Anda di halaman 1dari 6

15 Keutamaan Pernikahan dalam Islam

(I): Menyehatkan Mental

Allah SWT berfirman yang artinya, "Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya


adalah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
sakinah kepadanya dan dijadikan-Nya rasa kasih dan sayang di antara kamu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir." (Ar-Rum: 21).

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Dia
menciptakan istrinya agar dia sakinah kepadanya." (Al-A'raf: 189).

Pada ayat pertama dan kedua dijelaskan bahwa melalui pernikahan yang sah, laki-
laki dan perempuan akan mendapatkan sakinah. Dengan mendapat sakinah
seseorang dijamin kesehatan mentalnya.

Kata "sakinah" dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, yaitu rukun, akrab,
intim, jinak, berkumpul, bersatu, bersahabat, ramah-tamah, percaya, senang, dan
reda. Jadi, secara keseluruhan, sakinah berarti suasana rumah tangga dari laki-laki
dan perempuan yang saling mencintai, yang hidup bersatu, rukun, bersahabat,
akrab, ramah, intim, saling mempercayai, menyenangkan, meredakan, dan saling
berkumpul.

Ringkasnya, sakinah adalah keadaan keluarga yang bahagia dan tenteram. Hal ini
hanya dapat diwujudkan dalam pernikahan islami. Suasana keluarga seperti ini
menjadi kebutuhan hidup manusia, sebab keadaan hidup manusia yang bahagia
dan tenteram berpengaruh besar terhadap kesehatan mental suami istri. Berawal
dari rumah tangga yang tenteram dan bahagia, seseorang akan memiliki
ketenteraman hati dan kejernihan dalam berpikir.

Oleh karena itu, apabila kita ingin hidup dalam kondisi mental yang sehat, rumah
tangga yang sakinah merupakan kunci utama. Jika kita ingin hidup dengan penuh
kerukunan, saling mempercayai, saling menyenangi, akrab, serta untuk selalu
memiliki keinginan bersatu terus dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak mau
terikat dalam pernikahan, berarti mental kita tidak sehat. Tuntutan naluri tersebut
tidak mungkin dapat diwujudkan dalam pergundikan, pacaran, atau kumpul kebo.
Hubungan seperti itu tidak dapat menyatukan laki-laki dan perempuan dalam
suasana rukun, penuh rasa saling mempercayai, dan bersatu untuk selamanya.

Jadi, jelaslah bahwa pernikahan berpengaruh besar terhadap kesehatan mental.


Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mewujudkan rumah tangga yang
menjamin kesehatan mentalnya hendaklah menikah.
(II): Menumbuhkan Kecintaan Sejati

Allah SWT berfirman yang artinya, "Hati manusia dihiasi rasa cinta kepada
sesuatu yang menarik, yaitu perempuan, anak cucu, emas dan perak yang
berlimpah, kuda-kuda yang bagus, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.
Yang demikian itu adalah kesenangan hidup di dunia, tetapi di sisi Allahlah
tempat kembali yang paling baik." (Ali Imran: 14).

Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. lalu
berkata, 'Kami mempunyai seorang anak perempuan yatim. Dia telah dipinang
oleh (dua orang lelaki) yang seorang miskin dan yang lainnya kaya. Akan tetapi,
dia senang kepada yang miskin, sedangkan kami senang kepada yang kaya.' Nabi
bersabda, 'Tidak pernah diketahui dua orang yang bercinta setulus cinta dalam
pernikahan'."(HR Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi).

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan naluri
kecintaan dan kesukaan kepada perempuan, anak cucu, dan harta kekayaan.
Naluri ini diberikan oleh Allah agar manusia dapat merasakan kesenangan dan
kenikmatan hidup di dunia.

Bagaimana cara seseorang menyalurkan dan memelihara naluri kecintaan kepada


perempuan agar memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan?
Untuk dapat menyalurkan naluri tersebut, diperlukan ketentuan dan tuntunan yang
jelas. Oleh karena itu, Allah memberi petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk
mewujudkan naluri kecintaan kepada perempuan. Allah menetapkan satu-satunya
jalan halal untuk menyalurkan naluri tersebut adalah melalui pernikahan. Dengan
menikah, laki-laki dan perempuan akan menyatu dalam ikatan yang sah sehingga
naluri kecintaan mereka tersalurkan dengan baik.

Dalam hadis di atas ditegaskan adanya keutamaan pernikahan yang telah


digariskan oleh Allah dalam agama-Nya. Keutamaan tersebut adalah
menumbuhkan kecintaan sejati dan tulus antara laki-laki sebagai suami dan
perempuan sebagai istrinya. Rasulullah saw. bahkan menyebutkan bahwa tidak
ada cinta yang tulus dan sejati antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan
pernikahan. Jika ada ikatan cinta dan kasih sayang antara seorang perempuan dan
laki-laki, tidaklah seindah, setulus, dan sejujur yang ada pada pasangan yang
terikat dalam pernikahan. Dengan ikatan pernikahan, kecintaan yang sebenarnya
tumbuh di antara mereka.

Adapun cinta sebelum akad nikah baru merupakan bibit yang kelak dapat tumbuh
dengan baik dan murni jika pernikahan telah berlangsung. Oleh karena itu, orang
tua hendaklah memperhatikan keinginan anaknya ketika hendak menikahkan yang
bersangkutan. Jika ternyata anaknya mencintai calonnya, hendaknya orang tua
tidak menghalanginya.

Melalui pernikahan, seorang perempuan dan suaminya dapat mencurahkan


seluruh cinta, harapan, angan-angan, dan cita-citanya tanpa keinginan saling
memperbudak. Mereka tidak saling memperlakukan pasangannya sebagai
pelayannya atau berlaku seperti seorang tuan kepada budaknya. Masing-masing
menyadari bahwa dirinya merupakan bagian mutlak pasangannya dalam
menempuh kehidupan yang diharapkan membahagiakan dan menyejahterakan
dirinya. Pernikahan yang berdasarkan keikhlasan kepada Allah akan menanamkan
kecintaan yang dalam sehingga tumbuh rasa tanggung jawab secara kukuh.
Pernikahan seperti ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan kerelaan.

Kecintaan sejati tidak dapat diwujudkan dalam pergundikan, kumpul kebo,


pacaran, dan mut'ah (kawin kontrak). Hubungan yang hanya berlandaskan nafsu
tersebut tidak dapat menumbuhkan cinta sejati yang menjamin kepercayaan dan
ketenangan bagi yang menjalaninya.

Jadi, seorang laki-laki dan perempuan tidak akan mencapai kecintaan yang sejati
dan tulus di luar ikatan pernikahan. Agar kita dapat merasakan dan menikmati
kecintaan yang tulus dan sejati sepanjang hidup, satu-satunya jalan yang dapat
ditempuh adalah menikah.

(III): Memperbesar Rasa Malu

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, "Tiga golongan yang berhak mendapat
pertolongan Allah, yaitu pejuang di jalan Allah, mukatab (budak yang membeli
diri dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah
karena ingin menjaga kehormatan (akhlak) nya." (HR Tirmizi).

Hadis di atas menerangkan bahwa Allah menjamin akan memberi pertolongan


kepada tiga golongan, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah karena-Nya, budak
yang berusaha membayar uang tebusan agar bebas dari tuannya, dan orang yang
menikah karena ingin menghindari perilaku seksual yang tercela.

Pernikahan adakalanya dilakukan untuk menjauhkan diri dari perbuatan zina,


homo, lesbian, sodomi, dan penyaluran seksual yang haram lainnya. Akan tetapi,
adakalanya pernikahan dilakukan hanya untuk kebanggaan atau kepentingan
duniawi, seperti mencari harta, kehormatan, kedudukan, dan lain-lainnya. Orang
yang menikah semata-mata hendak memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya
sehingga terhindar dari perilaku seksual tercela dijamin akan terpelihara rasa malu
dan kehormatan dirinya dengan baik. Bahkan, Allah akan membukakan pintu
rezeki yang luas baginya.

Pernikahan merupakan sarana paling tepat yang dapat mencegah manusia dari
perbuatan-perbuatan haram, yaitu zina atau cara haram lain dalam penyaluran
seksual. Orang yang berzina, atau yang menyalurkan dorongan seksual bukan
dengan pasangannya yang sah berarti telah kehilangan rasa malu. Perilaku mereka
seperti hewan yang tidak mengerti adab dalam melakukan hubungan seksual.
Hewan melakukan hubungan seksual di mana pun dan dengan pasangan mana
pun yang ia inginkan. Hal ini tidak patut, bahkan haram dijadikan tatanan
kehidupan manusia. Oleh karena itu, melalui pernikahan, perbuatan tersebut dapat
dicegah sehingga nilai kemanusiaan tetap terpelihara.

(IV): Memperkuat Rasa Tanggung Jawab Laki-Laki

Allah SWT berfirman yang artinya, "Hendaklah mereka yang belum mampu
menikah menjaga kehormatannya sampai Allah memberikan kecukupan kepada
mereka dari karunai-Nya." (An-Nur: 33).

"Orang yang mampu hendaklah memberikan nafkah sesuai dengan


kemampuannya. Dan bagi yang berkekurangan hendaklah memberi nafkah
sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan pemberian yang diberikan kepadanya. Allah
akan memberikan kemudahan setelah kesulitan." (Ath-Thalaaq:7).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dsb). Adapun yang dimaksud dengan rasa tanggung jawab di sini
adalah rasa memikul beban dan tugas yang harus dilaksanakan terhadap diri dan
orang lain. Seorang laki-laki yang beristri akan dituntut memenuhi tugas dan
kewajiban anak-anaknya agar mereka tidak terlantar atau menderita.

Dalam firman Allah di atas disebutkan bahwa laki-laki yang sudah menikah akan
terpanggil untuk memenuhi kewajiban kepada istrinya dengan segenap
kemampuan yang dimiliki. Bahkan, Allah menegaskan bahwa suami yang mampu
harus memberikan belanja sesuai dengan kemampuannya, dan suami yang miskin
tidak boleh dituntut memberikan belanja di luar kemampuannya. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang terikat dalam
pernikahan memiliki naluri untuk memenuhi tanggung jawabnya secara
maksimal. Oleh karena itu, pernikahan memberikan dorongan positif dan
semangat yang kuat kepada laki-laki untuk tampil menjadi orang yang
bertanggung jawab terhadap diri dan keluarganya.

Ketika seorang masih lajang, dia hanya bertanggung jawab memenuhi


kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu, terkadang ia mengabaikan tanggung
jawab tersebut. Mencari makan misalnya, karena merasa tidak dituntut oleh orang
lain, ia bekerja sesuka hati. Akan tetapi, apabila seorang laki-laki telah beristri,
apalagi mempunyai anak, ia tidak dapat lagi bertindak sesuka hati dalam mencari
nafkah.

Ia dituntut memenuhi kebutuhan beberapa jiwa yang menjadi tanggung jawannya.


Jika hal ini tidak dilaksanakan dengan baik, ia akan terbebani rasa bersalah,
bahkan Allah mengatakan bahwa yang bersangkutan berdosa terhadap istri dan
anaknya. Rasa bersalah seperti ini akan mendorongnya memiliki semangat yang
tinggi untuk mencari nafkah bagi istri dan anaknya. Bahkan, ia akan merasa
tercela dan tidak berharga kalau tidak dapat melaksanakan tanggung jawab
dengan sebaik-baiknya.

Tumbuhnya rasa tanggung jawab yang kuat pada mereka yang berumah tangga
adalah naluri yang Allah tanamkan pada diri manusia. Hal ini dapat mendorong
mereka yang ingin memperkuat rasa tanggung jawabnya untuk segera berumah
tangga sehingga kualitas dirinya meningkat.

Lebih luas lagi, naluri tersebut dapat berdampak positif dalam kehidupan
bermasyarakat. Demikianlah karena dengan dimilikinya rasa tanggung jawab
yang besar terhadap diri dan keluarga pada setiap anggota masyarakat,
kesejahteraan keluarga dan seluruh masyarakat akan tercipta.

Agar hal ini tetap dapat menjadi dorongan positif dalam kehidupan
bermasyarakat, hendaklah kita mendorong dan memacu para pemuda dan pemudi
untuk berumah tangga. Selain itu, dalam masyarakat juga kita tanamkan
pengertian bahwa hubungan laki-laki dan perempuan hanya dibenarkan dalam
ikatan pernikahan. Adapun hubungan selain ikatan pernikahan, sama sekali tidak
dibenarkan. Jika hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan seperti
pelacuran, pergundikan, kumpul kebo, dll. tetap dibiarkan atau ditolelir
berkembang, hal ini akan merusak tatanan hidup masyarakat sendiri dan
menghancurkan semangat bertanggung jawab pada laki-laki dan perempuan yang
menjalaninya.

Ikatan di luar pernikahan yang sah, karena norma hukumnya tidak ada, dengan
sendirinya tidak akan menimbulkan rasa tanggung jawab. Hubungan laki-laki dan
perempuan di luar pernikahan, seperti pergundikan, pelacuran, dan kumpul kebo,
tidak akan menciptakan rasa tanggung jawab pada orang yang menjalaninya.
Dalam hubungan tersebut, kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perempuan
dan laki-laki tidak jelas. Hubungan yang dilakukan orang-orang yang moralnya
rusak itu akan merusak moral masyarakat.

Ringkasnya, pernikahan yang sah akan menumbuhan rasa tanggung jawab yang
kuat terhadap diri, keluarga, dan masyarakat pada diri mereka yang menjalaninya.

(V) Memelihara Kesehatan Fisik

Rasulullah saw. bersabda, "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu
ada yang mampu menikah, hendaklah dia menikah. Karena pernikahan itu
mampu menjaga pandangan mata dan kemaluan. Barang siapa yang belum
mampu menikah, hendaklah berpuasa karena puasa itu ibarat pengebirian."(HR
Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Hadis di atas menjelaskan bahwa pernikahan dapat menyelamatkan laki-laki dan


perempuan dari kerusakan akhlak dan penyimpangan seksual. Rasulullah saw.
mengatakan bahwa pernikahan dapat menjaga pandangan manusia dari hal-hal
yang haram dilihatnya. Selain itu, pernikahan juga akan menjauhkan manusia dari
perbuatan zina.

Selanjutnya dijelaskan, jika seseorang belum mampu, hendaklah ia berpuasa. Hal


ini karena puasa memiliki kesamaan dengan pernikahan. Puasa merupakan jalan
yang sehat dalam pengendalian dorongan seksual, sedangkan pernikahan adalah
jalan yang sehat untuk menyalurkan dorongan tersebut. Keduanya merupakan
jalan untuk memelihara kesehatan fisik secara keseluruhan.

Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, telah diberi naluri oleh Allah
swt. keinginan berhubungan seksual. Naluri ini timbul karena hormon seksual ada
dalam diri setiap laki-laki dan perempuan. Hormon ini terus berjalan sampai pada
saat yang ditentukan oleh Allah. Hormon seksual laki-laki bekerja seumur
hidupnya selama yang bersangkutan normal. Akan tetapi, hormon seksual
perempuan bekerja sampai mencapai masa menapouse. Tekanan hormon yang
tidak disalurkan secara halal akan menimbulkan gangguan fisik.

Penyaluran dorongan seksual yang dilakukan di luar pernikahan tidak dibenarkan


oleh Islam. Bahkan pelakunya akan mendapat ancaman dari Allah. Orang-orang
dan masyarakat yang membiarkan perbuatan terkutuk ini diancam Allah akan
mendapatkan bencana dan malapetaka sebagaimana kutukan dan adzab Allah
yang diturunkan kepada kaumnya Nabi Luth a.s..

Hormon seksual yang ditanamkan Allah, penyalurannya hanya dibenarkan


melalui pernikahan. Oleh sebab itu, jalan satu-satunya untuk memelihara
kesehatan manusia adalah menikah. Apabila manusia terpaksa menahan
penyaluran dorongan seksual ini karena tidak memiliki pasangan yang sah, ia
akan mengalami berbagai gangguan yang berpengaruh pada kesehatan fisiknya.

Dalam salah satu pernyataan PBB yang disiarkan oleh harian Asy-Sya'ab, edisi
Sabtu 6 Juni 1959, disebutkan, "Orang-orang yang bersuami istri, umurnya lebih
panjang daripada yang tidak bersuami istri, baik karena ditinggal mati, perceraian,
atau hidup membujang." Selanjutnya disebutkan bahwa orang-orang yang
menikah ketika masih remaja, ternyata umurnya lebih panjang.

Pernyataan ini didasarkan pada penelitian dan statistik yang dilakukan oleh PBB.
Dalam statistik itu disebutkan, "Adalah benar bahwa jumlah orang yang mati dari
kelompok yang bersuami istri lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak
bersuami istri dalam berbagai tingkatan umur. Dari data-data statistik ini dapat
disimpulkan bahwa pernikahan berguna bagi laki-laki dan perempuan, sehingga
kekhawatiran atas bahaya hamil atau melahirkan berkurang, bahkan dewasa ini
bukan merupakan ancaman bagi kehidupan semua bangsa."

Anda mungkin juga menyukai