Anda di halaman 1dari 2

CERPEN

Demi Masa Depan

Lazuardi pagi menampakan kemewahanya, menguning indah diatas cakrawala,


dimana semua mata pasti akan tertuju padanya. Sambil mengapit gulungan tembakau
disela-sela jari telunjuk dan jari tengah, ku seruput secangkir kopi sambil menghayati
sebuah lagu keroncong yang menenangkan hati. Tak sengaja mataku terarah pada
seorang bapak-bapak yang sudah tua umurnya perkiraan 70-80 tahun. Sedang bersila
menyenderkan badan di pohon besar berdaun rindang. Sehingga terciptalah sepenggal
demi sepenggal kata yang disusun menjadi sebuah karya yang mungkin minimal bisa
saya baca sendiri dan luar biasa jika dapat di baca orang lain.

Mata itu menyipit, merasakan dunia yang semakin menyempit. Seorang laki-
laki bertubuh hitam legam menatap cakrawala dengan tatapan yang sangat kejam,
raut wajah yang pucat kusam, dan tangannya tak mampu lagi untuk menggenggam. Ia
bersila di bawah pohon rindang dengan daun-daun kering yang jatuh berguguran.
Perlahan ku hampiri dia, aku sapa dengan senyum ramah dan ia balas dengan tawa
serapah. Dalam hati kecilku, aku bertanya-tanya kemana dan dimana anaknya sampai
tega melihat bapaknya bersusah payah demi mencukupi kebutuhannya. Aku duduk
bersila disampingnya dan mengamati raut wajahnya yang telah kusut dan keriput.
Perlahan aku tanya dia dengan pembahasan basa-basi persawahan yang ada di desa,
meskipun aku hanya tau segelintir ilmu tentang petani dan sawah. Dia menjelaskan
panjang lebar tentang ilmu-ilmu persawahan sampai akhirnya aku memberanikan diri
untuk bertanya maksudku menghampiri dia, sebuah tanya yang telah mengganjal dari
hati sejak tadi. Perlahan aku tanya “ kemana dan dimana anaknya “, Sampai tega
melihat bapaknya bersusah payah seperti ini, Aku bertanya sambil berhati-hati agar
tidak menyinggung perasaannya. Bapak itu menjawab “ Anak saya masih berkuliah,
nak “. Aku tanya kembali, “ Dimana anak Bapak berkuliah, pak? “. Ia menjawab, “ Anak
saya berkuliah disalah satu Universitas yang ada di luar kota ini. meskipun bukan kuliah
negeri, tapi saya bangga bisa menguliahkan dia ”. Ucapnya sambil se-dari tadi terus
memandangi kantong bajuku yang terdapat rokok disana, yang tak sadar tadi terbawa
oleh ku. Aku melihat tetes demi tetes keringat bapak itu yang jatuh menyentuh daun
kering yang berguguran dari rantingnya, dan ada sebagian lagi jatuh ke tanah. Dengan
insting manusiawi, aku langsung mengambil rokok yang ada di dalam kantong baju ku,
lalu menawarkan rokok tersebut ke bapak tadi. “Monggo, rokoknya di hisap pak”.
Ucapku ke bapak tadi. Wajahnya memerah seakan malu, mungkin ia berpikiran bahwa
aku sadar, karena dari tadi memang ia memandangi rokok ku. “Nggak usah malu pak,
monggo di hisap”. Aku langsung mengambil satu batang rokok dan yang lain aku
suguhkan di hadapan bapak tersebut. Beliau mengambil satu batang rokok sambil
menyulut rokok tersebut di bibirnya. “Bapak punya anak berapa sih pak?”. Beliau
menjawab, “Saya hanya punya satu anak, dia anak semata wayang saya nak”. Lalu aku
meneruskan pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikiranku. “Anak Bapak laki-laki atau
perempuan?”. “Anak saya laki-laki, yang tampan dan gagah sepertimu nak”. Ucap
beliau. Aku melanjutkan pertanyaanku, “Anak bapak disana kuliah sambil kerja, atau
gimana pak?, maaf kalau saya banyak tanya, jujur saya sangat penasaran dengan
bapak”. “Anak saya, saya suruh untuk fokus berkuliah aja nak, Bapak nggak mau dia
terpecah fokusnya, karena dia juga masih tanggungjawab bapak, biar dia bekerja
sehabis kuliah saja”. Ucap Bapak tersebut. Lazuardi mulai meninggi tepat seujung mata
tombak, dimana sinar hangat pancaranya dapat dirasakan semua makhluk didalam
kehidupan. Aku yang dari tadi sambil perlahan demi perlahan menghisap asap dari
bakaran tembakau, juga melihat tekad dari Bapak tersebut yang sangat penuh dengan
keikhlasan untuk menguliahkan anaknya. Aku terus menerus memberanikan diri untuk
bertanya kepada Bapak tersebut tentang apa harapanya, hingga ia bersusah payah
untuk menguliahkan anaknya. “Apa harapan Bapak untuk menguliahkan anak Bapak,
sampai-sampai Bapak harus bersusah payah seperti ini?” Aku meneruskan
pertanyaanku. Beliau diam sejenak, aku melihat butir-butir bening yang mulai
mengembun di kelopak matanya, melihat jauh dengan sorot mata tajam. Namun aku
tau, tatapan itu adalah tatapan kosong. Hingga tanpa dia sadari butiran itu mengalir di
kedua pipinya.

“Harapan bapak hanya ingin melihat anak bapak tidak seperti bapak, bapak ingin
derajat anak bapak tidak seperti bapak, Bapak hanya ingin melihat anak bapak tidak
harus bekerja bersusah payah seperti bapak”.

Tak terasa butir air mata ku mulai menetes di jatuh ke pipi, Aku langsung teringat
kepada kedua orang tua ku dirumah, mereka yang telah menyembunyikan kesedihan
demi anaknya, mereka telah menyembunyikan kelelahan demi anaknya, mereka yang
rela memeras keringat dan membanting tulang hanya demi masa depan anaknya. Dan
aku tenggelam dalam tangisku.

Anda mungkin juga menyukai