Panca Sila
Panca Sila
Abstrak
Pengantar
Sesungguhnya, apa yang dapat disebut sebagai “Problem Pancasila?”, sehingga ia masih terus
dibicarakan. Bukankah terasa kontradiktif bila Pancasila dinyatakan “sudah final”, tapi ia masih
diseminarkan? Bahkan diperlukan suatu badan khusus untuk merawatnya dan
memasyarakatkannya. Bila pada masa lalu Pancasila diselenggarakan dengan cara
“memurnikannya”, kita tahu bahwa itu adalah bagian dari politik otoritarian Orde Baru. Istilah
“Pemurnian Pancasila” adalah proyek ideologi Orde Baru melalui Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang sepenuhnya indoktrinatif. Pemurnian Pancasila
adalah indoktrinasi baru, menggantikan indoktrinasi Orde Lama yang juga menjadikan
Pancasila sebagai jimat politik. Sukarnoisme telah disejajarkan sebagai “ideologi” melalui
kampanye “ajaran pemimpin besar revolusi”, dengan akibat pengkultusan Sukarno.
Sinopsisnya adalah: mobilisasi dukungan melalui -dalam tradisi Alhhusserian- “aparatus
ideologi negara”[1]. Sukarnoisme dan Pancasila hendak dilekatkan untuk menggerakkan
psikololgi publik menuju pengkultusan figur Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Ajaran
dan ujaran Sukarno menjadi pedagogi politik tunggal. Dalam buku-buku materi pokok
indoktrinasi, Sukarno, Pancasila, Nasionalisme, dan Revolusi, diucapkan dalam satu nafas
politik, dalam retorika indoktrinasi.
Orde Baru tiba dengan pedagogi berbeda. Bukan “revolusi”, melainkan “pembangunan”.
Pancasila diterjemahkan sebagai “ideologi pembangunan”, dan karena itu Penataran Pancasila
dimaksudkan untuk membentuk mental bangsa yang siap berpartisipasi dalam “pembangunan”.
Sebagai kontras terhadap Pancasila yang “revolusioner” di masa “Orde Lama”, pada era “Orde
Baru” Pancasila harus dikembalikan bahkan dengan konsep “pemurnian” dan “konsekwen”. Di
dalam materi Penataran P4, “sikap mental Pancasilais” diperinci sampai kedalam “butir-butir
pedoman perilaku”. Juga di sini, mobilisasi ideologi ini bekerja dalam upaya indoktrinasi untuk
menanamkan psikologi kepatuhan agar upaya pembangunan tidak terganggu oleh obsesi-
obsesi politik ideologis. Operasi indoktrinasi ini juga berlangsung dalam model Althusserian:
penanaman ideologi sekaligus pengendalian politik melalui lembaga-lembaga kebudayaan:
sekolah, agama, pers, dll. Kulminasinya adalah penetapan Pancasila sebagai azaz tunggal
partai-partai politik. Di sini langsung terbaca fungsi regimentasi dari Pancasila: yaitu
penyeragaman politik dalam upaya menihilkan oposisi, dari kelompok politik Islam khususnya.
Tentu tak sepenuhnya Althusserian politik ideologi Orde Baru itu, karena aktivitas indoktrinasi
itu tidak mengandalkan penundukkan hegemonis berdasarkan kemasukakalan materi-materi
penataran P4 itu, melainkan suatu pemaksaan yang diefektifkan oleh praktek politik nyata yang
militeristik. Dengan kata lain, di belakang proyek indoktrinasi ini berdiri bayang-bayang
kekuasaan aparat represif negara. Akibatnya, indoktrinasi P4 itu tidak menghasilkan
penerimaan hegemonik, karena argumentasi tentang pentingnya sikap mental pancasilais itu
dibayang-bayangi dengan ancaman undang-undang subversif yang amat menakutkan itu.
Sinopsisnya: penataran P4 Orde Baru memang hanya diselenggarakan secara instrumental,
yaitu untuk mengamankan “era pembangunan Suharto” dari kritik oposisi. Jadi, fungsi Pancasila
sesungguhnya sekedar sebagai alat kekuasaan untuk mengamankan ideologi yang
sesungguhnya, yaitu “developmentalisme” (pembangunanisme). Slogannya sangat pragmatis:
“Pembangunan adalah pelaksanaan Pancasila”. Konsekwensinya, siapa yang anti
pembangunan, adalah anti Pancasila.
Jadi, baik pada masa Sukarno maupun pada era Suharto, Pancasila bekerja sebagai ideologi
reaksioner. Ia diaktifkan sekedar untuk membungkam kritik, mematikan oposisi dan melanjutkan
kekuasaan. Tentu bukan itu pengertian ideologi dalam dialek akademis. Ideologi seharusnya
memberi penjelasan rasional terhadap konstruksi sejarah, terhadap arah masa depan, dan
terhadap kondisi sosietal masa kini. Karena itu, mendiskusikan Pancasila sebagai “ideologi”,
menuntut kritik akademis yang kuat. Terutama untuk menguji apakah sila-sila dalam Pancasila
itu membentuk suatu jalan pikiran yang koheren, atau justru terdapat kontradiksi antar sila.
Misalnya, apakah substansi sila pertama (Ketuhanan) tak menghendaki sistem politik sekuler?
Bukankah konstitusi negara ini mengeksplisitkan prinsip “kedaulatan rakyat”, dan bukan
“kedaulatan tuhan”. Bagaimana soal ini harus diterangkan dalam praktek politik? Atau
bagaimana bila sila keempat ditafsirkan dalam praktek demokrasi sekuler, sehingga soal pilihan
keyakinan agama tak harus berkesan monoteistik sebagaimana maksud implisit dari sila
pertama? Juga, bukankah soal agama itu dalam konstitusi tidak eksplisit disebut sebagai
“kewajiban”, dan karena itu warganegara boleh memakainya dan boleh tidak memakainya.
Artinya, soal agama itu adalah soal penggunaan “hak”, dan seperti layaknya sebuah “hak”, ia
dapat diaktifkan, juga dapat dipasifkan oleh si pemilik hak.
Dari aspek asal-usul Pancasila, juga kontroversi dapat berlanjut: Apakah sila-sila itu memang
asli berasal dari bumi Indonesia? Bahkan istilah “digali dari bumi Indonesia”, telah diterima
sebagai standar penjelasan genealogi Pancasila. Bila dujikan ke dalam arkeologi dan
antropologi negeri ini, apakah konsep “rakyat” dalam sila ke-4 merupakan interpretasi
eksepsional dari konsep yang sama dalam tradisi pemikiran demokrasi? Atau apakah sila ke-5,
“keadilan sosial” itu berkorelasi dengan ide sosialisme Marxis yang memang dipahami secara
cukup mendalam oleh Sukarno? Demikian halnya konsep “nasionalisme” dalam sila ke-3,
apakah “persatuan” itu mengacu pada pikiran-pikiran teori “kontrak sosial” dalam filsafat politik
Barat, atau adakah sumber-sumber arkeologi lain yang asli nusantara selain sistem persatuan
kerajaan di Jawa, misalnya. Pun konsep “kemanusiaan” dalam sila ke-2, apakah itu dapat
disandingkan dengan konsep “humanisme” dalam sejarah transisi dari sistem teokrasi Eropa,
menuju era Pencerahan yang membebaskan otonomi manusia dari kungkungan doktrinasi
teologis, dengan konsekwensi pandangan ateistik juga termasuk dalam konsep “kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Tentu pada sila-1 lah kontroversi timbul paling politis dalam sejarah
pembicaraan tentang Pancasila. Terutama karena endapan memori kolektif kita tentang
“Piagam Jakarta” yang dipandang menjiwai Pancasila. Pada setiap momen politik strtategis,
soal ini berulang muncul menjadi penanda kuatnya politik identitas dalam kultur politik kita.
Tetapi sesungguhnya ada soal yang lebih epistemik dalam rumusan sila ke-1 itu: Apakah
konsep “Ketuhanan” mendalilkan monoteisme dalam pengertian “Yang Maha Esa”, atau
didalamnya termasuk kultur keagamaan yang politeistik, ateistik dan mistisistik yang memang
berakar dalam “kearifan lokal” nusantara. Dalam problem itu juga diperlihatkan bahwa agama-
agama yang dominan berumat hari ini, justru tidak berasal dari “bumi nusantara”. Bila hak atas
keyakinan, sebagai hak asasi manusia, diujikan ke dalam problem ini, maka pembicaraan
tentang Pancasila menjadi jauh dari final.
Soal-soal kontroversial semacam ini sering dihindari untuk dibicarakan, tentu karena sensitifitas
politiknya. Tetapi justru penghindaran itulah yang menyebabkan Pancasila tidak dapat
dinyatakan final sebagai sebuah ideologi, karena susunan dalilnya tidak hendak diperiksa
koherensinya. Karena itu, setiap upaya mempersoalkan Pancasila secara akademis, sudah
sejak awal terhalang oleh keinginan politik untuk tidak mempersoalkannya.
Penutup
Dalam diskursus kritik, kebenaran adalah ampas dari perspektif. Seketika perspektif berubah,
kebenaran segera menjadi barang bekas. Jadi, tidak ada sebetulnya persaingan kebenaran,
karena perspektif selalu ada dalam kondisi semiotis. Pertengkaran tentang kebenaran hanyalah
ekspresi dari penyesalan terhadap kondisi falibilis dari politik. Tetapi begitulah hakekat
kemajemukan dalam demokrasi, ia dibuat justru untuk menampung potensi falibilis manusia.
Bagaimana mempertahankan status Pancasila sebagai “kesepakatan dasar” dari suatu
masyarakat majemuk? Dari awal saya memakai tesis ini untuk menghindari konsekwensi
absolutisasi konsep “ideologi negara”. Bernegara membutuhkan “kesepakatan dasar”.
Formilnya, itu adalah “konstitusi” (dalam arti luas, juga termasuk konvensi-konvensi
ketatanegaraan). Tapi lebih dari itu, diperlukan semen sosial untuk merekatkan kehangatan
pergaulan antar warganegara. Suatu “etika publik” harus diberlakukan agar transaksi politik
dalam proses bernegara dapat tumbuh dalam suasana “sekuler”, yaitu suasana yang tanpa
obsesi eskatologis. Saya menyebutnya sebagai “etika publik”, dalam arti prinsip yang dihasilkan
melalui transaksi argumen, dan bukan mengikuti tutorisasi politik yang doktrinal. Tentu dalil
agama dapat juga mengisi diskursus sekuler etika publik dengan cara mentransliterasikan dalil-
dalil teologisnya ke dalam proposisi-proposisi sosiologis agar ia dapat diargumentasikan secara
majemuk. Konsep “adil dan sejahtera” dalam wilayah teologis misalnya harus dapat
ditranslasikan ke dalam model keadilan empirik, dan diargumentasikan secara rasional agar tak
berhenti sebagai postulat moral yang ahistoris. Pun seluruh obsesi teologis adalah sah sebagai
pengalaman nyata warganega, dan karena itu ia menuntut pengakuan negara. Tetapi justru
karena itu, harus diterima pengandaian rasional bahwa ruang demokrasi tak boleh dihuni
secara menetap oleh suatu “comprehensive doctrine”, termasuk bila Pancasila beralih menjadi
juga “comprehensive doctrine”, yaitu sistem ideologi yang berambisi mengatur semua soal
sosiologis dengan ketentuan-ketentuan teologis yang absolut.
Kesepakatan dasar bernegara tentu diperlukan, tapi bukan untuk menghalangi ekspresi pikiran
politik warganegara. Kesepakatan dasar itu menjamin tertib sosial secara etis, tapi bukan
secara hukum. Artinya, kedudukan Pancasila sebagai “dasar negara”, maksimal dimaksudkan
sebagai penanda bagi relasi etis antar warganegara. Kematangan berdemokrasi tak
memerlukan terlalu banyak aturan hukum. Justru bila terdapat banyak aturan, maka pergaulan
warganegara menjadi terlalu teknis. Kehangatan bernegara harus diselenggarakan dalam kultur
kemajemukan pandangan hidup warganegara. Itu artinya harus diaktifkan suatu etika sekuler
yang memungkinkan percakapan (dan bahkan perselisihan pendapat) tumbuh dalam ruang
publik yang deliberatif. Hukum menjamin pemenuhan hak dan pemulihan ketertiban, tetapi
bernegara mengandaikan kemampuan etis warganegara untuk hidup dalam perbedaan.
Menjadi tugas negara untuk mengaktifkan percakapan etis warganegara, tanpa mengarahkan
pilihan hidup masing-masing, karena demokrasi hanya mampu menyediakan “ruang hidup
bersama”, sambil meghormati “tujuan hidup masing-masing”.
Pancasila harus dipahami dalam paradigma itu. Menyebut Pancasila sebagai “ideologi negara”,
harus dipahami sebagai sekedar “ide penuntun” dan bukan sebagai “ide pengatur”. Sebagai ide
penuntun, ia tak boleh menentukan pilihan orientasi politik dan semua preferensi hidup individu.
Pancasila memang tak boleh difinalkan agar ia tak berubah menjadi doktrin.
Rocky Gerung
(Perhimpunan Pendidikan Demokrasi)
Ditulis untuk Majalah PRISMA, edisi Juni 2018
Disalin dari : http://ratnasarumpaet.id/latest-news/item/535-pancasila-
[1] Lihat, Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatus (London: Verso,
2014). Konteks analisa Althusser adalah tentang reproduksi suatu sistem kekuasaan
melalui praktek ideologi. Saya meminjam konsep “Aparatus Ideologi Negara” karena
cuma itu jalan pikiran yang memadai untuk memahami aktivitas ideologi dalam politik
Indonesia. Reproduksi kekuasaan memanfaatkan kurikulum dan peralatan kebudayaan.
Tetapi Pancasila sendiri tak cukup ketat untuk dikonsepkan sebagai ideologi. Jadi, yang
lebih penting adalah memahami aktivitas penanaman ideologi dalam politik Indonesia
melalui Pancasila sebagai alat reproduksinya, dan mengapa ia tak efektif.
[2] Lihat, John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia Classics , 2011)
“Overlapping consensus” adalah proposal untuk menghasilkan politik plural supaya tak
ada doktrin absolut yang memonopoli ruang publik. Istilah “political liberalism” harus
dibaca sebagai “liberalisme yang politis” (bukan politik liberalisme). “Politis” di situ
berarti “tidak absolut”, dapat ditransaksikan. Berbeda dengan “comprehensive doctrine”,
yaitu sistem-sistem keyakinan yang bermakna final. Pancasila seharusnya sejalan
dengan proposal “overlapping consensus”, yaitu untuk mencairkan “comprehensive
doctrines”.
[3] Lihat, George Hoare and Nathan Sperber, An Introduction to Antonio Gramsci: His
Life, Thought and Legacy (New York: Bloosbury, 2016). Ide Gramsci tentang hegemony
telah dipakai untuk menerangkan soal “kepemimpinan” intelektual dalam memenangkan
ide dan politik.
[4] Lihat, Martin Heidegger, Being and Time. Evaluasi Heidegger terhadap tradisi
filsafat Barat yang terus memelihara status quo. Tradisi dekonstruksi menggunakannya
untuk memunculkan tandingan: “the ontology of the not-yet”.