Anda di halaman 1dari 28

1.

1 ANOMALI GIGI
Definisi anomali gigi adalah penyimpangan bentuk gigi dari bentuk standar yang
diterima sebagai bentuk normal. Etiologinya dibagi menjadi dua secara garis besar,
yaitu congenital dan acquired (malnutrisi, bahan-bahan kimia, obat-obatan, vitamin,
gangguan metabolisme, dan infeksi terutama virus).
Bentuk gigi desidui sudah mulai berkembang pada usia 4 bulan dalam kandungan.
Struktur gigi secara mikroskopis terdiri dari jaringan keras (hard tissue) dan jaringan
lunak (soft tissue). Jaringan keras mengandung kapur yang terdiri dari enamel, dentin,
dan sementum. Jaringan lunak terdapat dalam rongga pulpa sampai foramen apikal.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi,
proliferasi, histodiferensiasi, morfodiferensiasi, aposisi, kalsifikasi, dan erupsi.
Berdasarkan tahap perkembangan gigi, anomali gigi dapat dibagi menjadi:
 Tahap inisiasi: anomali jumlah gigi
 Tahap proliferasi: anomali ukuran gigi
 Tahap morfodiferensiasi: anomali bentuk gigi
 Tahap histodiferensiasi dan aposisi: anomali struktur gigi
 Tahap erupsi: anomali posisi dan erupsi

A. Anomali Jumlah Gigi


Dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Anodontia
Anodontia merupakan suatu keadaan dimana tidak terdapat seluruh gigi-geligi
dalam rongga mulut. Penyebab dari anodontia tidak diketahui tapi sering
dihubungkan dengan faktor keturunan. Anodontia berdampak terhadap
perkembangan psikologis karena adanya penyimpangan estetis serta gangguan
fungsi bicara dan pengunyahan.
Gambar 1. Anodontia
2. Hipodontia
Hipodontia, atau disebut juga oligodontia, merupakan suatu keadaan dimana
tidak terdapat satu atau lebih elemen gigi dalam rongga mulut. Insidensi
hipodontia pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Gigi yang
sering mengalami hipodontia yaitu gigi I2 atas, PM2 bawah, PM2 atas, M3 dan
I1 bawah. Hipodontia dapat berdampak pada masalah estetis dan diastema.

Gambar 2. Hipodontia
3. Hiperdontia
Hiperdontia atau dens supernumerary atau supernumerary teeth
merupakan suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih elemen gigi dalam
rongga mulut yang melebihi jumlah gigi normal. Gigi ini bisa erupsi, bisa juga
tidak. Insidensi hiperodontia pada laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan dan lebih sering mengenai ras Asia.
Tanda-tanda klinis dari hiperdontia antara lain adalah terhambatnya erupsi
gigi sulung dan gigi pengganti, perubahan hubungan aksial dengan gigi
tetangga dan rotasi gigi incisivus tetap. Bila menimbulkan komplikasi, seperti
maloklusi dan perikoronitis, sebaiknya dilakukan prosedur operasi.
Berdasarkan lokasinya, hiperdontia dapat dibagi menjadi:
a. Mesiodens: di dekat garis median antara kedua gigi, terutama pada
gigi I1 tetap rahang atas.
b. Laterodens: di daerah interproksimal atau bukal dari gigi-geligi selain
I1.
c. Distomolar: di sebelah distal gigi M3.

Gambar 3. Hiperdontia

B. Anomali Ukuran Gigi


1. Makrodontia
Makrodontia merupakan suatu keadaan dimana terdapat satu atau
beberapa gigi yang lebih besar dari normal. Keadaan ini jarang dijumpai dan
sering di DD dengan fusion teeth. Gigi yang sering mengalaminya adalah gigi
I1 atas.
Makrodontia dapat dibagi menjadi 2 secara garis besar, yaitu:
 Generalized: semua gigi lebih besar dari normal
- True generalized: semua gigi di kedua rahang lebih besar dari
normal (pituitary gigantism)
- Relative generalized: gigi sedikit lebih besar dari normal dan
terdapat pada rahang yang lebih kecil (crowding pada gigi)
 Localized: biasanya hanya satu gigi atau gigi yang terisolasi yang
terkena. Sering dihubungkan dengan hemifacial hypertrophy.

Gambar 4. Makrodontia
2. Mikrodontia
Mikrodontia merupakan suatu keadaan dimana terdapat satu atau beberapa
gigi yang lebih kecil dari normal. Ukuran gigi yang kecil ini dapat
menimbulkan diastema.
Mikrodontia dapat dibagi menjadi 2 secara garis besar, yaitu:
 Generalized: semua gigi lebih kecil dari normal
- True generalized: semua gigi di kedua rahang lebih kecil dari
normal (pituitary dwarfism)
- Relative generalized: gigi sedikit lebih kecil dari normal dan
terdapat pada rahang yang sedikit lebih besar dari normal
sehingga terlihat seperti true mikrodontia
 Localized: satu atau dua gigi yang terkena, lebih sering terjadi
dibandingkan tipe generalized. Contohnya pada gigi I2 atas (peg
shaped) dan M3 atas (conically shaped)
Gambar 5. Mikrodontia

C. Anomali Bentuk Gigi


1. Hutchinson’s Incisors
Bentuk gigi insisivus seperti screw driver terdapat lekukan-lekukan pada
insisal edge. Dapat terjadi pada 10-30% penderita syphilis congenital. Terjadi
pada gigi insisivus satu dan dua pada rahang atas dan bawah. Paling sering
adalah gigi insisivus sentral atas.

Gambar 6. Hutchinson teeth


2. Mulberry Molar
Bentuk gigi molar yang menyempit dibagian oklusal dan mempunyai benjolan
atau tonjolan seperti buah murbei.Biasanya terjadi pada syphilis congenital
dan pada gigi molar satu rahang atas dan rahang bawah.
Gambar 7. Mulberry Molar dan Hutchinson Teeth

3. Gemination (Geminasi)
Geminasi merupakan bentuk mahkota yang abnormal, dimana mahkota gigi
lebih besar dari normal dan terbelah menjadi dua sebagian atau total.
Geminasi disebabkan oleh perkembangan dua mahkota dari satu benih gigi
dan sering terjadi pada maksila bagian anterior. Etiologinya belum diketahui
dan diduga berhubungan dengan trauma.

Gambar 8. Geminasi
4. Fusion (Fusi)
Fusi merupakan penggabungan dua bakal gigi yang bersebelahan dan sedang
berkembang sehingga menghasilkan satu gigi yang besar. Fusion biasanya
terjadi pada gigi anterior. Dapat mengenai seluruh panjang gigi atau hanya
akar saja, dimana cementum dan dentin saja yang terbentuk, saluran akar
dapat terpisah atau tidak. Etiologinya belum diketahui dan diduga
berhubungan dengan trauma. Sebaiknya dilakukan penambalan garis
pertemuan kedua mahkota gigi sedini mungkin untuk mencegah karies.

Gambar 9. Fusi
5. Concrescence
Concrescence merupakan penyatuan akar-akar gigi dari dua atau lebih gigi
normal yang disebabkan oleh pertemuan dari permukaan cementum akar-akar
gigi tersebut. Sering terjadi pada gigi M2 atau M3 rahang atas bagian posterior.
Etiologinya belum diketahui dan diduga berhubungan dengan trauma.
Ekstraksi diperlukan untuk mencegah abnormalitas gigi yang lain.

Gambar 10. Concrescence


6. Dilaceration (Dilaserasi)
Dilaserasi merupakan pembengkokan atau lengkungan dari akar-akar gigi
yang abnormal. Etiologinya dihubungkan dengan trauma ketika terjadi
pertumbuhan akar, faktor herediter, dan kekurangan tempat. Pembengkokan
mulai terjadi pada perbatasan antara mahkota dan akar. Sering mengenai M 3
rahang bawah.

Gambar 11. Dilaserasi


7. Dens Invaginatus (Dens Invaginasi)
Dens invaginasi, atau disebut juga dens in dente (gigi dalam gigi), merupakan
suatu keadaan dimana terjadi pembesaran dan penonjolan dari lingual pit.
Etiologi belum diketahui dan faktor genetik hanya terjadi pada beberapa
kasus. Sering terdapat pada gigi I2 atas permanen, tetapi gigi anterior lain
dapat juga terkena. Dens invaginasi mempermudah terjadinya karies lebih
awal, pulpitis, dan inflamasi periapical. Dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe
1 (sebagian kecil pada mahkota), tipe 2 (di bawah cementoenamel junction
dan berakhir di blind sax, serta dapat berhubungan dengan pulpa), dan tipe 3
(meluas hingga ke akar dan perforasi ke apical dentis tanpa berhungan dengan
pulpa).
Gambar 12. Dens Invaginasi
8. Dens Evaginatus (Dens Evaginasi)
Dens evaginasi merupakan suatu keadaan dimana terdapat tuberkel atau
cuspis di tengah permukaan oklusal. Sering mengenai gigi premolar dan
bilateral. Insidensi lebih sering pada ras mongoloid.

Gambar 13. Dens Evaginasi


9. Taurodontism
Taurodontism merupakan suatu keadaan dimana gigi mempunyai mahkota
yang panjang (apically displaced furcation) sehingga menyebabkan ruang
pulpa bertambah panjang dalam arah apiko-oklusal. Lebih sering mengenai
gigi permanen daripada gigi susu dengan derajat keparahan yang bervariasi.
Bisa terjadi secara unilateral atau bilateral. Biasanya terjadi pada pasien
Down’s Syndrome, Klineferter Syndrome, dan amelogenesis imperfecta.
Gambar 14. Taurodontism
10. Supernumerary Tooth
Supernumerary tooth merupakan akar tambahan pada gigi. Paling sering
ditemukan pada gigi caninus, premolar, molar terutama M3. Etiologinya
diduga berhubungan dengan gangguan metabolisme dan tekanan.

Gambar 15. Supernumerary Tooth


11. Enamel Pearls (Mutiara Email)
Mutiara email merupakan deposit butir ektopik dari email, biasanya terjadi
pada daerah bifurkasi atau trifurkasi akar gigi molar. Lebih sering terjadi pada
rahang atas daripada rahang bawah dan dapat dideteksi melalui foto rontgen.
Insidensi sering ditemukan pada ras Eskimo dan Mongoloid.

Gambar 16.Enamel Pearls


12. Dental Attrition (Wear of Teeth / Atrisi Gigi)
Atrisi gigi merupakan akibat dari pemakaian gigi secara fisiologis, yaitu dari
proses mastikasi. Faktor-faktor seperti makanan, pembentukan dentin, otot
rahang dan kebiasaan mengunyah dapat mempengaruhi pola dan bentuk atrisi.
Atrisi gigi berhubungan dengan pertambahan usia dan bervariasi pada
berbagai individu.

Gambar 17. Atrisi Gigi


13. Dental Abration (Abrasi Gigi)
Abrasi gigi merupakan akibat dari pemakaian gigi secara patologis akibat
kebiasaan buruk atau pemakaian zat-zat abrasif secara oral, rokok dengan
pipa, mengunyah tembakau, menyikat gigi secara agresif, serta pemakaian
alat-alat gigi yang abrasif.

Gambar 18. Abrasi Gigi


14. Dental Erotion (Erosi Gigi)
Erosi gigi merupakan hilangnya struktur gigi yang disebabkan oleh proses
kimiawi non bacterial. Etiologi terseringnya adalah asam yang berhubungan
dengan proses disolusi dari internal (regurgitasi) atau eksternal (asam dari
buah yang mengandung asam sitrat).

Gambar 19. Erosi Gigi


15. Hipercementosis
Hipercementosis adalah suatu keadaan dimana terjadi pembentukan
cementum berlebihan di sekitar gigi. Etiologinya adalah karena trauma,
gangguan metabolisme, dan infeksi periapical.
Gambar 20. Hipercementosis
16. Talon’s Cusp
Talons cup merupakan tonjolan kecil pada enamel. Sering terdapat pada
maxilla bagian lateral dan lingual.

Gambar 21. Talon’s Cusp

17. Anomali Struktur Gigi


1. Amelogenesis Imperfecta
Amelogenesis imperfect merupakan kelompok penyakit herediter dimana
terdapat gangguan perkembangan email tetapi tidak terdapat gangguan
sistemik. Secara normal, enamel berkembang dalam 3 fase, yaitu: fase
pembentukan (matriks organik), fase kalsifikasi (mineralisasi matriks
organik), dan fase maturasi (pematangan mineralisasi).
Amelogenesis imperfect dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
 Hipoplasia Enamel
Hipoplasia enamel adalah suatu gangguan pada enamel yang ditandai
dengan ketidaklengkapan atau ketidaksempurnaan dari pembentukan
enamel. Dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Gigi
akan mengalami diskolorisasi dan iregularitas. Secara histologist dapat
ditemukan Wilson line. Berdasarkan faktor etiologinya, hipoplasia
enamel dapat dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
- local enamel hypoplasia (Turner’s hypoplasia)
- systemic enamel hypoplasia (terjadi pada beberapa gigi yang
sedang dalam perkembangan pada saat terjadimya penyakit umum
seperti Ricketsia atau cacar)
- herediter enamel hypoplasia (terjadi pada semua gigi, baik gigi
susu maupun gigi tetap, disebut dengan hereditary brown teeth)

Gambar 22. Hipoplasia Enamel


 Hipokalsifikasi Enamel
Hipokalsifikasi enamel adalah suatu gangguan yang terjadi akibat
kerusakan pada mineralisasi deposit matriks enamel secara kualitatif.
Terdapat kegagalan email untuk mencapai jumlah yang mencukupi
sehingga gigi menjadi lebiih lunak dan berwarna coklat.

Gambar 23. Hipokalsifikasi Enamel


 Hipomaturasi Enamel
Hipomaturasi enamel terjadi akibat adanya gangguan pada
perkembangan atau pematangan enamel.
2. Dentinogenesis Imperfecta
Dentinogenesis imperfect merupakan kelompok penyakit autosomal
dominan, dimana terjadi gangguan perkembangan pada dentin. Insidensi lebih
sering ditemukan pada orang Inggris atau Prancis. Gigi yang sering terkena
adalah gigi seri dan M1, dapat mengenai gigi susu maupun gigi tetap. Lapisan
enamel biasanya dapat dengan mudah lepas dari dentin. Gigi juga dapat
mengalami pelebaran pulpa.
Gambaran klinis dari dentinogenesis imperfect adalah gigi berwarna biru
keabu-abuan atau translusen. Enamelnya cenderung terpisah dari dentin yang
relatif lunak dibandingkan enamel. Dentinnya tipis, enamel normal, dan tanduk
pupla besar.

Gambar 24. Dentinogenesis Imperfecta

E. Anomali Posisi Gigi


1. Impaksi
Impaksi gigi adalah malposisi gigi karena benih gigi (tooth buds) yang
tumbuh tidak tepat. Hal ini dapat menyebabkan gigi gagal tumbuh ke dalam
mulut dalam posisi yang tepat. Impaksi juga bisa disebabkan oleh tanggalnya
gigi susu terlalu awal atau gigi berjejalan (crowding). Gigi yang sering
terkena adalah gigi M3 rahang bawah. Gigi yang impaksi dapat menyebabkan
terbentuknya dentigerous cyst dan ameloblastoma.
Impaksi gigi adalah masalah yang harus diperbaiki karena dapat:
 Menyebabkan kerusakan pada struktur akar gigi yang berdekatan.
 Mengganggu rongga sinus.
 Menciptakan spasi gigi yang tidak diinginkan.
 Menganggu fungsi gigi.
 Menyebabkan keausan dini pada gigi.
 Menyebabkan gigi tidak selaras (asimetris)

Gambar 25. Impaksi Gigi


2. Transposisi
Transposisi merupakan suatu keadaan dimana terjadi pergantian posisi dua gigi
pada rahang. Gigi yang sering terkena adalah gigi caninus dan PM 1 permanen.
Penyebabnya adalah karena tekanan atau crowding teeth pada saat erupsi gigi.

Gambar 26. Transposisi Gigi


F. Anomali Erupsi Gigi
1. Premature Eruption
Premature eruption merupakan erupsi gigi yang lebih awal dari biasanya,
dimana gigi yang sering terkena adalah gigi Insisivus. Premature eruption
dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan waktu timbulnya, yatiu:
a. Natal tooth (timbul saat bayi baru lahir)
b. Neonatal tooth (timbul sesudah bayi berusia 1 bulan)

Gambar 27. Natal/Neonatal Teeth


2. Delayed Eruption
Delayed eruption merupakan erupsi gigi yang terlambat dari biasanya. Dapat
terjadi pada gigi susu maupun gigi tetap. Etiologinya biasa disebabkan oleh
fibromatosis gingiva.

Gambar 28. Delayed Eruption


3. Malposisi
Malposisi merupakan keadaan dimana gigi tidak erupsi sesuai di tempatnya atau
posisi yang sebenarnya sehingga menyebabkan susunan gigi tidak serasi
(maloklusi). Contohnya: crowding.

Gambar 29. Malposisi Gigi


1.2. SUPERNUMERARY TEETH
Gigi yang berkembang dalam jumlah lebih dari normal disebut gigi
supernumerari atau gigi asesori. Gigi berlebih umum ditemukan sebagai akibat
perkembangan berlebih dari dental lamina dengan penyebab yang tidak diketahui.
A. Etiologi
Beberapa gigi berlebih dapat menyerupai gigi normal dan dinamakan gigi
suplemen atau gigi adisional, misalnya gigi insisivus rahang atas, premolar atas dan
molar keempat. Gigi ini dapat bererupsi atau terbenam dalam jaringan atau dalam
tulang. Keadaan herediter lain yang memberi gambaran gigi berlebih multipel adalah
sindrom Gardner. Penderita ini mempunyai banyak polip, yaitu adenoma kolon yang
merupakan faktor presidposisi untuk menjadi kanker pada usia muda dan
menyebabkan kematian bila tidak terdiagnosis dan tidak diobati dengan cepat. Selain
adanya gigi berlebih multipel dan impaksi, ditemukan tumor tulang jinak (osteoma)
multipel pada rahang, tengkorak, atau tulang panjang dan kista epidermoid multipel.
Begitu terdiagnosis, penderita harus diobservasi untuk melihat perubahan keganasan
polip yang dideritanya. Sindorm lain yang berkaitan dengan gigi berlebih adalah
displasia kleidokranial yang disertai dengan banyak gigi supernumerary, sindrom
Fabry-Anderson dan sindrom Ehlers-Danlos.
Faktor genetik berperan penting dalam terjadinya anomaly gigi supernumerary
karena sering ditemukan pada anggota keluarga dari pasien. Gigi supernumerary juga
sering ditemukan pada regio molar dan yang disebut paramolar. Anomali ini biasanya
terdapat juga pada orang tua (ayah/ibu) dan keluarga pasien yang lain. Penyebab
terjadinya gigi supernumerary dapat dibagi menjadi beberapa teori sebagai berikut:
1. Teori Atavisme; suatu istilah yang menggambarkan kecenderungan seseorang
untuk kembali ke sifat atau perilaku nenek moyang mereka. Gigi
supernumerary terjadi karena mengikuti primitive dentition. Nenek moyang
manusia yang dipercayai berasal dari spesies kera mempunyai 44 gigi
sehingga pada saat ini masih terdapat manusia yang mempunyai jumlah gigi
yang lebih dari normal atau gigi supernumerary.
2. Teori hypergenesis epithel bahwa gigi supernumerary juga dapat terjadi
akibat hipergenesis epitel dimana sisa lamina dental atau cabang palatal
lamina dental yang aktif dirangsang untuk berkembang menjadi benih gigi
tambahan sehingga terbentuknya gigi supernumerary.
3. Teori Faktor Keturunan (herediter); gigi supernumerary merupakan suatu
kelainan yang diturunkan dan dibawa oleh suatu gen mutan. Teori ini
didukung oleh peningkatan penemuan kasus gigi supernumerary pada pasien
dengan anomali dentofasial seperti celah bibir atau palatum dan cleidocranial
dysplasia. Pada Anomali/kelainan pertumbuhan seperti pada cleft palate,
sering dihubungkan dengan sindroma atau gangguan pertumbuhan yang
berhubungan dengan peningkatan prevalensi gigi supernumerary seperti celah
bibir dan palatum, displasia cleidocranial dan sindroma Gardner. Gigi
supernumerary yang disertai dengan kelainan celah bibir dan palatum
merupakan akibat dari proses fragmentasi lamina dental sewaktu
pembentukan celah bibir. Selain itu teori herediter juga didukung oleh
perkembangan gigi supernumerary yang sering terjadi secara bilateral pada
satu rahang. Gigi supernumerary banyak ditemukan dari faktor keturunan dan
insidensi kasus gigi supernumerary lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan
4. Teori Dikotomi, yaitu benih gigi terbagi dua saat perkembangannya. Satu
bagian akan berkembang menjadi gigi normal sementara satunya lagi
berkembang menjadi gigi supernumerary seperti mesiodens. Pendukung teori
ini percaya bahwa dikotomi benih gigi tersebut merupakan suatu proses
germination yang lengkap

B. Prevalensi
Gigi supernumerari dapat ditemukan pada setiap rahang, tetapi lebih sering
terlihat di maksila pada daerah garis tengah gigi depan dan distal dari gigi molar. Gigi
berlebih yang terjadi di antara gigi seri pertama atas dinamakan mesiodens. Gigi ini
umumnya kecil (mikrodonsia), berbentuk pasak dan tidak menyerupai gigi normal di
tempat itu. Mesiodens yang impaksi dapat menyebabkan diastema. Gigi
supernumerari dapat menyebabkan gigi berjejal dan memperlambat erupsi gigi tetap.
Prevalensigigi supernumerary non-sindrom diperkirakan sebesar <1%. Prevalensi
dengan hanya satu gigi supernumerary adalah sekitar 76-86% dan kehadiran dua gigi
supernumerary adalah 12-23%. Prevalensi "beberapa gigi supernumerary," lima atau
lebih gigi supernumerary dilaporkan sebesar <1%.

C. Gambaran Klinis
Gigi supernumerary dapat menyebabkan berbagai kondisi patologis termasuk
erupsi yang tertunda atau tidak erupsi, perpindahan gigi permanen, resorpsi atau
malformasi dari akar yang berdekatan dan pembentukan fibrosis. Gigi supernumerary
terjadi pada rahang atas sepuluh kali lebihsering daripada di rahang bawah. Macam-
macam bentuk gigi supernumerary antara lain:
1. Gigi berbentuk peg-shaped dengan akar dan mahkota yang konikal serta
berukuran lebih kecil dari gigi normal. GC Black menamakan tipe ini sebagai
enamel drops. Gigi peg-shaped ini disebut juga sebagai mesiodens dan sering
ditemukan pada daerah midline dari insisif tetap maksila.
2. Gigi supernumerary dengan cusp yang multipel dan mempunyai pit oklusal
yang dalam.
3. Gigi supernumerary yang mempunyai ukuran dan bentuk normal tetapi
merupakan tambahan dari jumlah gigi normal. Gigi supernumerary dapat
berbentuk normal tapi mempunyai ukuran lebih kecil atau lebih besar dari gigi
normal.
Gigi supernumerary dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. morfologi yang mempunyai tipe (a) Conical; (konus kecil); biasanya
berbentuk peg-shaped merupakan gigi supernumerary yang sering dijumpai di
antara gigi tetap. Gigi ini berkembang dengan pembentukan akar yang lebih
awal atau sama dengan pembentukan akar gigi insisif tetap. Gigi ini biasanya
muncul sebagai mesiodens dan kadang-kadang ditemukan posisinya di atas
serta terbalik ke arah palatal atau dapat juga ditemukan dalam posisi horizontal.
Gigi supernumerary yang berbentuk konus lebih sering menyebabkan
displacement dari gigi-gigi sebelahnya, kegagalan erupsi atau tidak mempunyai
efek terhadap gigi-gigi lain. (b) Tuberculate: biasanya gigi tipe ini mempunyai
lebih dari satu cusp atau tuberkel dan sering digambarkan sebagai barrel-
shaped dan berinvaginasi. Pembentukan akarnya terlambat dari gigi insisif
tetap. Tuberculate sering terbentuk berpasangan dan biasanya terletak di
sebelah palatal dari insisif sentral. Gigi supernumerary ini sering tidak erupsi
dan berhubungan dengan kegagalan erupsi gigi normal. (c) Supremental, pada
tipe Supplemental; merupakan duplikasi dari gigi normal dan ditemukan pada
akhir susunan suatu gigi. Secara klinis, gigi tipe ini menyerupai gigi normal.
Gigi supplemental yang biasa ditemukan adalah insisif lateral rahang atas,
premolar dan molar tetap. Gigi supernumerary yang sering ditemukan pada
periode gigi sulung adalah tipe supplemental dan jarang mengalami impaksi,
(d) Odontome; biasanya dikaitkan dengan tumor odontogenik. Namun hal ini
tidak diterima secara universal. Pendapat yang banyak diterima bahwa odontom
adalah malformasi hamartomatous dari neoplasma. Lesi ini terbentuk lebih dari
satu macam jaringan dan disebut odontom komposit. Pada periode gigi sulung,
morfologi atau bentuknya selalu normal atau konus. Pada gigi tetap terdapat variasi
bentuk gigi supernumerary yang lebih luas.
2. Lokasi; ada yang disebut Mesiodens, yaitu gigi yang tumbuh di antara kedua gigi
insisif sentral; juga Distomolar; gigi supernumerary yang tumbuh pada lokasi paling
distal dari lengkung rahang Molar ketiga; dan Paramolar; gigi supernumerary terletak
di antara gigi molar. Semuanya ini merupakan gigi tambahan, bukan seperti gigi geligi
yang biasanya tumbuh normal pada tempatnya. 80% kasus gigi supernumerary
terdapat pada anterior rahang atas.

D. Pemeriksaan dan Diagnosis

Salah satu metode untuk mendiagnosis gigi supernumerary adalah dengan


melakukan rontgen foto. Pemeriksaan radiografi diindikasikan bila ditemukan tanda-
tanda klinis yang abnormal. Pada pemeriksaan gigi supernumerary, radiografi yang
digunakan adalah foto periapikal, foto panoramik dan foto lateral. Bila diduga adanya
gigi supernumerary, pemeriksaan radiografi tambahan dibutuhkan untuk membantu
menentukan diagnosis. Sebagai contoh, foto oklusal rahang atas dapat memberi
gambaran yang jelas apakah ada atau tidak gigi supernumerary.
Foto oklusal anterior dan periapikal sangat bermanfaat untuk mendapatkan detail
dari regio insisif. Untuk mendeteksi posisi buko-lingual gigi supernumerary yang
tidak erupsi, prinsip radiografi parallax dapat digunakan. Selain itu, foto lateral regio
insisif dapat membantu dokter gigi menentukan kedalaman dan tinggi gigi
supernumerary yang tertanam jauh dalam palatum. Hal ini dilakukan untuk mencari
metode yang tepat dalam mengeluarkan gigi supernumerary.

1.3. FUSI
Gigi fusi adalah suatu kelainan perkembangan, didefinisikan sebagai penyatuan
atau penggabungan email, dentin atau email dentin dari dua benih gigi yang
berdekatan sehingga menghasilkan struktur dental abnormal. Penyatuan gigi ini
menyebabkan pengurangan satu gigi dari jumlah yang normal pada lengkung rahang
yang dipengaruhi. Anomali ini dapat bersifat unilateral atau bilateral dan dapat
mengenai semua jenis gigi.
Gigi fusi juga dikenal dengan istilah gigi ganda, pembentukan ganda, gigi yang
menyatu, atau penggandaan gigi yang merupakan kelainan perkembangan primer
gigi. Keberadaan gigi ganda desidui juga dapat menyebabkan penundaan resorpsi
akar karena masa akar yang lebih besar dan peningkatan relatif area permukaan akar
terhadap mahkota gigi permanen penggantinya.

A. Etiologi
Etiologi gigi fusi masih belum diketahui. Shafer (1974) dkk berspekulasi bahwa
tekanan yang dihasilkan oleh sejumlah gaya fisik akan memperlama kontak antara
gigi yang sedang berkembang dan mengakibatkan gigi fusi. Spouge (1973)
menyatakan bahwa konsep demikian hanya bersifat spekulatif, kemungkinan
mayoritas kondisi gigi fusi timbul secara kebetulan. Lowell dan Soloman (1964)
meyakini bahwa gigi fusi berasal dari sejumlah aksi fisik yang menyebabkan benih
gigi desidui berkontak, sehingga menghasilkan nekrosis jaringan di antaranya. Hal ini
memungkinkan organ enamel dan papila dental kedua gigi menyatu dan membentuk
gigi fusi.
Penyatuan dapat terjadi secara sempurna atau tidak sempurna, berdasarkan tahap
perkembangan ketika penyatuan terjadi. Bila fusi terjadi secara sempurna maka
secara klinis akan menghasilkan satu mahkota yang besar tanpa pemisahan (groove)
yang jelas. Kasus tersebut merupakan fusi sempurna dan diyakini terjadi saat tahap
awal odontogenesis, kemungkinan sebelum kalsifikasi jaringan gigi. Fusi tidak
sempurna adalah penyatuan parsial benih gigi dan secara klinis ditandai dengan
indentasi atau groove yang membagi mahkota. Bentuk fusi ini kemungkinan terjadi
setelah pembentukan mahkota. Faktor herediter juga berperan dan adanya perbedaan
rasial pada insidens cukup jelas.
B. Prevalensi
Fusi dapat parsial atau total tergantung pada tahap perkembangan gigi pada saat
berpadu. Fusi mungkin dapat unilateral atau bilateral dan paling umum pada gigi susu
dengan predileksi yang lebihpada gigi anterior. Fusi dapat terjadi antara dua gigi yang
sehat atau antara gigi yang sehat dan gigi supernumerary. Fusi gigi permanen dan
supernumerary jarang, jika dibandingkan dengan fusiantar gigi permanen. Hachisuka
melaporkan bahwa frekuensi fusi antara gigi permanen dan supernumerary adalah
0,1% dan bahwa jenis fusi biasanya melibatkan gigi anterior rahang atas.
Fusi lebih sering terjadi pada gigi desidui daripada permanen, dan umumnya
pada segmen anterior, terutama ntara gigi insisivus lateralis dan kaninus mandibula
pada gigi desidui. Gigi fusi seringkali dihubungkan dengan masalah, estetis,
periodontal ruang yang berlebih dan pembentukan karies pada garis fusi. Gigi fusi
yang terjadi dengan gigi supernumerary sangat sulit untuk dibedakan dengan gigi
geminasi karena gambaran klinis yang hampir sama.

C. Gambaran Klinis
Secara klinis mahkota gigi terlihat besar dan lebar mesiodistal yang berlebih,
terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk akar dan saluran akar yang multipel, dan
terlihat tidak menarik. Selain itu, gigi fusi ini dapat menyatu pada Selain itu, gigi fusi
ini dapat menyatu pada sudut tertentu disertai dengan posisi miring, Jika dua gigi
normal mengalami fusi, struktur dental yang dihasilkan menempati panjang lengkung
yang lebih sedikit daripada bila kedua gigi tersebut tidak menyatu, sering terjadi
terbentuknya diastema.
Fusi gigi anterior biasanya memiliki groove atau takikan pada tepi insisal yang
mengarah ke bukolingual. Groove labial dan lingual ini seringkali berkesinambungan
dengan groove atau takikan insisal dan cenderung menunjukkan kedua mahkota dari
gigi yang menyatu. Fusi pada gigi posterior jarang dilaporkan, namun bila terjadi
morfologi tonjol gigi yang dipengaruhi akan menunjukkan dua gigi telah bergabung
menjadi satu.

D. Pemeriksaan dan Diagnosis


Merupakan hal yang sangat penting untuk mempertimbangkan pemeriksaan
pelengkap seperti radiograf panoramik, oklusal dan periapikal agar memungkinkan
dokter gigi merencanakan perawatan pada saat yang sesuai. Secara radiografis, dentin
gigi fusi selalu tampak menyatu pada sejumlah daerah. Gigi fusi dapat memiliki
saluran akar yang terpisah atau saluran akar yang sama. Pada beberapa keadaan,
saluran akar yang terpisah pada bagian gigi fusi yang lebih koronal menyatu menjadi
satu saluran pada bagian radikuler. Situasi yang sebaliknya juga dapat terjadi, dan
beberapa gigi fusi memiliki saluran akar yang terpisah di bagian radikuler dan bahkan
dapat memiliki akar yang terpisah.
DAFTAR PUSTAKA

Dixon ,A.D., 1993, Anatomi untuk Kedokteran Gigi (terj), 5th ed, Church ii
Livingstone, London.
Iswari, Herlianti. 2013. Gigi Supermumerary dan Perawatan Ortodonti. E-Jurnal
WIDYA Kesehatan dan Lingkungan. Vol 1. No. 1
Itjingningsih, W.H., 1995, Anatomi Gigi ECG, Jakarta
Sudiono, Janti. 2007.Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta: EGC.
Shalmiya KI, Patil S, Reddy BH, Ramamurthy TK. 2015. An Unusual Single
Quadrant Dental Anomaly: A Case Report. IJSS Case Reports & Reviews;
1(10):39-42

Anda mungkin juga menyukai