BK - Terigu - 16 03 2018 SP2KP
BK - Terigu - 16 03 2018 SP2KP
CETAKAN 2016
Penasihat
Oke Nurwan, Dipl., Ing, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan
Pengarah
Indrasari Wisnu Wardhana, S. Kom, M.Si, Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting
Penanggung jawab
Tirta Karma Senjaya S.Si, M.SE, Kasubdit Barang Kebutuhan Pokok Hasil Pertanian dan Peternakan
Penulis
Astri Ridha Yanuarti SP
Mudya Dewi Afsari SE
Narasumber
Dr. Ronnie S Natawidjaja PhD
Bobby Rachmat Saepudin S.Si, MP
Fitri Awaliyah SP, M. EP
Haris F. Harahap SP.,MP.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku “Profil Komoditas Terigu” dapat
disusun dan disajikan sebagai dokumen yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak terkait.
Buku ini merupakan satu dari delapan belas buku profil Komoditas Barang Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting (Beras, Kedelai, Bawang merah, Cabai, Gula, Minyak Goreng, Tepung Terigu,
Daging Sapi, Daging ayam, Telur, Ikan, Pupuk, Benih, Semen, Triplek, Besi beton, Gas 3 kilogram,
dan Baja ringan). Dalam buku ini dimuat informasi tentang perkembangan produksi, distribusi,
dan permintaan komoditas Terigu baik nasional dan dunia, serta analisis Neraca komoditas
(produksi, konsumsi, ekspor dan impor) Terigu untuk memberi penjelasan kondisi ketersediaaan
dan permintaan dengan harapan mampu memberi gambaran lebih mendalam mengenai profil
komoditas terigu saat ini dan ramalan tahun depan (2017).
Buku profil komoditas bahan pokok dan penting bertujuan untuk menyediakan informasi yang
akurat dan reliabel tentang keragaan komoditas Terigu terkini yang mampu memberikan edukasi
kepada masyarakat, serta menjadi salah satu referensi kepada Pimpinan Kementerian Perdagangan
RI maupun stakeholders dalam analisis dan pengembangan kebijakan yang dianggap perlu untuk
menjaga stabilitas harga dan ketersediaan Terigu pada tingkat yang wajar.
Terima kasih kami sampaikan kepada para nara sumber serta pihak terkait lainnya, atas sumbangsih
ide dan kontribusi pemikirannya selama proses penyusunan buku ini.
Jakarta, 2016
TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................................ vi
I PENDAHULUAN........................................................................................................................ 2
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................... 40
LAMPIRAN....................................................................................................................................... 43
Daftar Gambar
Gambar 1. Perkembangan Harga Tepung terigu Nasional................................................................ 7
Gambar 2. Pola Pergerakan Harga Tepung terigu Nasional Tahun 2010-2016............................. 9
Gambar 3. Proyeksi Harga Tepung Terigu Tahun 2017...................................................................... 10
Gambar 4. Disparitas Harga Antar Waktu Tepung terigu Nasional Per Tiga Bulan..................... 11
Gambar 5. Disparitas Harga Tepung terigu Antar Provinsi Nasional Tahun 2015 dan 2016..... 12
Gambar 6. Disparitas Harga Tepung terigu Tahun 2015 dan 2016................................................... 13
Gambar 7. Pola Distirbusi Perdagangan Tepung terigu di Indonesia............................................. 14
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Tepung Terigu Per Kapita Per Kg Per Tahun.................... 19
Gambar 9. Perkembangan Konsumsi Tepung Terigu Nasional........................................................ 19
Gambar 10. Ekspor Tepung Terigu Indonesia........................................................................................ 20
Gambar 11. Impor Tepung Terigu Indonesia.......................................................................................... 21
Gambar 12. Perkembangan Volume Impor Gandum Indonesia........................................................ 22
Gambar 13. Perkembangan Harga Tepung Terigu Dunia.................................................................... 24
Gambar 14. 10 Negara Konsumen Tepung terigu Terbesar Dunia..................................................... 25
Gambar 15. Perkembangan dan Proyeksi Ketersediaan Tepung terigu di Indonesia.................... 32
Gambar 16. Perkembangan dan Proyeksi Kebutuhan Tepung terigu di Indonesia....................... 33
Tepung terigu sebenarnya bukan merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, namun selama
beberapa tahun terakhir perannya semakin penting. Masyarakat Indonesia tidak menanam bahan
baku tepung terigu yaitu gandum, karena kondisi fisik di Indonesia memang tidak cocok untuk
tanaman subtropis tersebut. Perkembangan kebutuhan tepung terigu nasional telah memberikan
perubahan peran dari berbagai kebijakan pemerintah sehingga lambat laun mempengaruhi
terhadap industri tepung terigu itu sendiri.
Komoditas tepung gandum/terigu merupakan komoditas utama yang semakin bersifat strategis dari
tahun ke tahun di Indonesia, dan selama ini industri dalam negeri telah berhasil berperan penting
dalam rangka penyediaan pasokan dalam jumlah yang aman dan bermutu secara berkelanjutan,
pada tingkat harga yang wajar/terjangkau, dan tentunya diharapkan di masa mendatang industri
dalam negeri tetap dapat menjalankan fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, industri dalam negeri
telah melakukan investasi dalam jumlah yang sangat besar, terutama untuk keperluan mengelola
fluktuasi harga domestik tepung gandum dari tahun ke tahun, oleh karena itu tidak dapat dipungkiri
bahwa industri dalam negeri memiliki fungsi yang sangat penting bagi kesinambungan produksi dan
perdagangan tepung gandum/terigu di Indonesia.
Konsumsi tepung terigu di Indonesia terus meningkat sejalan dengan tumbuhnya konsumsi mie
instan, roti, biskuit dan cookies. Hampir 95% makanan berbahan baku tepung terigu sebenarnya
adalah jenis makanan “introduksi”, bukan makanan asli Indonesia. Pola makan bangsa Indonesia
yang terkait dengan terigu (gandum), nampaknya dibentuk oleh kampanye lewat iklan yang sangat
gencar dan oleh penyediaan produk “siap saji secara mudah” di seluruh pelosok negara. Gandum
atau terigu, yang masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an sebagai bantuan pangan secara gratis
lewat program bantuan PL-480, kini telah berubah menjadi kebutuhan pokok “wajib” yang harus
diimpor dari pasar internasional dengan harga mahal.
Profil Komoditas Tepung terigu ini bertujuan untuk memberikan ulasan mengenai keragaan
pasar komoditas tepung terigu nasional diantaranya perkembangan produksi komoditas
tepung terigu, perkembangan harga komoditas tepung terigu, kondisi disparitas tepung terigu,
perkembangan distribusi komoditas tepung terigu, perkembangan konsumsi komoditas tepung
terigu, perkembangan ekspor-impor tepung terigu, analisis kebijakan dan regulasi tepung terigu
nasional, serta proyeksi penawaran dan permintaan tepung terigu yangterdiri dari proyeksi
produksii tepungterigu, proyeksi kebutuhan tepung, dan surplus defisit tepung terigu. Selain itu,
keragaan pasar tepung terigu dunia juga menjadi salah satu topik yang akan dibahas diantaranya
perkembangan produksi komoditas tepung terigu dunia, perkembangan harga komoditas tepung
terigu dunia, perkembangan konsumsi tepung terigu dunia, perkembangan ekspor-impor tepung
terigu dunia.
Sebelum industri tepung gandum/terigu nasional terbentuk, Indonesia telah melakukan importasi
tepung gandum/terigu secara langsung guna memenuhi kebutuhan domestik bagi pembuatan roti,
pasta dan mie. Selama periode 1968/1969 sampai dengan 1972/1973, total importasi tepung gandum/
terigu mencapai 3,3 juta ton, atau ekuivalen dengan 61% pangsa pasar domestik.
Secara historis, industri tepung gandum/terigu di Indonesia diawali dan ditandai dengan
didirikannya Bogasari Flour Mills pada tahun 1971 dengan peresmian pabrik yang pertama di
Tanjung Priok, Jakarta Utara. Setahun kemudian, pada tanggal 10 Juli 1972, pabrik yang kedua di
Tanjung Perak, Surabaya telah dioperasikan. Dalam perjalanannya, pembangunan industri tepung
gandum/terigu nasional memperoleh dukungan dan menerima manfaat dari hasil campur tangan
Pemerintah Indonesia, terutama berupa kolaborasi antara Pemerintah Indonesia c.q BULOG
dengan pihak swasta dibidang produksi dan perdagangan tepung gandum/terigu di Indonesia.
Perubahan fundamental terjadi pada sektor tata niaga pangan pokok tertentu yang sebelumnya
dilaksanakan oleh BULOG, yang diawali dengan penerbitan Keppres RI No. 45 Tahun 1997, dan
memuat pengaturan kembali tentang tugas pokok dan fungsi BULOG, sehingga hanya mengelola tata
niaga komoditi beras dan gula pasir. Selanjutnya, berdasarkan Keppres RI No. 19 tahun 1998, BULOG
hanya melaksanakan tata niaga bagi komoditi beras saja. Sejak saat itu, industri nasional tepung
gandum/terigu sepenuhnya diselenggarakan oleh sektor swasta, dan dalam keadaan yang normal dan
wajar, kebutuhan konsumsi nasional akan tepung gandum/terigu sebagian dipenuhi melalui importasi
tepung gandum/terigu ke wilayah Indonesia, tanpa intervensi pemerintah seperti sebelumnya.
Setelah permasalahan importasi gandum diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta, maka
industri penggilingan gandum nasional berkembang pesat. Perkembangan industri tepung terigu
Indonesia sendiri dipicu karena beberapa faktor antara lain: 1) Peningkatan kesadaran bahwa
tepung adalah makanan yang sehat dan bergizi, 2) Peningkatan konsumsi makanan berbasis terigu,
Setelah itu, industri tepung terigu nasional mengalami perkembangan terus menerus baik dari segi
penambahan pabrik, fasilitas ataupun dari segi kapasitas produksi. Kapasitas produksi pabrik terigu
nasional pada tahun 2007 adalah 15.762 Mton/hari, dengan perincian sebagai berikut: kapasitas
produksi terpasang Bogasari Flour Mills sebesar 11.766 Mton/hari, Berdikari sebesar 2.146 Mton/
hari, Sriboga sebesar 1.110 Mton/hari dan Panganmas sebesar 740 Mton/hari, seperti tertera dalam
tabel 2 :
Asosiasi Pengusaha Terigu Indonesia (Aptindo) mencatat ada tambahan 5 pabrik terigu baru
yang mulai berproduksi di tahun 2014. Pabrik baru tersebut akan menambah kapasitas produksi
sekaligus meningkatkan impor gandum sebagai bahan baku terigu. Pada tahun 2014 produksi
terigu di dalam negeri mencapai 5,4 juta ton per tahun atau setara 7 juta ton gandum per tahun.
Dengan ditambahnya investasi lima perusahaan itu, maka impor gandum akan bertambah menjadi
9,7 juta ton gandum per tahun atau meningkat 38%. Pertumbuhan industri tepung terigu tahun ini
diperkirakan mencapai 6%, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain industri tepung
terigu di Asia (Finance Detik, 2014).
Tabel 3. Pertumbuhan Industri Tepung Terigu Nasional (Pre dan Pasca Deregulasi)
Pre Deregulasi (Era
Pasca Deregulasi
Subject BULOG) Total
1970-1998 1998-2008 2008-2013 2014-2015
Total 5 5+6 = 11 11+12=23 23+6 =29
Lokasi Jakarta (1) Gresik (1) Cilegon (3) Tangerang (1) Jawa :25
Surabaya (1) Tangerang (1) Tangerang (1) Cilegon (2) Luar Jawa : 4
Makasar (1) Sidoarjo (3) Medan (2) Gresik (2) (terpusat di Pulau
Semarang (1) Medan (1) Bekasi (3) Jakarta (2) Jawa)
Cilacap (1) Gresik (1)
Sidoarjo (1)
Mojokerto (1)
Sumber : Overview Terigu Nasiona, Industri Tepung Terigu Nasional, APTINDO.
Berdasarkan data dari APTINDO produsen tepung terigu Indonesia khususnya penggabungan dua
pabrik Bogasari Flour Mill yang ada di Jakarta dan Surabaya merupakan produsen yang memiliki
kapasitas produksi terbesar di dunia. Daya giling gandum menjadi tepung terigu yang dimiliki
oleh dua pabrik milik Bogasari tersebut sebesar 11.766 mt/hari, jauh di atas kemampuan rata-rata
kapasitas produksi 10 produsen terbesar di dunia sebesar 2.426 mt/hari, berikut tabel kapasitas 10
produsen tepung terigu terbesar dunia.
Perkembangan harga tepung terigu nasional dari tahun 2010 hingga tahun 2016 memperlihatkan
kondisi yang cenderung naik (Gambar 1). Dari tahun 2010 hingga tahun 2016 tercatat harganya
naik sebesar 16,2% atau setara dengan mengalami kenaikan sebesar Rp 1.248/kg, dengan rata-rata
kenaikan harga 2,7% per tahun. Pada awal tahun 2010 harga tepung terigu masih berkisar pada
harga Rp 7.691/kg dan pada tahun 2016 harga tepung terigu menjadi Rp 8.939/kg.
Perkembangan harga tepung terigu dari tahun 2010 - 2016 cenderung terus meningkat. Harga rata-
rata tepung terigu pada tahun 2010 berada pada harga Rp 7.564/kg. Pada tahun 2011 harga rata-rata
tepung terigu berkisar Rp 7.590/kg dengan laju peningkatan sebesar 0,4%. Pada tahun 2012 harga
rata-rata tepung terigu berada pada harga Rp 7.641/kg dengan laju peningkatan sebesar 0,7%. Pada
tahun 2013 harga rata-rata tepung terigu berada pada harga Rp 8.037/kg dengan laju peningkatan
sebesar 5,2%. Pada tahun 2014 harga rata-rata tepung terigu berada pada harga Rp 8.732/kg dengan
laju peningkatan sebesar 8,7%. Pada tahun 2015 harga rata-rata tepung terigu berada pada harga
Rp 8.922/kg dengan laju peningkatan sebesar 2,2%. Pada tahun 2016 harga rata-rata tepung terigu
berada pada harga Rp 9.033/kg dengan laju peningkatan sebesar 1,2%.
10,000 5.0%
9,000
4.0%
8,000
7,000 3.0%
6,000 2.0%
5,000
1.0%
4,000
3,000 0.0%
2,000
-1.0%
1,000
0 -2.0%
Jan-10
May-10
Sep-10
Jan-11
May-11
Sep-11
Jan-12
May-12
Sep-12
Jan-13
May-13
Sep-13
Jan-14
May-14
Sep-14
Jan-15
May-15
Sep-15
Jan-16
May-16
Sep-16
Selama tahun 2011 harga tepung terigu naik tipis sebesar 0,7% atau setara dengan kenaikan harga
sebesar Rp 50/kg, dengan rata-rata kenaikan harga 0,03% per bulan. Pada tahun 2011 harga tepung
terigu mengalami kenaikan tertinggi pada Bulan Desember sebesar 0,4%, dan mengalami penurunan
harga terendah pada Bulan April sebesar -0,4%. Fluktuasi yang dialami pada tahun 2011 ini cukup
rendah, atau bisa dikatakan pergerakan harga tepung terigu selama tahun 2011 cukup stabil. Pada
tahun 2011 ini, harga gandum dunia berada pada titik stabil sehingga berkontribusi pada kestabilan
harga tepung terigu di dalam negeri (Industri Kontan, 2011).
Selama tahun 2012 harga tepung terigu mengalami kenaikan cukup tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya, yaitu naik sebesar 3% atau setara dengan kenaikan harga sebesar Rp 231/kg. Pada
tahun 2012 kenaikan harga tepung terigu tertinggi terjadi pada Bulan Desember sebesar 1,5%.
Hal ini terjadi karena pada akhir tahun 2012 beberapa produsen gandum dunia seperti Australia,
Rusia, Argentina dan Kazakhstan sedang mengalami gagal panen karena cuaca yang buruk, sehingga
berimbas pada turunnya produksi gandum dunia yang menyebabkan harga gandum internasional
naik, keadaan tersebut tidak dapat dihindari akan mempengaruhi harga tepung terigu domestik
(Bisnis Liputan 6, 2012). Tidak hanya itu, harga tepung terigu naik di akhir tahun karena bersamaan
dengan saat menghadapi Natal dan Tahun Baru. Sedangkan penurunan terendah terjadi pada Bulan
Oktober sebesar 0,7%.
Selama tahun 2013 harga tepung terigu mengalami kenaikan cukup signifikan, dimana harganya
mengalami kenaikan sebesar 4,8% atau setara dengan kenaikan harga sebesar Rp 381/kg. Pada
tahun 2013 kenaikan harga tepung terigu tertinggi terjadi pada Bulan Juli sebesar 2,6%. Hal ini
terjadi karena pada saat tahun 2013, pemerintah memberlakukan bea masuk tindakan pengamanan
sementara (BMTPS) untuk tepung terigu sebesar 20%, yang berlaku pada 5 Desember 2012, sehingga
impor tepung terigu sangat sedikit masuk pasar Indonesia, akibatnya harga tepung terigu lokal naik
(Kontan, 2013). Sedangkan penurunan harga terendah terjadi pada Bulan Maret sebesar -1,3%.
Selama tahun 2014 harga tepung terigu mengalami kenaikan yang cukup signifikan kembali, dimana
harganya naik sebesar 2,6% atau setara dengan kenaikan harga sebesar Rp 227/kg. Pada tahun
2014, harga tepung terigu mengalami kenaikan harga tertinggi pada Bulan Januari sebesar 4,4%.
Kenaikan harga tepung terigu pada saat awal tahun ini dipicu karena nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar menguat, mengingat bahan baku terigu yaitu gandum merupakan barang impor, maka nilai
tukar menjadi salah satu penentu harganya (Republika, 2014). Sedangkan penurunan terendah
terjadi pada Bulan April sebesar -1%.
9,500
9,000
8,500
8,000
7,500
7,000
6,500
n b ar r ei n
Ju
l g p t ov s
Ja Fe M Ap M Ju Au Se Ok N De
Sedangkan jika melihat pola pergerakan harga tepung terigu setiap tahunnya dapat dibedakan
menjadi beberapa kelompok yang unik. Pola pertama adalah pola pergerakan harga tepung terigu
tahun 2010 dan 2012 dimana terbentuk pola hampir selalu stabil hanya mengalami kenaikan tipis
pada akhir tahun. Pola kedua adalah pergerakan harga tahun 2013 yang mengalami kenaikan
tertinggi sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2016. Pola ketiga adalah pola pergerakan harga tepung
terigu tahun 2014 dan 2016 di mana pola harganya cenderung naik pada Bulan Maret, Juni, Juli dan
akhir tahun. Perbedaan ini terlihat jelas, pada tahun 2010 hingga 2012 harga tepung terigu tidak
dipengaruhi oleh keadaan tertentu termasuk keadaan akan menghadapi Hari Besar Keagamaan
Nasional. Pada saat tahun 2013 harganya naik karena dipengaruhi kondisi harga internasional.
Dan setelah itu tahun 2014 hingga 2016 pola harganya mengikuti kondisi peristiwa Hari Besar
Keagamaan Nasional meskipun pasar merespon dengan kenaikan harga yang hanya sedikit.
Selama tahun 2017 diproyeksikan secara rata-rata harga tepung terigu akan mengalami penurunan
sebesar -0,02% per bulan atau setara dengan rata-rata penurunan harga sebesar Rp 2/kg per bulan.
Sedangkan selama tahun 2016 rata-rata penurunan harganya mencapai -0,10% per bulan atau setara
dengan rata-rata penurunan harga sebesar Rp 9/kg per bulan.
9,020
Perbedaan (%)
9,013 1%
9.0 9,029
8,964 8,956 8,950
8,939 8,943
8,913 8,919 8,971 8,915
8,868 8,914 0%
8,847 8,903 8,895 8,880
8,808
8.8 8,837
-1%
8,711
-3%
8.4
8,401
8,343
12-2016 -4%
12-2014 03-2015 06-2015 09-2015 12-2015 03-2016 06-2016 09-2016 12-2016 03-2017 06-2017 09-2017 12-2017
Bulan-Tahun
Proyeksi perkembangan harga tepung terigu pada tahun 2017 memperlihatkan pola perkembangan
yang cukup stabil. Dimana pada bulan Januari harga tepung terigu akan berada pada tingkat harga
Rp 9.029/kg, harga ini mengalami kenaikan tipis dari bulan sebelumnya sebesar Rp 90/kg (1,0%).
Kenaikan harga pada Bulan Januari ini akan menjadi kenaikan harga tertinggi selama tahun
2017. Kemudian pada Bulan Februari harga tepung terigu akan naik tipis sebesar Rp 1/kg (0,02%)
sehingga harga tepung terigu menjadi Rp 9.031/kg. Beranjak ke Bulan Maret, harga tepung terigu
diproyeksikan akan turun sebanyak Rp 18/kg (-0,2%) sehingga harganya menjadi Rp 9.013/kg. Pada
Bulan April harga tepung terigu akan turun kembali sebesar Rp 57/kg (-0,6%).
Kemudian pada Bulan Mei harga tepung terigu akan turun sebesar Rp 37/kg (0,4%). Setelah itu pada
Bulan Juni harga akan turun kembali sebesar Rp 6/kg (0,1%). Setelah itu pada Bulan Juli hingga
Agustus harga tepung terigu akan mengalami kenaikan mulai dari Rp 37/kg (0,4%) hingga Rp 21/kg
(0,2%). Kemudian pada Bulan September hingga November harga tepung terigu akan mengalami
penurunan berturut-turut dengan tingkat penurunan berkisar -0,2% hingga -0,5% setiap bulannya,
dan harga ini akan naik kembali pada Bulan Desember sebesar 0,4% dari bulan sebelumnya.
Selanjutnya, disparitas harga tepung terigu antar waktu pada triwulan ketiga di tahun 2015 dan
2016 mengalami perbedaan, dimana pada tahun 2015 angka koefisen variasinya turun menjadi
0,17 sedangkan pada tahun 2016 koefisien variasinya naik menjadi 0,56. Angka koefisien variasi ini
merupakan angka tertinggi sepanjang tahun 2015 dan 2016. Kemudian, disparitas harga tepung
terigu antar waktu pada triwulan keempat di tahun 2015 dan 2016 juga mengalami perbedaan,
dimana pada tahun 2015 angka koefisen variasinya naik menjadi 0,48, sedangkan pada tahun 2016
koefisien variasinya menurun menjadi hanya sebesar 0,003. Kecilnya disparitas harga tepung terigu
pada triwulan keempat tahun 2016 disumbang oleh harga rata-rata tepung terigu yang mengalami
penurunan dari bulan Oktober, November dan Desember 2016 masing-masing sebesar Rp 8.997/kg,
Rp 8.970/kg dan Rp8.939/kg. Sedangkan disparitas harga tepung terigu pada triwulan keempat tahun
2015 disumbang oleh harga rata-rata tepung terigu yang mengalami penurunan dari bulan Oktober,
November dan Desember 2015 masing-masing sebesar Rp 8.969/kg, Rp 8.982/kg dan Rp9.050/kg.
0.6
0.5
Koef. Variasi (%)
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
2015 2016
Gambar 4. Disparitas Harga Antar Waktu Tepung terigu Nasional Per Tiga Bulan
Hasil pengolahan data dari data harga harian tepung terigu di 34 provinsi menunjukkan bahwa
disparitas antar provinsi yang tertinggi selama tahun 2015 terjadi pada bulan Mei dengan angka
koefisien variasi sebesar 14,35. Selama bulan Mei 2015 tersebut, harga tepung terigu terendah
terjadi di Kota Mamuju dengan harga Rp 7.000/kg dan harga tepung terigu tertinggi terjadi di Kota
Bulungan dengan harga Rp 12.000/kg. Kemudian, selama tahun 2016 disparitas antar provinsi
yang tertinggi terjadi pada bulan Juli dengan angka koefisien variasi sebesar 15,15. Selama Bulan
Juli 2016 tersebut, harga tepung terigu terendah masih terjadi di Kota Mamuju dengan harga Rp
7.000/kg dan harga tepung terigu tertinggi juga masih terjadi di Kota Bulungan dengan harga Rp
12.000/kg. Perbedaan rentang harga tepung terigu antar provinsi yang sangat kentara dan heterogen
memunculkan nilai koefisien variasi yang tinggi pada bulan-bulan tersebut.
15.50
15.00
14.50
Koef. Variasi (%)
14.00
13.50
13.00
12.50
12.00
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
2015 2016
Gambar 5. Disparitas Harga Tepung terigu Antar Provinsi Nasional Tahun 2015 dan 2016
Sementara itu, disparitas antar provinsi yang terendah selama tahun 2015 terjadi pada bulan
Desember dengan angka koefisien variasi sebesar 13,44. Selama bulan Desember 2015 tersebut,
harga tepung terigu terendah terjadi di kota Bandung dengan harga Rp 7.400/kg dan harga tepung
terigu tertinggi terjadi di kota Bulungan dengan harga Rp 2.000/kg. Kemudian, selama tahun 2016
disparitas antar provinsi yang tertinggi terjadi pada bulan Februari dengan angka koefisien variasi
sebesar 13,34. Selama bulan Februari 2016 tersebut, harga tepung terigu terendah terjadi di Kota
Bandung dengan harga Rp 7.455/kg dan harga tepung terigu tertinggi terjadi di Kota Bulungan
dengan harga Rp12.000/kg. Koefisien variasi pada bulan-bulan tersebut yang terbilang rendah ini
disebabkan harga tepung terigu di sejumlah provinsi relatif lebih homogen sehingga meminimalisasi
perbedaan harga tepung terigu yang mencolok antar provinsi di Indonesia (Gambar 6).
Kota Jayapura
Manokwari Manokwari
Kota Ternate
Kota Ambon Kota Ambon
Mamuju
Kota Gorontalo Kota Gorontalo
Kota Kendari
Kota Makassar Kota Makassar
Kota Palu
Kota Manado Kota Manado
Bulungan
Kota Samarinda Kota Samarinda
Kota Banjarmasin
Kota Palangka Raya Kota Palangka Raya
Produsen tepung terigu mendapat pasokan bahan baku gandum dari beberapa negara penghasil
gandum seperti Australia, Canada, Amerika Serikat, India, dan Rusia. Komoditas tepung terigu
ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap industri makanan seperti mie, biskuit, serta
kegiatan usaha lainnya yang berbasis tepung terigu. Pola distribusi perdagangan tepung terigu di
Indonesia menggunakan hampir seluruh kelembagaan dalam saluran pemasarannya. Pola distribusi
perdagangan terpung terigu Indonesia disajikan pada Gambar 7.
Importir Produsen
15,94%
Distributor
8,63%
Sub-
Distributor
0,05% Sub-Agen
Industri Rumah
Pengolahan Usaha dan Lembaga Tangga 1,94%
4,51% Lainnya Nirlaba 0,33%
0,71% 0,14% 5,95% 0,01%
3,37%
Berdasarkan hasil survei BPS tahun 2014 mengenai Distribusi Perdagangan Komoditas Tepung
terigu Indonesia memperlihatkan bahwa, dari segi peta distribusi nasional, di beberapa provinsi
tertentu, komoditas tepung terigu terdistribusi sampai ke luar provinsi, yang menunjukkan bahwa
Di Pulau Sumatera, yaitu dimulai di Provinsi Aceh diketahui bahwa pasokan tepung terigu sebagian
besar berasal dari Sumatera Utara sebesar 67,52%, sisanya diperoleh dari dalam provinsi sebesar
32,48%. Tepung terigu tersebut selanjutnya dijual seluruhnya ke dalam provinsi Aceh sendiri. Di
Sumatera Utara, mendapatkan pasokan tepung terigu dari dalam provinsi, dan kemudian dijual di
dalam provinsi. Di Sumatera Barat pedagang tepung terigu mendapatkan pasokan tepung terigu
sebesar 75% dari dalam provinsi dan sisanya berasal dari Jawa Tengah sebesar 14,20% serta dari DKI
Jakarta sebesar 10%. Tepung terigu tersebut sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi
Sumatera Barat. Di Riau, pasokan tepung terigu diperoleh dari Provinsi Riau sendiri sebesar 68%,
sisanya berasal dari Jambi, DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Tepung terigu tersebut seluruhnya
dijual di dalam Provinsi Riau. Provinsi Jambi mendapatkan pasokan tepung terigu dalam provinsi
sendiri dan menjualnya untuk kebutuhan di dalam Provinsi Jambi.
Provinsi Sumatera Selatan mendapatkan pasokan tepung terigu dari DKI Jakarta sebesar 68,09%
dan sisanya berasal dari Sumatera Selatan sendiri. Kemudian pasokan tepung terigu tersebut
dijual di dalam provinsi Sumatera Selatan sendiri. Di Provinsi Bengkulu, pasokan tepung terigu
seluruhnya berasal dari dalam provinsi, kemudian tepung terigu tersebut seluruh pasokannya
didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi Bengkulu. Provinsi Lampung mendapatkan
pasokan tepung terigu seluruhnya dari dalam Provinsi Lampung sendiri sebesar 62,45%, dan dari
DKI Jakarta sebesar 37,55%, kemudian tepung terigu tersebut dijual seluruhnya di dalam Provinsi
Lampung sendiri.
Di Provinsi Bangka Belitung, pasokan tepung terigu diperoleh dari DKI Jakarta sebesar 81%,
Sumatera Selatan sebesar 10,53% dan sisanya berasal dari dalam Provinsi Bangka Belitung. Tepung
terigu tersebut kemudian dijual seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan di dalam Bangka Belitung.
Sedangkan di Kepulauan Riau pasokan tepung terigu diperoleh dari dalam wilayahnya sendiri
sebesar 78,59% dan sisanya dipasok dari DKI Jakarta sebesar 21%. Tepung terigu tersebut dijual
seluruhnya untuk kebutuhan di dalam Kepulauan Riau sendiri.
Sementara itu di Pulau Jawa, yaitu di DKI Jakarta, pasokan tepung terigu berasal dari wilayah
sendiri sebesar 67,58% dan sisanya sebesar 31% berasal dari Banten dan Jawa Barat dan Jawa
Timur. Tepung terigu tersebut dipasarkan ke Provinsi DKI Jakarta sebesar 99,74%, dan sisanya
ke Provinsi Banten dan Jawa barat. Di Provinsi Jawa Barat produsen tepung terigu memperoleh
bahan baku tepung terigu (gandum) dari Negara Australia sebesar 44%, Rusia sebesar 26%, USA
sebesar 24% dan sisanya dari Kanada sebesar 6%. Kemudian gandum tersebut diproduksi menjadi
tepung terigu untuk memenuhi kebutuhan wilayah DKI Jakarta sebesar 41,82%, Jawa Barat sebesar
27,27%, Banten sebesar 18,18% dan sisanya Lampung sebesar 12,73%. Di Provinsi Jawa Tengah
pasokan tepung terigu diperoleh dari wilayah Provinsi Jawa Tengah sendiri sebesar 81,12% dan
sisanya dari Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Kemudian tepung terigu tersebut di jual
seluruhnya untuk wilayahnya sendiri. Di Provinsi DI Yogyakarta pasokan tepung terigu diperoleh
dari wilayah DI Yogyakarta sendiri sebesar 64,77% dan sisanya dari wilayah Jawa Tengah sebesar
35,23%. Pasokan tepung terigu tersebut dijual seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan di dalam
DI Yogyakarta sendiri. Di Jawa Timur, bahan baku tepung terigu (gandum) diperoleh dari Negara
Di Kepulauan Bali, NTB dan NTT, untuk Bali sendiri pasokan tepung terigu diperoleh dari Jawa Timur
sebesar 56,68% dan sisanya dari dalam Provinsi Bali sebesar 43,32%. Tepung terigu tersebut dijual
ke dalam Provinsi Bali sebesar 94,87% dan sisanya dijual ke Nusa Tenggara Barat. Di NTB pasokan
tepung terigu diperoleh dari wilayahnya sendiri kemudian dijual seluruhnya untuk kebutuhan di NTB
sendiri. Sedangkan di NTT pasokan tepung terigu seluruhnya diperolah dari NTT sendiri. Selanjutnya
pasokan tepung terigu tersebut dijual seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan NTT sendiri.
Di Pulau Kalimantan, di Kalimantan Barat pasokan tepung terigu seluruhanya diperoleh dari
DKI Jakarata sebesar 55,53% dan sisanya sebesar 44% berasal dari wilayahnya sendiri, kemudian
pasokan tepung terigu tersebut dijual seluruhnya untuk kebutuhan di dalam provinsi sendiri. Di
Kalimantan Tengah, pasokan tepung terigu berasal dari wilayah sendiri sebesar 86% dan sisanya
dari Kalimantan Selatan dan Jawa Timur sebesar 10,50%, kemudian tepung terigu tersebut
seluruhnya dijual untuk kebutuhan Kalimantan Tengah sendiri. Di Kalimantan Selatan pasokan
tepung terigu diperoleh dari wilayahnya sendiri sebesar 56,50%, sisanya didatangkan dari Jawa
Timur sebesar 23,68% dan dari Sulawesi Selatan sebesar 19,82%. Kemudian pasokan tepung terigu
tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan di dalam provinsi sebesar 88,15% dan sisanya dikirim
ke Kalimantan Tengah sebanyak 11,85%. Sedangkan di Kalimantan Timur, pasokan tepung terigu
diperoleh dari wilayahnya sendiri sebesar 93,41% dan sisanya didatangkan dari DKI Jakarta sebesar
6,59%. Pasokan tepung terigu tersebut dijual untuk kebutuhan di dalam provinsi. Di Kalimantan
Utara pasokan tepung terigu diperoleh dari wilayahnya sendiri sebesar 5,57%, dari Sulawesi Selatan
sebesar 11,06% dan dari Malaysia sebesar 9,20%. Kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan di
dalam provinsi sendiri sebesar 93,20% dan sisanya dipasarkan ke Kalimantan Timur sebesar 6,80%.
Di Pulau Sulawesi, pertama di Provinsi Sulawesi Utara seluruh pasokan tepung terigu diperoleh dari
dalam Sulawesi Utara sendiri. Kemudian tepung terigu tersebut dijual seluruhnya untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi tepung terigu di dalam Provinsi Sulawesi Utara sendiri. Di Sulawesi Tengah,
pasokan tepung terigu diperoleh dari Sulawesi Selatan sebesar 98,65% dan sisanya dari wilayah
sendiri. Seluruh pasokan tepung terigu tersebut dijual untuk kebutuhan tepung terigu di dalam
Provinsi Sulawesi Tengah. Di Sulawesi Selatan pasokan tepung terigu seluruhnya diperoleh dari dalam
provinsi dan dijual seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan di dalam Provinsi Sulawesi Selatan.
Sedangkan di Sulawesi Tenggara pasokan tepung terigu diperoleh dari Jawa Timur sebesar 89,22%
dan sebagian kecil berasal dari wilayahnya sendiri sebesar 9,98%. Kemudian tepung terigu tersebut
seluruhnya dijual untuk memenuhi kebutuhan di dalam provinsi sendiri. Di Gorontalo, seluruh
pasokan tepung terigu diperoleh dari Jawa Timur sebesar 89,22%, dari Sulawesi Utara sebesar
0,97% dan sisanya diperoleh wilayahnya sendiri. Kemudian seluruh pasokan tepung terigu tersebut
didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan Gorontalo sendiri. Sedangkan Provinsi Sulawesi Barat
memperoleh sebagian besar pasokan tepung terigu dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan sebesar
80,96% dan sisanya dipenuhi oleh pasokan tepung terigu dari dalam provinsi sebesar 19,04%.
Di Kepulauan Maluku, Provinsi Maluku memperoleh pasokan tepung terigu sebagian besar dari
dalam Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 99,64% dan sisanya diperoleh dari dalam wilayah Jawa
Timur serta dari wilayahnya sendiri. Kemudian seluruh pasokan tersebut didistribusikan untuk
memenuhi kebutuhan lokal di Provinsi Maluku sendiri. Sementara itu, di Provinsi Maluku Utara
memperoleh keseluruhan pasokan tepung terigu dari dalam provinsi sebesar 73,21% dan sisanya
dipenuhi oleh pasokan dari Jawa Timur sebesar 26,79%. Tepung terigu tersebut dijual seluruhnya
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam Provinsi Maluku Utara.
Di Pulau Papua, di Provinsi Papua Barat sebagian besar tepung terigu dipasok dari dalam Provinsi
Jawa Timur sebesar 62,82%, dari DKI Jakarta sebesar 26,91% dan dari dalam wilayah sendiri sebesar
10,27%. Kemudian seluruh pasokan tepung terigu tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi di dalam Provinsi Papua Barat. Sedangkan di Provinsi Papua sebagian besar pasokan
tepung terigu berasal dari Provinsi Jawa Timur sebesar 99,49%, dari sisanya dipenuhi dari dalam
provinsi sebesar 0,51%. Selanjutnya tepung terigu tersebut dijual seluruhnya untuk memenuhi
konsumsi di dalam Provinsi Papua.
Sedangkan jika dilihat dari Margin Perdagangan dan Pengangkutan menurut hasil survei Distribusi
Perdagangan Komoditas Tepung terigu yang dilakukan BPS pada tahun 2014 menunjukkan bahwa,
pedagang besar dan pedagang eceran tepung terigu di Indonesia masing-masing mengambil
keuntungan rata-rata sebesar 5,84% dan 9,06%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara
umum, pedagang besar tepung terigu mendapatkan keuntungan sebesar 5,84% dan pedagang
kecil mendapatkan keuntungan sebesar 9,06% dari nilai pembeliannya. Ditinjau dari keuntungan
pedagang besar, keuntungan yang diperoleh pedagang besar di seluruh provinsi berkisar antara
1,94% – 34,00%. Marjin minimun diperoleh di Provinsi Jawa Barat, sedangkan marjin maksimum
diperoleh di Provinsi Papua. Sementara itu keuntungan yang diperoleh pedagang eceran di seluruh
provinsi berkisar antara 2,66% – 49,27%. Marjin minimum diperoleh di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, sedangkan marjin maksimum diperoleh di Provinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 2003, konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu turun menjadi
14,9 kg/kapita/tahun, artinya terdapat penurunan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar –2,6%
dibandingkan dengan tahun 2002. Pada tahun 2004, konsumsi per kapita masyarakat Indonesia
terhadap tepung terigu naik menjadi 15,3 kg/kapita/tahun, artinya terdapat pertumbuhan tingkat
konsumsi tepung terigu sebesar 2,6% dibandingkan dengan tahun 2003. Pada tahun 2005, konsumsi
per kapita masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu naik menjadi 15,5 kg/kapita/tahun, artinya
terdapat pertumbuhan tingkat konsumsi tepung terigu sebesar 1,3% dibandingkan dengan tahun
2004. Dan pada tahun 2006, konsumsi per kapita masyarakat Indonesia terhadap tepung terigu
naik secara tajam menjadi 17,1 kg/kapita/tahun, artinya terdapat pertumbuhan tingkat konsumsi
tepung terigu sebesar 10,3% dibandingkan dengan tahun 2005.
Menurut survei yang dilakukan CDMI, saat ini kebutuhan tepung terigu di Indonesia, terutama
untuk pangan, masih di kisaran 6,25 juta ton, namun pada 2012-2013 naik menjadi 6,95 juta ton.
Pada 2013-2014 naik menjadi 7,16 juta ton, pada 2014-2015 naik menjadi 7,36 juta ton, dan 2015-
2016 akan tembus menjadi 7,95 juta ton, yang dipenuhi oleh sekitar 22 perusahaan tepung terigu
di Indonesia, namun hanya 14 perusahaan yang rutin melakukan produksi, diantaranya adalah
PT. Bogasari Flour Mills, PT. Eastern Pearl Flour Mills, PT. Sriboga Ratu Raya, PT. Fugui Flour &
Grain Indonesia, PT. Pangan Mas Inti Persada, PT. Purnomo Sejati, PT. Asia Raya, PT. Berkat Indah
Gemilang, PT. Jakaranatama, PT. Pakindo Jaya Perkasa, PT. Pundi Kencana, PT. Lumbung Pangan
Nasional PT. Cerestas Flour Mills dan PT. Halim Sari Gandum.
Saat ini tepung terigu telah digunakan sebagai bahan baku makanan yang digunakan secara luas baik
untuk kepentingan industri dari skala kecil-tradisional, menengah hingga besar-modern, maupun
untuk keperluan rumah tangga. Menurut APTINDO, pengguna tepung terigu nasional terdiri dari 3
(tiga) kategori besar yaitu kategori industri besar dan modern, kategori industri kecil dan menengah
(UKM) dan rumah tangga (household). Pengguna tepung terigu dari kategori industri besar dan
modern terdiri dari 200 perusahaan dengan konsumsi tepung terigu sebesar 32% dari total
konsumsi tepung terigu nasional. Sedangkan pengguna tepung terigu kategori kecil dan menengah
(UKM) terdiri dari 30.000 UKM dengan konsumsi tepung terigu sebesar 63% dari total konsumsi
tepung terigu nasional. Sementara konsumen rumah tangga mengonsumsi tepung terigu sebesar
5% dari total konsumsi tepung terigu nasional. Jenis produk akhir yang menggunakan tepung
terigu sebagai bahan baku adalah mie basah yang menggunakan 30% dari keseluruhan konsumsi
tepung terigu nasional, disusul roti 25%, mie instan sebesar 20%, biskuit dan makanan ringan 15%,
makanan gorengan 5% dan rumah tangga 5%.
2
1.9
Konsumsi tepung Terigu
1.8
Kapital/kg/Tahunan
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Tepung Terigu Per Kapita Per Kg Per Tahun
Di lihat dari konsumsi nasional tepung terigu, pergerakan dan fluktuasinya hampir sama dengan
tingkat konsumsi per kapita per tahun, perbedaannya pada angka konsumsi nasional tepung terigu
ini banyak dipengaruhi oleh jumlah penduduk Indonesia. Secara keseluruhan angka konsumsi
tepung terigu nasional tahun 2006 mencapai 292.330 ton, angka ini naik sebesar 36% sepanjang
tahun 2006-2015, sehingga pada tahun 2015 konsumsi tepung terigu nasional menjadi 396.477 ton.
Pada tahun 2007 konsumsi tepung terigu nasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan
yaitu sebesar 46%. Angka peningkatan konsumsi tepung terigu pada tahun 2007 ini merupakan
peningkatan tertinggi sepanjang tahun 2006-2015. Sedangkan penurunan terendah konsumsi
tepung terigu nasional terjadi pada tahun 2008, dengan angka penurunan konsumsi mencapai -24%
dari tahun sebelumnya (Gambar 9).
450,000
400,000
350,000
(Ton)
300,000
250,000
200,000
150,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
8,000,000
7,000,000
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
(1,000,000)
Angka ekspor tepung terigu Indonesia dari tahun 2009 – 2016 menunjukkan peningkatan yang
sangat signifikan. Tahun 2009 volume ekspor tepung terigu Indonesia masih berkisar 33 ribu ton,
angka ekspor tepung terigu ini naik pesat sebesar 12.411%, sehingga pada tahun 2016 volume ekspor
tepung terigu menjadi 4,1 juta ton. Volume ekspor tepung terigu mengalami kenaikan tertinggi pada
tahun 2012, dimana volume kenaikan ekspor mencapai 18.888% atau setara dengan mengalami
kenaikan sebesar 5,9 juta ton dari tahun sebelumnya. Indonesia mampu mengekspor tepung terigu
dengan volume yang besar karena harga jual tepung terigu di Indonesia merupakan yang termurah
di dunia yaitu dengan harga jual dari pabrik sebesar USD 0,56/kg, Indonesia hanya bersaing ketat
dengan Vietnam yang juga memiliki harga jual tepung terigu di kisaran harga yang sama (Tribun
News, 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun Negara Indonesia bukan Negara produsen
gandum, namun posisi Indonesia dalam peta persaingan industri tepung terigu maupun industri
turunannya sudah sangat diperhitungkan.
Sekalipun kapasitas giling gandum industri nasional lebih dari memadai, namun dalam jumlah
tertentu dan dalam situasi-kondisi tertentu, kebutuhan konsumsi nasional hanya dapat atau
akan lebih baik apabila dipenuhi melalui importasi tepung gandum/terigu ke wilayah Indonesia.
Melihat sisi impor tepung terigu, perkembangan impor tepung terigu Indonesia dari tahun 2009-
2013 menunjukkan perkembangan yang terus menurun, dimana pada tahun 2009 volume impor
tepung terigu berada pada angka 680 ribu ton dengan nilai impor sebesar USD 281.757 ribu, selama
900,000 300,000
800,000
250,000
700,000
600,000 200,000
500,000
150,000
400,000
300,000 100,000
200,000
50,000
100,000
- -
2009 2010 2011 2012 2013
Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) banyak negara–negara
produsen tepung terigu dari luar negeri yang masuk ke Indonesia diantaranya adalah Turki,
India, Sri Lanka, Ukraina dan lainnya. Tiga negara diantaranya, yakni Turki, Sri Lanka dan India
merupakan negara dengan pengekspor tepung terigu terbesar dengan total impor tepung terigu
mencapai 86% dari total impor yang terjadi selama tahun 2013. Pada tahun 2013 Turki mempunyai
proporsi mengekspor tepung terigu ke Indonesia sebanyak 74%, India mengeskpor tepung terigunya
sebanyak 29%, Sri Lanka sebanyak 18% dan sisanya negara lain sebanyak 14%.
Sedangkan untuk impor gandum pada tahun 2016, sebagai bahan baku tepung terigu yang banyak
diolah perusahaan penggilingan gandum, menurut data USDA, Indonesia pada tahun 2012
mengimpor gandum sebanyak 6,46 juta ton, angka ini naik 25% sepanjang 4 tahun terakhir, sehingga
pada tahun 2016 impor gandum Indonesia menjadi 8,1 juta ton. Yang berasal dari beberapa negara
yaitu :
1. Australia 2.066.268 metrik ton senilai US$ 507,77 juta.
2. Argentina 892.418 metrik ton senilai US$ 166,63 juta.
3. Kanada 870.280 metrik ton senilai US$ 232,83 juta.
4. Ukraina 845.579 metrik ton senilai US$ 170,95 juta.
5. Amerika Serikat 405.475 metrik ton senilai US$ 103,64 juta.
6. Perancis 267.773 metrik ton senilai US$ 56,21 juta.
7.5
7
Juta Ton
6.5
5.5
5
2012 2013 2014 2015 2016
Sementara untuk impor gandum juga mengalami kenaikan cukup besar di impor gandum yang
berasal dari perusahaan pakan ternak. Dari data Aptindo, impor gandum untuk kebutuhan pakan
ternak Januari-Juni 2016 sebesar 1.506.293 ton, atau naik 86.957,4% dibandingkan periode yang
sama di 2015 sebesar 1.730 ton. (DetikFinance.com, 2016)
Kondisi itu berlangsung terus menerus hingga saat ini dan menciptakan ketergantungan lewat
impor besar-besaran karena tidak dibarengi dengan pemberdayaan potensi lokal. Atas kondisi itu,
Kementerian Perdagangan telah membatasi izin impor tepung terigu dengan menerapkan sistem
kuota. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar industri tepung terigu lokal tidak terganggu
dengan serbuan produk impor tepung terigu. Pada tanggal 28 April 2014, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/4/2014
tentang Ketentuan Pengenaan Kuota dalam rangka tindakan pengamanan perdagangan terhadap
impor tepung terigu. Peraturan tersebut mengacu pada pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor
34 tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan pengamanan
Perdagangan, terhadap Barang Impor yang mengalami Lonjakan Jumlah Impor, dapat dikenakan
Bea Masuk Tindakan Pengamanan dan/atau Kuota. Kebijakan tersebut menimbang hasil
penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) yang membuktikan adanya
kerugian serius yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat lonjakan impor gandum
dan merekomendasikan untuk dikenakan tindakan pengamanan perdagangan berupa bea masuk
tindakan pengamanan atau kuota. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa kuota terhadap gandum
Negara lain dalan hal ini meliputi seluruh negara maju yang menjadi anggota Worl Trade
Organization (WTO) dan Negara berkembang yang jumlah ekspor gandumnya ke Indonesia di
atas 3% berdasarkan pangsa impor tahun 2011. Kebijakan kuota yang ditetapkan oleh Kemendag
tersebut merupakan pembatasan yang sifatnya non barrier tariffs, hal tersebut bisa dilakukan
dengan beberapa tujuan, seperti melindungi produsen lokal dari tekanan produk-produk asing
sehingga mereka bisa tetap berproduksi dan mengurangi konsumsi suatu produk di pasar supaya
produk substitusinya masih laku di pasaran
Kebijakan yang dilakukan pemerintah ini bertujuan untuk mengurangi penawaran di dalam pasar
dalam negeri, rekayasa ini akan menyebabkan kurva penawaran bergeser kearah negatif. Dalam
kasus produk tepung gandum ini pemerintah memiliki kepentingan untuk menjaga konsumsi
gandum supaya tidak melonjak, hal ini karena gandum sulit dikembangkan di Indonesia sehingga
hampir seluruh permintaan dipenuhi dari impor. Pemerintah perlu menjaga produk gandum
supaya tetap elastis, dengan kata lain masyarakat tidak boleh tergantung dengan produk ini.
Ketergantungan terhadap tepung gandum bisa diartikan sebagai ketergantungan terhadap impor.
Hal tersebut selain merugikan neraca perdagangan juga akan mengganggu ketahanan pangan kita.
Hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga elastisitas produk gandum supaya menjaga
jumlah atau volume produk yang beredar di pasar dan mengembangkan produk-produk substitusi.
Produksi tepung terigu tahun 2016 dan 2017 diproyeksikan sebesar 4.855.261 ton meningkat 0,55%
dari tahun 2015, sedangkan produksi tepung terigu tahun 2017 dan 2017 diproyeksikan sebesar
4.881.916 ton meningkat 0,55% dari angka proyeksi tahun 2016. Sementara itu, impor tepung terigu
pada tahun 2016 dan 2017 diproyeksikan sebesar 223.000 ton. Dengan demikian, ketersediaan
tepung terigu nasional pada tahun 2016 dan 2017 berturut-turut sebesar 5.078.261 tondan 5.104.916
ton.
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Berdasarkan Tabel 7, jumlah konsumsi tepung terigu nasional diproyeksikan akan mencapai 415.739
ton pada tahun 2016 atau meningkat 4,85% dibandingkan tahun 2015 dan diperkirakan pada tahun
2017 akan meningkat 2,99% dari angka proyeksi tahun 2016 menjadi 428.192 ton. Sedangkan ekspor
tepung terigu pada tahun 2016 diproyeksikan akan turun 0,53% dari tahun sebelumnya menjadi
sebesar 57.523 ton dan pada 2017 akan menurun lagi 0,52% dari angka proyeksi 2016 menjadi sebesar
55.330 ton. Dengan demikian, kebutuhan tepung terigu tahun 2016 diproyeksikan akan naik 3,74%
dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 473.262 ton. Kemudian, pada tahun 2017 diperkirakan akan
meningkat lagi 2,17% dari nilai proyeksi tahun 2016 menjadi sebesar 483.522 ton.
6,000,000
5,000,000
4,000,000
3,000,000
2,000,000
1,000,000
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Luas panen gandum dunia pada tahun 2014 mencapai 246,620 juta ha, terluas di antara tanaman
biji-bijian lainnya. Negara-negara wilayah tropikal Asia yang tidak menanam gandum antara lain
Indonesia, Filipina, Malaysia, Myanmar, Vietnam, dan Kamboja, yang mengindikasikan bahwa
gandum memang bukan tanaman dataran rendah tropis. Produktivitas gandum di dunia sangat
beragam, dari 0,97 t/ha di Tanzania, hingga 9,17 t/ha di Netherlands, 9,41 t/ha di Belgia. Negara
produsen gandum tradisional, produktivitas termasuk rendah, seperti Pakistan (2,82 t/ha), Iran
(1,46 t/ha), India (3,3 t/ha), Federasi Rusia (2,5 t/ha), Amerika Serikat (2,94 t/ha), Argentina (2,8
t/ha), Kanada (3,1 t/ha), dan Australia (2,0 t/ha). Di antara faktor pembatas produksi, cekaman
kekeringan merupakan penyebab yang sering terjadi (Carver, 2009).
Produksi gandum dunia setiap tahun mencapai 800 juta ton hingga 855 juta ton (FAO 2015).
Faktor penentu keberhasilan produksi gandum adalah kesuburan tanah, kelembaban tanah, dan
tidak adanya suhu ekstrim tinggi. Kekeringan dan suhu tinggi merupakan faktor penyebab utama
turunnya produksi gandum (Carver, 2009). Terdapatnya stok produk gandum dari panen tahun
sebelumnya dan adanya perbedaan musim panen antara belahan bumi bagian utara dan bagian
selatan, mengakibatkan pasokan gandum dunia relatif stabil sekitar 800 juta ton, dan 100 juta ton
diantaranya masuk ke pasar dunia (McFall and Fowler, 2009).
Wilayah produksi gandum di dunia sangat beragam karakteristik agroekologinya, terutama dari
aspek tanah, curah hujan, pola tanam, faktor biotik, dan sumber air pengairan, sehingga wilayah
produksi gandum merupakan “mega lingkungan tumbuh” (Reynold et al. 2006). Walaupun memiliki
adaptasi yang cukup luas, namun pada dasarnya gandum adalah tanaman subtropika beriklim agak
sejuk di atas garis lintang 23°LU/LS, (dengan suhu kurang dari 30°C), temperatur minimum antara
10°-20° (Metcalfe and Elkins 1980, Carver 2009).
Di dataran Gangga India, sentra produksi gandum memperoleh curah hujan antara 500 mm hingga
1.800 mm per tahun (Gupta et al. 2003). Corak iklim wilayah penghasil gandum di India adalah
subtropis atau temperate, dengan musim panas yang basah, dan tidak terlalu panas, diikuti oleh
musim dingin yang kering sejuk. Wilayah dengan corak iklim demikian membentang di India
bagian utara dan wilayah ini disebut sebagai Indo Gangetic Plain (IGP), mencakup dataran Indus
di Pakistan, dataran Indus India, bagian hulu Gangga, bagian tengah Gangga, dan bagian bawah
dataran Gangga, Nepal, dan Bangladesh, mencakup areal seluas 13,5 juta ha (Ladha 2000).
Masa kritis pertumbuhan tanaman gandum terhadap kekurangan air adalah pada stadia
pembentukan pollen, penyerbukan, dan pengisian biji (Passioura 2002). Namun pengaruh
kekurangan air terbesar terhadap penurunan hasil biji adalah pada fase pembungaan. Dampak
nyata cekaman kekeringan adalah pada penurunan bobot biji, akibat penurunan laju fotosintesis
dan pengurangan luas daun. Kelembaban tanah menentukan evapotranspirasi (ET). Di wilayah
yang tanamannya kekurangan air, bobot total biomas dan hasil biji berkaitan erat dengan total ET
tanaman (French and Schultz 1984). Dengan asumsi umum indeks panen air terbatas (water limited
water index) = 0,40, maka nilai 22 kg/ ha/mm merupakan batas maksimum hasil biji gandum pada
lahan tadah hujan yang cenderung kekurangan air.
Di wilayah tropis Indonesia, pembatas hasil gandum yang utama adalah suhu dan kelembaban udara
yang tinggi. Nampaknya suhu harian di wilayah tropis Indonesia melampaui batas suhu maksimum
yang dapat ditoleransi oleh tanaman gandum. Pada wilayah yang suhunya memenuhi persyaratan
tumbuh tanaman gandum, seperti di dataran tinggi lebih 900 m di atas permukaan laut, kelembaban
udara yang tinggi (di atas 90%) sering memicu berkembangnya penyakit daun, sehingga kurang
sesuai untuk budi daya gandum.
Di Tiongkok, pola tanam tahunan padi-gandum dipraktekkan luas di lembah sungai Yangtse, pada
27-350 LU (Zheng 2000). Wilayah tersebut memiliki curah hujan 650-1.400 mm, dengan total
penyinaran matahari 1.400-2.000 jam per tahun. Hasil gandum pada pola tanam rotasi padi-gandum
2,1-3,2 ton/ha biji kering, sedangkan hasil padi mencapai 6-8 ton/ha gabah.
Di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan Amerika Selatan, gandum ditanam pada wilayah di
atas garis lintang 23°LU atau LS yang merupakan daerah subtropis (Carver 2009). Pada waktu tanam,
kelembaban tanah cukup untuk menjadikan benih berkecambah, tetapi suhu udara masih dingin,
10-20° C. Tanaman gandum pada fase awal vegetatif tumbuh lambat dan mengakumulasi biomassa
Cekaman kekeringan berpengaruh negatif terhadap hasil biji, terutama apabila terjadi pada periode
kritis pertumbuhan vegetatif hingga saat pembentukan biji, atau dari pematangan pollen hingga
pembentukan biji (Passioura 2002). Diperkirakan setiap tahun terdapat sekitar 65 juta ha tanaman
gandum yang mengalami cekaman kekeringan, di beberapa wilayah kekeringan menurunkan
produksi hingga 50% (Rebertzke et al. 2009). Oleh karena itu, di negara-negara yang pertaniannya
telah maju, pengairan tanaman gandum menjadi semakin populer, terutama di sentra produksi
yang cenderung kekurangan kelembaban tanah.
Gandum dalam sistem usahatani ditanam dalam berbagai skala usaha, oleh petani skala kecil (1 ha
per keluarga tani), hingga ribuan ha per petani, seperti di Australia, Amerika Serikat dan Kanada.
Petani gandum skala kecil secara keseluruhan, usahatani gandum membentuk agregasi areal
panen yang cukup luas, sehingga memungkinkan berdirinya pabrik pengolahan (grain-milling). Di
Asia, gandum ditanam di wilayah subtropis di Syria, Turki, Iran, Afganistan, Irak, Pakistan, India,
Bangladesh, dan Tiongkok. Dataran sabuk gandum (wheat belt plain) di Asia yang terluas terletak di
dataran Gangga India (Indo-Gangetic Plain), mencakup wilayah India, Pakistan, Bangladesh, Nepal,
dan di Tiongkok meliputi areal 24 juta ha (Ladha et al. 2003). Di wilayah produksi gandum yang
sangat luas tersebut, tipe iklimnya adalah subtropis, dengan karakteristik musim dingin yang kering
dan musim panas yang sejuk, dibarengi dengan jatuhnya hujan pada awal pertumbuhan tanaman
gandum dan kering pada akhir musim panas (Ladha et al. 2003). Di Asia selatan, usahatani gandum
mengokupasi lahan pertanian subur seluas 13,5 juta ha, tersebar di India 10 juta ha, Pakistan 2,2
juta ha, Bangladesh 0,8 juta ha, Nepal 0,5 juta ha. Posisi usahatani gandum pada wilayah tersebut
sangat stabil, karena gandum sebagai tanaman utama dalam pola rotasi satu tahun padi–gandum.
Di Tiongkok, pola rotasi padi-gandum (dalam waktu satu tahun) juga umum dipraktekkan (Zheng
2000). Demikian juga di Bangladesh, Pakistan, dan Nepal.
Di sentra produksi gandum Asia tersebut, faktor iklim terutama suhu, curah hujan, dan kelembaban
udara sangat sesuai untuk penerapan pola rotasi padi gandum. Awal pertumbuhan tanaman
gandum terjadi pada kondisi suhu yang sejuk di bawah 20°C, diikuti suhu yang mulai memanas pada
stadia pengisian biji hingga panen, dan kering pada masa pemasakan biji hingga panen (Timsina
and Connor 2001). Kondisi iklim yang demikian tidak terdapat di sebagian besar wilayah lahan
pertanian di Indonesia, sehingga rotasi padi-gandum nampaknya sulit diterapkan di Indonesia.
10,000 35.0%
9,000 30.0%
8,000 25.0%
20.0%
7,000
15.0%
6,000
10.0%
5,000
5.0%
4,000
0.0%
3,000 -50.0%
2,000 -10.0%
1,000 -15.0%
0 -20.0%
Feb-12
Apr-12
Jun-12
Aug-12
Oct-12
Dec-12
Feb-13
Apr-13
Jun-13
Aug-13
Oct-13
Dec-13
Feb-14
Apr-14
Jun-14
Aug-14
Oct-14
Dec-14
Feb-15
Apr-15
Jun-15
Aug-15
Oct-15
Dec-15
Feb-16
Apr-16
Jun-16
Aug-16
Sumber: SP2KP Kemendag (diolah)
Meskipun secara keseluruhan harga internasional dari tepung terigu menurun, tetapi dalam setiap
tahunnya mengalami beberapa lonjakan naik dan turun. Selama tahun 2012 harga tepung terigu
sempat mengalami kenaikan sebesar 26% atau setara dengan kenaikan harga US$ 170,8/Bushel,
hal ini terjadi karena melonjaknya harga gandum dunia yang berperan sebagai bahan baku dari
tepung terigu sendiri. Melonjaknya harga gandum dipicu karena adanya kekeringan yang melanda
negara produksi gandum seperti Amerika Serikat, Rusia, Argentina, Australia dan beberapa negara
produksi gandum lainnya selama tahun 2012. Sehingga produksi gandum menurun dan harganya
meningkat.
Selama tahun 2013 harga tepung terigu mulai mengalami penurunan sebesar -18% atau setara dengan
penurunan harga sebesar US$ 137,66/bushel. Hal ini terjadi karena pasokan gandum dunia meningkat
dengan adanya pertambahan hasil produksi gandum dari Australia. Selama tahun 2014 harga tepung
terigu naik kembali, namun dengan tingkat kenaikan yang rendah yaitu sebesar 5% atau US$ 29,9/
bushel, peningkatan harga ini terjadi karena meningkatnya kekhawatiran akan cuaca, permintaan
impor di Tiongkok dan adanya ketegangan politik di Ukraina yang merupakan “wadah roti” Eropa
Timur dan berperan sebagai eksportir terbesar gandum keenam dunia (Tribun News, 2014).
Selama tahun 2015 harga tepung terigu internasional turun kembali sebesar -12% atau setara dengan
penurunan harga US$ 67,7/bushel. Hal ini dipicu karena efek penurunan harga dari minyak bumi,
harga minyak bumi yang menurun berkontribusi kepada melimpahnya pasokan pangan global pada
tahun 2014, dan menjadi faktor pendorong menurunnya harga gandum internasional pada tahun
2015. Pada tahun 2015 ini sektor pertanian dan pangan dinilai terus mendapatkan manfaat dari
beban biaya pupuk, BBM, transportasi yang semakin murah karena penurunan harga minyak pada
tahun sebelumnya (Antara News, 2015).
Sementara masyarakat Australia sebagai salah satu negara penghasil gandum terbesar di dunia
mengonsumsi rata-rata 121 kg/kapita/tahun. Perbedaan tingkat konsumsi antara masyarakat
Indonesia dengan masyarakat Asia lainnya disebabkan oleh tingkat pendapatan dan pola konsumsi
yang berbeda. Misalnya tingkat pendapatan per kapita masyarakat Jepang yang sangat tinggi,
memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kombinasi konsumsi karbohidrat nasi dan roti
setiap harinya.
35.0%
30.0% 29.4%
25.0%
20.0% 17.9%
16.2%
15.0% 13.4%
10.0%
5.4% 4.9%
5.0% 3.4% 2.7% 2.6% 2.5%
1.6%
0.0%
n
EU
ok
US
an
ir
ki
a
in
di
si
ny
Ira
es
r
gk
st
Tu
Ru
In
ra
in
M
ki
on
Uk
la
Pa
Ti
a
ar
eg
N
Jika dilihat dari segi total konsumsi tepung terigu dunia, menurut data dari indexmundi.com pada
tahun 2016 total konsumsi tepung terigu dunia mencapai 720.087 ribu metrik ton (Gambar 16).
Negara konsumen tertinggi tepung terigu dunia pada tahun 2016 adalah Negara Uni Eropa dengan
persentase sebesar 17,87% dari total seluruh konsumsi tepung terigu dunia atau setara dengan
117.000 metrik ton. Negara kedua konsumen tepung terigu terbesar adalah Negara Tiongkok dengan
persentase sebesar 16,25% dari total seluruh konsumsi tepung terigu dunia, atau setara dengan
angka konsumsi tepung terigu sebesar 117.000 ribu metrik ton. Ketiga adalah negara India dengan
persentase 13,35% atau setara dengan konsumsi tepung terigu sebesar 96.140 metrik ton. Keempat
adalah Rusia dengan persentase konsumsi tepung terigu sebesar 5,42%, Kelima adalah Amerika
serikat dengan persentase konsumsi tepung terigu sebesar 4,88%.
Negara pengekspor utama gandum pada tahun 2009 adalah Amerika Serikat, Argentina, Australia,
Kanada dan Uni Eropa. Amerika Serikat merupakan pengekspor gandum terbesar, sekitar 17%
gandum Amerika di ekspor untuk memenuhi kebutuhan dunia, di urutan kedua adalah Uni Eropa,
Australia dan Kanada yang mengekspor hasil gandumnya masing-masing sebesar 9% untuk pasar
dunia.
Namun pada tahun 2016 kini keadaan pasokan ekspor gandum dunia relatif banyak dipasok oleh
Rusia, yang merupakan kompetitor utama dari Amerika dan Uni Eropa. Selama dua bulan terakhir,
Rusia telah mengekspor gandum ke Meksiko, negara yang sebelumnya sangat bergantung pada
gandum AS. Selain itu, Rusia juga telah menandatangani kesepakatan ekspor gandum dengan Aljazair
dan Maroko, yang sebelumnya bergantung pada gandum dari Perancis. Menurut Departemen
Pertanian AS, ekspor gandum Rusia diperkirakan akan mencapai 30 juta ton yang dapat menjadikan
Rusia sebagai eksportir gandum terbesar di dunia. Angka ini melebihi ekspor gandum Uni Eropa
(UE) yang hanya sebesar 27 juta ton, sementara ekspor gandum AS periode 2016/2017 diperkirakan
hanya sebesar 25,5 juta ton. Pada Juli lalu, Rusia mengekspor sekitar 2,5 juta ton gandum, dan pada
Agustus ini diperkirakan pada sekitar 3 – 3,2 juta ton. Menurut perkiraan BMI Research, Rusia,
Ukraina, dan Kazakhstan akan menjadi negara pemasok gandum utama di Timur Tengah dan Afrika
Utara (RBTH Indonesia, 2016).
Sedangkan di sisi impor berdasarkan data USDA tahun 2012, memperlihatkan bahwa importir
gandum terbesar dunia pada urutan pertama adalah Mesir dengan kemampuan menyerap pasar
impor gandum dunia mencapai 10 juta ton dan meningkat pada tahun 2016 menjadi 11,5 juta ton,
yang kedua adalah Indonesia dengan penyerapan impor gandum dunia sebesar 6,7 juta ton dan
meningkat pada tahun 2016 menjadi 8,1 juta ton. Ketiga adalah Brazil dengan jumlah impor gandum
sebesar 7 juta ton. Dan lainnya adalah Jepang, Uni Eropa, Aljazair, Korea Selatan, Mexico, Nigeria,
Irak, Turki dan Filipina.
4.1 Kesimpulan
Komoditas tepung gandum/terigu merupakan komoditas utama yang semakin bersifat strategis dari
tahun ke tahun di Indonesia, dan selama ini Industri dalam negeri telah berhasil berperan penting
dalam rangka penyediaan pasokan dalam jumlah yang aman dan bermutu secara berkelanjutan,
pada tingkat harga yang wajar/terjangkau. Pada tahun 2015 kebutuhan konsumsi nasional akan
dipenuhi oleh 29 Flour Mills, dengan perincian sebanyak 25 Flour Mills berada di Pulau Jawa, dan
sisanya 4 Flour Mills berada diluar Pulau Jawa. Total kapasitas giling gandum sebesar ke 29 Flour
Mills tersebut ±10,3 juta MT/thn, dengan dukungan pemenuhan ketersediaan tepung terigu yang
berkelanjutan.
Harga tepung terigu nasional bergerak fluktuatif cenderung naik tipis, dari tahun 2010 - 2016 harga
tepung terigu mengalami kenaikan 16,2%. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga tepung
Di sisi konsumsi, angka konsumsi masyarakat Indonesia untuk tepung terigu beserta produk
turunannya pada tahun 2006 adalah sebanyak 17,1 kg/kapita/tahun, sedangkan jika dilihat angka
konsumsi tepung terigu yang belum diolah pada tahun 2015 angka konsumsinya adalah sebanyak
1,5 kg/kapita/tahun. Secara nasional tingkat konsumsi tepung terigu masyarakat Indonesia pada
tahun 2015 dalam bentuk produk olahan mencapai 7,95 juta ton, dan tingkat konsumsi tepung terigu
dalam bentuk belum diolah mencapai 396.477 ton.
Hasil analisis proyeksi untuk tahun 2017 ketersediaan tepung terigu dari hasil produksi penggilingan
dalam negeri adalah sebanyak 4.881.916 ton dan impor sebanyak 223.000 ton, sehingga total
ketersediaan tepung terigu sebanyak 5.104.916 ton. Proyeksi permintaan tepung terigu pada
tahun 2017 menunjukkan angka 428.192 ton dan angka ekspor sebanyak 55.330 ton. Maka setelah
dianalisis, diproyeksikan tepung terigu dari angka produksi, permintaan dan ekspor impor, pada
tahun 2017 akan mengalami surplus.
4.2 Saran
Kebutuhan tepung terigu nasional sudah berada pada taraf yang tinggi, Indonesia pada tahun 2016
berada pada peringkat 16 diantara negara konsumen tepung terigu dunia, dengan volume konsumsi
sebesar 9.300 ribu metrik ton. Angka impornya pun cukup besar yaitu 8,1 juta ton dan menempati
sebagai negara kedua pengimpor bahan baku tepung terigu (gandum) terbesar dunia. Meskipun
sudah didukung dengan tingkat fasilitas pabrikasi penggilingan tepung terigu yang memadai tetapi
satu sisi lain seharusnya peningkatan konsumsi tepung terigu yang terlampau banyak harus di
waspadai, mengingat wilayah Indonesia tidak diberi kemampuan untuk mendukung pertanian
gandum. Ketergantungan kebutuhan gandum yang hampir sepenuhnya impor akan mengakibatkan
hal yang tidak baik jika tidak dikendalikan.
Disarankan pemerintah menjaga dan mengendalikan jumlah atau volume impor agar tidak terlalu
berlebihan, dan mengembangkan produk-produk tepung-tepungan lainnya yang bersumber dari
hasil pertanian dalam negeri seperti jagung, singkong ataupun sorgum. Sehingga meminimalisir
ketergantungan terhadap gandum impor.
Antara News. 2015. Bank Dunia: Harga Pangan Global Menurun. http://www.antaranews.com/
berita/504758/bank-dunia-harga-pangan-global-menurun.
Badan Pusat Statistik. 2014. Distribusi Perdagangan Komoditi Tepung Terigu Indonesia 2014. www.
bps.go.id
Bisnis Liputan 6. 2012. Awas! Harga Terigu Naik Karena Produksi Gandum Dunia Anjlok. http://
bisnis.liputan6.com/read/467105/awas-harga-terigu-naik-karena-produksi-gandum-
dunia-anjlok
Byrlee, D. and M. Morris. 1993. Research for marginal environment. We are underinvestment. Food
Policy Res. Vol. 18: 381-393.
Carver, B.F. 2009. Wheat, Science and Trade. Wily-Blackwell Publication, Ames, Iowa, USA. p. 569.
Detik Finance. 2016. RI Impor Tepung Terigu dari Turki Hingga Singapura. http://finance.detik.
com/industri/3300037/ri-impor-tepung-terigu-dari-turki-hingga-singapura. (Online).
Detik Finance. 2016. RI Rajin Eskpor Terigu Ke Filipina hingga Singapura. http://finance.detik.com/
industri/3173704/ri-rajin-ekspor-terigu-ke-filipina-hingga-singapura.
Gupta (eds.). Soil and crop management practices for enhanced productivity ofrice-wheat cropping
system in Tiongkok. RWC Paper Series No. 9. Wheat Consortium mfor the IGP, New
Delhi, India.
Industri Kontan. 2011. Harga Gandum Stabil, Rata-rata Harga Tepung terigu di September Turun
Tipis. http://industri.kontan.co.id/news/harga-gandum-stabil-rata-rata-harga-tepung-
terigu-di-september-turun-tipis-1
Kontan. 2013. Harga Gandum Turun, Harga Tepung Terigu Tak Ikut Menyusut. http://industri.
kontan.co.id/news/harga-gandum-turun-harga-terigu-tak-ikut-menyusut.
Ladha, J.K., D. Dawe, and P.R. Hobbs. 2003. How extensive are yield declines in long term rice-wheat
experiment in Asia? Field Crop Res. 21: 259-264.
McFall, K.L. and M.E. Fowler. 2009. Overview of wheat classification and trade. p. 439-454. In B.F.
Carver (ed.): Wheat, Scince and trade. Willy – Black Well Pub. Ames,Iowa, USA.
Metcalfe, D.S. and D.M. Elkins. 1980. Crop Production. Principle and Practices. Fourth Ed.MacMillan
Pub.Co. New York p.774.
Passioura, J.B. 2002. Environmental biology and Wheat Crops Improvement. Funct. Plant Biol. No.
29: 537-546.
Rebetzke, G.j., S.C. Chapman, C.L. McIntyre, R.A. Richard, A. G. Condor, M. Watt, andA.F. van
Herwarden. 2009. Grain yield improvement in water-limited environments. p. 215-249.
Dalam B.F. Carver (ed). Wheat Science and Trade. Wiley-Blackwell, John Wiley and
Sons. Pub. Ames, Iowa, USA.
Timsina J. and D. J., Connor. 2001. Productivity and management of rice-wheat cropping systems.
Issues and Challenges. Field Crops Res. 69: 93-132.
Tribun News. 2014. Harga Pangan Dunia Melonjak pada Kuartal I 2014. http://www.tribunnews.
com/internasional/2014/05/31/harga-pangan-dunia-melonjak-pada-kuartal-i-2014.
Tribun News. 2014. Aptindo: Harga Jual Tepung Terigu Indonesia Termurah Di Dunia. http://www.
tribunnews.com/bisnis/2014/07/25/aptindo-harga-jual-tepung-terigu-indonesia-
termurah-di-dunia.
Zheng, J. 2000. Rice-wheat cropping system in Tiongkok. p. 1-10. In: P.R. Hobbs and R.K.