Anda di halaman 1dari 5

KODE/NAMA MK : HKUM4408 HUKUM ISLAM DAN ACARA PERADILAN AGAMA

1. Kasus
a. Diketahui dalam kasus disebutkan bahwa pernikahan I Made Gunawan dan istirnya
adalah pernikahan siri tidak sah secara hukum atau tidak sesuai undang-undang..
Dalam perceraian kawin siri ini salah satu akibat hukum dengan tidak dicatatkannya
perkawinan adalah tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak
istri dan anak-anak hasil dari perkawinan siri. Begitu juga untuk melakukan gugatan
cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan
atas hak-hak anak dan istri. Karena perkawinan siri tidak diakui secara hukum, berarti
harta yang diperoleh dalam perkawinan siri itu adalah tidak termasuk harta bersama
yang dimaksud peraturan perundang-undangan, karena secara hukum tidak pernah
ada perkawinan di antara pasangan tersebut. I Made telah mewakafkan 1/3 bagian
harta milik bersama, diasumsikan bahwa 1/3 harta tersebut milik I Made yang
merupakan seorang abdi negara. Perbuatan mewakafkan sebagian hartanya sudah
memenuhi unsur-unsur wakaf. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang tentunya
memiliki unsur-unsur dan dasar hukum dalam menjalankannya. Wakaf adalah
perbuatan hukum wakif (orang wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian hartanya baik secara permanen atau untuk jangka waktu tertentu. Menurut
analisis saya, bahwa wakaf yang telah dilakukan I Made sesuai dengan prosedur dan
telah memenuhi unsur wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Wakaf yang berbunyi : wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai
berikut :
a) Wakif;
b) Nazhir;
c) Harta benda wakaf;
d) Ikrar wakaf;
e) Peruntukan harta benda wakaf;
f) Angka waktu wakaf
b. Keabsahan Wakaf yang telah diberikan kepada wakif
Membicarakan keabsahan wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah atau tidaknya)
sebuah praktik wakaf secara hukum. Untuk menentukan keabsahannya, orang yang
mewakafkan (wakif) harus memenuhi syarat-syarat atau unsur dalam wakaf yang
terdiri dari wakif, peruntukan wakaf, harta yang diwakafkan, ikrar wakaf. Dalam
kasus tersebut, merujuk pendapat ulama ata perspektif fiqh, maka sah tidaknya
praktik wakaf ditentukan terkumpulnya rukun dan syarat wakaf itu sndiri. Seperti
yang telah disebutkan di atas, rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi
adalah orang yang mewakafkan, ujuan diwakafkan, barang wakafan, dan ikrar wakaf.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu yaitu ikrar
wakaf. Ikrar disini adalah lafaz-lafaz yang menunjukan kepada makna wakaf atau
pelafalan yang menunjukan makna wakaf. Dalam kasus tersebut, wakifnya yaitu I
made gunawan, yang tujuan wakafnya untuk pembangunan rumah ibadah. Apabila I
made sudah melakukan ikrar secara lisan maupun tulisan, maka keabsahan wakaf
yang dilakukan oleh I made gunawan sah menurut Fiqh karena rukun dan syaratnya
telah terpenuhi.
c. Wakif adalah orang yang berwakaf atau mengeluarkan sebagaian atas hartanya.
Seorang wakif haru memenuhi persyaratan agar harta yang diwakafkan sah menurut
hukum syariah. Dalam kasus tersebut, I made gunawan sebagai wakif yang
merupakan seorang abdi negara sudah memenuhi syarat sebagai seorang wakif.
- Merdeka, Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) dikatakan
tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan
hak milik itu kepada orang lain.
- Berakal sehat, Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab
ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap dalam melakukan akad serta
tindakan lainnya.
- Dewasa (baligh), wakif adalah Ia harus dianggap dewasa menurut Undang-
Undang yang berlaku di negaranya.
- Wakif tidak berada di bawah pengampuan, atau di bawah sokongan pihak lain.
2. Kasus
a. Proses penyelesaian sengketa yang ditempuh pihak perbankan
Sengketa di bidang perbankan pada dasarnya sudah lazim dan lumrah terjadi dalam
bidang bisnis hingga menuntut kita untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut
mengenai upaya penyelesian sengketa yang kerap terjadi antara bank dengan
nasabahnya. Menurut analisis saya, Penyelesaian sengketa yang ditempuh Perbankan
Syariah secara litigasi menjadi kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat
dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kewenangan mutlak bagi
suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, namun secara non litigasi pihak
herwells dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian sengketa (settlement
dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan, seperti
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang putusannya
bersifat final dan binding. Proses penyelesaian sengketa secara ligitasi dipengadilan
ini ditempuh pihak bank karena Herwells tidak membayar cicilan yang sebagaimana
diperjanjian. Keputusan mengambil jalur ligitasi sudah benar dilakukan oleh pihak
bank, agar adanya kekuatan hukum terhadap sengekta lahan tersebut.
b. Putusan verstek
Putusan verstek merupakan putusan yang djatuhkan oleh Majelis Hakim di
pengadilan tanpa hadirnya tergugat dan tanpa alaan yang sah meskipun telah
dipanggil secara resmi dan patut. Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari
acara persidangan biasa sebagai akibat ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak
sah. Dalam kasus tersebut, Herwells sebagai tergugat dianggap ingkar menghadiri
persidangan tanpa alasan yang sah dan tergugat dianggap mengakui sepenuhnya
secara murni dan bulat semua dalil gugatan penggugat. Putusan verstek hanya dapat
dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Putusan tersebut memang tampak kurang adil bagi tergugat karena dijatuhkan tanpa
kehadirannya. Sementara perkara tidak mungkin digantung tanpa akhir yang pasti
atau harus segera diselesaikan. Walaupun demikian bukan berarti pintu telah tertutup
bagi tergugat. Tergugat masih memiliki jalan untuk mendapatkan pengadilan dengan
cara melakukan upaya hukum biasa yaitu perlawanan terhadap putusan verstek.
c. Gugatan herwelss terhadap putusan pengadilan
Dalam pelaksanaan lelang seringkali terdapat benturan kepentingan antara kantor
pelayanan dengan pemangku kepentingan. Ketidakpuasan dari pemangku
kepentingan bisa berwujud pengaduan, dan yang paling banyak terjadi selama ini
adalah gugatan perdata. Hal itu kemungkinan panggilan sidang dari pengadilan tidak
tersampaikan dengan baik atau kurang mendapat perhatian yang berkahi penjatuhan
putusan verstek kemudian tergugat melakukan gugatan terhadap hasil putusan.
Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak menerima putusan itu,
dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu. Bukan mengajukan
gugatan terhadap penggugat sebeumnya. Jika putusan itu diberitahukan kepada
Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) dapat diterima dalam 14 hari sesudah
pemberitahuan. Perlawanan (verzet) dihubungkan dengan
putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat berupaya melawan
putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap
putusan verstek dengan tujuan agar putusan itu dilakukan pemeriksaan ulang secara
menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan permintaan agar
putusan verstek dibatalkan serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak.
3. Kasus
a. Nikah dibawah tangan adalah, Pernikahan yang dilakukan menurut hukum syariat,
tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah (PPN) sebagai aparat resmi
pemerintah dan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga tidak
memperoleh akte nikah sebagai satu-satunya bukti legal formal. Dari adanya nikah di
bawah tangan yang merupakan pernikahan secara tidak legal menimbulkan dampak
social dan hukum yang dapat merugikan bukan hanya pihak sang istri, tapi juga status
anak yang tidak diakui. Secara umum, tujuan pencatatan pernikahan di Kantor Urusan
Agama adalah untuk mengikuti aturan sesuai UU Perkawinan yang dalam Pasal 2
ayat (1) menyebutkan bahwa setiap pasangan wajib mencatatkan perkawinannya ke
KUA untuk bisa mendapatkan status yang diakui pemerintah dan bukti dokumen
resmi berupa buku nikah. Dengan mencatatkan pernikahan secara legal, pasangan
bisa mendapatkan status suami dan istri yang legal secara hukum untuk nantinya
digunakan dalam berbagai hal misal hak pemberian nafkah,  pembagian harta
warisan, dan pengurusan perceraian jika keduanya sudah tidak ingin bersama.
Menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 status anak dari hasil nikah siri hanya
memiliki ikatan hukum perdata dengan sang ibu dan keluarganya, yang mana status
ini disamakan dengan anak yang berasal dari hubungan di luar nikah. Jadi sang anak
tidak dapat menuntut hak apapun kepada sang ayah karena tidak memiliki status
hubungan hukum perdata akibat nikah siri yang memang tidak diakui oleh
negara. Dalam pernikahan siri tidak ada harta milik ersama, harta dari suami istri
tersebt meruakan harta yang dibawa sediri atau didapatkan sendiri. Sesuai Pasal 43
ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak dari hasil nikah siri
juga tidak memiliki hak sama sekali untuk mengklaim harta warisan sepersen pun,
kecuali sang ayah telah mengakui anak yang ditetapkan secaa resmi oleh pengadilan.
b. Kementerian Agama menegaskan pernikahan selain harus dilakukan sesuai ajaran
agama harus dicatat oleh petugas kantor uusan agama (KUA). Karena itu nikah siri
bertentangan dengan peratuan peundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan PP No. 9 tahun 1975 sebagai peraturan
tentang pelaksanaan UU No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan bagi
penganut Islam dilakukan oleh pegawai pencatat, dengan tata cara pencatatan. Jadi
kesimpulannya tidak ada landasan hukum yang mengatur mengenai nikah siri.

Anda mungkin juga menyukai