1. Pendahuluan
Kultur jaringan (tissue culture) untuk memahami aspek mekanisme kontrol dan
diferensiasi fungsi sel telah berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa
pengembangan yang pada awalnya sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada
pertengahan abad yang lalu, dan kini berada pada fase pengembangan.
Perkembangan ilmu biologi molekuler menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah
antara biologi molekuler dan tissue culture. Saling bergantungnya perkembangan masing-
masing teknologi ini, sukar untuk dinyatakan batas berhentinya teknologi tissue culture dan
mulai berkembanganya teknologi biologi molekuler. Meskipun tantangan untuk mendapatkan
sel-sel yang tumbuh secara in vitro telah terjawab dan diversitas jenis sel telah meningkat
secara konstan, tissue culture kini sudah semakin populer dibanding sebelumnya. Untuk
beberapa kalangan tissue culture menghadirkan peluang untuk mengurangi percobaan hewan
yang tidak perlu, untuk kalangan lainnya teknologi tissue culture mendorong kemampuan
untuk menghasilkan produk farmasi inovatif yang lebih ekonomis.
Untuk beberapa kalangan tertentu teknologi ini masih menjadi dasar guna
mengeksplorasi permasalahan regulasi sel dan pengembangan intervensi medis. Sangat jelas
bahwa penelitian tentang aktivitas selular pada tissue culture akan membawa berbagai
manfaat, meski demikian perhatian diperlukan terhadap berbagai kelemahan teknologi ini.
Hal ini penting untuk membangun perhatian yang lebih besar guna pengembangannya di
masa mendatang.
2. Pengertian Kultur Sel dan Jaringan
Salah satu teknik bioteknologi yang sering digunakan adalah kultur sel dan jaringan.
Menurut Suryowinoto (1991) kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue
culture, weefsel cultuus, atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah
sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama.
Kultur jaringan digunakan sebagai istilah umum yang juga meliputi kultur organ
ataupun kultur sel. Istilah kultur sel digunakan untuk berbagai kultur yang berasal dari sel-sel
yang terdispersi yang diambil dari jaringan asalnya, dari kultur primer, atau dari cell line atau
cell strain secara enzimatik, mekanik, atau disagregasi kimiawi. Terminologi kultur histotypic
akan diterapkan untuk jenis kultur jaringan yang menggabungkan kembali sel-sel yang telah
terdispersi sedemikian rupa untuk membentuk kultur jaringan.
Kultur sel dan jaringan dapat digunakan pada hewan dan tumbuhan. Kultur jaringan
hewan merupakan suatu teknik untuk mempertahankan kehidupan sel di luar tubuh
organisme. Lingkungan sel dibuat sedimikian rupa, sehingga menyerupai lingkungan asal
dari sel yang bersangkutan. Sel yang dipelihara bisa berupa sel tunggal (kultur sel), sel di
dalam jaringan (kultur jaringan), maupun sel di dalam organ (kultur organ) (Listyorini, 2001).
Teknik pembuatan kultur primer pada kultur sel, jaringan, dan organ hewan pada dasarnya
sama. Sel, jaringan, atau organ hewan diambil dari tubuh hewan dan mulai dipelihara di
dalam kondisi in-vitro. Selama di dalam kultur primer semua kebutuhan sel baik sebagai sel
tunggal (kultur sel), sebagai bagian dari jaringan (kutur jaringan), maupun sebagai bagian
organ (kultur organ) harus dipenuhi agar sel dapat hidup dan menjalankan fungsi normalnya.
Kultur jaringan pada tumbuhan merupakan salah satu teknik perbanyakan tumbuhan yang
menggunakan sel atau organ atau jaringan tumbuhan Kultur jaringan pada suatu tumbuhan
merupakan suatu cara membudidayakan suatu jaringan tumbuhan menjadi tumbuhan kecil
yang mempunyai sifat seperti induknya (Hendaryono, 1994).
3. Sejarah dan Perkembangan Kultur Sel dan Jaringan
Kultur jaringan (tissue culture) pertama kali digunakan pada awal abad 20 sebagai
suatu metode untuk mempelajari perilaku sel hewan yang bebas dari pengaruh variasi
sistemik yang dapat timbul saat hewan dalam keadaan homeostasis ataupun dalam pengaruh
percobaan atau perlakuan. Kultur jaringan bukanlah teknik yang baru. Teknologi ini telah
berkembang sejak satu abad yang lalu, melalui masa-masa pengembangan yang pada awalnya
sederhana, diikuti fase perkembangan ekspansif pada pertengahan abad yang lalu.
Saat ini kultur jaringan berada pada fase pengembangan khusus untuk memahami
aspek mekanisme kontrol dan diferensiasi fungsi sel. Kendati teknologi kultur jaringan kini
telah berkembang begitu pesat, seperti kultur sel-sel khusus, chromosome painting, dan DNA
fingerprinting, tetapi teknologi dasar yang awal dikembangkan adalah teknik kultur primer,
pasase serial, karakterisasi, preservasi sel dengan prinsip yang masih sama. Pada saat istilah
kultur jaringan diperkenalkan, teknik ini pertama kali dikembangkan dengan menggunakan
fragmen jaringan yang tidak terurai, dan pertumbuhan sel atau jaringan terjadi dengan
bermigrasinya sel fragmen jaringan disertai adanya mitosis di luar pertumbuhan. Kultur sel
dari jaringan explant primer seperti inilah yang mendominasi perkembangan teknik kultur
jaringan pada lebih dari lima puluh tahun perkembangannya, sehingga tidaklah
mengherankan jika istilah kultur jaringan sudah begitu melekat untuk pengembangan
teknologi ini. Walaupun demikian, fakta yang terjadi pada saat percepatan perkembangan
teknologi berikutnya pada era setelah tahun 1950 lebih didominasi oleh penggunaan kultur
sel yang terurai dari jaringan (Katuuk, 1989).
Sejarah kultur jaringan tumbuhan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani.
Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan sel in-vitro dapat
dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli yang mendahului mereka
serta penemuan mereka sendiri.
Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke mengatakan bahwa sel-sel dapat
disamakan dengan batu-batu bangunan alamiah. Kemudian pada tahun 1838-1839, seorang
ahli Biologi M.V Schleiden dan Theodore Schwann yang telah menjuruskan perhatiannya
pada kehidupan sel, menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri
walaupun telah terpisah dari tumbuhan induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala
peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh satu organisme selama hidup, bersumber pada sel.
Dari konsep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk
berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada suatu saat akan
terbentuk tumbuhan sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut totipotensi (totipotency).
Konsep totipotensi yang ditanamkan oleh Schleiden dan Theodore Schwann berkembang
terus sehingga Vouchting pada tahun 1878, walaupun masih belum berhasil baik, sudah
mencoba mengembangkan kalus dari potongan tumbuhan. Kegagalannya dalam
mengembangkan potongan tumbuhan ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas pada saat itu.
Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan botani papa abad ke 19,
adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebik, Johan Knopp dan Rechinger.
Untuk mempelajari teknik dasar kultur jaringan diperlukan pemahaman dasar tentang
anatomi, histologi, fisiologi sel, dan prinsip dasar biokimia. Perkembangan ilmu biologi
molekular menyebabkan sulitnya melihat batas pemisah antara biologi molekular dan kultur
jaringan. Saling bergantungnya perkembangan masing-masing teknologi ini sukar untuk
dinyatakan batas berhentinya teknologi kultur jaringan dan mulai berkembangnya teknologi
biologi molekular.
Perkembangan teknologi kultur jaringan kini banyak diarahkan untuk dapat
memberikan simulasi proses biologis yang terjadi pada tubuh makhluk hidup, sehingga tidak
hanya digunakan untuk mempelajari proses atau mekanisme yang terjadi pada sel, namun
juga interaksi yang terjadi antara sel dan lingkungan yang dapat diatur menyerupai berbagai
keadaan fisiologis ataupun patologis. Hal ini akan semakin mengatasi kelemahan teknologi
kultur jaringan yang dianggap sebagai teknologi experiment in vitro, kendati menggunakan
sel atau jaringan hidup, dibanding dengan penggunaan hewan percobaan yang dinilai sebagai
experiment in vivo.
Sejalan dengan perkembangan teknologi ini maka perkembangan berbagai referensi yang
berkaitan dengan teknologi kultur jaringan banyak menyajikan berbagai teknologi khusus,
sehingga perhatian terhadap prosedur dasar menjadi banyak terabaikan. Meski banyak
berkembang referensi yang menyajikan teknologi baru, namun masih banyak referensi
teknologi dasar yang tetap dipertahankan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern menjadi semakin bergantung pada teknologi
canggih. Prosedur pewarnaan antibodi, analisis probe molekular, pemeriksaan sitotoksisitas,
dan yang lainnya, kini sudah tersedia dalam bentuk kit. Hal ini memungkinkan penilaian
regulasi gen serta produk sel lebih cepat dan mudah meskipun dengan biaya yang lebih
mahal. Keuntungan berkembangnya berbagai kit ini adalah penghematan waktu dan
meningkatkan produktivitas.
Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada tahun 1838 ketika
Schwann dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel
bersifat otonom, dan pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Teori
yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi Haberlandt pada awal abad ke-20 yang
menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat diisolasi dan dikultur dan berkembang menjadi
tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya.
Walaupun usaha Haberlandt menerapakan teknik kultur jaringan tanaman pada tahun 1902
mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907-1909 Harrison, Burrows, dan Carrel berhasil
mengkulturkan jaringan hewan dan manusia secara in vitro.
Keberhasilan aplikasi teknik kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan tanaman
secara vegetatif pertama kali dilaporkan oleh White pada tahun 1934, yakni melalui kultur
akar tomat. Selanjutnya pada tahun 1939, Gautheret, Nobecourt, dan white berhasil
menumbuhkan kalus tembakau dan wortel secara in vitro. Setelah Perang Dunia II,
perkembangan teknik kultur jaringan sangat cepat, dan menghasilkan berbagai penelitian
yang memiliki arti penting bagi dunia pertanian, kehutanan, dan hortikultura yang telah
dipublikasikan.
Pada awalnya, perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berada di belakang
teknik kultur jaringan manusia. Hal itu disebabkan lambatnya penemuan hormon tanaman
(zat pengatur tumbuh). Ditemukakannya auksin IAA pada tahun 1934 oleh Kögl dan Haagen-
Smith telah membuka peluang yang besar bagi kemajuan kultur jaringan tanaman. Kemajuan
ini semakain pesat setelah ditemukannya kinetin (suatu sitokinin) pada tahun 1955 oleh
Miller dan koleganya. Pada tahun1957, Skoog dan Miller mempublikasikan suatu tulisan
”kunci” yang menyatakan bahwa interaksi kuantitatif antara auksin dan sitokinin berpengaruh
menentukan tipe pertumbuhan dan peristiwa morfogenetik di dalam tanaman. Penelitian
kedua ilmuwan tersebut pada tanaman tembakau mengungkapkan bahwa rasio yang tinggi
antara auksin terhadap sitokinin akan menginduksi morfogenesis akar, sedangkan rasio yang
rendah akan menginduksi morfogenesis pucuk. Namun pola yang demikian ternyata tidak
berlaku secara universal untuk semua spesis tanaman.
Ditemukannya prosedur perbanyakan secara in vitro pada tanaman anggrek
Cymbidium 1960 oleh Morel, serta diformulasikannya komposisi medium dengan konsentrasi
garam mineral yang tinggi oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962, semakin merangsang
perkembangan aplikasi teknik kultur jaringan pada berbagai spesies tanaman. Perkembangan
yang pesat pertama kali dimulai di Perancis dan Amerika, kemudian teknik inipun di
kembangkan di banyak negara, termasuk Indonesia, dengan prioritas aplikasi pada sejumlah
tanaman yang memiliki arti penting bagi masing-masing negara.
Meningkatnya penelitian kultur jaringan dalam dua dekade terakhir telah memberi
sumbangan yang sangat besar bagi ahli pertanian, pemuliaan tanaman, botani, biologi
molekuler, biokimia penyakit tanaman, dan sebagainya. Karena kultur jaringan telah
mencapai konsekuensi praktis yang demikian jauh di bidang pertanian, pemuliaan tanaman
dan sebagainya maka dapat dipastikan junlah penelitian dan aplikasi teknik ini akan terus
meningkat pada masa-masa mendatang. Pierik (1997) mengemukakan sejumlah peristiwa
penting dalam sejarah perkembangan kultur jaringan hingga dekade 1980 an sebagai berikut;
1892 Ditemukan fenomena sintesis senyawa-senyawa pembentuk organ yang didistribusikan
secara polar di dalam tanaman.
1902 Usaha perrtama aplikasi kultur jaringan tanaman.
1904 Usaha pertama aplikasi kuktur embrio sejumlah tanaman Cruciferae
1909 Fusi protoplas tanaman, namun produk yang dihasilkan mengalami kegagalan untuk
hidup.
1922 Perkecambahan in vitro biji anggrek secara asimbiosis.
1922 Kultur in vitro ujung akar
1925 Aplikasi kultur embrio pada tanaman Linum hasil silang antar spesies
1929 Kultur embrio Linum untuk menghindari inkompatibilitas persilangan
1934 Kultur in vitro jaringan kambium dari sejumlah tanaman pohon dan perdu mengalami
kegagalan karena tidak adanya ketrelibatan auksin
1934 Keberhasilan kultur akar tanaman tomat.
1936 Kultur embrio sejumlah tanaman Gymnospermae
1939 Keberhasilan menumbuhkan kultur kalus secara kontinu
1940 Kultur in vitro jaringan kambium dari tanaman Ulmus untuk mempelajari
pembantukan tunas adventif
1941 Air kelapa (Yang mengandung faktor pembelahan sel) untuk pertama kalinya
digunakan pada kultur embrio tanaman Datura
1941 Kultur in vitro jaringan tumor crown-gall
1944 Untuk pertama kalinya kultur in vitro tembakau digunakan pada penelitian
pembantukan tunas adventif
1945 Budi daya potongan tunas tanaman Asparagus secara in vitro
1946 Untuk pertama kalinya diperoleh tanaman Lupinus dan Tropaelum dari kultur pucuk
1948 Pembentukan akar dan tunas adventif tanaman tembakau ditentukan oleh rasio
auksin : adenin
1950 Regenerasi organ tanaman dari jaringan kalus Sequoia sempervirens.
1952 Aplikasi sambung mikro (micrografiting) untuk pertama kalinya
1953 Produksi kalus haploid tanaman Ginkgo biloba dari kultur serbuk sari
1954 Pengkajian terhadap perubahan-perubahan kariologi dan sifat-sifat kromosom pada
kultur endosperm tanaman jagung
1955 Penemuan kinetin, yaitu suatu hormon perangsang pembelahan sel.
1956 Realisasi pertumbuhan kultur di dalam sistem multiliter untuk menghasilkan metabolit
sekunder.
1957 Ditemukannya pengaturan pembentukan organ (akar dan pucuk) dengan mengubah
rasio antara auksin dan sitokinin
1958 Regenerasi embrio somatik secara in vitro dari jaringan nuselus tanaman Citrus
ovules
1958 Regenerasi proembrio dari massa kalus dan suspensi sel tanaman wortel
1959 Publikasi buku pegangan mengenai kultur jaringan tanaman untuk pertama kali
1960 Keberhasilan pembuahan in vitro pada Papaver rhoeas untuk pertama kalinya
1960 Degradasi dinding sel secara enzimatik untuk memperoleh protoplas dalam jumlah
besar.
1960 Perbanyakan vegetatif tanaman anggrek melalui kultur meristem
1960 Filtrasi suspensi sel dan isolasi sel tunggal
1962 Pengembangan medium dasar Murashige dan Skoog (MS)
1964 Produksi tanaman Datura haploid dari kultur serbuk sari untuk pertama kalinya
1964 Regenerasi tunas dan akar pada jaringan kalus tanaman Populus tremuloides
1965 Induksi pembungaan secara in vitro pada tanaman tembakau
1965 Diferensiasi tanaman tembakau dari isolasi sel tunggal pada kultur mikro
1967 Induksi pembentukan bunga pada Lunaria annua dengan vernalisasi secara in vitro
1967 Produksi tanaman haploid dari kuktur serbuk sari tanaman tembakau (Nicotiana
tabacum).
1969 Analisis kariologi tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus tembakau.
1969 Keberhasilan isolasi protoplas dari kultur suspensi Haplopappus gracilis untuk
pertama kalinya
1970 Seleksi mutan biokimia secara in vitro
1970 Pemanfaatan kultur embrio untuk menghasilkan barley monoploid
1970 Keberhasilan peleburan protoplas untuk pertama kalinya
1971 Keberhasilan regenerasi tanaman dari kultur protoplas untuk pertama kalinya.
1972 Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada dua spesies Nicotiana
1973 Sitokinin diketahui mampu memecahkan dormansi pada eksplan jaringan kapitulum
tanaman Gerbera
1974 Induksi percabangan aksilar oleh sitokinin pada eksplan tunas tanaman Gerbera.
1974 Regenerasi Petunia hybrida haploid dari kultur protoplas.
1974 Diketahui bahwa peleburan protoplas haploid dapat dilakukan sehingga mendukung
hibridisasi
1974 Biotransformasi pada kultur jaringan tanaman
1974 Penemuan Ti-plasmid pada Agrobacterium sebagai senyawa penginduksi
pembentukan tumor
1975 Seleksi positif terhadap kultur kalus tanaman jagung yang resisten terhadap
Helminthosporium maydis.
1976 Inisiasi pucuk dari eksplan tunas tanaman anyelir yang berasal dari penyimpanan pada
suhu rendah (kreopreservasi).
1976 Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada tanaman Petunia hybrida
dan P. Parodii.
1976 Sintesis dan perombakan oktopin dan nopalin diketahui dikontrol secara genetis oleh
Ti-plasmid Agrobacterium tumefaciens.
1977 Keberhasilan integrasi DNA Ti-plasmid dari Agrobacterium tumefaciens pada
tanaman
1978 Hibridisasi somatik tomat dan kentang
1979 Pengembangan prosedur co-cultivation untuk teransformasi protoplas tanaman dengan
Agrobacterium
1980 Pemanfaatan sel untuk biotransformasi digitoksin menjadidigoksin
1981 Pengenalan istilah variasi somaklon atau keragaman somaklon
1981 Isolasi auksotrop melalui skrining berskala besar terhadap koloni sel yang diperoleh
dari protoplas haploid tanaman Nicotiana plumbaginifolia dengan perlakuan mutagen.
1982 Protoplas dapat bergabung dengan DNA telanjang sehingga memungkinkan untuk
dilakukannya transformasi dengan isolasi DNA.
1983 Hibidisasi sitoplasma antargenus pada tanaman bit dan Brassica napus
1984 Transformasi sel tanaman dengan DNA plasmid
1985 Infeksi dan transformasi potongan daun dengan Agrobacterium tumefaciens dan
regenerasi tanaman yang mengalami transformasi
Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, teknik kultur jaringan tanaman sudah
berkembang sangat pesat di seluruh penjuru dunia sehingga sulit untuk dipantau.
Terlebih lagi, banyak terobosan yang memiliki nilai komersial tinggi yang diciptakan
oleh institusi-institusi riset pada berbagai perusahaan besar yang tidak dipublikasikan.
Pemanfaatan yang nyata dari teknik tersebut, disamping untuk perbanyakan tanaman,
juga di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) untuk perbaikan mutu genetika
tanaman pertanian. Sudah banyak varietas, bahkan spesies baru yang diciptakan
melalui teknik fusi protoplas. Demikian pula dengan aplikasi teknik tersebut pada
eliminasi penyakit, terutama penyakit virus dan produksi metabolit sekunder dengan
bantuan Agrobacterium sudah menjadi teknik yang rutin dilakukan oleh para pakar di
berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Hanya saja aplikasi teknik kultur
jaringan untuk pelestarian plasma nutfah tampaknya masih harus menempuh
perjalanan panjang untuk sampai pada sasaran yang diharapkan.
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum
yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus
cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah
kultur di dalam gelas.
Pemahaman terhadap istilah-istilah yang sering digunakan dalam kultur in vitro
merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Istilah-istilah yang sering digunakan dalam
kultur jaringan adalah sebagai berikut;
a) Bahan tanam yang digunakan dalam kultur jaringan biasanya disebut dengan eksplan.
b) Kalus; a) suatu jaringan yang tersusun oleh sel-sel terdediferensiasi yang umumnya
dihasilkan oleh jaringan yang luka atau kultur jaringan pada media yang berisi auksin
tertentu, atau b) pertumbuhan aktif massa sel yang belum dan terdiferensiasi dan tidak
terorganisir yang berkembang dari jaringan luka atau kultur jaringan yang ditanam
pada media dengan tambahan zat pengatur tumbuh.
c) Dalam kultur jaringan sering dilakukan pemindahan eksplan dari media I (untuk
induksi kalus) ke media II (media untuk induksi organ tunas dan akar). Pemindahan
eksplan dari media satu ke media lain (baik jenis medianya sama atau lain) dikenal
dengan istilah sub kultur.
d) Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah sub kultur pertama dari
jaringan yang terbentuk dari eksplan awal.
e) Bahan yang diambil pada setiap sub kultur disebut inokulum.
f) Kultur asenik adalah kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan.
g) Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat, dapat beregenerasi melalui
proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Oraganogenesis adalah proses
terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.
h) Pucuk yang terbentuk pada tempat yang ukan jaringan asalnya (origin) yang biasa
disebut pucuk adventif. Seperti pucuk yang terbentuk dari kalus, hipokotil, kotiledon,
dan akar.
i) Embriogenesis adalah proses terbentuknya embrio somatik
j) Embrio somatik (nonzygotic embryo) adalah embrio yang bukan berasal dari zigot,
tetapi dari sel tubuh tanaman.
k) Bila embrio terbentuk dari kultur anther atau mikrospora disebut androgenesis, bila
berasal dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebutgynogenesis.
l) Anakan tanaman yang telah lengkap memiliki organ daun, batang dan akar hasil
kultur jaringan disebut planlet (plantula).
m) Plantula yang akan dipindah ke lapangan dan diperlakukan sebagai bibit, harus
mengalami masa adaptasi dari kultur heterotropik menjadi kultur autotropik. Masa
adaptasi plantula disebut dengan aklimatisasi.
n) Pucuk-pucuk yang terbantuk dari jaringan kalus, terutama yang sudah mengalami sub
kultur, dapat bervariasi. Variasi-variasi ini disebut variasi somaklonal. Penyebab
variasi ini belum diketahui dengan pasti, ada kemungkinan variasi ini sudah ada
dalam eksplan asal karena sifat kromosom mosaik dalam sel-sel somatik ataupun
terjadi akibat lingkungan di dalam kultur.
o) Salah satu variasi yang terjadi adalah tanaman yang aneuploid yaitu tanaman yang
jumlah kromosommya 2n-1 atau 2n+1.
p) Sel-sel dalam kalus atau sel-sel dari jaringan daun siisolasi dengan perlakukan enzim
meupakan bahan untuk memperoleh protoplasma. Protoplasma-protoplasma diperoleh
dengan menghilangkan dinding sel dengan bantuan enzim-enzim cellulase,
hemicellulase dan pektinase. Propoplasma kemudian dapat ”dipaksa” untuk saling
menempel dan bersatu membentuk suatu fusi sel. Proses ini merupakan bidang
pemulaiaan yang disebut hibridisasi genetik.
q) Hasil gabungan dua atau lebih protoplasma yang berbeda jenis dengan inti-intinya
dikenal dengan istilah heterokarion.
r) Bila hanya sitoplasma yang bergabung maka disebut cybrid.
Kultur jaringan sesuai dengan definisinya sebagai teknik budidaya sel, jaringan, dan
organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas
mikroorganisme, mengandung dua prinsip dasar yang jelas yaitu; 1) Bahan tanam yang
bersifat totipoten dan 2) budi daya yang terkendali.
1) Bahan tanam yang bersifat totipotensi.
Konsep dasar ini adalah mutlak dalam pelaksanaan kegiatan kultur jaringan karena
hanya dengan sifat totipotensi ini, sel, jaringan, organ yang digunakan akan mapu tumbuh
dan berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan. Umumnya sifat
totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil, muda, dan banyak
dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman. Tetapi tidak menutup kemungkinan bagian
tanaman yang sudah dewasa bila mendapat lingkungan yang cocok akan bertotipotensi
sehingga mampu tumbuh dan berkembang. Pada keadaan tersebut bisa terjadi karena pada
keadaan in vitro tanaman mampu melakukan aktifitas dediferensiasi yaitu proses
perkembangan balik dari bagian dewasa tanaman menjadi sekolompok sel yang terus
menerus membelah (disebut kalus) atau bisa pula menjadi zigot. Selain itu juga dapat terjadi
rediferensiasi yaitu proses tumbuh dan berkembangnya kembali kalus atau zigot tersebut
tumbuh dan berkembang membentuk spesialisasi ke arah terbentuknya akar, daun atau tunas
hingga menjadi tanaman lengkap.
Kondisi totipotensi bahan tanam antara satu tanaman dengan tanaman yang lain
sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu tanaman yang sejenis.
Perbedaan dalam hal cara, waktu dan musim pengambilan bahan tanam juga memberi
pengaruh pada keberhasilan kegiatan kultur jaringan. Penanganannya ada yang mudah dan
adapula yang sangat sulit. Yang banyak dilakukan dan dianggap relatif mudah misalnya
tanaman wortel, beberapa jenis anggrek, bawang, tembakau, pisang. Beberapa yang dikenal
sulit misalnya mangga, salak, bambu dan tanaman lain yang umumnya mengandung fenolat
tinggi atau bisa juga rendah kemampuan berdiferensiasi dan rediferensiasinya.
Bahan tanam yang sementara ini umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan dan
sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah:
a) Sel, bahan ini biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang telah
ditentukan. Paling umum sel-sel ini diambil dari kalus, agar membentuk agregat kecil atau sel
tunggal maka kalus dimasukkan dalam media cair kemudian disentrifugasi berulang atau bisa
juga dengan prosedur enzimatik.
b) Protoplas, bahan ini biasanya juga ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan yang
telah ditentukan. Mesofil daun, teras batang, kalus adalah bagian tanaman yang umum
dipakai sebagai sumber propolas. Untuk mendapatkan suspensi protoplas harus digunakan
medium yang mengandung enzim (enzimztic medium), proses pencucian dengan medium
pencuci (washing medium), sentrifugasi dan kemudian purifikasi.
c) Jaringan meristem, adalah merupakan jaringan tanaman yang terdapat pada daerah-daerah
pertumbuhan. Ciri jaringan ini tersusun oleh sekelompok sel yang terus menerus membelah,
sehingga belum ada spesialisasi bentuk dan fungsi dari sel-sel yang menyususnnya. Pada
derah apikal meristem ada daerah yang sangat kecil terdiri dari sel-sel yang sangat progresif
sebagai titk pertumbuhan dan dikenal sebagai meristem dome. Meristem ini hanya dapat
diisolasi di bawah mikroskop dan terbukti baik sebagai bahan untuk mendapat tanaman yang
bebas bakteri dan virus.
d) Kalus, adalah merupakan masa sel yang aktivitas pembelahannya tidak terkendali dan
belum terdiferensiasi. Sel-sel ini secara alamiah muncul dan tumbuh akaibat proses
perlakuaan atau akibat perlakuan tertentu dalam kultur jaringan. Bahan ini sangat potensial
untuk digunakan dalam berbagai kegiatan kultur lanjutan.
e) Organ, bahan ini adalah bahan yang paling umum digunakan dalam kegiatan kultur
jaringan. Bahan ini meliputi: daun, batang, akar, biji, tunas, embrio, anther, kepala sari, dan
lain sebagainya. Bahan-bahan ini ada yang memang langsung digunakan untuk mendapatkan
produk yang diinginkan tetapi ada juga yang hanya digunakan sebagai bahan kultur awal
sehingga hanya sebagai jalan untuk mendapatkan organ juvenil, atau kalus yang umumnya
relatif bersifat meristematik dan steril.
Kultur jaringan adalah teknik pemeliharaan jaringan di dalam kondisi in-itro. Seperti
halnya pada kultur jaringan juga mempertahankan karakteristik sel seperti saat sel tersebut
berada di dalam kondisi in-vivo. Keberhasilan kultur selain dapat dilihat dari tidak adanya
kontaminasi pada kultur, kesehatan jaringan selama dipelihara di dalam kondisi in-vivo, dan
berfungsinya jaringan yang dipelihara sebagaimana mestinya.
Kultur organ adalah teknik kultur jaringan yang dipakai untuk mempertahankan organ
secara utuh dan mempertahankan struktur serta fungsi organ tersebut. Kultur organ terdiri
atas dua macam teknik kultur, yaitu kultur organ dewasa dan kultur bakal organ. Kultur organ
dewasa pada umumnya dipakai untuk mempertahankan kehidupan organ yang diambil dari
tubuh baik yang masih sehat maupun kehidupan organ yang tidak mungkin dapat bertahan
hidup. Kultur bakal organ memelihara jaringan-jaringan bakal organ untuk dikembangkan di
dalam kondisi in-vitro. Indikator keberhasilan kultur organ hewan sama dengan kultur sel dan
jaringan.
Gambar 5.1.
Teknik Kultur
Jaringan
4.2. Kultur pada
Tumbuhan
Kultur jaringan termasuk ke dalam jenis perkembangbiakan vegetatif (Anonim,
2009). Bagian tumbuhan yang akan dikultur (eksplan) dapat diperoleh dari dari semua bagian
tumbuhan seperti pucuk, akar, meristem, bunga, bahkan serbuk sari.
Kultur jaringan lebih besar presentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan
meristem (Hendaryono, 1994). Jaringan meristem adalah jaringan muda yaitu jaringan yang
terdiri atas sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mengalami penebalan dari
zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan jaringan meristem
digunakan karena keadannya selalu membelah sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon
yang mengatur pembelahan.
1. Meristem culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari jaringan
muda atau meristem.
2. Pollen culture/anther culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan
dari pollen atau benang sari.
3. Protoplast culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan eksplan dari
protoplas. Protoplas adalah sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya.
4. Chloroplast culture yaitu budidaya jaringan dengan menggunakan kloroplas untuk
keperluan protoplas (memperbaiki sifat tumbuhan dengan membuat varietas baru).
5. Somatic cross Yaitu menyilangkan dua macam protoplas menjadi satu kemudian
dibudidayakan sampai menjadi tumbuhan kecil yang mempunyai sifat baru.
Persilangan ini dapat dilakukan dengan menggunakan zat kimia.
Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda komposisinya.
Perbedaan komposisi media dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan
perkembangan eksplan yang dutumbuhkan secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS)
sering digunakan karena cukup memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk
pertumbuhan tumbuhan. Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan
vitamin pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi. Pada
media MS, tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) oleh karena itu ZPT ditambahkan pada
media (eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan dalam
media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur (Wikipedia, 2010).
Pelaksanaan kultur jaringan tumbuhan dapat dijabarkan sebagai berikut (Hendaryono,
1994).
1. Sterilisasi Alat Penabur
Entkas sebelum digunakan harus disterilisasi dengan menggunakan hand
sprayer berisi spiritus atau campuran formalin 10% dan alkohol 70% dengan
perbandingan 1:1 yang didiamkan selama 10 menit.
3. Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan kimia.
a. Secara Mekanis
Cara ini digunakan untuk eksplan yang keras atau berdaging yaitu dengan cara
membakar eksplan di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Eksplan keras yang
disterilisasi dengan cara ini adalah tebu, biji salak, bung, buah anggrek, dll. Eksplan
berdaging adalah wortel, umbi, bawang putih, dll.
b. Secara Kimiawi
Sterilisasi secara kimiawi digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan
muda) seperti daun, tangkai daun, anther dan sebagainya. Bahan-bahan kimia yang
sering digunakan adalah: § Sodium hipoklorit, konsentrasi tergantung dari kelunakan
eksplan, antar 5%-10% dalam waktu 5-10 menit. Cara sterilisasi di dalam laminair
air flow adalah memasukkan eksplan ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan clorox,
erlenmeyer digoyangkan dengan arah memutar mendatar selama 3 menit. Kemudian
mencuci bersih eksplan menggunakan aquades steril sebanyak 3-5 kali selama 3
menit. Barulah eksplan diambil menggunakn pinset dan diletakkan di atas petridish
yang ada kertas saringnya.
§ Mercuri khlorit, cara perlakuan sterilisasi dengan sublimat sama dengan sterilisasi
dengan clorox, hanya waktunya lebih pendek karena bahan kimia ini sangat keras. §
Alkohol 70%
4. Menabur Eksplan
Menabur eksplan dilakukan dalam kondisi aseptik. Eksplan yang telah siap
ditanam, dipotong-potong dengan menggunakan skapel di dalam cawan petri.
Potongan eksplan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi media tumbuh hingga
permukaan yang teriris bersentuhan dengan medium. Selanjutnya, erlenmeyer ditutup
kembali dengan aluminium foil dan diinkubasikan di dalam ruang inkubator dan
intensitas cahaya disesuaikan dengan yang dikehendaki.
5. Melaksanakan Sub-kultur
Sub-kultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan
media yang baru sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus dapat
terpenuhi.
a. Sub-kultur pada media cair
Media cair cepat diserap oleh eksplan, maka empat hari sekali harus diganti dengan
media yang baru.
b. Sub-kultur pada media padat
Sub-kultur media padat lebih mudah dilakukan, yaitu hanya dengan meletakkan kalus
yang sudah terbentuk di atas cawan petri kemudian membelah-belah menjadi bagian
kecil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer baru yang berisi media baru.
6. Menumbuhkan Planlet (Tumbuhan Kecil)
Medium yang digunakan untuk menumbuhkan kalus adalah medium induksi
kalus. Sedangkan medium yang digunakan untuk menumbuhkan planlet adalah
medium diferensiasi yang komponen-komponen kimianya agak berbeda. Untuk
mendeferensiasikan suatu kalus agar dapat tumbuh akar dan tunas, maka harus sesuai
dengan medium sebelumnya. Bila memakai medium MS maka akan lebih baik bila
konsentrasi medium diferensiasinya separuh dari medium induksi kalus.
Tipe kultur yang dapat digunakan untuk menghasilkan metabolit sekunder pada
tumbuhan adalah kultur sel. Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan metabolit
sekunder dalam kultur jaringan adalah dengan penambahan prazat. Penambahan prazat ke
dalam medium kultur dapat merangsang aktivitas enzim tertentu yang terlibat dalam jalur
biosintesis sehingga dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Prazat yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kandungan senyawa triterpen secara in vitro adalah skualen,
yang merupakan senyawa triterpen linear tak jenuh dan prazat untuk semua triterpen.
Penambahan skualen sebagai prazat ke dalam kultur sel A. indica diharapkan dapat
meningkatkan kandungan
azadirahtin secara in vitro.
Penelitian yang dilakukan oleh Zakiah, dkk (2003) bertujuan untuk mengetahui umur
kultur yang optimum untuk memperoleh produksi azadirahtin tertinggi dalam kultur suspensi
sel A. indica dan pengaruh penambahan skualen terhadap produksi azadirahtin di dalam
kultur suspensi sel A. indica. Bahan dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Kultur kalus
Kalus diinduksi dari potongan eksplan daun majemuk kedua dan ketiga tumbuhan A.
indica yang diperoleh. Eksplan ditanam pada medium padat MS yang ditambah zat pengatur
tumbuh (ZPT) dengan komposisi 0,5; 5,0; 7,5μM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D)
yang dikombinasikan dengan 0,1; 1,0; 5,0μM benzilaminopurin (BAP).
2. Kultur suspensi sel
Kalus meremah terbaik yang diperoleh dari kultur kalus diinokulasikan ke dalam
medium cair MS yang ditambah ZPT berupa 0,1; 0,5; 1,0 μM 2,4-D yang dikombinasikan
dengan 0,1; 0,5; 1,0μM BAP, dan sebagai kontrol digunakan medium tanpa penambahan
ZPT. Kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BAP yang menghasilkan pertumbuhan terbaik, yaitu
kultur dengan berat massa sel tertinggi akan digunakan untuk pembuatan kurva pertumbuhan
sel, kurva kandungan azadirahtin dan perlakuan prazat.
a. Kurva pertumbuhan sel
Kurva pertumbuhan dibuat untuk melihat pengaruh waktu (umur kultur) terhadap
berat kering. Berat kering diperoleh setelah sel dikeringkan dengan freeze dryer hingga
mencapai berat konstan. Sampling untuk pengukuran berat kering dilakukan setiap dua hari
sampai pertumbuhan mengalami penurunan.
b. Kurva kandungan azadirahtin
Kurva kandungan azadirahtin ditentukan dari hasil pengukuran kandungan azadirahtin
di dalam massa sel dan medium dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Pengukuran dilakukan setiap dua hari sekali hingga umur kultur 20 hari.
Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kandungan azadirahtin pada setiap fase
pertumbuhan suspensi sel, sehingga waktu penambahan prazat dapat ditentukan.
c. Penambahan prazat
Prazat yang digunakan adalah skualen dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 μM.
Penambahan skualen ke dalam suspensi sel dilakukan pada saat kandungan azadirahtin
sedang meningkat. Pemanenan dilakukan setiap dua hari sampai kultur berumur 12 hari dari
waktu penambahan skualen.
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Bahan kering (sel) yang telah digerus
ditimbang sebanyak 0,1 g, lalu diekstrak dengan 10 mL metanol teknis dalam labu
erlenmeyer yang diagitasi dengan alat pengocok pada kecepatan 120 rpm selama 48 jam.
Selanjutnya ekstrak disaring dengan kertas saring Whatman no.1. Residu dibilas dua kali
dengan 5 mL metanol teknis, filtratnya kemudian diuapkan dengan vaccum rotary
evaporator sampai semua pelarut menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan
desikator, lalu ditimbang, kemudian dilarutkan dengan 2 mL metanol Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT).
Medium sebanyak 10 mL dikeringkan dengan freeze dryer untuk menghilangkan kandungan
airnya, diekstrak dengan 10 mL metanol teknis, dan dilanjutkan dengan penyaringan
menggunakan kertas saring Whatman no.1, residunya dibilas dua kali dengan 5 mL metanol
teknis. Selanjutnya filtrat diuapkan dengan vaccum rotary evaporator sampai semua pelarut
menguap. Ekstrak kasar yang terbentuk dikeringkan dengan desikator, lalu ditimbang dan
dilarutkan dengan 2 mL metanol KCKT.
Analisis kualitatif dan kuantitatif azadirahtin dilakukan dengan menggunakan KCKT
dengan jenis kolom Shim-pack CLC-ODS (C18, Ø 6,0 mm x 0,15 mm). Elusi dilakukan
dengan menggunakan metanol:air (6:4) secara isokratik dengan kecepatan aliran 1 mL/menit
dan diamati pada UV λ 214 nm.
Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi puncak (peak)
pada sampel dengan azadirahtin standar (SIGMA). Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara
mengkonversi luas area sampel dengan luas area standar. Kurva standar diperoleh dari data
luas area berbagai konsentrasi larutan azadirahtin standar, kemudian dibuat hubungan luas
area dengan kandungan azadirahtin.
Tekstur kalus yang dihasilkan berupa kalus kompak dan kalus meremah. Perlakuan
yang menghasilkan kalus yang paling meremah adalah pada medium dengan penambahan
penambahan zat pengatur tumbuh berupa 0,5µM asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) dan
1,0µM benzilamino purin (BAP) atau 0,5 μM 2,4-D + 1,0 μM BAP. Tekstur pada kalus dapat
bervariasi dari kompak hingga meremah, tergantung pada jenis tumbuhan yang digunakan,
komposisi nutrien medium, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan kultur. Pertumbuhan
in vitro sangat ditentukan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam medium dan zat pengatur tumbuh endogen yang dihasilkan oleh sel
yang dikultur.
Pertumbuhan kultur suspensi terbaik dengan berat kering sel tertinggi diperoleh pada
medium dengan penambahan 0,1 μM 2,4-D + 1,0 μM yaitu 0,259 ± 0,087g. Pertumbuhan sel
yang stabil dapat membentuk populasi sel dengan aktivitas fisiologi yang homogen, yaitu
dalam mensintesis metabolit sekunder dan dalam pembentukan vakuola sebagai tempat
penyimpanan metabolit sekunder. Dalam bidang kesehatan, kultur sel dapat digunakan untuk
mengobati penyakit tertentu. Kultur sel atau yang biasa disebut sebagai stem sel atau sel
induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio menjadi sel awal yang tumbuh menjadi
berbagai organ. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu berdeferensiasi menjadi berbagai sel
matang dan mampu meregenerasi diri sendiri. Stem cell adalah sel yang tidak atau belum
terspesialisasi dan mempunyai kemampuan (potensi) untuk berkembang menjadi berbagai
jenis sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh (Jusuf, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Jusuf, Ahmad Aulia. 2008. Aspek Dasar Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem
Cells) dan Potensi Pengembangannya. Jakarta: makalah tidak diterbitkan.
Rismaka. 2009. Kultur Sel Sebagai Teknik Pengobatan di Masa Depan (Online),
(http://okebanget.net, diakses tanggal 28 April 2010).
https://rennyambar.wordpress.com/2013/07/15/satu-abad-kultur-sel-dan-jaringan-
perkembangan-teknologi-dan-implementasinya/
7. Kultur Jaringan Pisang
Pisang adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae yang merupakan
komoditas bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Propinsi Kalimantan Selatan merupakan
salah satu daerah produksi dan wilayah potensial dikembangkannya tanaman pisang. Oleh
karena jenisnya yang beranekaragam pisang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mulai dari
bentuknya yang berupa pangan seperti pisang goreng, jumput-jumput pisang, kolak pisang,
dan lain sebagainya. Pisang juga dimanfaatkan dalam pembuatan kerajinan rakyat seperti
anyaman topi, tas, dan lainnya.
Jenis pisang yang dikenal di Kalimantan Selatan antara lain pisang menurun (kapok),
pisang mauli(uli), pisang talas dan pisang raja. Pisang kepok dan talas sering dikonsumsi oleh
masyarakat dalam bentuk kolak pisang atau pisang goring, sedangkan pisang mauli (uli)
sering dihidangkan sebagai pencuci mulut dalam acara selamatan dan perkawinan.
Kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit
yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan
perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan
mendapatkan bahan tanam dalam jumlah besar dalam waktu singkat (Priyono et al., 2000).
Dalam kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur
dengan eksplan bonggol. Apabila dibandingkan dengan jantung pisang maka
mendapatkannya lebih mudah dan jumlah eksplan yang di dapat lebih banyak bahkan
mencapai 200 eksplan setiap jantung pisang, serta lebih kecil resikonya terhadap kontaminasi
sebab bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh kelopak.
1. Untuk menemukan teknik perbanyakan bibit pisang abaca dengan bantuan zat
pengatur tumbuh BAP, Kinetin dan NAA pada media propagasi.
2. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara campuran NAA dan Kinetin terhadap
pertumbuhan tiga kultivar buah pisang secara teknik kultur jaringan.
3. Untuk mengetahui perkembangan meristem pisang barangan (Musa paradisiaca L.)
dalam media MS dengan berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh(ZPT) NAA, IBA,
BAP, dan kinetin.
Manfaat
Manfaat dari makalah ini sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan
penulis mengenai kultur jaringan pisang abaca, media yang digunakan dan perkembangan
meristem pisang barangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pisang
Pisang berasal dari bahasa Arab yaitu maus dan menurut Linnaeus termasuk keluarga
Musaceae (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Pisang barangan merupakan pisang yang paling
populer di Sumatera Utara (Nuswamarhaeni, dkk, 1999, hlm. 56). Indonesia merupakan salah
satu negara penghasil tanaman pisang dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dan
tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu jenis pisang yang
sangat digemari oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal dibandingkan jenis lainnya
(Nainggolan dkk, 2002 dalamWahyudi, 2004).
Adapun botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan seperti
pohon, tinggi 2-9 m; batang pendek dalam tanah yang disebut Corm; mempunyai
kuncup-kuncup tunas yang akhirnya berkembang menjadi anakan. Akar liar (adventif)
tumbuh menyebar secara lateral, dapat mencapai panjang 4-5 m. Batang yang di atas
permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun yang
berdaging, membentuk suatu bentuk silindris dengan diameter 20-50 cm. Daun baru yang
terbentuk tumbuh dari batang semu. Helai daun berbentuk oblong yang besar dengan panjang
150-400 cm dengan lebar 70-100 cm. Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang
semu, maka pembentukan helai daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul menjadi
beberapa kelompok (sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun penumpu yang besar,
berwarna merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga. Keseluruhan kelompok bunga ini
bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga disebut sebagai jantung pisang. Daun
penumpu dari setiap kelompok bunga akan luruh setelah terjadinya proses perkembangan
buah (Sudarnadi,1996, hlm. 85).
Menurut Steenis (2003), kedudukan pisang barangan dalam taksonomi adalah:
Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermae, Kelas :
Monocotyledoneae, Ordo : Zingiberales, Famili : Musaceae, Genus : Musa, Spesies : Musa
sp.
Tanaman pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di
Indonesia, tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh danmberproduksi
baik pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara 0-1000 m diatas permukaan
laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai tempat sehingga penanaman yang dilakukan
oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman lainnya. Selain itu
pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif, sehingga produksi dan mutu
buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung, 1994).
Sitokinin/ BAP
Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin.
Didalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan ganda dalam rantai
tersebut, akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini (Abidin, 1982, hlm.55). Secara
umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0.1 – 10 mg/l. Dalam kasus
tertentu, konsentrasi kinetin sampai 30 mg/l pernah digunakan, tetapi jarang terjadi
(Gunawan, 1995). Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan
dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan
induksi umbi. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi bila tidak ada sitokinin.
Sitokinin terutama berperan di dalam pembentukan benang gelendong pada metafase
(Wattimena, 1992 dalam Nasution, 2003). Menurut Santoso dan Nursandi (2004, hlm. 105),
bahwa secara lebih luas peran sitokinin dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sitokinin berperan dalam memacu pembentangan sel, pembesaran dan pembelahan sel.
2. Sitokinin berperan dalam penundaan senesens (penuaan), caranya dengan jalan sitokinin
menghambat penguraian protein. Penuaan terjadi karena penguraian protein menjadi asam
amino oleh enzim-enzim protese, RNAse, DNAse. Artinya di sini penghambatan atau
penundaan penuaan terjadi karenakinerja enzim-enzim di atas dihambat sitokinin sehingga
umur protein lebih panjang.
3. Sitokinin ini berperan mengarahkan transpor zat hara, yaitu memberi signal ke arah mana
zat hara akan dibawa atau ditransport.
4. Peran sitokinin yang lain adalah: mendorong proses morfogenesis, pertunasan,
pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan
stomata, dan pembungaan.
5. Dalam kegiatan kultur jaringan sitokinin telah terbukti dapat menstimulasi terjadinya
pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung,
menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus, golongan
sitokinin yang sering ditambahkan dalam medium antara lain adalah: kinetin, zeatin, dan
Benzil Amino Purin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Penggunaan BAP dengan
konsentrasi tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regeneran sulit berakar
dan dapat menyebabkan penampakan pucuk yang abnormal(Gunawan, 1995 hlm 45).
Auksin/NAA
Istilah auksin pertama kali digunakan untuk menyebut suatu senyawa yang mungkin
dapat menyebabkan pembengkokan koleoptil ke arah cahaya ( Salisbury dan Ross,1992)
Indolacetic Acid (IAA) adalah auksin endogen atau auksin yang terdapat pada tanaman
(Wattimena, 1988, hlm. 7). Adapun zat pengatur tumbuh yang digolongkan sebagai auksin
sintetis, yaitu: asam a-naftalenaasetat (NAA), asam 2,4-diklorophenoksi asetat (2,4-D), asam
2- metil-4-klorophenoksi asetat (MCPA), asam 2-naftalosiasetat (NoA), asam 4-
klorophenoksi asetat (4-CPA), asam p-klorophenoksi asetat (PCPA), asam 2,4,5-
triklorophenoksi asetat (2,4,5-T), asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino-3,5,6-
trikoloropikolinik (Santoso dan Nursandi, 2004, hlm.98).
Pada konsentrasi yang rendah, auksin berpengaruh baik pada proses pemanjangan sel
(Abidin, 1982). Sebaliknya, dalam konsentrasi yang terlalu tinggi auksin justru dapat
menghambat perpanjangan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan auksin harus sungguh-
sungguh memperhatikan dosis yang dianjurkan ( Salisbury dan Ross, 1992 dan Widarto,
1996).
Eksplan
Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk
kemudian dikulturkan (Katuuk, 1989). Bagian tanaman yang dapat dikultur adalah selsel
muda (meristematis), dapat berupa sel, jaringan apapun, organ, buah, biji, serbuk sari, ovum
(telur), ovulum (bakal buah), dan lain-lain. Bahkan sel tunggal yang berasal dari sel somatik
dan protoplas juga dapat dikulturkan (Muslim, 2003, hlm. 348). Dalam pemilihan bagian
tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan
memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen.
Endosperma hanya digunakan untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian
tanaman, genotip atau varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi
(Gunawan, 1995, hlm. 41). Dalam kultur jaringan, sumber eksplan harus berasal dari pohon
induk terpilih. Hal ini seringkali dapat menjadi kendala dalam proses produksi bahan pangan
melalui kultur jaringan (Priyono, 2000).
Metode Kerja
Jurnal 1
Penelitian terdiri dari 2 tahap yaitu tahap induksi tunas dan tahap pengakaran tunas
mikro. Tahap induksi tunas disusun secara acak lengkap dengan 5 ulangan dan 4 perlakuan
konsentrasi BAP yaitu 4 ppm, 5 ppm, 6 ppm, dan 7 ppm. Secara pararel tahapan yang sama
dilakukan dengan perlakuan Kinetin. Tahap pengakaran tunas mikro disusun hanya dengan 1
faktor dan 3 ulangan. Dengan menggunakan 4 taraf konsentrasi NAA yaitu 0 ppm, 1 ppm,
1,25 ppm dan 1 ppm. Eksplan yang digunakan berupa tunas abaka dari kultur steril. Eksplan
dikulturkan pada media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan.
Jurnal 2
Penelitian ini disusun menurut rancangan acak lengkap (RAL) factorial menggunakan 2
faktor, factor pertama adalah zat pengatur tumbuh (a) yang terdiri dari 6 taraf konsentrasi.
Factor kedua adalah kultivar pisang (b) yang terdiri dari 3 taraf.
Jurnal 3
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap(RAL) non
faktorial dengan 9 perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh dalam media.
Inokulasi eksplan
Sebelum penanaman, LAFC disterilkan dengan alkohol 96% dan dilakukan pentinaran
lampu UV selama 10 menit. Kemudian dipotong meristem pucuk dengan scalpel ± 1 cm³,
dan langsung ditanam pada media. Setelah ditanam, botol kultur ditutup rapat, ditempatkan
keruang kultur.
Kultur Jaringan beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca l.) dengan
Pemberian Campuran NAA dan Kinetin
Persentase hidup
Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat dilihat bahwa, persentase hidup eksplan
sangat bervariasi dan perlakuan NAA dan kinetin, kultivar pisang, dan interaksi keduanya
tidak berpengaruh nyata. Beberapa eksplan yang mati rata-rata disebabkan oleh pencoklatan
dan infeksi mikroba. Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesi metabolit sekunder.
Fitriani (2003) mendapatkan bahwa warna coklat kalus menandakan sintesis senyawa
fenolik. Sintesi senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel tanaman
(Vickery dan Vickery, 1980). Pencoklatan juga disebabkan oleh adanya gen B. Menurut
Purwanto(1991) keberadaan sejumlah genom B mempengaruhi tingkat kandungan fenol dan
aktivitas polyphenoloksidase, semakin tinggi pula aktivitas enzim polyphenoloksidase. Hal
ini ditunjukan dengan tingginya produksi phenol pada pisang kepok yang memiliki genom
BBB dan pisang raja yang memiliki genom AAB, sedangkan pada pisang mauli pencoklatan
lebih kecil.
Kontaminasi
Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi karena adanya
infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan kontaminasi eksternal dilakukan
dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman. Inferksi internal tidak dapat dihilangkan dengan
sterilisasi permukaan (Widiastoety,2001).
Eksplan yang mengandung atau terinfeksi virus, bakteri atau jamur akan menyebebkan
kontaminasi pada tahap pertumbuhan. Selain itu, factor sterilitas ruangan juga sangat
menentukan terhadap kontaminasi. Pengambilan meristem sebagai eksplan harus dilakukan
dalam ruang steril agar tidak terkontaminasi (Sunarjono, 2002).
Kontaminasi disebabkan oleh jamur, bakteri dan cendawan. Kontaminasi oleh jamur
terlihat jelas pada media yang berwarna putih, sedangkan kontaminasi oleh bakteri, pada
eksplan terlihat lender berwarna kuning sebagian lagi melekat pada media membentuk
gumpalan yang basah. Jamur yang mengkontaminasi media san eksplan adalah jamur-jamur
seperti Aspergillus sp, Monera sp dan Penicillium sp (Setiyoko, 1995). Bakteri berupa bekteri
gram positif dan yang semispesifik untuk pisang yaitu Pseudomonas solanacearum.
‘Kultur Meristem” Pisang Barangan (Musa paradisiaca L.) Pada Media MS dengan
Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA, IBA, BAP, dan Kinetin
Ekssplan hidup, mati dan kontaminasi
Eksplan yang hidup berkembang membentuk akar, membentuk tunas, pembesaran
bonggol, dan sebagian kecil statis. Komposisi zat pengatur tumbuh yang dicobakan dalam
media MS IBA, NAA, atau kinetin masih pada batas konsentrasi yang sesuai untuk
kehidupan eksplan dan tidak mematikan eksplan.
Eksplan yang mati diduga disebabkan oleh teknik memotong kurang baik, eksplan
memar, sterilisasi terlalu keras, kontaminasi dan lingkungan kurang sesuai. Kontaminasi
dijumpai pada media M4 dan M5 masing-masing 40% dan pada M3, M6, M8 sebesar 20%.
Jenis kontaminan jamurdan bakteri tersebar dipermukaan media. Kontaminan jamur sudah
tampak 1 minggu setelah tanam, diperkirakan kontaminan berasal dari lingkungan. Karena
jamur tumbuh dipermukaan media kemudian membentuk hifa dan menutupi permukaan
media dan eksplan, sehingga mengakibatkan eksplan tertekan dan mati.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Angkasa, Bandung.
Avivi,S dan Ikrarwati, 2004, Mikropagasi Pisang Abaca (Musa textilis Nee) Melalui Teknik
Kultur Jaringan, Jurnal Ilmu Tanah Vol.11 No.2
Gunawan, L.W.1990. teknik kultur jaringan tumbuhan. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. P.
304.
Nisa,C dan Rodinah, 2005, Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa
paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin, Jurnal Bioscientiae,
Vol 2, No.2.
Priyono. 2000. Perbanyakan Abaka (Musa textillis Nee) melalui Kiltur Mata Tunas Secara In
vitro. Pelita Perkebunan 9(2): 129-133.
Purwanto, D.1991. pengaruh ukuran bahan tanam terhadap keberhasilan perbanyakan
beberapa varietas pisang (Musa paradisiacal L.) dengan metode kultur jaringan. Skripsi
fakultas pertanian UNIBRAW. Malang.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Edisi Bahasa Indonesia.
Penerbit ITB, Bandung.
Sitohang,N, 2004, “Kultur Meristem” Pisang Barangan(Musa paradisiaca L.) pada Media
MS dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh naa, iba, Dan Kinetin, Unika
Santo Thomas Medan.
Wibowo, A. 1998. Abaca (Musa textillis Nee) Penghasil Serat. Duta Rimba XXIV (222):