Anda di halaman 1dari 6

Hakikat Dan Tujuan Pernikahan Dalam

Islam ۩۞۩
Hakikat

Akad Nikah di dalam Islam tidaklah seperti akad-akad biasa. Al-Quran mengungkapkan
pernikahan ini dengan tiga sebutan. Pernikahan adalah âyat (tanda kekuasaan Allah) sekaligus
'uqdah (simpul ikatan) dan juga mîtsâqun ghalîzh (janji yang berat).

Akad Nikah dalam Islam adalah ayat (tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.). Al-Quran banyak
berbicara tentang ayat-ayat kekuasaan Allah Swt., dan seringkali kemudian diawali atau diakhiri
dengan puji-pujian kepada Allah Swt.. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran mengajarkan
kita untuk selalu mensyukuri ayat-ayat Allah itu dengan banyak beribadah dan melantunkan puji-
pujian kepada-Nya. Karena semua itu adalah nikmat Allah bagi kita. Di dalam surat Ar-Rûm
disebutkan bahwa Nikah adalah salah satu ayat Allah Swt.. Ayat, karena Allah menciptakan
mahluk secara berpasang-pasangan. Ayat, karena Allah telah meletakkan kedamaian, cinta dan
kasih sayang di antara pasangan suami dan isteri, dan ayat ini tentunya harus disyukuri karena
merupakan nikmat yang sangat agung.

Akad dalam adalah bahasa Arab berarti ikatan janji. Di dalam Islam janji adalah sesuatu yang
wajib ditepati, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 1, "Wahai
orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu." Setiap ikatan janji tentunya akan melahirkan
hak-hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak yang berjanji. Akad juga berarti mengikat
atau menyimpulkan. Maka laki-laki dan perempuan yang melakukan akad nikah berarti
keduanya telah mengikat simpul ikatan hidup bersama. Ikatan kebersamaan yang harmoni dan
langgeng. Ikatan hubungan yang akan diteruskan kelak di surga Allah Swt..

Jika menepati konsekuensi akad secara umum diwajibkan, maka memenuhi hak dan kewajiban
yang terlahir dari akad nikah tentunya lebih diwajibkan lagi. Sebab akad nikah adalah sebuah
ikatan perjanjian yang suci dan agung antara suami dan isteri, bukan sekedar janji biasa. Karena
ia marupakan ikatan janji yang suci dan mulia, tentunya akad ini akan melahirkan hak dan
kewajiban yang suci dan mulia pula. Dan jika hak dan kewajiban tersebut tidak ditepati dan
dilaksanakan maka akan berakibat kebalikan dari suci dan agung bagi pelaku akad ini, yaitu
kenajisan dan kehinaan.

Di dalam Al-Quran Allah Swt. menyatakan Akad Nikah dengan sebutan mîtsâqun ghalîzh (janji
yang berat). Padahal kata mîtsâqun ghalîz ini sendiri di dalam Al-Quran disebutkan hanya tiga
kali. Pertama, untuk akad pernikahan (An-Nisâ: 21). Kedua, perjanjian antara para nabi dengan
Tuhan mereka, untuk menyampaikan risalah Allah, seperti yang difirmankan Allah dalam surat
Al-Ahzâb ayat tujuh. Kemudian dalam ayat kedelapan Allah menjelaskan bahwa janji ini adalah
untuk menguji siapa yang sungguh-sungguh dalam menepatinya. Ketiga, janji Bani Israil
terhadap Allah Swt. untuk mengemban risalah tauhid di atas dunia. Janji yang karenanya Allah
mengangkat gunung untuk ditimpakan di atas kepala Bani Israil sebagai ancaman bagi mereka
yang tidak mau menepati janji. Namun mereka kemudian tidak menepati janji, sehingga
mendapatkan laknat dari Allah Swt..
Pernyataan bahwa akad nikah adalah mîtsâqun ghalîzh, tentunya mengisyaratkan bahwa
hubungan suami isteri yang merupakan hubungan yang berkonsekuensi besar seperti
konsekuensi janji para nabi dan bani Israel di atas. Siapa saja yang menepati janji itu, maka dia
tergolong orang yang jujur dan benar serta berada dalam jalan yang lurus. Sedangkan siapa yang
tidak menepatinya, dalam arti tidak menjalan hak dan kewajiban yang merupakan kosekuensi
dari akad tersebut, maka ia pantas mendapatkan laknat Allah Swt..

Bahwa suami memiliki hak terhadap isterinya, dan hak-hak suami adalah kewajiaban bagi isteri,
maka isteri harus mengetahui apa saja hak-hak suami terhadapnya. Di antara hak yang paling
dibutuhkan oleh suami dari isterinya adalah, sikap menghormati dan mengakui kebaikan suami.
Di dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa salah satu di antara sebab utama
yang menjadikan sebagian besar isi neraka adalah kaum hawa adalah karena mereka tidak pandai
berterimakasih dan sering mengingkari kebaikan suaminya. Hak suami yang juga sangat
dibutuhkan dari isteri adalah mengemban tanggung jawab sebagai isteri dengan baik seperti,
mengatur rumah tangga dengan baik, mengungkapkan perasaan cinta dan saling mempercayai,
bertukar pembicaraan, perkataan yang indah, membantu menanggung beban keluarga,
menyiapkan makanan, amanah terhadap harta suaminya dsb.

Bahwa isteri sebagai patner hidup suami juga memiliki hak-hak yang menjadi kewajiban bagi
suami. Sebagai suami ia harus mengetahui dengan baik hak-hak isterinya. Ia harus memahami
untuk apa ia menikah. Ia harus mengetahui kekhususan dan fitrah yang Allah ciptakan bagi
perempuan yang banyak berpengaruh terhadap sikap dan tindakannya, sehingga dengan
demikian seorang sang suami dapat berlapang dada dan mengerti bagaimana harus bersikap
terhadap isterinya, tidak gegabah dalam bertindak. Sebagai suami ia harus mengetahui kriteria
suami sukses dan kriteria suami yang gagal. Sebagai suami yang mencintai isteri, ia harus
menghormati dan tidak merendahkan isterinya.

Wasiat umum bagi suami dan isteri untuk mewujudkan keharmonisan hubungan di antara
mereka. Saling menghormati, ciptakanlah kata-kata indah untuk mengungkapkan cinta,
berterimakasih dan pujilah ia, tanyakan kepadanya apa yang ia sukai, kapan harus berlomba
dengannya, senyumlah selalu kepadanya, maksimalkan perhatian dan perawatan ketika ia sakit,
siapkan untuknya kejutan cinta, engaku adalah pakaian untuknya. Dengan memperhatikan
keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, insya Allah bahtera rumah tangga akan
dipenuhi cinta, kasih sayang, berkah dan ridha Allah Swt.. Wallahua'lam

Tujuan

Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah sebagai berikut:

1. Menjauhkan diri dari zina.

Allah Taala telah mentakdirkan bahwa lelaki ada nafsu/keinginan kepada perempuan.
Perempuan juga ada nafsu dengan lelaki. Hakikat ini tidak dapat ditolak. Kita tidak dapat lari
dari dorongan alamiah itu. Oleh karena itu untuk menyelamatkan keadaan maka tujuan kita
menikah agar jangan sampai kita melakukan zina yang terkutuk. Mestilah kita menikah agar ia
tersalur secara yang halal yang memang dibenarkan oleh Allah Taala yang Maha Pengasih.

2. Mendapatkan keturunan.

Daripada hubungan suami isteri itu, adalah sebagai sebab pertemuan benih kedua jenis manusia
yang akan melahirkan zuriat (keturunan), anak-anak, cucu-cucu yang ingin sangat kita jaga,
asuh, didik, diberi iman dan ilmu, agar menjadi hamba-hamba Allah yang berakhlak dan
bertaqwa. Yang akan menyambung perjuangan Islam kita agar perjuangan Islam kita
bersambung selepas kita mati. Memang setiap umat Islam yang belum rusak jiwanya sangat
menginginkan generasi penerusnya.

3. Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam.

Dari keturunan yang kita dapatkan dari pernikahan, kita inginkan anak yang akan kita didik
menjadi seorang Islam yang sejati dan anak itu adalah merupakan aset kepada kita. Anak itu
sendiri pula boleh menjadi harta dan tenaga kepada Islam.

4. Aset simpanan di akhirat.

Dengan pernikahan itu, jika tujuan kita mendapat anak berhasil, dan berhasil pula dididik dengan
Islam dan menjadi seorang muslim yang berguna, kemudian dia akan melahirkan cucu yang juga
berjaya dididik secara Islam dengan sebaik-baiknya, berapa banyak pahala yang kita dapat
sambung-menyambung. Itu adalah merupakan aset simpanan kita di Akhirat kelak

Sabda Rasulullah SAW:

Maksudnya: Apabila meninggalnya anak Adam maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga
perkara yaitu doa anak yang soleh, sedekah jariah dan ilmu yang bermanfaat. (Riwayat Muslim)

5. Mewujudkan suatu masyarakat Islam.

Alangkah indahnya kalau Islam yang maha indah itu dapat menjadi budaya hidup sebagaimana
yang pernah mengisi ruangan dunia ini di masa yang silam, selama tiga abad dari sejak
Rasulullah SAW. Sekarang keadaan itu tinggal nostalgia saja. Yang tinggal pada hari ini hanya
akidah dan ibadah. Itu pun tidak semua umat Islam mengerjakannya. Kita sangat ingin keindahan
Islam itu dapat diwujudkan. Di dalam suasana keluarga pun jadilah, karena hari ini, hendak buat
lebih dari itu memang amat sulit sekali. Lantaran itulah pernikahan itu amat perlu sekali karena
hendak melahirkan masyarakat Islam kecil. Moga-moga dari situ akan muncul masyarakat Islam
yang lebih besar.

6. Menghibur hati Rasulullah SAW.

Seorang muslim bukan saja diperintah untuk mencari keredhaan Allah Taala tetapi diperintah
juga untuk menghibur hati kekasih Allah Taala yaitu Rasulullah SAW, yang mana Rasulullah
SAW sangat berbangga dengan ramainya pengikut atau umatnya di Akhirat kelak. Maka sebab
itulah Rasulullah SAW menyuruh umatnya menikah.

Maksudnya: Bernikahlah kamu supaya kamu berketurunan dan supaya kamu menjadi banyak,
karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan umatku yang ramai di hari Kiamat. (Riwayat
Al Baihaqi)
Setiap umat Islam hendaknya apa yang menjadi kesukaan Rasul-Nya itulah juga kesukaan
mereka.

7. Menambah jumlah umat Islam.

Kalaulah Rasulullah SAW berbangga dan bergembira dengan banyaknya umat, maka kita
sepatutnya juga berbangga dengan ramainya umat Islam di dunia ini. Maka untuk
memperbanyakkannya, lantaran itulah kita menikah. Jadi kita menikah itu ada bermotifkan untuk
menambah jumlah umat Islam. Ada cita-cita Islam sejagat. Kita menikah itu ada cita-cita besar,
bukan sekadar sebatas hendak melepaskan nafsu seks seperti cita-cita kebanyakan manusia.

8. Menyambung zuriat/keturunan.

Menikah itu jangan sampai putus zuriat karena kita berbangga dapat menyambung zuriat yang
menerima Islam sebagai agamanya dan dengan keturunan itulah orang kenal siapa asal-usul kita
atau mereka.

9. Menghibur hamba Allah.

Tujuan-tujuan lain sebagai maksud tambahan daripada pernikahan bahwa setiap lelaki dan
perempuan yang menjadi pasangan suami isteri hendaklah meniatkan satu sama lain hendak
memberi hiburan kepada seorang hamba Allah Ta'ala yang inginkan hiburan, karena niat
menghiburkan orang mukmin itu mendapat pahala.

HAKIKAT PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah, karena di dalamnya ada banyak hikmah. Pernikahan
merupakan fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang berpasang-pasangan. Setiap
jenis membutuhkan pasangannya. Seorang lelaki membutuhkan wanita, begitu pun sebaliknya, wanita membutuhkan
lelaki. Ini adalah fitrah yang berikan kepada manusia.

Islam diturunkan Allah SWT untuk menata hubungan kedua insan agar menghasilkan sesuatu yang positif bagi umat
manusia dan tidak membiarkannya berjalan semaunya sehingga menjadi penyebab bencana.

Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah akad yang diberkahi. Di mana seorang lelaki menjadi halal bagi seorang
wanita begitu pula sebaliknya. Mereka memulai perjalanan hidup berkeluarga yang panjang, dengan saling cinta,
tolong menolong dan toleransi.

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS
Ar Rum: 21).

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT ingin menggambarkan hubungan yang sah itu dengan suasana yang
penuh menyejukkan, mesra, akrab, kepedulian yang tinggi, saling percaya, pengertian dan penuh kasih sayang.

Tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup karena iklim dalam rumah tangga yang
penuh dengan kasih sayang dan mesra. Namun, proses membina pernikahan yang sakinah, mawaddah dan
warahmah serta bahagia sering tidak semulus yang dibayangkan oleh kebanyakan pasangan.

Dengan adanya pernikahan, hal itu menunjukkan sejauh mana pasangan mampu merundingkan berbagai hal dan
seberapa terampil pasangan suami istri itu mampu menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri akan menyadari
bahwa hal-hal yang berjalan dengan baik pada tahap-tahap awal pernikahan mungkin tidak dapat berfungsi sebaik
pada tahap-tahap berikutnya, yakni ketika pasangan suami istri menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan-
keterampilan baru dalam hubungan berumah tangga.

Sepanjang perjalanan pernikahan, semua pasangan pasti akan menghadapi tekanan-tekanan baru. Tekanan-
tekanan tersebut bisa berasal dari luar pernikahan, bisa juga dari dalam pernikahan itu sendiri, atau bahkan dari hal-
hal yang sudah lama terpendam jauh di dalam diri masing-masing pasangan.

Pasangan suami istri harus dapat dan mampu menyesuaikan diri dengan pasangan, untuk hidup harmonis,
menyeimbangkan tugas-tugas, karir yang sedang menanjak, membesarkan anak-anak dan memberikan dukungan
satu sama lain adalah tugas yang sangat kompleks dilakukan pasangan suami istri.

Banyak pasangan suami istri yang terkejut, saat mereka mendapati bahwa konflik lama belum terselesaikan. Dia
akan muncul dari orang tua, saudara kandung, atau di luar pasangan. Mereka akan muncul kepermukaan dalam
hubungan pernikahan. Dan setiap konflik tersebut menunjukkan adanya tuntutan yang besar terhadap pasangan
suami istri ketika mereka berusaha menghadapi berbagai persoalan, belajar memahami arti pengorbanan pada
berbagai tingkatan yang baru dan bagaimana mempercayai orang yang dicintai.

Pernikahan tidak selalu menghasilkan banyak tuntutan bagi orang-orang yang menjalaninya. Orang-orang tua kita
terdahulu tidak begitu peduli dengan hal-hal tersebut. Bagi mereka pada umumnya, pernikahan adalah bagian dari
kelangsungan hidup. Suami mencari nafkah sedangkan istri merawat rumah dan anak-anak.

Namun, kini berumah tangga kehidupan semakin kompleks, dan tuntutan adanya keintiman dalam pernikahan
generasi pendahulu, yaitu orang tua kita tidaklah sebesar tuntutan generasi sekarang. Dewasa ini, pasangan suami
istri menginginkan jauh lebih banyak hal dari pernikahan.

Mulai dari kehidupan materialist, fisik yang indah, keilmuan, ras, sosial masyarakat. Harapan-harapan yang lebih
tinggi itu, pasangan terkadang lupa pada tanggung jawab masing-masing, oleh karena itu pasangan suami istri
sangat perlu mengetahui arti pernikahan.

Ya, karena pernikahan merupakan jalan yang aman bagi manusia untuk menyalurkan naluri seks. Pernikahan dapat
memelihara dan menyelamatkan keturunan secara baik dan sah. Di samping itu, pernikahan pada dasarnya menjaga
martabat wanita sesuai dengan kodratnya.

Pernikahan juga merupakan suatu ikatan yang kuat dengan perjanjian yang teguh yang ditetapkan di atas landasan
niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi. Supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan oleh
Allah dalam Al Quran yaitu ketenteraman, kecintaan dan kebahagiaan.
;,L

Anda mungkin juga menyukai