Anda di halaman 1dari 14

Karl Popper The Logic of Scientific Discovery: Theories

Disusun Oleh:

Zilda Firdausi Rahma (215120401111042)


Maritza Jili Janitra (215120401111043)
Fitri Maretha Puspitasari (215120401111045)
Afwan Maulana Nuriyanto (215120401111046)
Lim Agnes Widya Santi (215120401111047)
Sakila Karema Safriyani Sutoyo (215120401111048)
Naomi Alodia Hendry (215120407111036)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kita kita dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
mata kuliah Filsafat Ilmu dan Dasar Logika ini dengan judul “Karl Popper The Logic of
Scientific Discovery: Theories”.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Anggun Trisnanto Hari Susilo,
S.IP., M. IDEA sekalu dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Dasar Logika yang
membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Dengan adanya makalah ini,
diharapkan bisa menjadi sumber wawasan serta ilmu bagi para pembaca.
Akhirnya, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekurangan. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan dari para pembaca guna peningkatan kualitas makalah ini dan makalah-makalah
lainnya pada waktu mendatang.

Mojokerto, 16 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................i

Daftar Isi............................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………….1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………....1

1.3 Tujuan….…………………………………………………………………………….1

BAB II Pembahasan

2.1 Causality, Explanation, And The Deduction Of Predictions…………..…………….2

2.2 Strict and Numerical Universality……………………………….…………………..3

2.3 Universal Concepts and Individual Concept………………………………………...4

2.4 Strictly Universal and Existential Statements ……………..………………………..5

2.5 Theoretical System…………………………………………………………………..7

2.6 Some Possibilities of Interpreting a System of Axioms……………………………..7

2.7 Tingkat Universalitas—Modus Tollens……………………………………………...8

BAB III Penutup

Kesimpulan......………………………………………………………………………….10

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dan bumi terus menerus berevolusi, begitupun juga ilmu dan teori. Teori adalah
jaring untuk menangkap apa yang kita sebut dunia untuk merasionalisasi, menjelaskan, dan
menguasainya. Terlepas dari itu, teori logika penemuan sains juga terus menerus
berkembang dan membahas mengenai kausalitas, teori sistem numerik, sistem teori, konsep-
konsep, maupun struktur komponen teori pengalaman.
Pembahasan mengenai teori-teori ini muncul dari pemikiran para ahli yang kemudian
dijadikan suatu dasar ide atau pemikiran demi mempelajari dasar ilmu filsafat lebih dalam,
dengan tujuan mempermudah pemahaman mengenai dasar ilmu filsafat. Sebagaimana yang
kita ketahui, teori membantu memberikan penjelasan logis terhadap suatu fenomena atau
peristiwa yang kita observasi , selain itu teori juga membantu kita mengidentifikasi variabel-
variabel kunci dasar dalam ilmu filsafat serta masih banyak lagi. Pada dasarnya ilmu filsafat
merupakan ilmu yang tak terlepas dari yang namanya teori.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana memahami analisis Causality, Explanation, dan The Deduction of


Predictions pada sebuah teori?
2. Bagaimana memahami perbedaan antara Strict dan Numerical Universality?
3. Bagaimana memahami konsep Universal dan Individual pada sebuah teori?
4. Bagaimana memahami pernyataan Strictly Universal dan Existential?
5. Bagaimana memahami yang dimaksud Theoretical Systems serta bagaimana
terbentuknya?
6. Bagaimana mengetahui beberapa kemungkinan dari Interpreting a System of
Axioms?
7. Bagaimana memahami mengenai Levels of Universality. The Modus Tollens?

1.3 Tujuan

1. Untuk memahami apa yang dimaksud analisis Causality, Explanation, dan The
Deduction Of Predictions pada sebuah teori
2. Untuk memahami perbedaan antara Strict dan Numerical Universality
3. Untuk memahami konsep Universal dan Individual pada sebuah teori
4. Untuk memahami pernyataan Strictly Universal dan Existential pada sebuah teori
5. Untuk memahami apa yang dimaksud Theoretical Systems dan bagaimana
theoritical system terbentuk
6. Untuk mengetahui beberapa kemungkinan dari Interpreting a System of Axioms
7. Untuk memahami apa yang dimaksud Levels of Universality. The Modus Tollens

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Causality, Explanation, And The Deduction Of Predictions

Kausalitas dapat didefinisikan sebagai hubungan yang menyatakan sebab dan akibat
dari suatu kejadian. Dalam memberikan penjelasan kausal dari suatu peristiwa, kita dapat
menyimpulkan pernyataan yang menggambarkan peristiwa tersebut dan menggunakannya
sebagai premis deduksi atau dasar pemikiran.. Sebagai contoh yaitu ketika kita memberikan
penjelasan kausal dari putusnya seutas benang yang mana benang tersebut memiliki
kekuatan tarik 1 pon dan beban 2 pon yang diletakkan di atasnya. Dalam hal ini kita akan
menemukan bagian penting. Setiap ada seutas benang yang dibebani dengan berat melebihi
daya tarik benang maka benang tersebut akan putus. Hal tersebut merupakan pernyataan
yang memiliki karakter hukum alam universal. Di sisi lain terdapat pernyataan tunggal yang
mana dalam kasus ini terdapat dua yaitu karakteristik berat untuk utas benang ini adalah 1
pon dan berat yang dikenakan pada seutas benang adalah 2 pon.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa terdapat dua jenis pernyataan yang
diperlukan dalam penjelasan kausal. Yang pertama adalah pernyataan universal yang berisi
hipotesis tentang sifat hukum alam dan yang kedua yaitu pernyataan tunggal yang berlaku
untuk peristiwa tertentu dan sering disebut “kondisi awal”. Kondisi awal dalam hal ini
disebut sebagai penyebab dari suatu peristiwa. Sedangkan prediksi berhubungan dengan
dampak atau efek yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut. Contohnya yaitu “benang ini
akan putus”

Prinsip kausalitas merupakan sebuah pernyataan bahwa setiap peristiwa bisa


dijelaskan secara kasual dan bisa diprediksi secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari
premis umum untuk membuat kesimpulan khusus yang logis. Cara seseorang menafsirkan
kata “bisa” dalam pernyataan tersebut akan menjadi tautologis atau pernyataan realistis. Hal
ini dikarenakan apabila kita menyebut “bisa” maka selalu mungkin secara logis membangun
penjelasan kausal. Pernyataan tersebut tautologis karena ketika kita memberikan sebuah
prediksi kita selalu dapat menemukan pernyataan universal dan kondisi awal bagaimana
prediksi tersebut dapat terbentuk. Namun suatu pernyataan disebut sintetik apabila kata
“bisa” ditujukan untuk menandakan bahwa dunia diatur oleh hukum yang ketat sehingga
peristiwa spesifik adalah contoh dari keteraturan atau hukum universal.

Popper mengusulkan aturan metodologis yang sesuai dengan prinsip kausalitas


sehingga akan dianggap sebagai versi metafisiknya. Hal tersebut adalah aturan sederhana
untuk tidak meninggalkan pencarian hukum universal dan sistem teori yang koheren. Jangan
pernah menyerah dalam menjelaskan segala jenis peristiwa secara kausal. Aturan ini
membantu peneliti ilmiah dalam pekerjaannya.

2
2.2 Strict and Numerical Universality

Menurut Popper terdapat perbedaan antara dua pernyataan universal sintetik yaitu,
jika strictly universal menyatakan tentang teori atau hukum alam secara umum atau
universal, sedangkan numerically universal setara dengan pernyataan tunggal atau dengan
konjungsi pernyataan tunggal yang diklasifikasikan sebagai pernyataan tunggal. Formal
logic sama-sama memperlakukan kedua pernyataan ini sebagai pernyataan universal
(formal/umum). Seperti contoh dari strictly universal yaitu; dari semua osilator harmonik,
memang benar bahwa energinya tidak pernah turun di bawah jumlah tertentu, contoh ini
menyatakan bahwa pernyataan strictly universal menyatakan untuk benar pada setiap tempat
dan waktu, pernyataan strictly universal tidak dapat diganti dengan konjungsi dari sejumlah
terbatas pernyataan tunggal berdasar waktu tertentu, contoh tersebut menyatakan bahwa
strictly universal sebagai pernyataan semua atau universal tentang jumlah individu yang
tidak terbatas. Sedangkan contoh numerically universal adalah dari semua manusia yang
tinggal di bumi sekarang, tingginya tidak pernah melebihi batas tertentu, contoh tersebut
mengacu pada kelas elemen terbatas dalam wilayah spatio-temporal individu yang terbatas
tertentu, pernyataan ini dapat diganti dengan konjungsi pernyataan tunggal; untuk waktu
yang cukup, seseorang dapat menghitung semua elemen dari kelas terbatas yang
bersangkutan.

Pernyataan strictly universal menurut Popper bertentangan dengan pandangan dalam


pernyataan universal sintetik yang memiliki prinsip dapat diterjemahkan ke dalam konjungsi
dari sejumlah pernyataan tunggal yang terbatas. Menurut pandangan orang yang menganut
pernyataan universal sintetik, menyatakan bahwa strictly universal tidak akan pernah dapat
diverifikasi, oleh karena itu mereka menolak konsep strictly universal Popper. Dalam
pandangan hukum alam seperti itu, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam
pernyataan strictly universal dan numerically universal, dari hal tersebut maka masalah
induksi akan terpecahkan. Tetapi, masalah metodologi induksi tidak terpengaruh. Untuk
memverifikasi hukum alam, hanya dapat dilakukan dengan memastikan secara empiris atau
berdasarkan pengamatan setiap peristiwa numerically universal yang mungkin berlaku
hukum dan dengan menemukan bahwa setiap peristiwa tersebut benar-benar sesuai dengan
hukum.

Pertanyaan akan hukum-hukum sains itu secara strictly atau numerically dapat
diselesaikan hanya dengan kesepakatan atau konvensi. Popper menilai bahwa hukum alam
sebagai pernyataan yang sintetik dan strictly universal karena menganggap bahwa hukum
alam dapat diverifikasi dan dapat dimasukkan ke semua titik ruang dan waktu. Sebaliknya,
pernyataan yang terbatas ruang dan waktu disebut dengan pernyataan khusus atau tunggal.
Perbedaan kedua pernyataan hanya akan diterapkan pada pernyataan sintetik. Namun,
Popper menjelaskan bahwa ada kemungkinan untuk diterapkan dalam pernyataan analitik
atau matematika.

3
2.3 Universal Concepts and Individual Concepts

Perbedaan antara pernyataan universal dan pernyataan tunggal berhubungan erat


dengan konsep universal dan konsep individu. Seperti contohnya “dictator” itu merupakan
konsep universal, sedangkan konsep individunya adalah “napoleon”, atau dengan contoh
lain “planet” merupakan universal, sedangkan “uranus, bumi” merupakan contoh
individunya. Dalam contoh tersebut, konsep individu merupakan hal yang spesifik, yang
harus didefinisikan berdasarkan penggunaan nama yang tepat sedangkan kalau konsep
universal, tidak perlu didefinisikan atau tidak memiliki penggunaan nama yang tepat.
Penerapan sains didasarkan pada dugaan atau kesimpulan dari hipotesis ilmiah ke singular
cases atau kasus tunggal. Nah, hipotesisnya merupakan konsep universal, yang kemudian
dijadikan singular cases dengan cara mengurangi atau menarik kesimpulan dari prediksi
tunggal. Disetiap singular statement, akan selalu ada konsep atau nama individu. Individual
names yang muncul dalam singular statement of science juga sering muncul dalam
koordinasi spatio-temporal. Sistem koordinat Spatio-temporal selalu melibatkan nama
individu.

Individual names juga bisa diekspresikan dengan ungkapan umum atau isyarat
seperti “itu tuh benda itu disana” atau “ini nih yang disini” dan hal tersebut hanya bisa
digunakan untuk batas tertentu. Selain itu, universal name juga dapat menggunakan
ostensive gesture atau gerakan ostensive untuk hal atau peristiwa tertentu dari individual
names, seperti misalnya dalam kata “dan lain-lain, dan sebagainya”. Jadi makna dari
keduanya memang mirip, hanya saja ostensive gesture dalam universal name bertujuan
untuk menunjukkan adanya kelas dalam individual names. Nah, hal tersebut menjelaskan
bahwa konsep individu terdiri dari konsep elemen dan kelas. Kelas-kelas tersebut juga bisa
tergolong kedalam konsep universal yaitu ketika terdapat hubungan antara elemen dengan
kelas, dan hubungan antara kelas dengan sub-kelas. Seperti misalnya suatu anjing (sub kelas)
yang merupakan elemen dari ras tertentu yaitu Viennese dogs (sub kelas), mereka
merupakan elemen individu. Elemen universal nya, adalah mereka tergolong mamalia. Jadi
suatu anjing tadi merupakan subkelas dari viennese dogs dan viennese dogs merupakan
subkelas dari mamalia, namun suatu anjing tadi juga merupakan subkelas dari mamalia.

Penggunaan kata anjing atau mamalia dalam contoh memang agak ambigu, dan
apakah hal tersebut merupakan universal atau individu tergantung dari kita membicarakan
ras hewan (individual concept) atau semacam objek dengan sifat yang dapat dideskripsikan
secara universal. Seperti semacam kata ‘pasteurized’ yang maknanya bisa individual seperti
“diperlakukan sesuai saran M Louis Pasteur (nama orang)” atau bisa dimaknai secara
universal dengan “dipasteurisasi” atau sistem pasteurisasi (dipanaskan dalam suhu 80 derajat
celcius lalu disimpan pada suhu yang sama selama sepuluh menit.)

Konsep individu tidak bisa diidentifikasi hanya dengan sifat dan hubungan
universalnya. Maksudnya, sifat dan hubungan konsep individu tidak hanya berkaitan atau
semata-mata milik universal. Nah, prosedur semacam itu akan mendeskripsikan suatu
individu, tetapi tidak dapat mendeskripsikan kelas universal dari semua individu yang

4
berkaitan. Begitu juga sebaliknya, universal names tidak bisa dideskripsikan dengan
individual names. Namun, hal tersebut kebanyakan diabaikan dan secara luas diyakini bahwa
ada kemungkinan terdapat proses ‘abstraksi’ dari konsep individu ke konsep universal.
Metode ‘abstraksi’ yang digunakan dalam logika simbolik tidak dapat menyelesaikan
pergantian dari nama individu ke nama universal. Hal tersebut sehubungan dengan logika
induktif dengan perubahan dari pernyataan tunggal ke pernyataan universal. Meskipun kelas
individu dapat didefinisikan seperti itu (abstraksi), namun tetap saja dia termasuk kedalam
konsep individu yang masih harus ada atau harus menggunakan nama yang tepat. Contoh
konsep individu dari abstraksi itu seperti ‘jendral napoleon’ dan ‘penduduk paris’. Nah, di
dalam kedua kalimat tersebut perbedaan antara universal concept dengan individual concept
tidak berhubungan dengan perbedaan antara kelas dan elemen. Baik universal atau
individual names dapat diidentifikasi sebagai nama kelas atau elemen dari kelas.
Maka dari itu, perbedaan konsep individu dengan universal tidak bisa dihapuskan dengan
pendapat carnap yang mengatakan bahwa setiap konsep dapat dianggap sebagai konsep
individual atau universal menurut sudut pandang yang dianutnya. Karena semua yang
disebut konsep individual adalah nama-nama kelas, sama seperti konsep universal.
Pernyataan tersebut cukup benar, tetapi tidak ada hubungannya dengan perbedaan yang
dimaksud popper.
Selain itu juga terdapat argumentasi dari Russell dan Whitehead mengenai perbedaan
antara individu (khusus) dan universal yang juga tidak ada hubungannya dengan perbedaan
yang telah dijelaskan antara nama individu dan nama universal oleh popper. Menurut
terminologi Russell, dalam kalimat 'Napoleon adalah seorang jenderal Prancis', 'Napoleon'
adalah seperti dalam skema popper, merupakan seorang individu, tetapi 'Jenderal Perancis'
adalah universal, tetapi sebaliknya, dalam kalimat 'Nitrogen adalah non-logam', 'non-logam',
menurut popper adalah universal, tetapi 'nitrogen' adalah individu. Selain itu, apa yang
disebut Russell 'deskripsi' tidak sesuai dengan 'nama individu' menurut popper.
Penggunaan istilah 'nama universal' sebagai sinonim untuk 'nama kelas', dan 'nama individu'
sebagai sinonim untuk 'nama elemen' tentu diperbolehkan menurut popper, tetapi hanya ada
sedikit yang menerapkan hal tersebut karena permasalahan tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan hal tersebut. Instrumen logika simbolik juga tidak lebih memadai untuk
menangani masalah universal daripada menangani masalah induksi. Tidak benar untuk
mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai implikasi 'formal' atau 'umum' harus pernyataan
universal. Karena untuk setiap pernyataan tunggal dapat dimasukkan ke dalam bentuk
implikasi umum.

2.4 Strictly Universal and Existential Statements


Pernyataan universal digolongkan sebagai pernyataan yang tidak terdapat nama
individu yang muncul di dalamnya, dan mencakup keseluruhan aspek. Sebagai contoh
pernyataan yang sangat universal, “semua air laut memiliki rasa yang asin”, yang dimana air
laut sebagai nama universal dan mencakup keseluruhan. Pernyataan lain seperti “banyak air
laut memiliki rasa yang asin” atau “beberapa air laut memiliki rasa yang asin” yang hanya
terdapat nama universal namun tidak mencakup semua aspek yang terkandung disebut

5
murni. Dan kemudian pernyataan seperti “ada air laut memiliki rasa yang asin” disebut
pernyataan eksistensial yang murni. Kesamaan keduanya terdapat pada kata sangkalan
seperti tidak dan bukan, dari pernyataan universal yang murni selalu setara dengan
pernyataan eksistensial yang murni. Misalnya “tidak semua air laut memiliki rasa yang asin”
akan setara dengan pernyataan eksistensial “ada air laut yang tidak memiliki rasa yang asin”.
Teori-teori hukum alam memiliki bentuk logis dari pernyataan universal yang murni,
dapat diekspresikan dalam bentuk sangkalan dari pernyataan eksistensial yang murni atau
dalam bentuk pernyataan non-eksistensi. Misalnya, hukum kekekalan energi dapat
dinyatakan sebagai contoh “tidak ada mesin yang bergerak terus-menerus”, atau hipotesis
muatan dasar listrik seperti “tidak ada muatan listrik selain kelipatan dari muatan dasar
listrik”. Dalam hal ini kita melihat bahwa hukum alam dapat dibandingkan dengan larangan
dan karena hal tersebut pernyataan dapat dipalsukan. Jika kita menerima sebagai benar satu
pernyataan tunggal yang seolah-olah melanggar larangan dengan menegaskan adanya suatu
hal yang dikesampingkan oleh hukum, maka hukum tersebut terbantahkan.
Sebaliknya, pernyataan eksistensial yang murni tidak dapat dipalsukan. Tidak ada
pernyataan tunggal yang dapat bertentangan dengan pernyataan eksistensial seperti contoh
“ada air laut yang rasanya manis”. Hanya pernyataan universal yang bisa melakukan ini.
Atas dasar kriteria demarkasi yang diadopsi, pernyataan eksistensial secara murni dapat
disebut sebagai non-empiris atau metafisik. Karakterisasi ini mungkin tampak meragukan
pada pandangan pertama dan tidak sesuai dengan praktik ilmu empiris. Dengan cara
keberatan, dapat diperjelas dengan adil bahwa ada teori bahkan dalam fisika yang memiliki
bentuk pernyataan eksistensial yang ketat. Pernyataan yang tegas atau murni, apakah
pernyataan disebut universal atau eksistensial, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Mereka
tidak merujuk pada individu dan terbatas dengan wilayah spatio-temporal. Inilah alasan
mengapa pernyataan eksistensial yang murni tidak dapat dipalsukan. Kita tidak dapat
mencari di seluruh dunia untuk membuktikan bahwa sesuatu itu tidak ada, tidak pernah ada,
dan tidak akan pernah ada. Untuk alasan yang sama persis bahwa pernyataan-pernyataan
universal yang murni tidak dapat diverifikasi untuk memastikan bahwa tidak ada yang
dilarang oleh hukum.
Kedua jenis pernyataan yang murni, eksistensial dan universal, pada prinsipnya dapat
ditentukan masing-masing secara empiris dalam satu cara yaitu diputuskan secara sepihak.
Setiap kali ditemukan bahwa sesuatu ada di sini atau di sana, pernyataan eksistensial yang
murni dapat diverifikasi, atau pernyataan universal dipalsukan. Disini dijelaskan mengenai
asimetri dengan konsekuensinya dan falsifiability satu sisi dari pernyataan universal ilmu
pengetahuan empiris. Melihat bahwa tidak ada asimetri dari hubungan logis murni apa pun
yang terlibat. Sebaliknya, hubungan logis menunjukkan simetri. Pernyataan universal dan
eksistensial dibangun secara simetris. Hanya garis yang ditarik oleh kriteria demarkasi kami
yang menghasilkan asimetri.

6
2.5 Theoretical System

Seperti yang kita ketahui dalam logika penemuan ilmiah terdapat bahasan mengenai
theoretical system. Theoretical system sendiri merupakan sebuah kesatuan yang mengatur
serta membatasi penemuan-penemuan baru layaknya suatu teori atau gagasan. Theoretical
system terbentuk, lantaran sifat ilmu empiris yang melekat pada penemuan ilmiah.
Walaupun Theoretical system terbilang rumit dan harus dibangun secara logis, akan tetapi
hal itulah yang menjadi landasan agar gagasan-gagasan baru dapat dikenali, diterima serta
diperbarui, lebih singkatnya agar terbentuk suatu sistem yang ter aksiomatis.

Terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi, agar sekumpulan gagasan, teori atau aksioma pada
theoritical system dapat disebut teraksiomatis:

1. System aksioma harus bebas

2. System aksioma harus independen, yaitu tidak mengandung sistem aksioma yang masih
dapat diturunkan

3. Apabila terjadi pengurangan teori, aksioma tersebut harus tetap cukup untuk menjadi
system yang teraksiomatis

4. Tujuan haruslah sama yang berarti tidak diperbolehkan adanya asumsi-asumsi berlebihan

Pada sebuah teori yang sudah teraksiomatis, biasanya kembali diteliti mengenai hubungan
timbal balik dari berbagai sistem aksioma, Misalnya, apakah bagian tertentu dari teori dapat
diturunkan dari beberapa bagian aksioma. Dengan adanya penelitian timbal balik tersebut,
akan memudahkan kita apabila terjadi masalah falsiability, yaitu memutuskan bagian mana
yang dipengaruhi oleh beberapa pengamatan palsu.

2.6 Some Possibilities of Interpreting a System of Axioms


Kata axioms atau aksioma sendiri memiliki arti pantas, dan merupakan suatu
pedoman dasar yang berasal dari pendapat dan kebenarannya tidak harus dibuktikan.
Aksioma bersifat umum, dan kebenarannya dapat diterima oleh individu dari berbagai
kalangan. Dalam sistem aksioma, terdapat dua interpretasi berbeda yaitu sebagai konvensi
ataupun hipotesis ilmiah.

Aksioma sebagai konvensi terkadang dikenal sebagai definisi implisit ide yang ada,
dan aksioma sebagai konvensi mengikat makna dari ide dasar, istilah, maupun konsep
primitif yang diperkenalkan aksioma. Aksioma sebagai konvensi menentukan batas-batas
pembahasan dari ide-ide mendasar yang ada. Nilai yang dapat diterima dari ‘unknown’ yang
muncul dalam sistem persamaan biasanya ditentukan melalui aksioma dan meski sistem
persamaan tidak memiliki solusi, aksioma tidak dapat menggantikan variabel yang tidak
diketahui. Sebaliknya, sistem persamaan mencirikan kombinasi nilai baik yang dapat
diterima maupun tidak. Sistem konsep juga dapat dibedakan dengan cara yang sama, yaitu

7
antara dapat atau tidak dapat diterima oleh ‘statement-equation’ di mana statement-equation
didapatkan dari propositional function atau statement-function.

Istilah atau ide dasar sistem aksioma sering tidak terdefinisi dan dianggap sebagai kosong
meski dapat dianggap juga sebagai sistem statement-functions. Hanya saja, jika kombinasi
nilai atau sistem dapat diubah semaunya, maka statement-functions akan berubah menjadi
sistem statement-equations. Oleh karena itu, sistem tersebut dapat didefinisikan sebagai
kelas dalam sistem konsep yang jika konsep tersebut berhubungan dengan aksioma dapat
disebut sebagai model sistem aksioma.

Sistem aksiomatik sebagai hipotesis tidak mendefinisikan sistem ini sebagai implisit,
melainkan sebagai ‘extra-logical constants’ seperti contohnya konsep garis lurus dan titik
yang digambarkan sebagai sinar cahaya. Oleh karena gagasan ini, pernyataan mengenai
sistem aksioma menjadi pernyataan mengenai objek empiris. Pada awalnya, gagasan
mengenai hal ini sangat memuaskan. Hanya saja, gagasan tersebut menyulitkan konsep dasar
empiris itu sendiri karena tidak ada kejelasan mengenai cara empiris untuk mendefinisikan
suatu konsep. Makna empiris yang sesungguhnya lahir ke dunia dihubungkan dengan objek
tertentu yang kemudian menjadi simbol bagi objek-objek tersebut. Hanya saja, konsep yang
dipakai dalam sistem aksioma harus menggunakan nama yang universal dan hal tersebut
tidak dapat ditentukan dengan indikator empiris. Sistem aksioma empiris hanya dapat
didefinisikan secara eksplisit tanpa bantuan dari nama umum lainnya, atau sistem tersebut
tidak akan bisa didefinisikan. Tetapi, terdapat pula kesulitan karena beberapa nama universal
harus tetap tidak terdefinisi. Kesulitan ini hanya dapat diatasi dengan keputusan metodologis
yang didapat dari menerapkan aturan untuk tidak menggunakan konsep yang tak terdefinisi
seolah-olah seperti konsep tersebut didefinisikan secara implisit.

Konsep primitif dari sistem aksioma dapat dikorelasikan dengan konsep sistem lain.
Kemungkinan ini sangat penting untuk evolusi pengetahuan alam karena suatu sistem telah
dijelaskan oleh sistem hipotesis yang mengizinkan pengurangan tidak hanya pernyataan
sistem pertama, melainkan juga pernyataan dari sistem lainnya. Bahkan dalam beberapa
kasus terdapat kemungkinan untuk mendefinisikan konsep dasar dari sistem baru dengan
menggunakan bantuan konsep yang dipakai sistem lama.

2.7 Levels of Universality-The Modus Tolens


Dalam sistem teoretis, terdapat pernyataan yang termasuk dalam berbagai macam
tingkat universalitas. Pernyataan pada tingkat universalitas tertinggi disebut aksioma—yang
mana menurut KBBI berarti pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa
pembuktian—yang dapat digunakan untuk menyimpulkan pernyataan pada tingkat yang
lebih rendah. Pernyataan empiris tingkat lebih tinggi memiliki karakter hipotesis terhadap
pernyataan tingkat yang lebih rendah, dengan kata lain pernyataan di tingkat lebih tinggi
dapat dipalsukan menggunakan pernyataan tingkat yang lebih rendah karena tingkat
universalitasnya yang kurang. Namun dalam sistem deduktif hipotesis manapun, pernyataan

8
tingkat lebih rendah atau kurang universal ini juga memiliki karakter hipotesis sebagai
prasyaratnya, tetapi pada praktiknya fakta ini seringkali diabaikan.

Popper menyatakan bahwa pernyataan tunggal atau singular juga termasuk dalam
hipotesis. Hipotesis ini kemudian dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dengan
bantuan sistem teoretis melalui pemalsuan kesimpulan pada pernyataan tunggal. Pemalsuan
yang dimaksud di sini adalah metode inferensi. Metode inferensi sendiri pada dasarnya
merupakan tautologi berisi aturan-aturan untuk melakukan penarikan kesimpulan atau
konklusi. Dalam kasus ini, untuk menarik kesimpulan inferensi dilakukan melalui sistem
pemalsuan yang disebut modus tollens. Modus tollens ini digambarkan melalui premis atau
pernyataan tunggal, seperti contoh terdapat premis dengan preposisi p dan q. Premis ini
kemudian dihubungkan dengan hubungan implikasi (jika-maka atau if-then)—hubungan
sebab akibat searah—yang kemudian disimbolkan menjadi p → q yang dibaca ‘jika p maka
q’ atau ‘if p then q’. Kemudian ditambah premis kedua dengan q dimisalkan ~ q (dibaca
tidak q atau negasi q) atau dalam kata lain q dipalsukan, sehingga kesimpulan atau konklusi
yang dapat ditarik adalah ~ p. Dasar modus tollens sendiri adalah tautologi (~ q ∧ (p → q))
→ ~ p. Modus tollens contoh di atas dapat ditulis sebagai berikut:
p→q

~q

~p
Namun premis dalam modus tollens dapat dimodelkan dalam berbagai bentuk, tidak
hanya seperti contoh di atas. Kunci untuk membedakan modus tollens dengan ragam metode
inferensi lainnya berada di premis kedua dan kesimpulan yang merupakan negasi dari
masing-masing preposisi dari premis pertama. Seperti contoh, dengan premis q → p dan
premis ~ p, maka kesimpulannya adalah ~ q. Apabila premis-premis ini dikembangkan
dalam bentuk kalimat—yang mana kemungkinan besar hipotesis dalam praktiknya juga
berbentuk kalimat—maka akan menjadi seperti berikut:
p→q Hujan turun maka jalanan basah Hujan turun maka jalanan basah

~q ~p Hujan tidak turun ~q Jalanan tidak basah

~p ~p Hujan tidak turun ~ p Hujan tidak turun

Sehingga dapat disimpulkan bahwa p → q = ~ q → ~ p. Selain itu, modus tollens juga dapat
dibuktikan dengan tabel kebenaran seperti berikut:

p q p→q ~q ~p
T T T F F
T F F T F
F T T F T
F F T T T

9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Karl Popper mendeskripsikan berbagai macam teori. Popper mengusulkan aturan
metodologis yang sesuai dengan prinsip kausalitas yaitu menganalisis sesuatu berdasarkan
sebab akibat. Menurut Popper terdapat perbedaan antara dua pernyataan universal sintetik
yaitu strictly universal yang menyatakan tentang teori atau hukum alam secara universal dan
numerically universal yang setara dengan pernyataan tunggal. Orang orang yang menganut
pernyataan universal sintetik menolak konsep strictly universal Popper. Hal ini dikarenakan
mereka menganggap bahwa strictly universal tidak akan pernah dapat diverifikasi.
Perbedaan antara pernyataan universal dan pernyataan tunggal juga berhubungan erat
dengan konsep universal dan konsep individu. Popper memperbolehkan penggunaan istilah
'universal' sebagai sinonim untuk 'nama kelas', dan 'individu' sebagai sinonim untuk 'nama
elemen'. Namun karena banyaknya permasalahan yang tidak dapat diselesaikan maka hanya
ada sedikit yang menerapkan konsep tersebut. Teori-teori hukum alam memiliki bentuk logis
dari pernyataan universal yang murni dan dapat diekspresikan dalam bentuk sangkalan dari
pernyataan eksistensial yang murni atau dalam bentuk pernyataan non-eksistensi. Pada
prinsipnya pernyataan eksistensial dan universal dapat ditentukan secara empiris dalam satu
cara yaitu diputuskan secara sepihak.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifah, E.M. (2009) Penerapan Konsep Logika Sebagai Metode Berpikir Analitik Pada
Epistemologi Burhani. Bandung.
Rakhmat, M. (2013) Pengantar Logika Dasar. Bandung: LoGoz Publishing.

Popper, Karl. (2002). The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge

11

Anda mungkin juga menyukai