Anda di halaman 1dari 6

Apresiasi karya seni rupa 3 dimensi

Seni arsitektur

A.

B. Nama karya : candi borobudur

C. Daerah asal : malang, jawa tengah

D. makna filosofi : Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang
membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan
berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga
dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan
kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang
kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan
menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa
pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa
mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Cangal pada tahun 732 M, raja
beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang
dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6,2 mi) sebelah timur dari
Borobudur. Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan
dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah
rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan
candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.

E. Nilai estetis : 1. Kesatuan

2. keselarasan

3. keseimbangan

4. komposisi

5. gradasi
2. a. Musium tsunami aceh

b. nama katya : musium tsunami aceh

c. daerah asal : banda aceh

d. makna filosofi : Tujuan dibangunnya musium tsunami tentu untuk menjadi


pengingat akan terjadinya sebuah tragedi besar di Aceh. Namun sebetulnya desain
bangunan museum ini memiliki dua makna. Jika dilihat dari atas bangunan ini
menggambarkan gelombang laut yang telah meluluhlantakkan Aceh. Desain dan
pembangunan Museum Aceh dengan konsep ‘Rumoh Aceh as Escape Building’ mempunyai
beragam filosofi. Pada lantai dasar museum ini menceritakan bagaimana tsunami terjadi
melalui arsitektur yang didesain secara unik. Pada masing-masing ruangan memiliki filosofi
tersendiri yang mendeskripsikan gambaran tentang tsunami sebagai memorial dari bencana
besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang menelan korban jiwa dalam
jumlah yang cukup besar mencapai kurang lebih 240.000 jiwa. Berikut filosofi design lantai
dasar Museum Tsunami Aceh:

e. nilai estetis: a. Keimbangan

b. kesatuan

c. keselaransan

d. komposisi

e. gradasi

f. penekanan
3. Kelenteng Sam Po Kong

b.nama karya : keleteng sam po kong

c. daerah asal :  Simongan, barat daya Kota Semarang.

d. makna filosofi : elenteng Gedung Batu Sam Po Tong (Tionghoa: 三保洞), (ini artinya dalam
bahasa Indonesia adalah Goa tiga orang sakti) adalah sebuah petilasan, yaitu bekas tempat
persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang
bernama Zheng He / Cheng Ho. Catatan: tidak semua anak buah kapal beragama Islam.
Kompleks Sam Po Tong berada di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda
yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan
berbunyi "Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an". [1][2][3]
Kelenteng ini disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan gua batu besar yang berada di
sebuah bukit batu. Untuk mengenanh Zheng He, masyarakat Indonesia keturunan Tionh Hoa
membangun sebuah kelenteng. Sekarang tempat ini dijadikan tempat peringatan dan pemujaan
atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua
batu itu diletakkan sebuah altar serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Meskipun Laksamana
Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi masyarakat menganggapnya sebagai dewa. Hal ini
dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah
meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka. [4]
Menurut cerita, Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati Laut Jawa, namun saat
melintasi Laut Jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk
membuang sauh. Kemudian, kapalnya merapat ke Pantai Utara Semarang untuk berlindung di
sebuah goa dan mendirikan sebuah masjid (belum ada bukti yg konkrit) di tepi pantai yang
sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut sekarang terletak di
tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa yang selalu mengalami proses pendangkalan.
Hal ini menyebabkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat laun, daratan pulau Jawa
makin bertambah luas ke arah Utara.
Konon, setelah Zheng He meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan
pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan menikah dengan
penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang di tempat itu. Zheng He memberikan
pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan, di Kelenteng ini juga
terdapat Makam seorang juru mudi dari Kapal Laksamana Cheng Ho.
e. nilai etetis: 1. Sesatuan

2. keselarasan

3. keseimbangan

4. komposisi
4.

b.nama karya : Pagoda Avalokitesvara 

c. daerah asal : semarang

d. makna filosofi : Seperti dikisahkan oleh China Through A Lens, Pagoda pada awalnya
digunakan untuk menyimpan jasad (relik) Sakyamuni, pendiri ajaran Budha. Setelah dikremasi,
sisa tubuh Sakyamuni mengkristal menjadi bulir-bulir yang tak dapat dipecahkan; yang
disebut sarira, atau di Indonesia lebih dikenal dengan RELIK.
Pagoda digunakan untuk menyimpan sisa-sisa jasad tubuh Biksu, para petinggi ajaran Budha,
dan berbagai peninggalan Budha lainnya yang disucikan. Dalam bahasa Sansekerta, Pagoda
berarti makam. Namun di Tiongkok modern, seringkali sudah tidak dapat dijumpai peninggalan
Budha di dalam pagoda, meskipun disebut pagoda sarira.Kapan tepatnya istilah pagoda
digunakan, masih menjadi misteri. Liang Sicheng, dalam bukunya yang berjudul “Pictorial
History of Chinese Architecture”, mengemukakan teori bahwa istilah pagoda sebenarnya adalah
kesalahan ucap bangsa Eropa terhadap istilah bahasa Mandarin; yakni 八角搭 (Bājiăo dā) yang
dibaca ‘pa ciao ta’ dalam pengucapannya; yang bermakna bangunan persegi delapan, akan
terdengar seperti ‘pagoda’ di telinga orang yang asing.Pagoda menunjukkan hubungan antara
arsitektur India dengan Tiongkok. Sebelum dikenal di Tiongkok, pagoda telah terlebih dahulu
dikembangkan di India sebagai altar sesaji bagi leluhur. Tidak mengherankan, karena India
memang 700 tahun lebih awal mengenal ajaran Budha ketimbang Tiongkok.Pagoda memiliki
karakteristik dan fungsi yang sama seperti stupa dalam ajaran agama Budha di India. Namun,
Pagoda di Tiongkok mengalami perubahan struktur yang signifikan jika dibandingkan dengan
stupa India.Awalnya, pagoda di Tiongkok relatif kecil dibandingkan dengan stupa di India. Hal
ini membuat Pagoda tidak dapat digunakan untuk upacara keagamaan, dan hanya bersifat
simbolis saja.Pagoda pertama di Tiongkok dibangun oleh Dinasti Han, sekitar tahun 68 Masehi.
Pembangunan Pagoda ini dimaksudkan untuk menyebarkan ajaran Budha. Lokasinya terletak
diantara Kuil Kuda Putih (白马寺), yang dibangun di dekat Luoyang, Provinsi Henan, pada masa
pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M) dari Dinasti Han Timur.

Pagoda ini dibangun dari kayu, dan berfungsi sebagai tempat tinggal para Biksu.
e. nilai estetis : a. Keseimangan
b. komposisi
c. kesatuan
d. keselarasan
e. gradasi
e. gradasi

f. penekanan

Anda mungkin juga menyukai