Anda di halaman 1dari 45

BAB V

INOVASI TEKNIK KULTUR JARINGAN HEWAN DAN TUMBUHAN

1. Pendahuluan
Kultur jaringan (tissue culture) untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan
diferensiasi fungsi sel telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa
pengembangan yang pada awalnya sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada
pertengahan abad yang lalu, dan kini berada pada fase pengembangan.
Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah
antara biologi molekuler dan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-
masing teknologi ini, sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan
mulai berkembanganya teknologi biologi molekuler. Meskipun tantangan untuk mendapatkan
sel-sel yang tumbuh secara in vitro telah terjawab dan diversitas jenis sel telah meningkat
secara konstan, tissue culture kini sudah semakin populer dibanding sebelumnya. Untuk
beberapa kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk mengurangi percobaan hewan
yang tidak perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture mendorong kemampuan
untuk menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis.
Untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi dasar guna
mengeksplorasi permasalahan regulasi sel dan pengembangan intervensi medis. Sangat jelas
bahwa penelitian tentang aktivitas selular pada tissue culture akan membawa berbagai
manfaat, meski demikian perhatian diperlukan terhadap berbagai kelemahan teknologi ini.
Hal ini penting untuk membangun perhatian yang lebih besar guna pengembangannya di
masa mendatang.

2. Pengertian Kultur Sel dan Jaringan
Salah satu teknik bioteknologi yang sering digunakan adalah kultur sel dan jaringan.
Menurut Suryowinoto (1991) kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue
culture, weefsel cultuus, atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah
sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama.
Kultur jaringan digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur organ
ataupun kultur sel. Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang berasal dari sel-sel
yang terdispersi yang diambil dari jaringan asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau
cell strain secara enzimatik, mekanik, atau disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic
akan diterapkan untuk jenis kultur jaringan yang menggabungkan kembali sel-sel yang telah
terdispersi sedemikian rupa untuk membentuk kultur jaringan.
Kultur sel dan jaringan dapat digunakan pada hewan dan tumbuhan. Kultur jaringan
hewan merupakan suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan sel di luar tubuh
organisme. Lingkungan sel dibuat sedimikian rupa, sehingga menyerupai lingkungan asal
dari sel yang bersangkutan. Sel yang dipelihara bisa berupa sel tunggal (kultur sel), sel di
dalam jaringan (kultur jaringan), maupun sel di dalam organ (kultur organ) (Listyorini, 2001).
Teknik pembuatan kultur primer pada kultur sel, jaringan, dan organ hewan pada dasarnya
sama. Sel, jaringan, atau organ hewan diambil dari tubuh hewan dan mulai dipelihara di
dalam kondisi in-vitro. Selama di dalam kultur primer semua kebutuhan sel baik sebagai sel
tunggal (kultur sel), sebagai bagian dari jaringan (kutur jaringan), maupun sebagai bagian
organ (kultur organ) harus dipenuhi agar sel dapat hidup dan menjalankan fungsi normalnya.
Kultur jaringan pada tumbuhan merupakan salah satu teknik perbanyakan tumbuhan yang
menggunakan sel atau organ atau jaringan tumbuhan Kultur jaringan pada suatu tumbuhan
merupakan suatu cara membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil
yang mempunyai sifat seperti induknya (Hendaryono, 1994).

3. Sejarah dan Perkembangan Kultur Sel dan Jaringan
Kultur jaringan (tissue culture) pertama kali digunakan pada awal abad 20 sebagai
suatu metode untuk mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi
sistemik yang dapat timbul saat hewan dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh
percobaan atau perlakuan. Kultur jaringan bukanlah teknik yang baru. Teknologi ini telah
berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan yang pada awalnya
sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada pertengahan abad yang lalu.
Saat ini kultur jaringan berada pada fase pengembangan khusus untuk memahami
aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel. Kendati teknologi kultur jaringan kini
telah berkembang begitu pesat, seperti kultur sel-sel khusus, chromosome painting, dan DNA
fingerprinting, tetapi teknologi dasar yang awal dikembangkan adalah teknik kultur primer,
pasase serial, karakterisasi, preservasi sel dengan prinsip yang masih sama. Pada saat istilah
kultur jaringan diperkenalkan, teknik ini pertama kali dikembangkan dengan menggunakan
fragmen jaringan yang tidak terurai, dan pertumbuhan sel atau jaringan terjadi dengan
bermigrasinya sel fragmen jaringan disertai adanya mitosis di luar pertumbuhan. Kultur sel
dari jaringan explant primer seperti inilah yang mendominasi perkembangan teknik kultur
jaringan pada lebih dari lima puluh tahun perkembangannya, sehingga tidaklah
mengherankan jika istilah kultur jaringan sudah begitu melekat untuk pengembangan
teknologi ini. Walaupun demikian, fakta yang terjadi pada saat percepatan perkembangan
teknologi berikutnya pada era setelah tahun 1950 lebih didominasi oleh penggunaan kultur
sel yang terurai dari jaringan (Katuuk, 1989).
Sejarah kultur jaringan tumbuhan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani.
Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan sel in-vitro dapat
dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli yang mendahului mereka
serta penemuan mereka sendiri.
Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke mengatakan bahwa sel-sel dapat
disamakan dengan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838-1839, seorang
ahli Biologi M.V Schleiden dan Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya
pada kehidupan sel, menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri
walaupun telah terpisah dari tumbuhan induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala
peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh satu organisme selama hidup, bersumber pada sel.
Dari konsep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk
berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada suatu saat akan
terbentuk tumbuhan sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut totipotensi (totipotency).
Konsep totipotensi yang ditanamkan oleh Schleiden dan Theodore Schwann berkembang
terus sehingga Vouchting pada tahun 1878, walaupun masih belum berhasil baik, sudah
mencoba mengembangkan kalus dari potongan tumbuhan. Kegagalannya dalam
mengembangkan potongan tumbuhan ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas pada saat itu.
Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan botani papa abad ke 19,
adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebik, Johan Knopp dan Rechinger.
Untuk mempelajari teknik dasar kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang
anatomi, histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi
molekular menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur
jaringan. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini sukar untuk
dinyatakan batas berhentinya teknologi kultur jaringan dan mulai berkembangnya teknologi
biologi molekular.
Perkembangan teknologi kultur jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat
memberikan simulasi proses biologis yang terjadi pada tubuh makhluk hidup, sehingga tidak
hanya digunakan untuk mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun
juga interaksi yang terjadi antara sel dan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai
keadaan fisiologis ataupun patologis. Hal ini akan semakin mengatasi kelemahan teknologi
kultur jaringan yang dianggap sebagai teknologi experiment in vitro, kendati menggunakan
sel atau jaringan hidup, dibanding dengan penggunaan hewan percobaan yang dinilai sebagai
experiment in vivo.
Sejalan dengan perkembangan teknologi ini maka perkembangan berbagai referensi yang
berkaitan dengan teknologi kultur jaringan banyak menyajikan berbagai teknologi khusus,
sehingga perhatian terhadap prosedur dasar menjadi banyak terabaikan. Meski banyak
berkembang referensi yang menyajikan teknologi baru, namun masih banyak referensi
teknologi dasar yang tetap dipertahankan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern menjadi semakin bergantung pada teknologi
canggih. Prosedur pewarnaan antibodi, analisis probe molekular, pemeriksaan sitotoksisitas,
dan yang lainnya, kini sudah tersedia dalam bentuk kit. Hal ini memungkinkan penilaian
regulasi gen serta produk sel lebih cepat dan mudah meskipun dengan biaya yang lebih
mahal. Keuntungan berkembangnya berbagai kit ini adalah penghematan waktu dan
meningkatkan produktivitas.

  Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada tahun 1838 ketika
Schwann dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel
bersifat otonom, dan pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Teori
yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi Haberlandt pada awal abad ke-20 yang
menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat diisolasi dan dikultur dan berkembang menjadi
tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya.
Walaupun usaha Haberlandt menerapakan teknik kultur jaringan tanaman pada tahun 1902
mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907-1909 Harrison, Burrows, dan Carrel berhasil
mengkulturkan jaringan hewan dan manusia secara in vitro.
            Keberhasilan aplikasi teknik kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan tanaman
secara vegetatif pertama kali dilaporkan oleh White pada tahun 1934, yakni melalui kultur
akar tomat. Selanjutnya pada tahun 1939, Gautheret, Nobecourt, dan white berhasil
menumbuhkan kalus tembakau dan wortel secara in vitro. Setelah Perang Dunia II,
perkembangan teknik kultur jaringan sangat cepat, dan menghasilkan berbagai penelitian
yang memiliki arti penting bagi dunia pertanian, kehutanan, dan hortikultura yang telah
dipublikasikan.
            Pada awalnya, perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berada di belakang
teknik kultur jaringan manusia. Hal itu disebabkan lambatnya penemuan hormon tanaman
(zat pengatur tumbuh). Ditemukakannya auksin IAA pada tahun 1934 oleh Kögl dan Haagen-
Smith telah membuka peluang yang besar bagi kemajuan kultur jaringan tanaman. Kemajuan
ini semakain pesat setelah ditemukannya kinetin (suatu sitokinin) pada tahun 1955 oleh
Miller dan koleganya. Pada tahun1957, Skoog dan Miller mempublikasikan suatu tulisan
”kunci” yang menyatakan bahwa interaksi kuantitatif antara auksin dan sitokinin berpengaruh
menentukan tipe pertumbuhan dan peristiwa morfogenetik di dalam tanaman. Penelitian
kedua ilmuwan tersebut pada tanaman tembakau mengungkapkan bahwa rasio yang tinggi
antara auksin terhadap sitokinin akan menginduksi morfogenesis akar, sedangkan rasio yang
rendah akan menginduksi morfogenesis pucuk. Namun pola yang demikian ternyata tidak
berlaku secara universal untuk semua spesis tanaman.
            Ditemukannya prosedur perbanyakan secara in vitro pada tanaman anggrek
Cymbidium 1960 oleh Morel, serta diformulasikannya komposisi medium dengan konsentrasi
garam mineral yang tinggi oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962, semakin merangsang
perkembangan aplikasi teknik kultur jaringan pada berbagai spesies tanaman. Perkembangan
yang pesat pertama kali dimulai di Perancis dan Amerika, kemudian teknik inipun di
kembangkan di banyak negara, termasuk Indonesia, dengan prioritas aplikasi pada sejumlah
tanaman yang memiliki arti penting bagi masing-masing negara.
            Meningkatnya penelitian kultur jaringan dalam dua dekade terakhir telah memberi
sumbangan yang sangat besar bagi ahli pertanian, pemuliaan tanaman, botani, biologi
molekuler, biokimia penyakit tanaman, dan sebagainya. Karena kultur jaringan telah
mencapai konsekuensi praktis yang demikian jauh di bidang pertanian, pemuliaan tanaman
dan sebagainya maka dapat dipastikan junlah penelitian dan aplikasi teknik ini akan terus
meningkat pada masa-masa mendatang. Pierik (1997) mengemukakan sejumlah peristiwa
penting dalam sejarah perkembangan kultur jaringan hingga dekade 1980 an sebagai berikut;
1892 Ditemukan fenomena sintesis senyawa-senyawa pembentuk organ yang didistribusikan
secara polar di dalam tanaman.
1902        Usaha perrtama aplikasi kultur jaringan tanaman.
1904    Usaha pertama aplikasi kuktur embrio sejumlah tanaman Cruciferae
1909    Fusi protoplas tanaman, namun produk yang dihasilkan mengalami kegagalan untuk
hidup.
1922    Perkecambahan in vitro biji anggrek secara asimbiosis.
1922    Kultur in vitro ujung akar
1925    Aplikasi kultur embrio pada tanaman Linum hasil silang antar spesies
1929    Kultur embrio Linum untuk menghindari inkompatibilitas persilangan
1934    Kultur in vitro jaringan kambium dari sejumlah tanaman pohon dan perdu mengalami
kegagalan karena tidak adanya ketrelibatan auksin
1934    Keberhasilan kultur akar tanaman tomat.
1936    Kultur embrio sejumlah tanaman Gymnospermae
1939    Keberhasilan menumbuhkan kultur kalus secara kontinu
1940    Kultur in vitro jaringan kambium dari tanaman Ulmus untuk mempelajari
pembantukan tunas adventif
1941    Air kelapa (Yang mengandung faktor pembelahan sel) untuk pertama kalinya
digunakan pada kultur embrio tanaman Datura
1941    Kultur in vitro jaringan tumor crown-gall
1944    Untuk pertama kalinya kultur in vitro tembakau digunakan pada penelitian
pembantukan tunas adventif
1945    Budi daya potongan tunas tanaman Asparagus secara in vitro
1946    Untuk pertama kalinya diperoleh tanaman Lupinus dan Tropaelum dari kultur pucuk
1948    Pembentukan akar dan tunas adventif tanaman tembakau ditentukan oleh rasio
auksin : adenin
1950    Regenerasi organ tanaman dari jaringan kalus Sequoia sempervirens.
1952    Aplikasi sambung mikro (micrografiting) untuk pertama kalinya
1953    Produksi kalus haploid tanaman Ginkgo biloba dari kultur serbuk sari
1954    Pengkajian terhadap perubahan-perubahan kariologi dan sifat-sifat kromosom pada
kultur endosperm tanaman jagung
1955    Penemuan kinetin, yaitu suatu hormon perangsang pembelahan sel.
1956    Realisasi pertumbuhan kultur di dalam sistem multiliter untuk menghasilkan metabolit
sekunder.
1957    Ditemukannya pengaturan pembentukan organ (akar dan pucuk) dengan mengubah
rasio antara auksin dan sitokinin
1958    Regenerasi embrio somatik secara in vitro dari jaringan nuselus tanaman Citrus
ovules
1958    Regenerasi proembrio dari massa kalus dan suspensi sel tanaman wortel
1959    Publikasi buku pegangan mengenai kultur jaringan tanaman untuk pertama kali
1960    Keberhasilan pembuahan in vitro pada Papaver rhoeas untuk pertama kalinya
1960    Degradasi dinding sel secara enzimatik untuk memperoleh protoplas dalam jumlah
besar.
1960    Perbanyakan vegetatif tanaman anggrek melalui kultur meristem
1960    Filtrasi suspensi sel dan isolasi sel tunggal
1962    Pengembangan medium dasar Murashige dan Skoog (MS)
1964    Produksi tanaman Datura haploid dari kultur serbuk sari untuk pertama kalinya
1964    Regenerasi tunas dan akar pada jaringan kalus tanaman Populus tremuloides
1965    Induksi pembungaan secara in vitro pada tanaman tembakau
1965    Diferensiasi tanaman tembakau dari isolasi sel tunggal pada kultur mikro
1967    Induksi pembentukan bunga pada Lunaria annua dengan vernalisasi secara in vitro
1967    Produksi tanaman haploid dari kuktur serbuk sari tanaman tembakau (Nicotiana
tabacum).
1969    Analisis kariologi tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus tembakau.
1969    Keberhasilan isolasi protoplas dari kultur suspensi Haplopappus gracilis untuk
pertama kalinya
1970    Seleksi mutan biokimia secara in vitro
1970    Pemanfaatan kultur embrio untuk menghasilkan barley monoploid
1970    Keberhasilan peleburan protoplas untuk pertama kalinya
1971    Keberhasilan regenerasi tanaman dari kultur protoplas untuk pertama kalinya.
1972    Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada dua spesies Nicotiana
1973    Sitokinin diketahui mampu memecahkan dormansi pada eksplan jaringan kapitulum
tanaman Gerbera
1974    Induksi percabangan aksilar oleh sitokinin pada eksplan tunas tanaman Gerbera.
1974    Regenerasi Petunia hybrida haploid dari kultur protoplas.
1974    Diketahui bahwa peleburan protoplas haploid dapat dilakukan sehingga mendukung
hibridisasi
1974    Biotransformasi pada kultur jaringan tanaman
1974    Penemuan Ti-plasmid pada Agrobacterium sebagai senyawa penginduksi
pembentukan tumor
1975    Seleksi positif terhadap kultur kalus tanaman jagung yang resisten terhadap
Helminthosporium maydis.
1976    Inisiasi pucuk dari eksplan tunas tanaman anyelir yang berasal dari penyimpanan pada
suhu rendah (kreopreservasi).
1976    Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada tanaman Petunia hybrida
dan P. Parodii.
1976    Sintesis dan perombakan oktopin dan nopalin diketahui dikontrol secara genetis oleh
Ti-plasmid Agrobacterium tumefaciens.
1977    Keberhasilan integrasi DNA Ti-plasmid dari Agrobacterium tumefaciens  pada
tanaman
1978    Hibridisasi somatik tomat dan kentang
1979    Pengembangan prosedur co-cultivation untuk teransformasi protoplas tanaman dengan
Agrobacterium
1980    Pemanfaatan sel untuk biotransformasi digitoksin menjadidigoksin
1981    Pengenalan istilah variasi somaklon atau keragaman somaklon
1981    Isolasi auksotrop melalui skrining berskala besar terhadap koloni sel yang diperoleh
dari protoplas haploid tanaman Nicotiana plumbaginifolia dengan perlakuan mutagen.
1982    Protoplas dapat bergabung dengan DNA telanjang sehingga memungkinkan untuk
dilakukannya transformasi dengan isolasi DNA.
1983    Hibidisasi sitoplasma antargenus pada tanaman bit dan Brassica napus
1984    Transformasi sel tanaman dengan DNA plasmid
1985    Infeksi dan transformasi potongan daun dengan Agrobacterium tumefaciens dan
regenerasi tanaman yang mengalami transformasi
            Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, teknik kultur jaringan tanaman sudah
berkembang sangat pesat di seluruh penjuru dunia sehingga sulit untuk dipantau.
Terlebih lagi, banyak terobosan yang memiliki nilai komersial tinggi yang diciptakan
oleh institusi-institusi riset pada berbagai perusahaan besar yang tidak dipublikasikan.
Pemanfaatan yang nyata dari teknik tersebut, disamping untuk perbanyakan tanaman,
juga di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) untuk perbaikan mutu genetika
tanaman pertanian. Sudah banyak varietas, bahkan spesies baru yang diciptakan
melalui teknik fusi protoplas. Demikian pula dengan aplikasi teknik tersebut pada
eliminasi penyakit, terutama penyakit virus dan produksi metabolit sekunder dengan
bantuan Agrobacterium sudah menjadi teknik yang rutin dilakukan oleh para pakar di
berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Hanya saja aplikasi teknik kultur
jaringan untuk pelestarian plasma nutfah tampaknya masih harus menempuh
perjalanan panjang untuk sampai pada sasaran yang diharapkan.

            Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum
yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus
cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah
kultur di dalam gelas.
            Pemahaman terhadap istilah-istilah yang sering digunakan dalam kultur in vitro
merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Istilah-istilah yang sering digunakan dalam
kultur jaringan adalah sebagai berikut;
a) Bahan tanam yang digunakan dalam kultur jaringan biasanya disebut dengan eksplan.
b) Kalus; a) suatu jaringan yang tersusun oleh sel-sel terdediferensiasi yang umumnya
dihasilkan oleh jaringan yang luka atau kultur jaringan pada media yang berisi auksin
tertentu, atau b) pertumbuhan aktif massa sel yang belum dan terdiferensiasi dan tidak
terorganisir yang berkembang dari jaringan luka atau kultur jaringan yang ditanam
pada media dengan tambahan zat pengatur tumbuh.
c) Dalam kultur jaringan sering dilakukan pemindahan eksplan dari media I (untuk
induksi kalus) ke media II (media untuk induksi organ tunas dan akar). Pemindahan
eksplan dari media satu ke media lain (baik jenis medianya sama atau lain) dikenal
dengan istilah sub kultur.
d) Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah sub kultur pertama dari
jaringan yang terbentuk dari eksplan awal.
e) Bahan yang diambil pada setiap sub kultur disebut inokulum.
f) Kultur asenik adalah kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan.
g) Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat, dapat beregenerasi melalui
proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Oraganogenesis adalah proses
terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.
h) Pucuk yang terbentuk pada tempat yang ukan jaringan asalnya (origin) yang biasa
disebut pucuk adventif. Seperti pucuk yang terbentuk dari kalus, hipokotil, kotiledon,
dan akar.
i) Embriogenesis adalah proses terbentuknya embrio somatik
j) Embrio somatik (nonzygotic embryo) adalah embrio yang bukan berasal dari zigot,
tetapi dari sel tubuh tanaman.
k) Bila embrio terbentuk dari kultur anther atau mikrospora disebut androgenesis, bila
berasal dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebutgynogenesis.
l) Anakan tanaman yang telah lengkap memiliki organ daun, batang dan akar hasil
kultur jaringan disebut planlet (plantula).
m) Plantula yang akan dipindah ke lapangan dan diperlakukan sebagai bibit, harus
mengalami masa adaptasi dari kultur heterotropik menjadi kultur autotropik. Masa
adaptasi plantula disebut dengan aklimatisasi.
n) Pucuk-pucuk yang terbantuk dari jaringan kalus, terutama yang sudah mengalami sub
kultur, dapat bervariasi. Variasi-variasi ini disebut variasi somaklonal. Penyebab
variasi ini belum diketahui dengan pasti, ada kemungkinan variasi ini sudah ada
dalam eksplan asal karena sifat kromosom mosaik dalam sel-sel somatik ataupun
terjadi akibat lingkungan di dalam kultur.
o) Salah satu variasi yang terjadi adalah tanaman yang aneuploid yaitu tanaman yang
jumlah kromosommya 2n-1 atau 2n+1.
p) Sel-sel dalam kalus atau sel-sel dari jaringan daun siisolasi dengan perlakukan enzim
meupakan bahan untuk memperoleh protoplasma. Protoplasma-protoplasma diperoleh
dengan menghilangkan dinding sel dengan bantuan enzim-enzim cellulase,
hemicellulase dan pektinase. Propoplasma kemudian dapat ”dipaksa” untuk saling
menempel dan bersatu membentuk suatu fusi sel. Proses ini merupakan bidang
pemulaiaan yang disebut hibridisasi genetik.
q) Hasil gabungan dua atau lebih protoplasma yang berbeda jenis dengan inti-intinya
dikenal dengan istilah heterokarion.
r) Bila hanya sitoplasma yang bergabung maka disebut cybrid.
           
Kultur jaringan sesuai dengan definisinya sebagai teknik budidaya sel, jaringan, dan
organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas
mikroorganisme, mengandung dua prinsip dasar yang jelas yaitu; 1) Bahan tanam yang
bersifat totipoten dan 2) budi daya yang terkendali.
1)      Bahan tanam yang bersifat totipotensi.
Konsep dasar ini adalah mutlak dalam pelaksanaan kegiatan kultur jaringan karena
hanya dengan sifat totipotensi ini, sel, jaringan, organ yang digunakan akan mapu tumbuh
dan berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan. Umumnya sifat
totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda, dan banyak
dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagian
tanaman yang sudah dewasa bila mendapat lingkungan yang cocok akan bertotipotensi
sehingga mampu tumbuh dan berkembang. Pada keadaan tersebut bisa terjadi karena pada
keadaan in vitro tanaman mampu melakukan aktifitas dediferensiasi yaitu proses
perkembangan balik dari bagian dewasa tanaman menjadi sekolompok sel yang terus
menerus membelah (disebut kalus) atau bisa pula menjadi zigot. Selain itu juga dapat terjadi
rediferensiasi yaitu proses tumbuh dan berkembangnya kembali kalus atau zigot tersebut
tumbuh dan berkembang membentuk spesialisasi ke arah terbentuknya akar, daun atau tunas
hingga menjadi tanaman lengkap.
Kondisi totipotensi bahan tanam antara satu tanaman dengan tanaman yang lain
sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu tanaman yang sejenis.
Perbedaan dalam hal cara, waktu dan musim pengambilan bahan tanam juga memberi
pengaruh pada keberhasilan kegiatan kultur jaringan. Penanganannya ada yang mudah dan
adapula yang sangat sulit. Yang banyak dilakukan dan dianggap relatif mudah misalnya
tanaman wortel, beberapa jenis anggrek, bawang, tembakau, pisang. Beberapa yang dikenal
sulit misalnya mangga, salak, bambu dan tanaman lain yang umumnya mengandung fenolat
tinggi atau bisa juga rendah kemampuan berdiferensiasi dan rediferensiasinya.
Bahan tanam yang sementara ini umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan dan
sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah:
a)    Sel, bahan ini biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah
ditentukan. Paling umum sel-sel ini diambil dari kalus, agar membentuk agregat kecil atau sel
tunggal maka kalus dimasukkan dalam media cair kemudian disentrifugasi berulang atau bisa
juga dengan prosedur enzimatik.
b)   Protoplas, bahan ini biasanya juga ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang
telah ditentukan. Mesofil daun, teras batang, kalus adalah bagian tanaman yang umum
dipakai sebagai sumber propolas. Untuk mendapatkan suspensi protoplas harus digunakan
medium yang mengandung enzim (enzimztic medium), proses pencucian dengan medium
pencuci (washing medium), sentrifugasi dan kemudian purifikasi.
c)    Jaringan meristem, adalah merupakan jaringan tanaman yang terdapat pada daerah-daerah
pertumbuhan. Ciri jaringan ini tersusun oleh sekelompok sel yang terus menerus membelah,
sehingga belum ada spesialisasi bentuk dan fungsi dari sel-sel yang menyususnnya. Pada
derah apikal meristem ada daerah yang sangat kecil terdiri dari sel-sel yang sangat progresif
sebagai titk pertumbuhan dan dikenal sebagai meristem dome. Meristem ini hanya dapat
diisolasi di bawah mikroskop dan terbukti baik sebagai bahan untuk mendapat tanaman yang
bebas bakteri dan virus.
d)   Kalus, adalah merupakan masa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali dan
belum terdiferensiasi. Sel-sel ini secara alamiah muncul dan tumbuh akaibat proses
perlakuaan atau akibat perlakuan tertentu dalam kultur jaringan. Bahan ini sangat potensial
untuk digunakan dalam berbagai kegiatan kultur lanjutan.
e)    Organ, bahan ini adalah bahan yang paling umum digunakan dalam kegiatan kultur
jaringan. Bahan ini meliputi: daun, batang, akar, biji, tunas, embrio, anther, kepala sari, dan
lain sebagainya. Bahan-bahan ini ada yang memang langsung digunakan untuk mendapatkan
produk yang diinginkan tetapi ada juga yang hanya digunakan sebagai bahan kultur awal
sehingga hanya sebagai jalan untuk mendapatkan organ juvenil, atau kalus yang umumnya
relatif bersifat meristematik dan steril.

2)      Budidaya yang terkendali.


Sifat bahan yang totipotensi saja tidak cukup intuk kesuksesan kegiatan kultur
jaringan. Keadaan media tempat tumbuh, lingkungan yang mempengaruhinya (kelembaban,
temperatur, cahaya) serta keharusan sterilitas adalah hal mutlak yang harus terkendali.
Konsep dasar yang kedua ini harus difahami benar. Informasi mengenai kultur yang
akan dilakukan harus banyak dicari. Mulai dari media dasar apa yang digunakan, perlu
modifikasi atau tidak, bagaimana komponen dan takaran vitamin yang ditambahkan, mau
padat atau cair, akan ada perlakuan hormon atau tidak, berapa konsentrasi yang digunakan,
hormon tunggal atau kombinasi, berapa pH media, seberapa banyak akan dibuat dan lain
sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini layak dilakukan dan harus dicari jawabannya
sebelum melangkah pada kegiatan teknisnya.
Agar pengaruh lingkungan terkendali maka harus ditentukan bagaimana pencahayaan
yang diperlukan, baik dari intensitas maupun periodisasi pencahayaannya. Pastikan dan catat
fluktuasi perubahan temperatur ruangan kultur, sesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan.
Pada laboratorium-laboratorium yang maju pengadaan generator untuk mengantisipasi
terjadinya gangguan aliran listrik umumnya sangat prioritas. Sedangkan untuk menjamin
sterilitaskegiatan kultur jaringan yang terdiri dari sterilitas bahan tanam, media tanam, alat-
alat, ruang tabur, laminar air flow, ruang inkubator, ruang kultur dan lain-lain dilakukan
secara spesifik.
Untuk bahan tanam umumnya sterilisasi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia
misalnya: alkohol, kalsium hipoklorit, Natrium hipoklorit, Hidrogen peroksida, Merkuri
klorid, Fungisida, Bakterisida, Betadin, Bayclin. Konsentrasi yang digunakan dan lamanya
perendaman antara satu dengan yang alinnya  berbeda-beda, ada yang digunakan pada
konsentrasi yang rendah karena sangat beracun (mercury clorid) hanya diperlukan 0,1-0,2
persen dengan lama perendaman 10-20 menit. Sedangkan alkohol yang diperlukan 
berkonsentrasi 70 % dan lama perendamannya hanya ½ hingga 1 menit saja. Namun
demikian penentuan sterilan, konsentrasi dan lamanya perendaman ditentukan oleh keadaan
dari bahan tanam. Seringkali diperlukan kajian tersendiri untuk dapat menentukan bahan
sterilan, konsentrasi dan lamanya perendaman. Tahapan ini penting menjadi perhatian karena
kecorobohan akan membawa keadaan bahan tanam tidak steril atau rusak hingga tidak
tumbuh.
Untuk sterilisasi peralatan dan media yang hendak dipakai biasanya dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut Autoclave. Alat ini bekerja atas dasar temperatur dan
tekanan. Ada yang kerjanya menggunakan listrik dan ada pula yang menggunakan kompor
gas. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121о C dengan tekanan antara 15 –
18 psi (pounds per squar inch) selama 15 menit. Sedangkan sterilisasi ruang transfer/penabur,
ruang inkubasi, ruang kultur umumnya dilakukan dengan menggunakan sinar ultra violet.
Khusus untuk laminar air flow biasanya sebelum penggunaan dibersihkan dengan alkohol 70
% kemudian lampu ultra violet dinyalakan selama 1 – 2 jam.
Perpaduan prinsip bahan tanam yang totipoten dan budidaya yang terkendali harus
pula diimbangi penguasaan teknik prosedur kerja yang baik. Kehati-hatian, kecermatan,
kketekunan dan usaha preventif menjaga kemungkinan terjadinya kontaminasi adalah sikap
yang sangat penting dikembangkan dalam kegiatan ini.

Tipe-Tipe Kultur Jaringan


            Dalam pelaksanaannya teknik kultur jaringan dijumpai beberapa tipe sebagai berikut:
1.    Kultur biji (seed culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan biji
atau seedling
2.    Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan
organ seperti; ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda,
inflorescentia, buku batang, akar dll
3.    Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan
sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai eksplannya.
4.    Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair
dengan pengecokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau
agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau
jaringan meristem.
5.    Kultur protoplasma, eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian
dindingnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat
dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas
biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi dua protoplas baik
intraspesifik maupun interspesifik)
6.    Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman yakni: kepala
sari/anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/pollen (kultur pollen), ovule
(kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.
Kultur in vitro memiliki peranan yang sangat penting untuk mendapatkan hasil-hasil
yang tidak mungkin dicapai melalui kultur in vivo. Berikut ini disajikan aplikasi sejumlah
metode kultur jaringan beserta tujuan dari aplikasi tersebut sebagaimana diuraikan oleh Pierik
1997 (dalam Zulkarnain, 2009).
Beberapa tipe kultur dan tujuannya berdasarkan macam jaringan atau organ yang
digunakan :
Tabel 5.1 tipe kultur dan tujuannya berdasarkan macam jaringan atau organ yang
digunakan
Tipe Kultur Tujuan
Kultur embrio        Mempersingkat siklus pemuliaan tanaman

       Mengatasi aborsi embrio


       Mengatasi inkompatibilitas
       Sebagai sumber pembentukan kalusw
Kultur biji anggrek        Mempersingkat siklus pemuliaan

       Menggantikan simbiosis (mikoriza)


Meniadakan kompetisi dengan mikroorganisme lain
      

Kultur meristem -     Eliminasi patogen (virus, cendawan, dan bakteri)


-      Perbanayakan vegetatif pada anggrek melalui protocorm-
like bodies (plb)
-      Perbanyakan klon tanaman selain anggrek
-      Penyimpanan tanaman bebas penyakit
-      Pengangkutan fotosintat
-      Koleksi plasma nutfah
Kultur tunas dan buku-      Perbanyakan anggrek
tunggal -     Percabangan aksilar sebagai sarana perbanyakan klon
tanaman
-    Kreopreservasi untuk membuat bank gen
Kultur eksplan tanpa buku -     Pembentukan organ vegetatif untuk perbanyakan klon
tanaman
-     Mendapatkan tanaman bebas penyakit
-     Isolasi mutan
-     Mengatasi masalah kimera
-     Mendapatkan poliploidi
Kultur kalus dan suspensi -     Perbanyakan klon tanaman melalui pembentukan organ
sel dan embrio
-     Regenerasi varian-varian genetika
-     Mendapatkan tanaman bebas virus
-     Sebagai sumber untuk produksi protoplas
-     Sebagai bahan awal untukkreopreservasi
-     Produksi metabolit sekunder
-     Biotransformasi
Kultur anthera dan -    Produksi tanaman haploid dan mendapatkan tanaman
mikrospora homozigot
-    Sebagai titik awal untuk induksi mutasi
-    Mendapatkan tanaman mandul yang semuanya berjenis
kelamin jantan
-    Sebagai sarana manipulasi genetika
-    Melakukan pemuliaan pada tingkat ploidi yang rendah
Kultur ovul -     Mengatasi inkompatibilitas
-     Mengatasi absisi bunga yang terlalu dini
-     Mendapatkan pembuahan secara in vitro
Kultur protoplas -     Hibridisasi somatik (melalui fusi protoplas)
-     Penciptaan hibrida sel (cybrid)
-     Pencangkokan inti, kromosom dan organel-organel sel
-     Penelitian transformasi
-     Regenerasi varian-varian genetika
Kultur sel, jaringan dan Sebagai sarana pada penelitian penyakit tanaman:
organ -     Penetrasi dan replikasi virus
-     Kultur parasit obligat
-     Interaksi inang-parasit
-     Kultur nematoda (kultur potongan akar)
-     Pengujian fitotoksin
-     Penelitian pembentukan nodul
Sebagai sarana pada penelitian fisiologi tanaman:
-       Penelitian siklus sel
-       Metabolisme tanaman
-       Penelitian nutrisi
-        Penelitian morfogenetik dan perkembangan

4. Kultur pada Hewan dan Tumbuhan 


4.1 Kultur pada Hewan
Kultur pada hewan yang dapat digunakan adalah dengan kultur sel, jaringan, dan
organ. Kultur sel adalah teknik pemeliharaan sel di dalam kondisi in-vitro. Seperti halnya
pada kultur organ, kultur bakal organ, maupun kultur jaringan, kultur sel juga
mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel tersebut berada di dalam kondisi in-vivo.
Sel hewan diisolasi dari organ yang bersangkutan. Selanjutnya, sel diupayakan untuk terpisah
satu dari yang lainnya. Sel hewan dipisahkan secara mekanis dan secara enzimatis. Sel-sel
yang diperoleh sebagian dipelihara di dalam kultur suspensi, dan sebagian dipelihara di
dalam kultur yang melekat. Selanjutnya kultur tersebut dipelihara di dalam medium yang
dilengkapi dengan serum di dalam suhu yang sesuai dengan asalnya. Untuk sel mamalia suhu
pemeliharaan adalah 37°C dan untuk sel aves suhu pemeliharaannya adalah 39°C.
Ukuran keberhasilan yang dapat digunakan dalam pembuatan kultur ini adalah tidak
adanya kontaminasi pada kultur, kesehatan sel selama dipelihara di dalam kondisi in-vitro,
dan keberhasilan sel memperbanyak diri. Menurut Listyorini (2001), cara pembuatan kultur
sel hewan adalah sebagai berikut.
a) Menyiapkan peralatan kultur yang dipakai, mematikan hewan coba secara mekanis
kemudian mengambil organ atau jaringan yang dikehendaki untuk dibuat kultur selnya,
mencuci organ atau jaringan di dalam larutan garam seimbang kemudian memindahkan
ke dalam wadah lain yang berisi larutan garam seimbang segar, Memindahan bahan
yang akan dikultur ke dalam sterile bench, kemudian melakukan penyiapan sel untuk
dikultur.
b) Penyiapan secara mekanis dilakukan dengan memotong organ atau jaringan, mencuci
potongan tersebut menggunakan larutan garam seimbang, memindahkan potongan
(ekplan) ke dalam wadah yang berisi larutan garam seimbang segar, menanam eksplan
ke dalam cawan atau botol kultur dan menambahkan medium kultur yang telah
ditambahkan dengan serum dan memelihara kultur di dalam inkubator CO2 dengan suhu
yang sesuai. Fungsi larutan garam seimbang adalah untuk memberikan lingkungan
fisiologis dan fisik yang baik bagi sel selama sel, jaringan atau organ dipersiapkan.
c) Penyiapan secara enzimatis dilakukan dengan memindahkan eksplan ke dalam labu
erlenmeyer dengan adanya larutan tripsin 5% di dalam medium tanpa serum, mengaduk
suspensi di atas magnetic stirrer dengan kecepatan sedang, setelah didapkan suspensi
sel, barulah menambahkan medium yang mengandung serum kemudian melakukan
sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Kemudian membuang
supernatan dan mengganti dengan medium segar yang mengandung serum. Untuk
kultur yang melekat menanam sebagian sel ke dalam cawan atau botol kultur untuk
kultur melekat dan menambahkan medium yang mengandung serum 10% dan
memelihara kultur sel di dalam inkubator CO2 dengan suhu yang sesuai.

Kultur jaringan adalah teknik pemeliharaan jaringan di dalam kondisi in-itro. Seperti
halnya pada kultur jaringan juga mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel tersebut
berada di dalam kondisi in-vivo. Keberhasilan kultur selain dapat dilihat dari tidak adanya
kontaminasi pada kultur, kesehatan jaringan selama dipelihara di dalam kondisi in-vivo, dan
berfungsinya jaringan yang dipelihara sebagaimana mestinya.
Kultur organ adalah teknik kultur jaringan yang dipakai untuk mempertahankan organ
secara utuh dan mempertahankan struktur serta fungsi organ tersebut. Kultur organ terdiri
atas dua macam teknik kultur, yaitu kultur organ dewasa dan kultur bakal organ. Kultur organ
dewasa pada umumnya dipakai untuk mempertahankan kehidupan organ yang diambil dari
tubuh baik yang masih sehat maupun kehidupan organ yang tidak mungkin dapat bertahan
hidup. Kultur bakal organ memelihara jaringan-jaringan bakal organ untuk dikembangkan di
dalam kondisi in-vitro. Indikator keberhasilan kultur organ hewan sama dengan kultur sel dan
jaringan.

Gambar 5.1.
Teknik Kultur
Jaringan
4.2. Kultur pada
Tumbuhan
Kultur jaringan termasuk ke dalam jenis perkembangbiakan vegetatif (Anonim,
2009). Bagian tumbuhan yang akan dikultur (eksplan) dapat diperoleh dari dari semua bagian
tumbuhan seperti pucuk, akar, meristem, bunga, bahkan serbuk sari.
Kultur jaringan lebih besar presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan
meristem (Hendaryono, 1994). Jaringan meristem adalah jaringan muda yaitu jaringan yang
terdiri atas sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mengalami penebalan dari
zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan jaringan meristem
digunakan karena keadannya selalu membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon
yang mengatur pembelahan.

(Sumber: Leavingbio, 2009)

Gambar 5.2. Jaringan Tumbuhan

Pelaksanaan teknik kultur jaringan berdasarkan teori sel yaitu mempunyai


kemampuan autonom bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Menurut Suryowinoto
(1991), totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil, apabila
diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan yang
sempurna. Sifat totipotensi merupakan potensi pada setiap sel penyusun jaringan dewasa
untuk mengadakan pembelahan dan membentuk individu baru. Sel-sel penyusun jaringan
dewasa (sel somatis) yang berada di bawah rangsangan tertentu memiliki potensi untuk
mengadakan pembelahan (embrionik) membentuk kalus. Selanjutnya, kalus dibawah
rangsangan tertentu memliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi individu baru multiselular
melalui diferensiasi (Haruna, 2009).
Teknik kultur jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila syarat- syarat yang diperlukan
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk
pembentukan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik, dan pengaturan
udara yang terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat
ditumbuhkan, tetapi sebaliknya dipilih bagian tumbuhan yang masih muda dan mudah
tumbuh yaitu bagian meristem, misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji,
dan lain-lain (Hendaryono, 1994).
Saat ini teknik kultur jaringan telah semakin luas penggunaannya, antara lain:

1. Meristem culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan
muda atau meristem.
2. Pollen culture/anther culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan
dari pollen atau benang sari.
3. Protoplast culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari
protoplas. Protoplas adalah sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya.
4. Chloroplast culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan kloroplas untuk
keperluan protoplas (memperbaiki sifat tumbuhan dengan membuat varietas baru).
5. Somatic cross Yaitu menyilangkan dua macam protoplas menjadi satu kemudian
dibudidayakan sampai menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat baru.
Persilangan ini dapat dilakukan dengan menggunakan zat kimia.

Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya.
Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan
perkembangan eksplan yang dutumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS)
sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk
pertumbuhan tumbuhan. Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan
vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi. Pada
media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada
media (eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam
media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur (Wikipedia, 2010).
Pelaksanaan kultur jaringan tumbuhan dapat dijabarkan sebagai berikut (Hendaryono,
1994).
1. Sterilisasi Alat Penabur
Entkas sebelum digunakan harus disterilisasi dengan menggunakan hand
sprayer berisi spiritus atau campuran formalin 10% dan alkohol 70% dengan
perbandingan 1:1 yang didiamkan selama 10 menit.

2. Sterilisasi Alat dan Medium


Alat-alat yang akan digunakan untuk kultur jaringan setelah dicuci dan
dikeringkan kemudian dibungkus dengan kertas payung dan disterilisasikan di dalam
autoklaf dengan suhu 121°C, tekanan 15 lb dalam waktu 20-30 menit. Botol-botol
eksplan yang sudah berisi medium setelah ditutup dengan aluminium foil kemudian
diterilisasikan. Sterilisasi medium memerlukan waktu 15 menit dengan tekanan dan
suhu yang sama pada sterilisasi alat-alat. Teknik pelaksanaan autoklaf adalah autoklaf
diisi air sampai batas kemudian botol eksplan dimasukkan ke dalamnya. Setelah
autoklaf ditutup rapat kemudian dinyalakan dan ditunggu sampai air mendidih dan
tekanan menunjukkan angka 15 (15 menit). Setelah autoklaf menunjukkan angka 0,
autoklaf boleh dibuka dan botol-botol di dalamnya dikeluarkan untuk disimpan
sampai saat digunakan.

3. Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan kimia.
a. Secara Mekanis
Cara ini digunakan untuk eksplan yang keras atau berdaging yaitu dengan cara
membakar eksplan di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Eksplan keras yang
disterilisasi dengan cara ini adalah tebu, biji salak, bung, buah anggrek, dll. Eksplan
berdaging adalah wortel, umbi, bawang putih, dll.
b. Secara Kimiawi
Sterilisasi secara kimiawi digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan
muda) seperti daun, tangkai daun, anther dan sebagainya. Bahan-bahan kimia yang
sering digunakan adalah: § Sodium hipoklorit, konsentrasi tergantung dari kelunakan
eksplan, antar 5%-10% dalam waktu 5-10 menit. Cara sterilisasi di dalam laminair
air flow adalah memasukkan eksplan ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan clorox,
erlenmeyer digoyangkan dengan arah memutar mendatar selama 3 menit. Kemudian
mencuci bersih eksplan menggunakan aquades steril sebanyak 3-5 kali selama 3
menit. Barulah eksplan diambil menggunakn pinset dan diletakkan di atas petridish
yang ada kertas saringnya.
§ Mercuri khlorit, cara perlakuan sterilisasi dengan sublimat sama dengan sterilisasi
dengan clorox, hanya waktunya lebih pendek karena bahan kimia ini sangat keras. §
Alkohol 70%
4. Menabur Eksplan
Menabur eksplan dilakukan dalam kondisi aseptik. Eksplan yang telah siap
ditanam, dipotong-potong dengan menggunakan skapel di dalam cawan petri.
Potongan eksplan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi media tumbuh hingga
permukaan yang teriris bersentuhan dengan medium. Selanjutnya, erlenmeyer ditutup
kembali dengan aluminium foil dan diinkubasikan di dalam ruang inkubator dan
intensitas cahaya disesuaikan dengan yang dikehendaki.
5. Melaksanakan Sub-kultur
Sub-kultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan
media yang baru sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus dapat
terpenuhi.
a. Sub-kultur pada media cair
Media cair cepat diserap oleh eksplan, maka empat hari sekali harus diganti dengan
media yang baru.
b. Sub-kultur pada media padat
Sub-kultur media padat lebih mudah dilakukan, yaitu hanya dengan meletakkan kalus
yang sudah terbentuk di atas cawan petri kemudian membelah-belah menjadi bagian
kecil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer baru yang berisi media baru.
6. Menumbuhkan Planlet (Tumbuhan Kecil)
Medium yang digunakan untuk menumbuhkan kalus adalah medium induksi
kalus. Sedangkan medium yang digunakan untuk menumbuhkan planlet adalah
medium diferensiasi yang komponen-komponen kimianya agak berbeda. Untuk
mendeferensiasikan suatu kalus agar dapat tumbuh akar dan tunas, maka harus sesuai
dengan medium sebelumnya. Bila memakai medium MS maka akan lebih baik bila
konsentrasi medium diferensiasinya separuh dari medium induksi kalus.

Sumber: Haruna, 2009


Gambar 5.3. Skema
Kultur Jaringan

Salah satu pembudidayaan tumbuhan menggunakan kultur jaringan adalah anggrek.


Teknik kultur jaringan dapat memperbanyak anggrek secara cepat. Adapun langkah kerja
yang dilakukan adalah
1. Membakar buah anggrek menggunakan spiritus
2. Menaburkan biji di dalam ruang penabur agar terjaga kondisi steril.
3. Setelah itu baru biji ditabur dalam media tumbuh yang telah disediakan dengan
menggunakan pinset. Media tumbuh yang biasanya digunakan adalah medium
Knudson C atau Vacin and Went (VW).
4. Overplanting dilakukan secara aseptis di dalam ruang penabur dengan cara: biji
anggrek yang telah ditabur akan berkecambah menjadi planlet dalam waktu 3-4 bulan
harus dipindahkan ke dalam medium baru, medium overplanting yang digunakan sama
dengan medium lama, di dalam ruang penabur, anggrek diambil satu-satu dengan
menggunakan pinset kemudian langsung dipindah ke dalam medium baru.

Gambar 4. Kultur Jaringan Anggrek

5. Manfaat Kultur Sel dan Jaringan


Manfaat dari kultur sel dan jaringan adalah a) eksplan yang dibutuhkan hanya sedikit
dan dapat diambil dari seluruh bagian tumbuhan, b) sifat genetik yang dihasilkan tetap,
sehingga dapat digunakan dalam pelestarian plasma mutasi, c) tidak bergantung pada musim
(pada tumbuhan), d) dapat waktu singkat dapat diperoleh bibit unggul yang banyak, e)
diperoleh bibit yang bebas virus dan penyakit, f) dapat menghasilkan metabolis sekunder, f)
Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah, g) dalam proses pembibitan bebas
dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan lainnya.
Kultur jaringan tumbuhan adalah suatu metode atau teknik mengisolasi bagian
tumbuhan (protoplasma, sel, jaringan, dan organ) dan menumbuhkannya pada media buatan
dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol sehingga bagian-bagian tumbuhan
tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan lengkap. Saat ini teknik kultur
jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan
biokimia tumbuhan saja, tetapi sudah berkembang menjadi metode untuk berbagai tujuan
seperti:
a. Mikropropagasi (perbanyakan tumbuhan secara mikro)
Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tumbuhan dalam
skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tumbuhan.
Jaringan tumbuhan dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan
tumbuhan secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan dalam skala industri di berbagai
negara untuk memproduksi secara komersial berbagai jenis tumbuhan seperti tumbuhan hias
(anggrek, bunga potong, dll.), tumbuhan buah-buahan (seperti pisang), tumbuhan industri dan
kehutanan (kopi, jati, dll). Dengan menggunakan metode kultur jaringan, jutaan tumbuhan
dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas.
Oleh karena itu metode ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tumbuhan secara
vegetatif.
b. Perbaikan tumbuhan
Dalam usaha perbaikan tumbuhan melalui metode pemuliaan secara konvensional,
untuk mendapatkan galur murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil
penyerbukan sendiri maupun persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh
tumbuhan homosigot dalam waktu singkat dengan cara memproduksi tumbuhan haploid
melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan kromosom.
Tumbuhan homosigot ini dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan tumbuhan dalam rangka
perbaikan sifat tumbuhan.
c. Produksi tumbuhan yang bebas penyakit (virus)
Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan
tumbuhan yang bebas dari virus. Pada tumbuhan yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada
tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus. Dengan cara
mengkulturkan bagian meristem akan diperoleh tumbuhan yang bebas virus.
d. Transformasi genetik
Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu keberhasilan
rekayasa genetika tumbuhan (transfer gen). Sebagai contoh transfer gen bakteri (seperti gen
cry dari Bacillus thuringiensis) ke dalam sel tumbuhan akan terekspresi setelah regenerasi
tumbuhan transgeniknya tercapai.

e. Produksi senyawa metabolit sekunder


Kultur sel tumbuhan juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa biokimia
(metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll. Teknologi ini sekarang
sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai contoh produksi secara komersial senyawa
shikonin dari kultur sel Lithospermum erythrorhizon.

6. Penerapan Teknologi Kultur Sel dan Jaringan


Salah satu penerapan ilmu kultur sel dan jaringan adalah upaya untuk meningkatan
produksi azadirahtin melalui kultur suspensi sel Azadirachta indica A.Juss melalui
penambahan skualen. Azadirachta indica atau tumbuhan nimba adalah salah satu jenis
tumbuhan yang menghasilkan berbagai zat aktif, salah satu bahan aktif tersebut adalah
azadirahtin, yaitu suatu senyawa triterpenoid yang berguna sebagai sumber terbaik untuk
biopestisida. Azadirahtin dapat digunakan sebagai biopestisida karena bersifat antifeedant
dan mengganggu pertumbuhan serta reproduksi serangga. Sampai saat ini, produksi
biopestisida dari tumbuhan nimba dilakukan dengan cara mengisolasi langsung dari
tumbuhan utuh, terutama dari biji. Setiap gram biji nimba mengandung 3,6 mg azadirahtin,
namun keberadaan nimba di Indonesia relatif sedikit karena daerah penyebarannya terbatas di
Pulau Jawa dan Bali. Eksploitasi terhadap tumbuhan ini menyebabkan penurunan
populasinya di alam yang secara langsung mengakibatkan berkurangnya sumber biopestisida,
khususnya azadirahtin. Eksploitasi terjadi karena nimba digunakan sebagai sumber obat-
obatan dan bahan bangunan. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan metode alternatif, yaitu
dengan menggunakan kultur jaringan (Zakiah, 2003).
Gambar 5.4.
Azadirachta
indica (Sumber:
Halim, 2009)

Tipe kultur yang dapat digunakan untuk menghasilkan metabolit sekunder pada
tumbuhan adalah kultur sel. Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan metabolit
sekunder dalam kultur jaringan adalah dengan penambahan prazat. Penambahan prazat ke
dalam medium kultur dapat merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam jalur
biosintesis sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Prazat yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kandungan senyawa triterpen secara in vitro adalah skualen,
yang merupakan senyawa triterpen linear tak jenuh dan prazat untuk semua triterpen.
Penambahan skualen sebagai prazat ke dalam kultur sel A. indica diharapkan dapat
meningkatkan kandungan
azadirahtin secara in vitro.
Penelitian yang dilakukan oleh Zakiah, dkk (2003) bertujuan untuk mengetahui umur
kultur yang optimum untuk memperoleh produksi azadirahtin tertinggi dalam kultur suspensi
sel A. indica dan pengaruh penambahan skualen terhadap produksi azadirahtin di dalam
kultur suspensi sel A. indica. Bahan dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Kultur kalus
Kalus diinduksi dari potongan eksplan daun majemuk kedua dan ketiga tumbuhan A.
indica yang diperoleh. Eksplan ditanam pada medium padat MS yang ditambah zat pengatur
tumbuh (ZPT) dengan komposisi 0,5; 5,0; 7,5μM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D)
yang dikombinasikan dengan 0,1; 1,0; 5,0μM benzilaminopurin (BAP).
2. Kultur suspensi sel
Kalus meremah terbaik yang diperoleh dari kultur kalus diinokulasikan ke dalam
medium cair MS yang ditambah ZPT berupa 0,1; 0,5; 1,0 μM 2,4-D yang dikombinasikan
dengan 0,1; 0,5; 1,0μM BAP, dan sebagai kontrol digunakan medium tanpa penambahan
ZPT. Kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang menghasilkan pertumbuhan terbaik, yaitu
kultur dengan berat massa sel tertinggi akan digunakan untuk pembuatan kurva pertumbuhan
sel, kurva kandungan azadirahtin dan perlakuan prazat.
a. Kurva pertumbuhan sel
Kurva pertumbuhan dibuat untuk melihat pengaruh waktu (umur kultur) terhadap
berat kering. Berat kering diperoleh setelah sel dikeringkan dengan freeze dryer hingga
mencapai berat konstan. Sampling untuk pengukuran berat kering dilakukan setiap dua hari
sampai pertumbuhan mengalami penurunan.
b. Kurva kandungan azadirahtin
Kurva kandungan azadirahtin ditentukan dari hasil pengukuran kandungan azadirahtin
di dalam massa sel dan medium dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Pengukuran dilakukan setiap dua hari sekali hingga umur kultur 20 hari.
Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kandungan azadirahtin pada setiap fase
pertumbuhan suspensi sel, sehingga waktu penambahan prazat dapat ditentukan.
c. Penambahan prazat
Prazat yang digunakan adalah skualen dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 μM.
Penambahan skualen ke dalam suspensi sel dilakukan pada saat kandungan azadirahtin
sedang meningkat. Pemanenan dilakukan setiap dua hari sampai kultur berumur 12 hari dari
waktu penambahan skualen.
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Bahan kering (sel) yang telah digerus
ditimbang sebanyak 0,1 g, lalu diekstrak dengan 10 mL metanol teknis dalam labu
erlenmeyer yang diagitasi dengan alat pengocok pada kecepatan 120 rpm selama 48 jam.
Selanjutnya ekstrak disaring dengan kertas saring Whatman no.1. Residu dibilas dua kali
dengan 5 mL metanol teknis, filtratnya kemudian diuapkan dengan vaccum rotary
evaporator sampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan
desikator, lalu ditimbang, kemudian dilarutkan dengan 2 mL metanol Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT).
Medium sebanyak 10 mL dikeringkan dengan freeze dryer untuk menghilangkan kandungan
airnya, diekstrak dengan 10 mL metanol teknis, dan dilanjutkan dengan penyaringan
menggunakan kertas saring Whatman no.1, residunya dibilas dua kali dengan 5 mL metanol
teknis. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan vaccum rotary evaporator sampai semua pelarut
menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang dan
dilarutkan dengan 2 mL metanol KCKT.
Analisis kualitatif dan kuantitatif azadirahtin dilakukan dengan menggunakan KCKT
dengan jenis kolom Shim-pack CLC-ODS (C18, Ø 6,0 mm x 0,15 mm). Elusi dilakukan
dengan menggunakan metanol:air (6:4) secara isokratik dengan kecepatan aliran 1 mL/menit
dan diamati pada UV λ 214 nm.
Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi puncak (peak)
pada sampel dengan azadirahtin standar (SIGMA). Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara
mengkonversi luas area sampel dengan luas area standar. Kurva standar diperoleh dari data
luas area berbagai konsentrasi larutan azadirahtin standar, kemudian dibuat hubungan luas
area dengan kandungan azadirahtin.
Tekstur kalus yang dihasilkan berupa kalus kompak dan kalus meremah. Perlakuan
yang menghasilkan kalus yang paling meremah adalah pada medium dengan penambahan
penambahan zat pengatur tumbuh berupa 0,5µM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) dan
1,0µM benzilamino purin (BAP) atau 0,5 μM 2,4-D + 1,0 μM BAP. Tekstur pada kalus dapat
bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tumbuhan yang digunakan,
komposisi nutrien medium, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan kultur. Pertumbuhan
in vitro sangat ditentukan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam medium dan zat pengatur tumbuh endogen yang dihasilkan oleh sel
yang dikultur.
Pertumbuhan kultur suspensi terbaik dengan berat kering sel tertinggi diperoleh pada
medium dengan penambahan 0,1 μM 2,4-D + 1,0 μM yaitu 0,259 ± 0,087g. Pertumbuhan sel
yang stabil dapat membentuk populasi sel dengan aktivitas fisiologi yang homogen, yaitu
dalam mensintesis metabolit sekunder dan dalam pembentukan vakuola sebagai tempat
penyimpanan metabolit sekunder. Dalam bidang kesehatan, kultur sel dapat digunakan untuk
mengobati penyakit tertentu. Kultur sel atau yang biasa disebut sebagai stem sel atau sel
induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio menjadi sel awal yang tumbuh menjadi
berbagai organ. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu berdeferensiasi menjadi berbagai sel
matang dan mampu meregenerasi diri sendiri. Stem cell adalah sel yang tidak atau belum
terspesialisasi dan mempunyai kemampuan (potensi) untuk berkembang menjadi berbagai
jenis sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh (Jusuf, 2008).

Gambar 5.5. stem cell (Sumber: Rismaka, 2009)


Embryonic stem cells adalah sel yang diambil dari inner cell mass (suatu kumpulan
sel yang terletak di satu sisi blastokista) embrio berumur 5 hari dan terdiri dari 100 sel. Sel ini
mempunyai sifat dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal
dan dalam keadaan tertentu dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang
terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit dan sebagainya, sehingga dapat
dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.
Sumber lain adalah sel stem dewasa, yakni sel induk yang terdapat di semua organ
tubuh, terutama di dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang
mengalami kerusakan. Tubuh mengalami perusakan oleh berbagai faktor dan semua
kerusakan yang mengakibatkan kematian jaringan dan sel akan dibersihkan. Sel stem dewasa
dapat diambil dari fetus, sumsum tulang, dan darah tali pusat. Sel induk embrionik maupun
sel induk dewasa sangat besar potensinya untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif,
seperti infark jantung, stroke, parkinson, diabetes, berbagai macam kanker; terutama kanker
darah dan osteoarthritis. Sel stem embrionik sangat plastis dan mudah dikembangkan menjadi
berbagai macam jaringan sel sehingga dapat dipakai untuk transplantasi jaringan yang rusak.
Keuntungan sel induk dari embrio di antaranya adalah mudah didapat dari klinik
fertilitas dan bersifat pluripoten sehingga dapat berdiferensiasi menjadi segala jenis sel dalam
tubuh. Pada kultur sel ini dapat berpoliferasi beratus kali lipat sehingga berumur panjang,
Namun, sel induk ini berisiko menimbulkan kanker jika terkontaminasi, berpotensi
menimbulkan penolakan, dan secara etika sangat kontroversial. Sementara sel induk dewasa
dapat diambil dari sel pasien sendiri sehingga menghindari penolakan imun, sudah
terspesialisasi sehingga induksi jadi lebih sederhana dan secara etika tidak ada masalah.
Kerugiannya, sel induk dewasa ini jumlahnya sedikit, sangat jarang ditemukan pada jaringan
matur, masa hidupnya tidak selama sel induk dari embrio, dan bersifat multipoten sehingga
diferensiasinya tidak seluas sel induk dari embrio. Stem cells dapat digunakan untuk
keperluan baik dalam bidang riset maupun pengobatan.
Adapun penggunaan kultur stem cells adalah sebagai berikut.
1. Terapi gen Stem cells khususnya hematopoetic stem cells digunakan sebagai
pembawa transgen kedalam tubuh pasien dan selanjutnya dilacak apakah jejaknya
apakah stem cells ini berhasil mengekspresikan gen tertentu dalam tubuh pasien.
Adanya sifat self renewing pada stem cell menyebabkan pemberian stem cells yang
mengandung transgen tidak perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu hematopoetic
stem cells juga dapat berdifferensiasi menjadi bermacam-macam sel sehingga
transgen tersebut dapat menetap diberbagai macam sel.
2. Penelitian untuk mempelajari proses-proses biologis yang terjadi pada organisme
termasuk perkembangan organisme dan perkembangan kanker
3. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat baru terutama untuk
mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan
4. Terapi sel (cell based therapy). Stem cell dapat hidup di luar tubuh manusia, misalnya
di cawan petri. Sifat ini dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada stem cells
yang akan ditransplantasikan ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-
penyakit tertentu tanpa mengganggu organ tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Kultur Jaringan (online), (http://ennotech.blogspot.com, diakses


tanggal 26 April 2010).
Achmad, Tri Hanggono. 2008. Satu Abad Kultur Sel dan Jaringan:
Perkembangan Teknologi dan Implementasinya, (Online), Vol.40, No.3,
(http://www.mkb-online.org.htm, diakses tanggal 8 Februari 2010).
Haruna. 2009. Totipotensi dan Kultur Jaringan (online), (http://curhat-
coret.blogspot.com, diakses tanggal 10 April 2010).

Hendaryono, Daisy P. Sriyanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius.

Jusuf, Ahmad Aulia. 2008. Aspek Dasar Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem
Cells) dan Potensi Pengembangannya. Jakarta: makalah tidak diterbitkan.

Katuuk, Jeanette R.P. 1989. Tekhnik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi


Tanaman. Jakarta: Depdikbud.
Leavingbio, 2010. Cell Diversity (online), (http://leavingbio.net, diakses tanggal
28 April 2010).
Listyorini, Dwi. 2001. Kultur Jaringan Hewan. Malang: FMIPA UM.

Rismaka. 2009. Kultur Sel Sebagai Teknik Pengobatan di Masa Depan (Online),
(http://okebanget.net, diakses tanggal 28 April 2010).

Wikipedia. 2010. Kultur Jaringan (online), (http://id.wikipedia.org, diakses tanggal


10 April 2010).
Zakiah, Zulfa, Marwani, E., Siregar, Arbayah, H. 2003. Peningkatan Produksi
Azadirahtin dalam Kultur Suspensi Sel Azadirachta indica A.Juss melalui
Penambahan Skualen. Jurnal Matematika dan Sains Vol. 8, No. 4, Desember
2003, hal 141 – 146, (online), (http://www.fp.unud.ac.id/biotek/wp-content,
diakses tanggal 10 April 2010)
http://goth-id.blogspot.com/2012/04/bioteknologi-kultur-sel-dan-jaringan.html

https://rennyambar.wordpress.com/2013/07/15/satu-abad-kultur-sel-dan-jaringan-
perkembangan-teknologi-dan-implementasinya/
7. Kultur Jaringan Pisang
Pisang adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae yang merupakan
komoditas bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Propinsi Kalimantan Selatan merupakan
salah satu daerah produksi dan wilayah potensial dikembangkannya tanaman pisang. Oleh
karena jenisnya yang beranekaragam pisang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mulai dari
bentuknya yang berupa pangan seperti pisang goreng, jumput-jumput pisang, kolak pisang,
dan lain sebagainya. Pisang juga dimanfaatkan dalam pembuatan kerajinan rakyat seperti
anyaman topi, tas, dan lainnya.
Jenis pisang yang dikenal di Kalimantan Selatan antara lain pisang menurun (kapok),
pisang mauli(uli), pisang talas dan pisang raja. Pisang kepok dan talas sering dikonsumsi oleh
masyarakat dalam bentuk kolak pisang atau pisang goring, sedangkan pisang mauli (uli)
sering dihidangkan sebagai pencuci mulut dalam acara selamatan dan perkawinan.
Kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit
yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan
perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan
mendapatkan bahan tanam dalam jumlah besar dalam waktu singkat (Priyono et al., 2000).
Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur
dengan eksplan bonggol. Apabila dibandingkan dengan jantung pisang maka
mendapatkannya lebih mudah dan jumlah eksplan yang di dapat lebih banyak bahkan
mencapai 200 eksplan setiap jantung pisang, serta lebih kecil resikonya terhadap kontaminasi
sebab bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh kelopak.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan

1. Untuk menemukan teknik perbanyakan bibit pisang abaca dengan bantuan zat
pengatur tumbuh BAP, Kinetin dan NAA pada media propagasi.
2. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara campuran NAA dan Kinetin terhadap
pertumbuhan tiga kultivar buah pisang secara teknik kultur jaringan.
3. Untuk mengetahui perkembangan meristem pisang barangan (Musa paradisiaca L.)
dalam media MS dengan berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh(ZPT) NAA, IBA,
BAP, dan kinetin.

Manfaat
Manfaat dari makalah ini sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan
penulis mengenai kultur jaringan pisang abaca, media yang digunakan dan perkembangan
meristem pisang barangan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pisang
Pisang berasal dari bahasa Arab yaitu maus dan menurut Linnaeus termasuk keluarga
Musaceae (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Pisang barangan merupakan pisang yang paling
populer di Sumatera Utara (Nuswamarhaeni, dkk, 1999, hlm. 56). Indonesia merupakan salah
satu negara penghasil tanaman pisang dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dan
tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu jenis pisang yang
sangat digemari oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal dibandingkan jenis lainnya
(Nainggolan dkk, 2002 dalamWahyudi, 2004).
Adapun botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan seperti
pohon, tinggi 2-9 m; batang pendek dalam tanah yang disebut Corm; mempunyai
kuncup-kuncup tunas yang akhirnya berkembang menjadi anakan. Akar liar (adventif)
tumbuh menyebar secara lateral, dapat mencapai panjang 4-5 m. Batang yang di atas
permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun yang
berdaging, membentuk suatu bentuk silindris dengan diameter 20-50 cm. Daun baru yang
terbentuk tumbuh dari batang semu. Helai daun berbentuk oblong yang besar dengan panjang
150-400 cm dengan lebar 70-100 cm. Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang
semu, maka pembentukan helai daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul menjadi
beberapa kelompok (sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun penumpu yang besar,
berwarna merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga. Keseluruhan kelompok bunga ini
bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga disebut sebagai jantung pisang. Daun
penumpu dari setiap kelompok bunga akan luruh setelah terjadinya proses perkembangan
buah (Sudarnadi,1996, hlm. 85).
Menurut Steenis (2003), kedudukan pisang barangan dalam taksonomi adalah:
Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermae, Kelas :
Monocotyledoneae, Ordo : Zingiberales, Famili : Musaceae, Genus : Musa, Spesies : Musa
sp.
Tanaman pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di
Indonesia, tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh danmberproduksi
baik pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara 0-1000 m diatas permukaan
laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai tempat sehingga penanaman yang dilakukan
oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman lainnya. Selain itu
pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif, sehingga produksi dan mutu
buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung, 1994).

Teknik Kultur Jaringan


Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefcel cultuus atau
gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan
tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya (Suryowinoto, 1991
dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994). Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur
jaringan adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi
pasokannya rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di
samping itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk
memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen
yang perlu diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (Yusnita, 2003,
hlm. 9).
Perbanyakan bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan
yang telah dilakukan terutama untuk beberapa jenis tanaman yang diperbanyak secara klonal.
Tujuan utamanya adalah memproduksi bibit secara massal dalam waktu singkat. Hal ini
terutama dilakukan pada tanaman-tanaman yang persentase perkecambahan bijinya rendah.
Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang menunjukkan sifat male sterility, hibrida-
hibrida yang unik, perbanyakan pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah dan tanaman
yang selalu diperbanyak secara vegetatif seperti kentang, pisang dan strawberry juga
diperbanyak secara kultur jaringan (Gunawan, 1987 dalam Mattjik, 2005, hlm 17).
Tujuan lain dari kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman dalam
ukuran yang sekecil-kecilnya sehingga menjadi beratus-ratus ribu tanaman kecil (klon), dan
untuk menghasilkan kalus sebanyak-banyaknya agar dapat menghasilkan metabolit sekunder,
misalnya untuk keperluan obat-obatan.
Perbanyakan secara kultur jaringan dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman
seperti organ, jaringan, kumpulan sel, sel tunggal, protoplasma, dan kemudian menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan aseptik yang kaya nutrisi dan mengandung zat
pengatur tumbuh. Proses ini berlangsung di dalam wadah tertutup yang tembus cahaya
sehingga bagian-bagain tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi
tanaman lengkap (Saptarini, dkk, 2001, hlm. 23).

Zat Pengatur Tumbuh


Di dalam tubuh tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam
pertumbuhan dan perkembangan demi kelangsungan hidupnya. Zat pengatur tumbuh pada
tanaman (plant regulator), adalah senyawa organik, yang dalam jumlah sedikit dapat merubah
proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1982).
Perkembangan kalus dikendalikan oleh hormon yang ditambahkan ke dalam media,
khususnya auksin dan sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi
morfogenesisi kalus menjadi tanaman utuh atau organ-organ saja. Keseimbangan hormon
yang diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat beragam
antara kultivar satu dengan yang lain. Bila keseimbangan auksin/sitokinin dalam medianya
tepat, maka kelompok kalus akan segera terbentuk (Nasir, 2002, hlm. 33).
Berdasarkan struktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunanadenin (BAP,
kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (Thidiazuron/TDZ). BAP dan TDZ mempunyai respon
fisiologis yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, deferensiasi pertumbuhan
jaringan dan organ serta biosintesa klorofil (Murthy et al. 1995). Pengaruh penggunaan TDZ
dalam perbanyakan in vitro di antaranya adalah meningkatkan biosintesis atau akumulasi
sitokinin dan auksin endogen, menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat
pengatur tumbuh lainnya, merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ adventif
(Huetteman dan Preece, 1993).

Sitokinin/ BAP
Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin.
Didalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan ganda dalam rantai
tersebut, akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini (Abidin, 1982, hlm.55). Secara
umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0.1 – 10 mg/l. Dalam kasus
tertentu, konsentrasi kinetin sampai 30 mg/l pernah digunakan, tetapi jarang terjadi
(Gunawan, 1995). Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan
dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan
induksi umbi. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi bila tidak ada sitokinin.
Sitokinin terutama berperan di dalam pembentukan benang gelendong pada metafase
(Wattimena, 1992 dalam Nasution, 2003). Menurut Santoso dan Nursandi (2004, hlm. 105),
bahwa secara lebih luas peran sitokinin dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sitokinin berperan dalam memacu pembentangan sel, pembesaran dan pembelahan sel.
2. Sitokinin berperan dalam penundaan senesens (penuaan), caranya dengan jalan sitokinin
menghambat penguraian protein. Penuaan terjadi karena penguraian protein menjadi asam
amino oleh enzim-enzim protese, RNAse, DNAse. Artinya di sini penghambatan atau
penundaan penuaan terjadi karenakinerja enzim-enzim di atas dihambat sitokinin sehingga
umur protein lebih panjang.
3. Sitokinin ini berperan mengarahkan transpor zat hara, yaitu memberi signal ke arah mana
zat hara akan dibawa atau ditransport.
4. Peran sitokinin yang lain adalah: mendorong proses morfogenesis, pertunasan,
pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan
stomata, dan pembungaan.
5. Dalam kegiatan kultur jaringan sitokinin telah terbukti dapat menstimulasi terjadinya
pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung,
menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus, golongan
sitokinin yang sering ditambahkan dalam medium antara lain adalah: kinetin, zeatin, dan
Benzil Amino Purin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Penggunaan BAP dengan
konsentrasi tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regeneran sulit berakar
dan dapat menyebabkan penampakan pucuk yang abnormal(Gunawan, 1995 hlm 45).

Auksin/NAA
Istilah auksin pertama kali digunakan untuk menyebut suatu senyawa yang mungkin
dapat menyebabkan pembengkokan koleoptil ke arah cahaya ( Salisbury dan Ross,1992)
Indolacetic Acid (IAA) adalah auksin endogen atau auksin yang terdapat pada tanaman
(Wattimena, 1988, hlm. 7). Adapun zat pengatur tumbuh yang digolongkan sebagai auksin
sintetis, yaitu: asam a-naftalenaasetat (NAA), asam 2,4-diklorophenoksi asetat (2,4-D), asam
2- metil-4-klorophenoksi asetat (MCPA), asam 2-naftalosiasetat (NoA), asam 4-
klorophenoksi asetat (4-CPA), asam p-klorophenoksi asetat (PCPA), asam 2,4,5-
triklorophenoksi asetat (2,4,5-T), asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino-3,5,6-
trikoloropikolinik (Santoso dan Nursandi, 2004, hlm.98).
Pada konsentrasi yang rendah, auksin berpengaruh baik pada proses pemanjangan sel
(Abidin, 1982). Sebaliknya, dalam konsentrasi yang terlalu tinggi auksin justru dapat
menghambat perpanjangan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan auksin harus sungguh-
sungguh memperhatikan dosis yang dianjurkan ( Salisbury dan Ross, 1992 dan Widarto,
1996).

Eksplan
Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk
kemudian dikulturkan (Katuuk, 1989). Bagian tanaman yang dapat dikultur adalah selsel
muda (meristematis), dapat berupa sel, jaringan apapun, organ, buah, biji, serbuk sari, ovum
(telur), ovulum (bakal buah), dan lain-lain. Bahkan sel tunggal yang berasal dari sel somatik
dan protoplas juga dapat dikulturkan (Muslim, 2003, hlm. 348). Dalam pemilihan bagian
tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan
memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen.
Endosperma hanya digunakan untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian
tanaman, genotip atau varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi
(Gunawan, 1995, hlm. 41). Dalam kultur jaringan, sumber eksplan harus berasal dari pohon
induk terpilih. Hal ini seringkali dapat menjadi kendala dalam proses produksi bahan pangan
melalui kultur jaringan (Priyono, 2000).

Media Kultur Jaringan


Faktor penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, zat
pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Komposisi garam anorganik telah dikembangkan
oleh para ahli. Ada yang tinggi konsentrasi garamnya, ada yang sedang dan ada yang rendah
(Gunawan, 1995, hlm. 42). Pada media aseptik yang mengandung unsur hara makro dan
mikro, Fe, vitamin, dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan tanaman, sel atau jaringan
tersebut akan membelah dan membentuk kalus atau organ tanaman secara langsung (tunas
atau akar). Selanjutnya kalus ini akan distimulasi untuk membentuk tanaman sempurna
(Haryanto, 1991 dalam Marlina, 2004).
Unsur makro yang dimaksud adalah : C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg dan
unsur-unsur mikro adalah : Zn, Mn, Cn, Bo, Mo, Si, Al, Cl, Co dan Fe. Unsurunsur tersebut
diberikan bukan dalam bentuk unsur murni tetapi dalam bentuk garam. Sebelum digunakan
garam-garam tersebut harus dicampur dengan air suling (akuades) (Widarto, 1996, hlm. 127).

Kultur Jaringan Pisang


Kultur jaringan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan sel, jaringan, dan organ
tanaman pada medium buatan secara aseptik dalam lingkungan yang terkendali. Pengadaan
bibit dengan cara ini, sangat sesuai untuk usaha pisang dalam skala besar (industri). Pada
umumnya media yang digunakan dalam kultur jaringan pisang ini adalah MS (Roedyarto,
1999 dan Gunawan, 1995). Pisang umumnya diperbanyak dengan anakan. Anakan yang
berdaun pedang lebih disenangi petani, sebab pohon pisang yang berasal dari anakan
demikian akan menghasilkan tandan yang lebih besar pada panen pertamanya (tanaman
induk). Bonggol atau potongan bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Tetapi
jantung pisang juga merupakan eksplan yang menguntungkan karena mudah
mendapatkannya dan resiko kontaminasi lebih kecil karena bukan berasal dari tanah dan
tertutup rapat oleh kelopak bunga (Nisa dan Rodinah, 2005). Kini telah dikembangkan kultur
jaringan untuk perbanyakan secara cepat, melalui ujung pucuk yang bebas-penyakit. Cara ini
telah dilaksanakan dalam skala komersial, tetapi adanya mutasi yang tidak dikehendaki
menimbulkan kekhawatiran. Dalam perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan, ada
empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap inisiasi. Pada tahap ini eksplan
membentuk kalus dan bertunas banyak. Kedua, tahap pelipatan tunas (multiplikasi) yaitu
tunas yang sudah terbentuk dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam medium agar tumbuh
tunas baru (perbanyakan sub kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet) dan
tahap terakhir yaitu tahap aklimatisasi lingkungan (Sunarjono, 2002 dalam Wahyudi,2004,
hlm. 7).

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: anakan pisang Abaca, jantung
pisang barangan, anakan pisang barangan, agar sebagai pemadat, sukrosa, NAA, Kinetin,
IBA BAP, desinfektan (Sunclin, Dithane, Alkohol 70% dan 95%, Betadine dan Aquadest
steril), alkohol, 96%, HCl pekat, NaOH, aquades, deterjen, clorox, dan air steril dan bahan
lain yang mendukung penelitian ini. Media dasar yang digunakan adalah media MS
(Murashige and Skoog) ditambah dengan beberapa rasio konsentrasi BAP, NAA dan Kinetin.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (botol kultur, gelas
ukur, beaker glass, Erlenmeyer, dan petridish), timbangan analitik, pH meter, autoclave,
Laminar Air Flow (LAF), peralatan diseksi (pinset, gunting dan scalpel), stirrer, lampu
spiritus, rak kultur dengan lampu 40 watt dan alat lain yang mendukung penelitian ini.

Metode Kerja
Jurnal 1
Penelitian terdiri dari 2 tahap yaitu tahap induksi tunas dan tahap pengakaran tunas
mikro. Tahap induksi tunas disusun secara acak lengkap dengan 5 ulangan dan 4 perlakuan
konsentrasi BAP yaitu 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, dan 7 ppm. Secara pararel tahapan yang sama
dilakukan dengan perlakuan Kinetin. Tahap pengakaran tunas mikro disusun hanya dengan 1
faktor dan 3 ulangan. Dengan menggunakan 4 taraf konsentrasi NAA yaitu 0 ppm, 1 ppm,
1,25 ppm dan 1 ppm. Eksplan yang digunakan berupa tunas abaka dari kultur steril. Eksplan
dikulturkan pada media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan.
Jurnal 2
Penelitian ini disusun menurut rancangan acak lengkap (RAL) factorial menggunakan 2
faktor, factor pertama adalah zat pengatur tumbuh (a) yang terdiri dari 6 taraf konsentrasi.
Factor kedua adalah kultivar pisang (b) yang terdiri dari 3 taraf.

Jurnal 3
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap(RAL) non
faktorial dengan 9 perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh dalam media.
Inokulasi eksplan
Sebelum penanaman, LAFC disterilkan dengan alkohol 96% dan dilakukan pentinaran
lampu UV selama 10 menit. Kemudian dipotong meristem pucuk dengan scalpel ± 1 cm³,
dan langsung ditanam pada media. Setelah ditanam, botol kultur ditutup rapat, ditempatkan
keruang kultur.

Pengamatan Variabel Kultur


Eksplan yang diamati adalah eksplan hidup, ekspla mati, kontaminasi, pembentukan
akar, pembentukan tunas dan akar, dan perkembangan lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kultur Jaringan Pisang Abaca dengan Bantuan Zat Pengatur Tumbuh BAP, Kinetin
dan NAA Pada Media Propagasi
Seluruh konsentrasi BAP dan Kinetin yang diperlakukan terhadap eksplan mampu
memicu induksi tunas adventif dari eksplan yang dikulturkan. Eksplan berupa tunas steril
Abaca menunjukkan respon perubahan setelah diinkubasi pada media kultur in vitro. Pada
permulaannya, pangkal eksplan tampak membesar dan waarna hijau menjadi lebih kuat.
Tunas tercepat muncul pada 8,2 hari setelah kultur. Berdasarkan data penelitian, konsentrasi
BAP 6 ppm cenderung member pengaruh lebih baik pada tahap induksi tunas. Sedangkan
kinetin 7 ppm memberikan hasil jumlah tunas terbanyak.
Pada tahap pengakaran tunas abaka, eksplan yang dipergunakan adalah tunas mikro
dengan jumlah daun 3 dan tinggi 3 cm yang berasal dari tahap induksi tunas. Semua
perlakuan yang diberikan mampu memicu pertumbuhan akar dan seluruh eksplan yang
dikulturkan pada tahap ini mampu membentuk akar. Akar pertama tumbuh pada hari ke-3
setelah kultur. Rata-rata akar terbentuk pada hari ke-11 setelah kultur. Eksplan yang dikultur
pada media tanpa penambahan NAA paling mudah membentuk akar. Pada kondisi ini akar
yang dihasilkan paling panjang tetapi jumlah akar lebih sedikit. Perlakuan NAA 1 ppm
menghasilkan jumlah akar lebih banyak tetapi panjang akar lebih pendek dibandingkan
dengan perlakuan 0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan yang cenderung member
hasil lebih baik pada tahap pengakaran tunas abaka adalah pengkulturan pada media tanpa
penambahan NAA.
Tunas mikro yang dikulturkan pada media yang diperkaya dengan NAA juga
membentuk akar liar. Semakin tinggi konsentrasi NAA, jumlah akar liar yang terbentuk
semakin banyak karena auksin memacu perkembangan akar liar (Salisbury dan Ross, 1995).
Dari hasil pengamatan tersebut tampak bahwa penambahan auksin ke dalam media
perakaran, eksplan tunas abaka mampu menginduksi akar lebih cepat dan menghasilkan akar
paling panjang walaupun jumlah yang dihasilkan lebih sedikit di banding seluruh perlakuan
yang lain. Hal ini diduga karena eksplan telah mengandung auksin endogen yang mampu
memacu induksi akar. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan, sel umumnya mengandung
auksin cukup atau hamper cukup untuk memanjang secara normal.
Peningkatan konsentrasi NAA di atas 1 ppm secara nyata menghambat pertumbuhan
akar. Akar terbentuk lebih lama dengan jumlah cenderung berkurang dan lebih pendek. Hal
ini disebabkan konsentrasi auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan akar
(Priyono,2001). NAA 1 ppm menghasilkan akar dalam jumlah lebih banyak tetapi panjang
akar lebih pendek dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian NAA. Menurut Delvin
(1975) dalam Abidin (1985) pemberian konsentrasi auksin yang relative tinggi menyebabkan
terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.
Berdasarkan data-data yang ada, diduga konsentrasi optimum NAA untuk pertumbuhan
akar abaka terdapat antara rentang 0-1 ppm. Auksin dalam konsentrassi yang tepat sangat
berperan aktif dalam proses diferensiasi sel, namun pada taraf yang melebihi konsentrasi
optimum dapat bersifat racun (Wareing dan Phillips, 1970 dalam Priyono, 1993).

Kultur Jaringan beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca l.) dengan
Pemberian Campuran NAA dan Kinetin
Persentase hidup
Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat dilihat bahwa, persentase hidup eksplan
sangat bervariasi dan perlakuan NAA dan kinetin, kultivar pisang, dan interaksi keduanya
tidak berpengaruh nyata. Beberapa eksplan yang mati rata-rata disebabkan oleh pencoklatan
dan infeksi mikroba. Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesi metabolit sekunder.
Fitriani (2003) mendapatkan bahwa warna coklat kalus menandakan sintesis senyawa
fenolik. Sintesi senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman
(Vickery dan Vickery, 1980). Pencoklatan juga disebabkan oleh adanya gen B. Menurut
Purwanto(1991) keberadaan sejumlah genom B mempengaruhi tingkat kandungan fenol dan
aktivitas polyphenoloksidase, semakin tinggi pula aktivitas enzim polyphenoloksidase. Hal
ini ditunjukan dengan tingginya produksi phenol pada pisang kepok yang memiliki genom
BBB dan pisang raja yang memiliki genom AAB, sedangkan pada pisang mauli pencoklatan
lebih kecil.
Kontaminasi
Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi karena adanya
infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan kontaminasi eksternal dilakukan
dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman. Inferksi internal tidak dapat dihilangkan dengan
sterilisasi permukaan (Widiastoety,2001).
Eksplan yang mengandung atau terinfeksi virus, bakteri atau jamur akan menyebebkan
kontaminasi pada tahap pertumbuhan. Selain itu, factor sterilitas ruangan juga sangat
menentukan terhadap kontaminasi. Pengambilan meristem sebagai eksplan harus dilakukan
dalam ruang steril agar tidak terkontaminasi (Sunarjono, 2002).
Kontaminasi disebabkan oleh jamur, bakteri dan cendawan. Kontaminasi oleh jamur
terlihat jelas pada media yang berwarna putih, sedangkan kontaminasi oleh bakteri, pada
eksplan terlihat lender berwarna kuning sebagian lagi melekat pada media membentuk
gumpalan yang basah. Jamur yang mengkontaminasi media san eksplan adalah jamur-jamur
seperti Aspergillus sp, Monera sp dan Penicillium sp (Setiyoko, 1995). Bakteri berupa bekteri
gram positif dan yang semispesifik untuk pisang yaitu Pseudomonas solanacearum.

Saat pembentukan kalus


Percobaan menunjukan bahwa campuran NAA dan kinetin, kultivar pisang dan
intraksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap saat pembentukan kalus. Hal ini terjadi
kemungkinan karena pembentukan kalus pada bakal buah pisang hanya dipengaruhi oleh
kandungan auksin endogen saja.
Saat tumbuh tunas mikro dan jumlah tunas
Dalam penelitian ini tunas tidak terbentuk. Saat tumbuh tunas dipengaruhi oleh tiga
factor yaitu factor eksplan, media, dan lingkungan (Mante dan Tepper,1983). Factor lain yang
menyebabkan tidak terbentuknya tunas pada percobaan ini adalah kombinasi NAA dan
kinetin yang kurang tepat, dengan konsentrasi NAA terlalu rendak disbanding kinetin.

Saat pembentukan akar dan jumlah akar per tunas mikro


Pada percobaan ini tunas juga tidak terbentuk. Radian (1992) menemukan bahwa
sampai 2 minggu setelah subkultur akar pisang kepok dan pisang candi tidak tumbuh.
Menurut Pierik (1987) saat tumbuhnya akar juga dipengaruhi pertumbuhan tunas: tunas
tumbuh dengan baik memacu pertumbuhan akar, apabila pertumbuhan tunas terhambat maka
pertumbuhan akar pun terhambat. Terhambatnya pertumbuhan akar juga disebabkan oleh
tingginya konsentrasi kinetin dalam media.

‘Kultur Meristem” Pisang Barangan (Musa paradisiaca L.) Pada Media MS dengan
Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA, IBA, BAP, dan Kinetin
Ekssplan hidup, mati dan kontaminasi
Eksplan yang hidup berkembang membentuk akar, membentuk tunas, pembesaran
bonggol, dan sebagian kecil statis. Komposisi zat pengatur tumbuh yang dicobakan dalam
media MS IBA, NAA, atau kinetin masih pada batas konsentrasi yang sesuai untuk
kehidupan eksplan dan tidak mematikan eksplan.
Eksplan yang mati diduga disebabkan oleh teknik memotong kurang baik, eksplan
memar, sterilisasi terlalu keras, kontaminasi dan lingkungan kurang sesuai. Kontaminasi
dijumpai pada media M4 dan M5 masing-masing 40% dan pada M3, M6, M8 sebesar 20%.
Jenis kontaminan jamurdan bakteri tersebar dipermukaan media. Kontaminan jamur sudah
tampak 1 minggu setelah tanam, diperkirakan kontaminan berasal dari lingkungan. Karena
jamur tumbuh dipermukaan media kemudian membentuk hifa dan menutupi permukaan
media dan eksplan, sehingga mengakibatkan eksplan tertekan dan mati.

Pembentukan akar dan tunas


Eksplan yang hidup berkembang membentuk akar dan tunas, dan perkembangan
lainnya. Pembentukan akar terlihat pada minggu ke 2 hingga minggu ke 11, dari 4% hingga
49%. Eksplan dapat menghaslkan akar pada semua media yang dicobakan. Ada
kecenderungan perlakuan tanpa ZPT memungkinkan persentasi tanaman berakar lebih tinggi
dari perlakuan lainnya. Kandungan hormon internal mungkin sudah baik untuk
menumbuhkan akar eksplan. Penambahan ZPT justru mengurangi pembentukan akar,
terutama penambahan auksin sintetik NAA. Eksplan yang telah membentuk pucuk juga akan
disusul dengan pembentukan akar, hal ini karena auksin internal akan diproduksi pada tunas
tanaman.
Eksplan bertunas pada semua media yang dicobakan. Pembentukan tunas dipengaruhi
oleh zat pengatur tumbuh sitokinin. Penambahan ZPT eksogen diperkirakan malah
mengganggunkeseimbangan hormon dalam eksplan,namun masih dalam kisaran yang dapat
ditoleransi eksplan.
Dengan hormon endogen eksplan mampu membentuk tunas dan akar. ZPT eksogen
yang diharapkan dapat meningkatkan pembentukan akar dan tunas pada pisang barangan,
sebaliknya terlihat memperlambat, namun masih dapat ditoleransi eksplan.
Bila pemotongan akar atau batang secara in vitro dengan pemberian sitokinin eksogen,
pemanjangannya sering terhambat tetapi potongan –potongan tersebut menjadi lebih gemuk,
karena terjadinya pembesaran sel-selnya secara radial. Eksplan dapat dikatakan mengalami
pembesaran sel, sehingga bonggol tampak bertambah besar.
Pembebtukan kalus, browning dan pertumbuhan stagnasi tidak terlihat secara jelas
dalam jurnal penelitian ini, hal ini disebabkan eksplan berasal dari tanaman yang sudah
beradaptasi dirumah kaca, tanaman telah beretiolasi dan tidak membentuk fenolat yang nyata.
KESIMPULAN
1.    Perlakuan terbaik sebagai bagian metode regenerasi dari penelitian ini adalah induksi
tunas. menggunakan BAP 6 ppm atau kinetin 7 ppm dan pengakaran tunas mikro abaka
dengan penambahan 1 ppm NAA.
2.    Penambahan campuran zat pengatur tumbuh NAA dan kinetin tidak berpengaruh nyata
dan tidak terjadi interaksi antara campuran NAA dan kinetin dengan kultivar pisang
terhadap semua peubah pengamatan.
3.    Komposisi ZPT IBA atau NAA dan BAP atau kinetin masih sesuai untuk media eksplan
dan media tanpa penambahan auksin maupun sitokinin membentuk akar dan tunas dengan
baik yaitu sebesar 100%.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Angkasa, Bandung.
Avivi,S dan Ikrarwati, 2004, Mikropagasi Pisang Abaca (Musa textilis Nee) Melalui Teknik
Kultur Jaringan, Jurnal Ilmu Tanah Vol.11 No.2
Gunawan, L.W.1990. teknik kultur jaringan tumbuhan. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. P.
304.
Nisa,C dan Rodinah, 2005, Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa
paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin, Jurnal Bioscientiae,
Vol 2, No.2.
Priyono. 2000. Perbanyakan Abaka (Musa textillis Nee) melalui Kiltur Mata Tunas Secara In
vitro. Pelita Perkebunan 9(2): 129-133.
Purwanto, D.1991. pengaruh ukuran bahan tanam terhadap keberhasilan perbanyakan
beberapa varietas pisang (Musa paradisiacal L.) dengan metode kultur jaringan. Skripsi
fakultas pertanian UNIBRAW. Malang.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Edisi Bahasa Indonesia.
Penerbit ITB, Bandung.
Sitohang,N, 2004, “Kultur Meristem” Pisang Barangan(Musa paradisiaca L.) pada Media
MS dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh naa, iba, Dan Kinetin, Unika
Santo Thomas Medan.
Wibowo, A. 1998. Abaca (Musa textillis Nee) Penghasil Serat. Duta Rimba XXIV (222):

Anda mungkin juga menyukai