3) Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
4) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
5) Jasa paramedis dan perawat; dan
6) Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
b. Jasa di bidang pelayanan sosial yang sejenisnya meliputi:
1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2) Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4) Jasa lembaga rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial;
5) Jasa pemakaman termasuk krematorium; dan
6) Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang sejenisnya meliputi:
1) Jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998
kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), serta sanjak piutang;
2) Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; dan
3) Jasa sewa guna usaha atau Hak Opsi.
d. Jasa di bidang keagamaan yang sejenisnya meliputi:
1) Jasa pelayanan rumah ibadah
2) Jasa pemberian khotbah atau dakwah
3) Jasa lainnya di bidang keagamaan.
e. Jasa di bidang pendidikan yang jenisnya meliputi:
1) Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan,
pendidikan akademik, dan pendidikan profesional, dan;
2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus.
f. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan termasuk jasa di bidang
kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.
g. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan yaitu jasa penyiaran radio atau televisi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial.
M

h. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air yaitu jasa angkutan umum di darat, laut, danau,
dan sungai yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta.
i. Jasa di bidang tenaga kerja yang jenisnya meliputi:
1) Jasa tenaga kerja.
2) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3) Jasa penyelenggara latihan tenaga kerja.
j. Jasa di bidang perhotelan yang jenisnya meliputi:
1) Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hotel,
serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap
2) Jasa persewaan ruang untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen, dan hotel.
k. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, yang
jenisnya meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), pemberian izin usaha perdagangan (SIUP), pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

JENIS JASA TIDAK KENA PAJAK


No. UU No. 18 Tahun 2000 UU No. 42 Tahun 2009
Pasal 4A (3) Penetapan jenis jasa yang Pasal 4A (3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat kelompok jasa sebagai berikut:
(1) didasarkan atas kelompok-kelompok a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
jasa sebagai berikut: b. Jasa pelayanan sosial;
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan c. Jasa pengiriman surat dengan perangko;
medik; d. Jasa keuangan;
b. Jasa di bidang pelayanan sosial; e. Jasa asuransi;
c. Jasa di bidang pengiriman surat f. Jasa keagamaan;
dengan perangko; g. Jasa pendidikan;
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, h. Jasa kesenian dan hiburan;
dan sewa guna usaha dengan hak i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
opsi; j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta
e. Jasa di bidang keagamaan; jasa angkutan udara dalam negeri yang
f. Jasa di bidang pendidikan; menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan jasa angkutan udara luar negeri;
yang telah dikenakan pajak k. Jasa tenaga kerja;
tontonan; l. Jasa perhotelan;
h. Jasa di bidang penyiaran yang m. Jasa yang disediakan oelh pemerintah dalam
bukan bersifat iklan; rangka menjalankan pemerintahan secara
i. Jasa di bidang angkutan umum di umum;
darat dan di air; n. Jasa penyediaan tempat parkir;
j. Jasa di bidang tenaga kerja; o. Jasa telepon umum dengan menggunakan
k. Jasa di bidang perhotelan. uang logam;
Jasa yang disediakan oleh Pemerintah p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
dalam rangka menjalankan q. Jasa boga atau katering.
pemerintahan secara umum. Jasa yang disediakan oleh Pemerintahan dalam
rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

Latihan Soal
1. Apa yang dimaksud dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai)?
M

2. Sebutkan karakteristik PPN di Indonesia !


3. Sebutkan pihak-pihak (subjek) yang mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan
PPN !
4. Jelaskan tentang mekanisme pembayaran PPN !
5. Sebutkan dan jelaskan mengenai kategori barang dan jasa yang dikenakan PPN secara singkat
dan jelas!
H. Tarif PPN
Tarif PPN menurut Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2009 adalah:
1. Tarif PPN sebesar 10% (sepuluh persen).
Tarif 10% dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan JKP
di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk
pembangunan. Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
Perubahan tarif dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka
pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Tarif PPN sebesar 0% (nol persen).
Tarif 0% dikenakan atas ekspor BKP berwujud/ekspor BKP tidak berwujud/ekspor jasa kena pajak.
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian pajak
yang telah dibayar untuk perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang berkaitan dengan
kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

I. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan jumah tertentu sebagai dasar untuk menghitung PPN. Dasar
Pengenaan Pajak terdiri atas harga jual, nilai penggantian, nilai ekspor, nilai impor, dan nilai lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengusaha karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan Undang-
undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Harga jual merupakan DPP
untuk penyerahan BKP. Harga jual dapat diperoleh dengan menjumlakan harga pembelian bahan baku,
bahan pembantu, alat-alat pelengkap lainnya ditambah dengan biaya-baiaya seperti penyusutan barang
modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja, manajemen, serta laba usaha yang
diharapkan. Termasuk biaya dalam harga jual adalah biaya pengangkutan, biaya pengiriman, biaya
pemeliharaan, biaya asuransi, biaya garansi, biaya bantuan teknik, biaya pemasangan dan instalasi, dan
biaya- biaya lain yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan sampai dengan
penyerahan BKP. Apabila PKP selain menerbitkan Faktur Pajak juga menerbitkan Faktur
M

Penjualan, potongan harga atau diskon yang tercantum dalam Faktur Pajak juga harus tercantum
sebagai potongan harga atau diskon dalam Faktur Penjualan.
Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak. Nilai penggantian meruapakn taksiran biaya untuk mengganti biaya yang
dikeluarkan guna mendapatkan profesi, ketrampilan dan pengalaman yang memberikan kegiatan
pelayanan dalam arti “jasa” tersebut. Jika harga jual atau nilai penggantian menggunakan uang asing,
maka harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
mengenai kurs yang berlaku pada saat ini.
Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan undang-undang PPN.
Penentuan nilai impor BKP didasarkan pada undang- undang Pabean yang menggunakan Dasar
Pengenaan Bea Masuk, yaitu cost (harga faktur), insurance (biaya asuransi antar Daerah Pabean), dan
freight (ongkos angkut atau pengapalan antar-Daerah Pabean) atau disingkat dengan CIF. Rumus
menghitung nilai impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah:

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk + Pungutan Lain yang Sah


Nilai Ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir. Nilai ekspor tercantum dalam dokumen tertentu yang dapat dijadikan sebagai Faktur
Pajak untuk ekspor, yaitu Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), yang tidak dimuat oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai. Berapa pun nilai ekspor yang tercantum dalam dokumen ekspor (PEB), tidak
ada penghitungan PPN karena tarif PPN untuk barang ekspor adalah 0% (nol persen). Dengan tarif 0%
(nol persen) maka PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi)
PPN dalam rangka ekspor BKP.
Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Nilai lain adalah jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Nilai lain tersebut ditetapkan
sebagai berikut:
a. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi
laba kotor.
b. Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
c. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata- rata.
d. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
e. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
M

f. Untuk barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan semula tidak
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga wajar.
g. Untuk penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
barang kena pajak antarcabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan
h. Untuk penyerahan barang kena pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati
antara pedagang perantara dan pembeli.
i. Untuk penyerahan barang kena pajak melalui juru lelang adalah harga lelang.
j. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih
atau jumlah yang seharusnya ditagih.
k. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha jasa pengiriman paket dan
pengusaha jasa biro perjalanan/peristiwa sebagaimana dimaksud dalam huruf j dan k jasa tidak
dapat dikreditkan.

J. Tata Cara Penghitungan PPN


Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan
pajak. Hitungan tersebut diformulasikan sebagai berikut:

PPN = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Contoh 1
Pengusaha Kena Pajak A menjual barang kena pajak dengan harga jual sebesar Rp 25.000.000,00.
PPN yang terutang: 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
PPN sebesar Rp 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena
pajak A.
Contoh 2
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan jasa kena pajak dengan memperoleh penggantian sebesar
Rp 20.000.000,00.
PPN yang terutang : 10% x Rp 20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp 2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena
pajak B.
Contoh 3
Seseorang mengimpor barang kena pajak dari luar Daerah Pabean dengan nilai impor Rp
15.000.000,00.
PPN yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai : 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp
1.500.000,00.
PPN sebesar Rp 1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada pajak
keluaran apabila memenuhi ketentuan yang berlaku.
M

Contoh 4
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor barang kena pajak dengan nilai ekspor Rp
10.000.000,00.
PPN yang terutang: 0% x Rp 10.000.000,00 = Rp 0
PPN sebesar Rp 0 tersebut merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak D. Contoh 5
Pengusaha Kena Pajak E menggunakan barang kena pajak untuk keperluan perusahaan sendiri dengan
harga jual Rp 23.000.000,00. Harga tersebut termasuk laba sebesar Rp 3.000.000,00.
PPN yang terutang : 10% x (Rp 23.000.000,00 – Rp 3.000.000,00) = Rp 2.000.000,00.
PPN sebesar Rp 2.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak E. Contoh 6
Pengusaha Kena Pajak F menyerahkan BKP senilai Rp 4.800.000,00 kepada Yayasan Sayap Merpati
sebagai bantuan cuma-cuma. Nilai penyerahan tersebut termasuk laba kotor 20%.
PPN yang terutang atas penyerahan tersebut adalah:
Harga jual Rp 4.800.000,00
Laba kotor : 20/120 x Rp 4.800.000,00 (Rp 800.000,00)
Dasar Pengenaan Pajak Rp 4.000.000,00
PPN yang terutang : 10% x Rp 4.000.000.00=Rp 400.000,00
PPN sebesar Rp 400.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PKP E. Contoh
7
Pengusaha Kena Pajak G bergerak di bidang jasa pengiriman paket, memperoleh jasa pengiriman paket
sebesar Rp 25.000.000,00.
PPN yang terutang: 10% x (10% x Rp 25.000.000,00)=Rp 250.000,00
PPN sebesar Rp 3.000.000,00 tersebut merupakan pajak yang harus disetor tanpa diperkenankan
untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan.

K. Mekanisme Pemungutan PPN


Sebelum Barang Pajak atau Jasa Kena Pajak dikonsumsi pada tingkat konsumen, PPN telah dipungut
pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Pemungutan pada setiap tingkat ini tidak
menimbulkan efek ganda (Casscade effect) karena adanya umur kredit pajak. oleh karena itu, beban
pajak oleh konsumen besarnya tetap sama tidak terpengaruh oleh panjang atau pendeknya jalur produksi
atau jalur distribusi.
Pengenaan PPN atas nilai tambah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan Pengusaha
Kena Pajak. Nilai tambah ini adalah selisih harga jual dan harga pokok barang tersebut. Selanjutnya
berapakah besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah? Hal tersebut dikenal 3 (tiga) metode, yaitu:
1. Addition Method
Para metode ini besarnya PPN dihitung dari tarif dikalikan seluruh penjumlahan nilai tambah, dengan
syarat setiap Pengusaha Kena Pajak harus mempunyai pembukuan yang tertib dan rinci atas biaya yang
dikeluarkan.
Contoh:
M

BKP diperoleh dengan harga Rp 100.000.000,-


Kemudian di serahkan dengan harga Rp 150.000.000,-
Selisih nilai Nilai tambah Rp 50.000.000,-
PPN terutang = 10% X Rp 50.000.000,- Rp 5.000.000,-
2. Subtraction Method
Pada metode ini, PPN yang terutang dihitung dari tarif dikalikan selisih antara harga penjualan dengan
harga pembelian.
Contoh:
BKP diserahkan dengan harga Rp 150.000.000,-
Kemudian diperoleh dengan harga Rp 100.000.000,-
Selisih nilai penjualan – pembelian Rp 50.000.000,-
PPN terutang = 10% X Rp 50.000.000,- Rp 5.000.000,-
3. Credit Method
Metode ini hampir sama dengan metode butir 2 di atas. Pada credit method ini harus dicari selisih
antara pajak yang dibayar saat pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Pada metode kredit
hasilnya lebih akurat karena dimungkinkan pada komponen harga beli terdapat komponen yang tidak
terutang PPN. Dalam hal metode pengkreditan menggunakan subtraction method yang menghasilkan
pajak atas nilai tambah secara tidak langsung, disebut indirect subtraction method. Demikian pula
penyebutan invoice method sebagai akibat dituntut alat bukti berupa faktur pajak (Tax invoice).
Contoh:
BKP diserahkan dengan harga Rp 150.000.000,- = PPN = Rp 5.000.000,-
BKP diperoleh dengan harga Rp 100.000.000,- = PPN = Rp 10.000.000,-
Selisih PPN terutang = PPN = Rp 5.000.000,-
Sifat Pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan, yaitu:
1. PPN sebagai Pajak Objectif
Artinya, pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
2. PPN sebagai Pajak Tidak Langsung
Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun dari
segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak (pemikul beban).
3. Pemungutan PPN Multi Stage Tax
Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dari pabrikan,
pedagang besar, sampai dengan pengecer.
4. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti faktur pajak
Credit Method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi Pengusaha Kena Pajak harus
menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
5. PPN bersifat Netral
Netralitas ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua) faktor:
a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa;
M

b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.


6. PPN tidak menimbulkan pajak ganda.
7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dilakukan atas konsumsi dalam negeri.

Tipe Pemungutan
Memperhatikan tipe pemungutan atau perlakuan perolehan barang modal, dapat diklasifikasikan dalam:
1. Consumption Type Value Added Tax
Pada tipe ini semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk barang modal dikurangkan dari
nilai tambahnya sehingga memberikan sifat netral PPN atas pola produksi.
2. Net Income Type Value Added Tax
Ada tipe ini tidak dimungkinkan adanya pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan.
Pengurangan tersebut diperkenankan hanya sebesar penyusutan yang ditentukan pada saat menghitung
net income dalam rangka penghitungan PPh. Cara ini berakibat pengenaan pajak dua kali atas barang
modal.
3. Groos Product Type Added Tax
Tipe ini menyatakan bahwa pembelian barang modal tidak diperkenankan sama sekali untuk dikurangkan
dari dasar pengenaan pajak. akibatnya sama saja yaitu barang modal dikenakan pajak dua kali pada saat
pembelian dan dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.
Prinsip Pemungutan
Dari mekanisme pemungutan PPN, terdapat 2 (dua) prinsip pemungutan yaitu:
1. Prinsip Tempat Tujuan (Destination)
Pada prinsip ini bahwa PPN dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi;
2. Prinsip Tempat Asal (Origin Principle)
Pada prinsip tempat asal ini diartikan PPN dipungut ditempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi.
PPN Kurang/Lebih Disetor
Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang
sama. Pembeli kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak, pihak yang
memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, pihak yang memanfaatkan jasa
kena pajak dari luar daerah pabean wajib membayar pajak pertambahan nilai dan berhak atas bukti pungutan
pajak dari luar daerah pabean wajib membayar pajak pertambahan nilai dan berhak atas bukti pungutan
pajak. Pajak pertambahan nilai yang seharusnya suadah dibayar tersebut merupakan pajak masukan bagi
pembeli barang kena pajak, penerima jasa kena pajak, pengimpor barang kena pajak, pihak yang
memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, atau pihak yang memanfaatkan
jasa kena pajak dari luar daerah pabean yang berstatus sebagai pengusaha kena pajak. Dengan demikian,
besarnya PPN yuang kurang atau lebih dibayar/disetor oleh PKP dihitung dari selisih Pajak (PPN) Keluaran
dengan Pajak (PPN) Masukan.

PPN kurang (lebih) disetor Keluaran = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
M

Pajak Keluaran
Pajak (PPN) Keluaran merupakan PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan
BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.

Pajak Keluaran = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif Pajak Keluaran adalah sebesar 10% (sepuluh persen) untuk penyerahan barang kena pajak di
dalam Daerah Pabean/penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean oleh pengusaha kena pajak. Tarif
0% (nol persen) untuk ekspor barang kena pajak berwujud/ekspor barang kena pajak tidak berwujud/ekspor
jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak. DPP dapat berupa harga jual, penggantian dan nilai ekspor.
Dalam SPT Masa PPN, Pajak Keluaran dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pajak Keluaran atas ekspor (sebesar 0% dari nilai ekspor).
2. Pajak Keluaran atas penyerahan PPNnya harus dipungut sendiri.
3. Pajak Keluaran atas penyerahan atas PPNnya harus dipungut oleh pemungut PPN.
4. Pajak Keluaran atas penyerahan yang PPNnya tidak dipungut.
5. Pajak Keluaran atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Nomor 2 sampai dengan 5 merupakan pajak atas penyerahan dalam negeri, dibedakan menjadi:
1. Penyerahan dalam negeri dengan faktur pajak yang tidak digunggung.
2. Penyerahan dalam negeri dengan faktur pajak yang digunggung. Penyerahan ini merupakan penyerahan
dengan faktur pajak yang tidak dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.
Dari jumlah kelima kelompok Pajak Keluaran tersebut yang digunakan sebagai dasar penghitungan PPN
kurang (lebih) disetor oleh pengusaha kena pajak yang mengisi SPT Masa PPN adalah pajak keluaran
atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri oleh PKP yang bersangkutan. Dalam SPT Masa
PPN, jumlah tersebut dicantumkan dalam Formulir 1111 AB
1.C.1 atau dari formulir 1111 A2 yang faktur pajaknya mempunyai kode 01, 04,06, dan 09 ditambah dengan
pajak keluaran atas penyerahan dengan faktur pajak digunggung.
Pajak Masukan
Pajak (PPN) Masukan adalah PPN yang dibayar oleh PKP karena impor BKP/perolehan
BKP/penerimaan JKP/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean/pemanfaatan JKP dari luar
Daerah Pabean.

Pajak Masukan = Tarif x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Tarif Pajak Masukan adalah sebesar 10% (sepuluh persen), sedangkan DPP dapat berupa nilai impor, harga
beli (sama dengan harga jual bagi penjual), nilai penggantian, atau nilai lain.
Pajak Masukan adalah dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa
pajak yang sama. Terhadap pajak masukan yang belum dikreditkan dalam masa pajak yang sama dengan
pajak keluaran yang masih dapat dikreditkan pada masa pajak yang tidak sama paling lama 3 bulan setelah
berakhirnya masa pajak yang bersangkutan. Dalam hal belum ada pajak keluar dalam suatu masa pajak,
maka pajak masukan tetap dapat dikreditkan. Apabila dalam
M

suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan. Maka selisih nya merupakan Pajak
Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh PKP. Apabila dalam, suatu masa pajak, pajak masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar dari pada pajak keluaran maka pajak selisih nya merupakan kelebihan pajak
yang dapat dimintakan kembali atau dikompresikan kemasa pajak berikut nya, beberapa alasan yang
menyebabkan PPN tidak dapat dikreditkan:
a. Pembelian barang atau jasa sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
b. Pembelian barang dan pengeluaran biaya lain yang tidak berhubungan dengan langsung dengan proses
menghasilkan BKP atau JKP.
c. Pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor, sedan, jeep, station wagon, van dan kombi, kecuali
sebagai barang dagangan atau digunakan secara langsung sesuai bidang usahanya.
d. Pembelian yang sifat nya untuk kepentingan pribadi pemilik atau pemegang saham, direktur, komisaris
dan karyawan.
e. Penyerahan yang pajak pengeluaran nya ditanggung pemerintah, kecuali ditetapkan lain oleh menkeu.
f. Perolehan BKP atau JKP yang PPN nya di tanggung pemerintah.
g. Faktur pajak yang terbukti fiktif ( hasil rekaan, tidak dapat dibuktikan realitas transaksi nya).
h. Pajak masukan dengan faktur pajak yang sederhana, ( yang tidak boleh menjadi dasar mekanisme
pengkreditan pajak, kecuali ditentukan lain dengan peraturan ).

L. Kewajiban membuat Faktur Pajak


Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984 menentukan : “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f
dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.”
Pengertian Faktur Pajak
1. Berdasarkan fungsinya, Faktur Pajak mengandung tiga macam pengertian, yaitu : Dalam pasal 1
angka 23 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat
oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa.
2. Ditinjau dari sisi pembeli atau penerima JKP, Faktur Pajak adalah bukti pembayaran pajak kepada
PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
3. Dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 antara lain ditegaskan bahwa Faktur
Pajak adalah sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.
Secara singkatnya, Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP).
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak;
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
d. Ekspor Jasa Kena Pajak.
M

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang
dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1
(satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan.
Saat Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Faktur Pajak
gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya
dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan
JKP yang paling sedikit memuat :
1) nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP
2) nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
3) jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga
4) PPN yang dipungut
5) PPn BM yang dipungut
6) kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak
7) nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
b. Setiap Faktur Pajak harus menggunakan Kode dan Seri Faktur Pajak yang telah ditentukan di
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu :
1) Kode Faktur Pajak terdiri dari :
 2 (dua) digit Kode Transaksi
 1 (satu) digit Kode Status
 3 (tiga) digit Kode Cabang.
2) Nomor seri Faktur Pajak terdiri dari :
 2 (dua) digit Tahun Penerbitan
 (delapan) digit Nomor Urut.
c. Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak
dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana
dimaksud dalam butir a di atas. Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak.
d. Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam rangkap dua yaitu :
1) lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan.
2) lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.
M

3) Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari rangkap dua, maka harus dinyatakan secara jelas
penggunaannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan.
e. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani termasuk
kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri merupakan Faktur Pajak cacat;
f. Dalam hal rincian BKP atau JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak, maka
PKP dapat membuat Faktur Pajak dengan cara :
1) Dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing menggunakan kode dan nomor seri Faktur
Pajak yang sama,ditandatangani setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian baris Harga Jual/
Penggantian/ Uang Muka/ Termijn, Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar
Pengenaan Pajak, dan PPN cukup diisi pada lembar Faktur Pajak terakhir
2) Dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Penjualan yang
bersangkutan dan faktur penjualan tersebut merupakan lampiran Faktur Pajak yang tidak
terpisahkan.
g. PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat (dapat lebih dari 1 orang
termasuk yang diberikan kuasa) yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai contoh
tandatangannya kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan paling lambat pada saat pejabat
yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak.
h. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan pada huruf
a di atas dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak.
i. Atas Faktur Pajak yang cacat, atau rusak, atau salah dalam pengisian, atau penulisan, atau yang
hilang, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat membuat Faktur Pajak Pengganti.
Pada prinsipnya, fungsi faktur pajak adalah sebagai bukti pungut (bagi penjual), bukti pembayaran (bagi
pembeli), saran pengawasan dan acuan atau bahan, misal sebagai dasar pembuatan nota return.
Faktur pajak sendiri dapat dibedakan menjadi 4, yaitu:
1. Faktur Pajak Standar
Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tanggal 31
Oktober 2006 yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara
Penyampaian, Dan Tata Cara Pembetukan Faktur Pajak Standar menetapkan bahwa Faktur Pajak
Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP.
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga.
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut.
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
g. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak
Gabungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UU PPN 1984 sebenarnya adalah Faktur
Pajak Standar yang memuat semua penyerahan BKP atau JKP dalam satu Masa Pajak kepada
pembeli BKP atau penerima JKP yang sama.
M

2. Faktur Pajak Sederhana


Dalam Pasal 13 ayat (7) UU PPN 1984 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
524/KMK.04/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/2004 tanggal 25 Agustus 2004 ditetapkan bah-wa PKP
dapat membuat Faktur Pajak Sederhana atas penyerahan BKP atau JKP sepanjang meme-nuhi syarat
sebagai berikut :
a. Faktur Pajak Sederhana boleh dibuat dalam hal :
1) Penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada konsumen akhir
2) Pembeli BKP/penerima JKP yang nama, alamat atau NPWP-nya tidak diketahui.
b. Membuat Faktur Pajak Sederhana tidak memerlukan ijin dari siapapun.
c. Faktur Pajak Sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, karcis, kuitansi, segi kas
register, dan sejenisnya.
d. Dalam Faktur Pajak Sederhana minimal mencantumkan nama, alamat dan NPWP di Pembuat;
Jenis dan kuantum BKP/JKP, harga.penyerahan termasuk PPN atau ditulis terpisah; tanggal
pembuatan Faktur Pajak.
e. Faktur Pajak Sederhana harus dibuat dalam rangkap dua, atau satu lembar dengan pertinggal
berupa potongan/bagian dari Faktur Pajak Sederhana yang diserahkan kepada pembeli/penerima
jasa, seperti pada umumnya yang terjadi pada karcis.
f. Kelemahan Faktur Pajak Sederhana adalah Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
g. Dibuat paling lambat pada saat penyerahan BKP/JKP, atau paling lambat pada saat pembayar-an
dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan.
3. Faktur Pajak Gabungan
Yaitu faktur pajak yang digabung dalam satu bulan ( untuk satu pembeli yang sama ). Hal itu bisa
dilakukan jika transaksi terjadi berulang-ulang dan sering terjadi pada 1 pembeli yang sama. Misal nya
PT Kimia Farma mengirimkan faktur pajak kepada apotik-apotik dan hal ini bartujuan untuk
menghemat biaya.
4. Dokumen lain yang dianggap sebagai faktur-faktur pajak
Misalnya tiket pesawat, rekening telpon, rekening listrik.

Faktur dibuat sebanyak 2 lembar, lembar pertama untuk diserahkan kepada pembeli sebagai bukti bayar dan
lembar kedua disimpan sebagai bukti pungut, yang nantinya untuk diserahkan/dibayarkan ke kantor pajak.
Saat pembuatan faktur pajak adalah:
a. Jika saat terutang PPN adalah pada saat penyerahan BKP/JKP pada saat akhir bulan berikutnya,
terhitung dari bulan penyerahan. Misalnya penyerahan BKP/JKP pada tanggal 15/03/04 maka faktur
pajak dibuat paling lambat tanggal 30/04/04.
b. Saat pembayaran, yaitu saat ada yang bayar uang muka.
c. Saat pembayaran termin. Misalnya pada jasa pemborong.
d. Saat penagihan kepada pemungut pajak (pemungut PPN ). Pemungut PPN sendiri adalah bendaharawan
pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh mentri keuangan untuk memungut,
menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP/JKP.
M

BAGIAN KEEMPAT
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM)

A. Pengantar
Kegiatan-kegiatan berikut selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha
yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
2. Impor BKP yang tergolong mewah.
Pengenaan PPnBM tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa:
a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat,
contoh: minuman beralkohol.
Pengenaan PPnBM terhadap impor BKP yang tergolong mewah tanpa memandang siapa yang mengimpor
BKP tersebut dan apakah impor tersebut dilakukan secara terus menerus atau hanya sekali saja. Selain itu,
pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan BKP yang tergolong mewah tidak memandang apakah bagian
dari BKP tersebut sudah atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.
PPnBM pada prinsipnya hanya dipungut atau dikenakan satu kali saja, yaitu pada waktu:
a. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang tergolong mewah
b. Impor BKP yang tergolong mewah
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. PPnBM yang telah dibayar atas perolehan
BKP yang tergolong mewah yang diekspor dapat diminta kembali.

B. Kategori Barang Mewah yang Dikenai PPnBM


Pengenaan PPnBM terhadap BKP yang tergolong mewah dibedakan lagi menjadi BKP yang tergolong
mewah Kendaraan Bermotor dan BKP yang tergolong mewah selain Kendaraan Bermotor. Kelompok
BKP yang tergolong mewah yang dikenakan PPnBM selain Kendaraan Bermotor berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 ditetapkan sebagai berikut:
1. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain Kendaraan Bermotor dikenakan PPnBM dengan tarif
10% (sepuluh persen) adalah:
M

1) Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran
televisi.
2) Kelompok Peralatan dan Perlengkapan Olahraga
3) Kelompok mesin pengatur suhu udara
Mesin pengatur suhu udara terdiri atas kipas yang digerakkan dengan motor dan elemen untuk
mengubah suhu dan kelembaban udara, termasuk mesin yang tidak dapat mengatur kelembaban
udara secara terpisah, dari tipe jendela atau dinding dengan kapasitas pendingin di atas 1-2 PK.
4) Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar dan pesawat penerima siaran radio
5) Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya
2. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain Kendaraan Bermotor dikenakan PPnBM dengan tarif
20% (dua puluh persen) adalah :
1) Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut pada
kelompok nomor 1.
2) Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house dan
sejenisnya
3) Kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut
pada kelompok nomor 1
3. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dikenakan PPnBM dengan tarif
30% (tiga puluh persen) adalah:
1) Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau
angkutan umum.
2) Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang disebut pada kelompok nomor 1
4. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dikenakan PPnBM dengan tarif
40% (empat puluh persen) adalah:
1) Kelompok minuman yang mengandung alkohol
2) Kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan
3) Kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool
4) Kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias,
kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu
5) Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari
logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya
6) Kelompok kapal atau kendaaan air lainnya, sampan dan kano, selain yang disebut pada kelompok
nomor 3 kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum
7) Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa
penggerak
8) Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya kecuali untuk keperluan negara.
9) Kelompok jenis alas kaki
10) Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor
11) Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik
M

12) Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu se4lain batu jalan atau
batu tepi jalan
5. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dikenakan PPnBM dengan tarif
50% (lima puluh persen) adalah:
1) Kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus
2) Kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada kelompok nomor 4, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan udara niaga
3) Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga selain yang disebut pada kelompok nomor 1 dan
nomor 5
4) Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
6. Kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan PPnBM dengan
tarif 75% (tujuh puluh lima persen) adalah:
1) Kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada kelompok nomor 4
2) Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara
atau campuran daripadanya
3) Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atua angkutan umum

Soal Latihan Essay


1. Apa yang dimaksud dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)?
2. Sebutan karakteristik Barang Kena Pajak yang tergolong mewah !
3. Kapan waktu yang tepat dalam pengenaan PPnBM?
4. Sebutkan kelompok BKP yang tergolong mewah selain Kendaraan Bermotor yang dikenakan PPnBM
dengan tarif 10% (sepuluh persen) !
5. Sebutkan kelompok BKP yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor dikenakan PPnBM
dengan tarif 40% (empat puluh persen) !

C. Tarif PPnBM
1. Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif, yaitu tarif terendah sebesar 10% (sepuluh
persen) dan tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen).
Perbedaan tarif tersebut didasarkan pada pengelompokkan BEP yang tergolong mewah yang atas
penyerahannya dikenakan juga PPnBM. Pengelompokkan barang-barang yang terkena PPnBM terutama
didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakt yang menggunakan barang-barang tersebut, di
samping didasarkan pula pada nilai gunanya bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, tarif
yang tinggi dikenakan terhadap barang- barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan barang- barang yang konsumsinya perlu dibatasi. Barang-barang yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya dikenakan PPnBM dengan tarif yang lebih rendah.
2. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% (nol persen) atas ekspor BKP yang tergolong mewah PPnBM
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah dalam Daerah Pabean. Oleh
karena itu, BKP yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean
dikenakan PPnBM dengan tarif 0% (nol persen).
M

D. Tata cara Penghitungan PPnBM


Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dihitung sebesar tarif PPnBM dikalikan dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). DPP yang dimaksud dapat berupa harga jual, nilai impor, nilai pengganti, nilai
ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

PPnBM yang terutang = Tarif PPnBM x DPP

Apabila dalam suatu harga terdiri atas PPN dan PPnBM maka:

Tarif PPnBM
PPnBM yang terutang = (110 +Tarif PPnBM) x DPP

Contoh 1 :
Harga sebuah BKP adalah Rp 140.000.000,00 (tidak termasuk PPN 10% dan PPnBM 30%) PPnBM
yang terutang = 30% x Rp 140.000.000,00 Rp 42.000.000,00
PPN yang terutang = 10% X Rp 140.000.000,00 Rp 14.000.000,00
Contoh 2
Harga sebuah BKP adalah Rp 140.000.000,00 (termasuk PPN 10% dan PPnBM 30%)
PPnBM yang terutang = 30
x Rp 140.000.000,00 Rp 30.000.000,00
(110+30)
PPN yang terutang = 10
x Rp 140.000.000,00 Rp 10.000.000,00
(110+30)

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa PPnBM hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh PKP
yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah atau atas impor BKP yang tergolong mewah. Dengan
demikian, PPnBM bukan merupakan Pajak Masukan sehingga tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu,
PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga jual BKP yang tergolong mewah yang bersangkutan atau
dibebankan sebagaibiaya sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan (PPh).
Contoh 1:
1. PKP “A” dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak kepada PKB “B” dengan harga jual
Rp. 25.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “A” = 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak “A”.

2. PKP “B” dalam bulan Pebruari 2001 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian sebesar Rp. 15.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B” = 10% x Rp. 15.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00 PPN
sebesar RP. 1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

3. Pengusaha Kena Pajak “C” mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar RP. 35.000.000,00
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp. 35.000.000,00 =
Rp. 3.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai
LPA mitrabijak Surakarta
Lembaga Pengembangan Administrasi Bisnis, Akuntansi dan Perpajakan Surakarta

Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan
PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20% (dua puluh persen).
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00

Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas
penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35% (tiga puluh lima persen).
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka
PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP
“D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp.
150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang adalah:

a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00

c. PPnBM =35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00

PKP “D” dapat mengkreditkan PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor BKP tersebut
terhadap PPN sebesar Rp. 15.000.000,00. Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan baik dengan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 maupun
dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00
Contoh 2:
PKP PT Perdana menggunakan BKP dengan nilai impor Rp 5.000.000,00. BKP tersebut selain dikenakan
PPN juga dikenakan PPnBM dengan tarif 20%. Besarnya PPN dan PPnBM yang dibayar pada saat impor
adalah:
DPP Rp 5.000.000,00
PPN = 10% x Rp 5.000.000,00 Rp 500.000,00
PPnBM = 20% x Rp 5.000.000,00 Rp 1.000.000,00
PKP PT Perdana menggunakan BKP tersebut sebagai bagian dari suatu BKP lain yang atas penyerahannya
dikenakan PPN 10% dan PPnBM 30%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor
tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp 1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP PT Perdana atau dibebankan sebagai biaya.
PT Perdana menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP PT Ananda dengan harga jual Rp 40.000.000,00.
Besarnya PPN dan PPnBM yang dipungut adalah:
DPP Rp 40.000.000,00
PPN = 10% x Rp 4.000.000,00 Rp 4.000.000,00
PPnBM = 30% x Rp 4.000.000,00 Rp 12.000.000,00
Dalam contoh ini, PKP PT Perdana dapat mengkreditkan PPN yang dibayar pada saat impor (yaitu Rp
500.000,00) terhadap PPN pada saat menjual barang (yaitu Rp4.000.000,00). Tetapi PPnBM

Administrasi Pajak Kelas XII Semester 2 39


LPA mitrabijak Surakarta
Lembaga Pengembangan Administrasi Bisnis, Akuntansi dan Perpajakan Surakarta

sebesar Rp1.000.000,00 pada saat impor tidak dapat dikreditkan terhadap PPN (yaitu Rp 5.000.000,00)
maupun PPnBM (yaitu Rp 12.000.000,00) pada saat menjual atau menyerahkan BKP.
PKP yang telah membayar PPnBM pada saat perolehan BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali
PPnBM yang dibayarnya apabila PKP dimaksud telah mengekspor BKP yang tergolong mewah tersebut.

E. Dokumen Sumber PPN dan PPnBM yang valid


SPT Masa PPN dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. SPT Masa PPN 1111
Formulir SPT Masa PPN 1111 yang mengalami perubahan adalah pada Lampiran yaitu Formulir
1111 B3. Formulir 1111 B3 yaitu “Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan atau yang Mendapat
Fasilitas”. Sedangkan pada Formulir 1111 B pada PER-44/PJ/2010 yaitu “Daftar Pajak Masukan yang
Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas”. Pada kata Tidak Dikreditkan dengan Tidak
Dapat Dikreditkan mengandung substansial yang berbeda.
Sehingga pada Formulir 1111 B PER-11/PJ/2013, Faktur Pajak yang seharusnya dapat dikreditkan
tetapi Tidak Dikreditkan, misalkan PPN atas Perolehan Aset Tetap yang PPN dikapitalisasi, maka sejak
berlakunya aturan ini yaitu mulai masa Juni harus dimasukkan dalam formulir ini, sesuai dengan Pasal
1a berbunyi : “Pajak Masukan yang menurut ketentuan perundang-undang dapat dikreditkan, namun
tidak dilakukan pengkreditan oleh PKP, harus dilaporkan dalam Formulir ini, dimana sebelumnya tidak
perlu dimasukkan dalam Formulir ini.
Dalam hal pelaporan yang persyaratkan, sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) bahwa :
1) Semua WP Badan Wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik (e-
SPT)
2) Untuk WP Orang Pribadi boleh menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk berlaku
formulir kertas (hard copy) dengan syarat :
 melaporkan tidak lebih dari 25 dokumen yaitu Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan dalam setiap Lampiran
SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan
 jumlah seluruh penyerahan barang dan jasanya dalam 1 (satu) Masa Pajak kurang dari Rp
400.000,00
Persyaratan pelaporannya :
 Dalam hal menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maka
wajib melaporkan Induk SPT Masa PPN 1111 berserta lampirannya sesuai dengan Lampiran I PER-
44/PJ/2010 dan tidak boleh dirubah. Tetapi penegasan beserta lampirannya sesuai dengan Pasal 8.
 Dalam hal menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik (e-SPT), PKP
harus menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Induk
SPT Masa PPN 1111 tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas.
Sanksi PKP akan dikenakan sanksi denda dan/atau sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Pasal
5 bahwa PKP dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam hal SPT tidak disampaikan
sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PER-11/PJ/2013.
2. SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oeh pengusaha kena pajak yang menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan pajak masukan.
SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan, yang terdiri dari:
1) Induk SPT Masa PPN 1111 DM – Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05)
2) Induk SPT Masa PPN 1111 DM – Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05)
a) Formulir 1111 A DM (D.1.2.32.13) – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri
Dengan Faktur Pajak.
b) Formulir 1111 R DM (D.1.2.32.14)-Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh
PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN, atau formulir 1107 PUT, yang digunakan oleh pemungut PPN.

Ketentuan Umum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Undang-
Undang KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah sebagai berikut;
1. Setiap PKP wajib mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPN dengan benar, lengkap, dan jelas serta
menandatanganinya.
2. SPT Masa PPN ditandatangani oleh PKP atau orang yang diberi kuasa menandatangani sepanjang
dilampiri dengan surat kuasa khusus.
3. PKP harus mengambil sendiri formulir SPT Masa PPN ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)/Kantor
Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau dengan cara mengunduh (download)
melalui laman www.paiak.go.id.
4. Penyampaian SPT Masa PPN dilakukan secara langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan atau KP2KP
atau tempat lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
5. Selain disampaikan secara langsung, SPT Masa PPN dapat disampaikan melalui pos dengan bukti
pengiriman atau dengan cara lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
181/PMK.03/2007 dan perubahan/penggantinya.
6. Setiap PKP yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Masa PPN atau menyampaikan SPT Masa PPN
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Fungsi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
Dalam sistem self assessment, SPT Masa PPN berfungsi sebagai sarana bagi PKP untuk
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dan melaporkan
tentang:
 Pengkreditan Pajak Masukan (PM) terhadap Pajak Keluaran (PK)
 Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam
suatu Masa Pajak.
Pengusaha yang berstatus sebagai pemungut PPN juga diwajibkan melaporkan PPN yang telah dipungut dengan
menggunakan formulir SPT Masa PPN untuk Pemungut PPN.
Bentuk dan Isi SPT Masa PPN 1111
SPT Masa PPN 1111 terdiri dari:
1. Induk SPT Masa PPN
2. Lampiran SPT Masa PPN, baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau data elektronik, yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang masing-masing diberi nomor, kode, dan nama formulir.
Nomor, kode dan nama formulir SPT Masa PPN 1111 adalah sebagai berikut:
No Nomor dan Kode Nama Formulir Keterangan
Formulir
1. 1111 (F.I.2.32.04) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Induk SPT Masa PPN
Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
2. 1111 AB Rekapitulasi Penyerahan dan Lampiran SPT Masa PPN sebagai Sub
(D.I.2.32.07) Perolehan Induk SPT Masa PPN (memuat keterangan
rekapitulasi penyerahan, perolehan dan
penghitungan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan)
3. 1111 Al Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Lampiran SPT Masa PPN untuk melaporkan
(D.I.2.32.08) Tidak Berwujud, dan/atau JKP Pemberitahuan Ekspor Barang,
Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena
Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
4. 1111 A2 Daftar Pajak KeLuaran atas Lampiran SPT Masa PPN untuk
(D.I.2.32.09) Penyerahan Dalam Negeri melaporkan:
Dengan Faktur Pajak Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang
menurut ketentuan diperkenankan untuk
tidak mencantumkan identitas pembeli
serta nama dan tanda tangan penjual,
yang diterbitkan; dan/atau
Nota Retur/Nota Pembatalan yang diterima
5. 1111 Bl Daftar Pajak Masukan yang dapat Lampiran SPT Masa PPN untuk melaporkan
(D.I.2.32.10) Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemberitahuan Impor Barang atas impor
Pemanfaatan BKP Tidak Barang Kena Pajak dan/atau SSP atas
Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Pabean Berwujud/Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah
Pabean
6. 1111 B2 (D.I.2.32.11) Daftar Pajak Masukan yang Dapat Lampiran SPT Masa PPN untuk melaporkan:
Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Faktur Pajak yang dapat dikreditkan, yang
Dalam Negeri diterima
Nota Retur Nota PembataLan atas
pengembalian Barang Kena
Pajak/pembatalan Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya dapat dikreditkan, yang
diterbitkan
7. 1111 B3 (D.I.2.32.12) Daftar Pajak Masukan yang Tidak Lampiran SPT Masa PPN untuk
Dapat Dikreditkan atau yang melaporkan:
Mendapat Fasilitas Faktur Pajak yang tidak dapat
dikreditkan atau mendapat fasilitas, yang
diterima; dan/atau
Nota Retur/Nota PembataLan atas
pengembalian Barang Kena
Pajak/pembatalan Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
atau mendapat fasilitas, yang diterbitkan
SPT Masa PPN 1111 ini wajib digunakan oleh setiap PKP selain PKP yang menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, untuk pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.
Hal-hal Penting yang Perlu Diketahui dalam Mengisi SPT Masa PPN 1111
Setiap PKP wajib mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPN 1111 ini, kecuali PKP yang menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN).
Khusus bagi PKP yang menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, dalam hal PKP yang
bersangkutan melakukan penyerahan BKP yang tergolong mewah maka kolom PPnBM pada masing-masing formulir
juga harus diisi.
Pengisian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
a. Formulir Induk SPT Masa PPN 1111 beserta Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
dan Aplikasi Pengisian SPT (c-SPT) dapat diperoleh dengan cara:
1) diambil di KPP atau KP2KP;
2) digandakan atau diperbanyak sendiri oleh PKP;
3) diunduh di laman Direktorat Jenderal Pajak, dengan alamat http://www.pajak.go.id, selanjutnya dapat
dimanfaatkan/digandakan
4) disediakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal
Pajak (khusus e-SPT).
b. PKP dapat mengisi SPT Masa PPN 1111 dan Lampirannya dalam bentuk formulir kertas (bard copy)
dengan cara:
1) ditulis tangan dengan menggunakan huruf balok (bukan huruf sambung); atau
2) diketik dengan menggunakan mesin ketik.
c. Pengisian data pada SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) juga harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengisian data pada Induk dan Lampiran SPT Masa PPN tidak boleh melebihi baris dan/atau kolom
yang telah disediakan dan harus dituliskan dalam satu baris.
Contoh:
Nama Penjual: PT. Cahaya Buana Terang Indonesia Jaya Perkasa, pada Lampiran SPT Masa PPN
dapat ditulis PT Cahaya Buana TIJP agar tertampung di dalam kolom/baris Nama Penjual BKP/BKP
Tidak Berwujud/Pemberi JKP.
2) Pengisian NPWP, Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak, nomor Dokumen Tertentu, dan nomor Nota
Retur/Nota Pembatalan harus dituliskan secara lengkap dan tidak boleh disingkat.
Untuk pengisian SPT dengan menggunakan tulisan tangan atau mesin ketik, PKP diperbolehkan untuk
mengisi data NPWP pada kolom atau baris tanpa menggunakan tanda baca, kecuali untuk identitas
NPWP yang sudah disediakan formatnya pada formulir.
Contoh:
NPWP dapat ditulis 01.021.354.6-427.000 atau 010213546427000
d. Penggunaan formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk PDF mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1) PKP dapat mencetak/print formulir SPT Masa PPN 1111 langsung dari file PDF yang telah
disediakan, selama memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
a) Dicetak dengan menggunakan kertas folio/F4 dengan berat minimal 70 gram.
b) Pengaturan ukuran kertas pada printer menggunakan ukuran kertas (paper size) 8,5 x 13 inci (215 x
330 mm).
c) Tidak menggunakan printer dotmatrix.
Di samping pedoman tersebut, terdapat petunjuk pencetakan yang hams diikuti, yang tersimpan
dalam bentuk file PDF dengan nama readme.pdf.
2) Formulir SPT Masa PPN 111 dalam bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak, selanjutnya PKP dapat
mengisi formulir SPT Masa PPN 1111 tersebut, menandatanganinya kemudian menyampaikannya ke
KPP atau KP2KP.
Catatan:
Untuk memudahkan pengisian SPT Masa PPN 1111, diminta agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Cara pengisian SPT Masa PPN 1111 dimulai dari Lampiran SPT Masa PPN 1111 yang terdiri dari
Formulir 1111 Al, Formulir 1111 A2, Formulir 1111 Bl, Formulir 1111 B2, Formulir 1111 B3, dan
Formulir 1111 AB.
Setelah Lampiran SPT Masa PPN 1111 terisi, kemudian dipindahkan ke Induk SPT Masa PPN 1111.
b) SPT Masa PPN 1111 dibuat rangkap 2 (dua), yaitu:
(1)lembar ke-1: untuk KPP; dan
(2) lembar ke-2: untuk PKP.
c) Jumlah Rupiah PPN atau PPN dan PPnBM dihitung dalam satuan Rupiah penuh (dibulatkan ke bawah).
d) Dalam hal jumlah Rupiah adalah NIHIL karena:
(1) tidak ada nilainya; atau
(2) penjumlahan dan/atau pengurangan Rupiah menghasilkan NIHIL, maka dalam lajur kolom jumlah
Rupiah yang bersangkutan ditulis angka 0 (Nol).
e) Sebelum disampaikan ke KPP, KP2KP, atau tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak, SPT Masa PPN 1111 harus ditandatangani, diberi nama jelas, jabatan dan cap
perusahaan. SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan namun tidak ditandatangani, dikategorikan
sebagai SPT yang tidak lengkap dan dianggap tidak disampaikan.
f) Dalam hal terdapat kesulitan dalam pengisian SPT Masa PPN 1111, PKP dapat menghubungi pegawai
Direktorat Jenderal Pajak di KPP atau KP2KP.

Tata Cara Penyetoran PPN dan PPnBM, Pelaporan dan Penyampaian SPT Masa PPN 1111
a. Batas Waktu Penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM
1) PPN atau FPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN 1111 disampaikan.
2) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
b. Batas Waktu Pelaporan SPT Masa PPN 1111
1) SPT Masa PPN 1111 harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak.
2) Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, pelaporan SPT Masa PPN 1111 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
c. Tempat Pelaporan SPT Masa PPN 1111
1) KPP;
2) KP2KP; atau
3) tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
d. Cara Pelaporan dan Penyampaian SPT Masa PPN 1111
1) SPT Masa PPN 1111 dapat disampaikan oleh PKP dengan cara:
a) manual, yaitu:
i. disampaikan langsung ke KPP, KP2KP, atau tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak, dan atas penyampaian SPT Masa PPN 1111 tersebut PKP akan
menerima tanda bukti penerimaan; atau
ii. disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau perusahaan jasa kurir, dengan bukti
pengiriman surat. Bukti pengiriman surat tersebut dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal
penerimaan SPT, sepanjang SPT tersebut lengkap, atau elektronik (e-Filting), yaitu melalui
sistem online yang real time melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi
(ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang tata cara penyampaiannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 47/PJ/2008 tentang Tata Cara
Penyampaian Surat Pemberitahuan dan Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat
Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (e-Filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa
Aplikasi (ASP) dan perubahan/penggantinya.
2) Pelaporan dan penyampaian SPT Masa PPN 1111 secara manual dapat dilakukan untuk SPT Masa
PPN 1111 dalam bentuk fbrmulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.
3) Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan dalam bentuk media elektronik, Induk SPT Masa PPN
1111 harus tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), ditandatangani dan
disampaikan secara manual.
4) Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan secara e-Filing, Induk SPT Masa PPN 1111 tidak perlu
disampaikan secara manual dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

Contoh SPT Masa PPN 1111

Anda mungkin juga menyukai