Anda di halaman 1dari 2

Menurut Carita Parahiyangan, sewaktu mudanya Rahiyang Banga dibesarkan di Keraton Galuh.

Ketika
Tamperan wafat, kerajaan dibagi dua: wilayah timur untuk Sang Manarah, wila yah barat untuk
Rahiyang Banga. Dalam cerita babad lebih belakangan menjadi terbalik. Dengan dijadikannya Rahiyang
yang Banga raja di Pakuan dapat dipahami jika dalam lontar MSA disebutkan bahwa Banga nyusuk
Pakuan.

Sekarang kita coba paparkan semua hasil penelitian atas teori Holle berikut ini:

1. Dalam kamus bahasa Sunda kata nyusuk berarti membuat

saluran atau parit. 2. Dalam naskah lontar MSA disebutkan bahwa Rahiyang Banga pernah nyusuk
Pakuan. Rahiyang Banga adalah lelu

hur Sri Baduga.

3. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa pada zaman Sri Baduga, tokoh Susuktunggal sudah
munar (memugar, memperbaiki atau memperbarui) Pakuan. Yang dipugar atau diperbarui tentu saja
adalah sesuatu yang sudah ada wujud fisiknya. 4. Dalam Koropak 406 disebutkan bahwa salah satu
leluhur

Sri Baduga, yakni Rakeyan Darmasiksa, pernah memindah

kan ibukota di Saunggalah (di Kuningan) ke Pakuan. Pada

zaman leluhur Sri Baduga, Pakuan sudah ada, karena Dar

masiksa ternyata tinggal menempati saja setelah pindah dari

Saunggalah. 5. Masih dalam Koropak 406, disebutkan bahwa pendiri panca persada Pakuan Pajajaran
adalah Maharaja Tarusbawa yang identik dengan tokoh Tohaan di Sunda, mertua Sanjaya. jaya. Pakuan
Pajajaran sudah ada pada awal abad ke-8, sebab pernikahan Sanjaya dengan puteri Sunda terjadi se
belum menjadi raja Galuh, jauh sebelum Sanjaya menak lukkan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. 6.
Mereka yang nyusuk Pakuan atau memperluas Pakuan, kese
muanya tentulah raja-raja yang baru berkuasa di Pakuan,

antara lain Rahiyang Banga (dari Galuh), Darmasiksa (dari

Saunggalah), dan Sri Baduga (dari Kawali). Keenam alasan tersebut bersandar pada naskah-naskah kuno
yang juga ditulis pada zaman Pajajaran (kecuali kamus); kesemuanya bertentangan dengan teori Holle
yang hanya ber sandar pada keterangan Penghulu Garut, Muhammad Musa. Tentu saja penulis
berharap agar kiranya teori Holle tidak terus dijadikan pegangan oleh para ahli sejarah. Bagaimanapun,
da lam hal ini Holle jelas keliru. Pakuan Pajajaran bukan didirikan oleh Sri Baduga karena Pakuan
Pajajaran sudah ada sejak awal abad ke-8. Seribu kali selembar naskah lontar dianggap tak me madai
untuk dijadikan sebagai sumber sejarah, namun apabila ada tiga naskah lontar dapat saling mengisi dan
melengkapi, secara logika, nilai sejarah naskah-naskah tersebut seharusnya diakui. Bahkan, khusus
mengenai hal ini prasasti-prasasti yang ada pun saling mengisi dan melengkapi. Pendiri Pakuan Pa
jajaran adalah Maharaja Tarusbawa yang menjadi Tohaan di Sunda, mertua Maharaja Sanjaya.

Piteket dan Sakakala. Prasasti yang berkaitan dengan Sri Baduga ditemukan di dua tempat, yaitu Bogor,
di daerah Batu tulis, dan Kebantenan (Bekasi). Secara umum dapat disebutkan bahwa jika prasasti yang
berkaitan dengan Sri Baduga hendak diteliti, sebelumnya harus dilihat dulu ciri-cirinya, apakah piteket
atau sakakala? Dalam piteket, isinya langsung berhubungan de ngan putusan raja yang memerintahkan
pembuatannya. Dalam sakakala, sesuai dengan namanya, isinya berupa tanda peri ngatan atau kenang-
kenangan bagi raja yang sudah wafat, baik mengenai pribadinya maupun jasa-jasanya. Bisa saja isi
sakakala adalah untuk mengukuhkan putusan terdahulu atau putusan yang sudah lama ada. Harap
dimaklumi, pada zaman dahulu, yang dinamakan undang-undang adalah perintah raja. Kalau sang raja
sudah wafat, hilang (muksa) atau tidak memerintah lagi, perintahnya pun boleh dianggap hilang atau tak
berlaku. Oleh karena itu, bila diperlukan, putusan raja yang sudah tiada sering dikukuhkan kembali
dengan putusan baru berupa sakakala.

Di antara enam lembar Prasasti Kebantenan, ada yang me rupakan piteket dan ada yang merupakan
sakakala. Adapun Prasasti Batutulis jelas merupakan sakakala.

Anda mungkin juga menyukai