Anda di halaman 1dari 12

1.Bagaimana klasifikasi dan struktur dari cacing?

(arzalia)

Platyhelmintes

Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes = cacing. Sehingga
dapat diartikan bahwa Platyhelminthes adalah cacing bertubuh pipih. Tubuh Platyhelminthes memiliki
tiga lapisan sel (triploblastik), yaitu ektoderm,mesoderm, dan endoderm. Platyhelminthes merupakan
cacing yang mempunyai bentuk tubuh simetri bilateral, dan tubuhnya pipih secara dorsoventral.
Platyheminthes tidak memiliki rongga tubuh (aselom), sehingga mereka disebut hewan aselomata.
Tubuhnya tidak bersegmen-segmen. Bentuk tubuhnya bervariasi, dari yang berbentuk pipih memanjang,
pita, hingga menyerupai daun. Ukuran tubuh bervariasi mulai yang tampak mikroskopis beberapa
milimeter hingga berukuran panjang 25 meter (Taeniarhynchus saginatus). Sebagian besar cacing pipih
berwarna putih atau tidak berwarna. Sementara yang hidup bebas ada yang berwarna cokelat, abu-abu,
hitam,atau berwarna cerah. Ujung anterior tubuh berupa kepala. Pada bagian ventral terdapat mulut dan
lubang genital. Mulut dan lubang genital tampak jelas pada kelas Turbellaria, tetapi tidak tampak jelas
pada kelas Trematoda dan Cestoda. Ada organ yang menghasilkan sekresi (alat cengkeram dan
penghisap) yang bersifat perekat untuk menempel dan melekat, misalnya ‘oral sucker’ dan ‘ventral
sucker’ pada Trematoda.
Filum Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000 species, terbagi menjadi tiga kelas; dua yang bersifat
parasit dan satu hidup bebas. Planaria dan kerabatnya dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing
hati adalah parasit eksternal atau internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah parasit internal dari
kelas Cestoda. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di sungai, danau,laut, atau sebagai parasit di
dalam tubuh organisme lain. Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-
tempat yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya
(endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes
adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik
lumut lembab (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.

Tubellaria

Turbellaria adalah Platyhelminthes yang memiliki silia (rambut getar) pada permukaan tubuhnya yang
berfungsi sebagai alat gerak. Pada lapisan epidermis terdapat banyak sel kelenjar yang
disebut rhabdoid yang berfungsi untuk melekat, membungkus mangsa, dan sebagai jejak lendir pada
waktu merayap. Dibawah epidermis terdapat serabut-serabut otot melingkar, longitudinal, diagonal, dan
dorsoventral sehingga Turbelaria mudah memutar dan meliuk-liuk.
Hewan dari kelas Turbellaria memiliki tubuh bentuk tongkat atau bentuk rabdit (Yunani : rabdit =
tongkat). Hewan ini biasanya hidup di air tawar yang jernih, air laut atau tempat lembab dan jarang
sebagai parasit. Tubuh memiliki dua mata dan tanpa alat hisap. Hewan ini mempunyai kemampuan yang
besar untuk beregenerasi dengan cara memotong tubuhnya. Keberadaannya sekitar 4000+ spesies di
seluruh dunia; hidup di batu dan permukaan sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah batang kayu.
Hampir semua Turbellaria hidup bebas (bukan parasit) dan sebagian besar adalah hewan laut.
Kebanyakan turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Namun, beberapa spesies laut, khususnya
di terumbu karang, memiliki corak warna lebih cerah. Panjang mulai kurang dari 1 mm hingga 50 cm.
Contoh Turbellaria antara lain Planaria dengan ukuran tubuh kira-kira 0,5 – 1,0 cm dan Bipalium yang
mempunyai panjang tubuh sampai 60 cm dan hanya keluar di malam hari.

Trematoda
Keberadaan trematoda berjumlah sekitar 12000 spesies di seluruh dunia; hidup di dalam atau pada tubuh
hewan lain. Semua cacing hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti daun. Panjang berkisar 1
cm hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk menempelkan diri ke organ internal atau
permukaan luar inangnya, dan semacam kulit keras yang membantu melindungi parasit itu. Organ
reproduksinya mengisi hampir keseluruhan bagian interior cacing hisap.
Sebagai suatu kelompok, cacing trematoda memparasiti banyak sekali jenis inang, dan sebagian besar
spesies memiliki siklus hidup yang kompleks dengan adanya pergiliran tahap seksual dan aseksual.
Banyak trematoda memerlukan suatu inang perantara atau intermediet tempat larva akan berkembang
sebelum menginfeksi inang terakhirnya (umumnya vertebrata), tempat cacing dewasa hidup. Sebagai
contoh, trematoda yang memparasati manusia menghabiskan sebagian dari sejarah hidupnya di dalam
bekicot.

Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah
vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan
kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan
semua organ berada di dalam jaringan parenkim.

Tubuh biasanya pipih dorsoventral, dan biasanya tidak bersegmen dan seperti daun. Mereka mempunyai
dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau pada
ujung posterior. Alat penghisap yang kedua disebut asetabulum karena bentuknya mirip dengan mangkuk
cuka.

Dinding luar atau tegumen trematoda adalah kutikula yang kadang-kadang mengandung duri atau
sisik. Sistem pencernaan makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi
oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui farings yang berotot ke esofagus dan kemudian
ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum ini kadang-kadang bercabang, dan
percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit.Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan
demikian sisa bahan makanan harus diregurgitasikan. Sistem saraf adalah sederhana. Cincin dari serabut
saraf dan ganglia mengelilingi esofagus, dan dari sini saraf berjalan ke depan dan belakang. Biasanya,
sebatang saraf berjalan kebelakang pada setiap sisi, dan saraf-saraf bertolak dari sini menuju ke berbagai
organ.Trematoda tidak mempunyai sistem peredaran darah. Sistem ekskresi tersusun dari sebuah kandung
kemih posterior. Sebuah sistem percabangan dari tabung pengumpul yang masuk ke dalam kandung
kemih, dan sebuah sistem sel-sel ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul tersebut. Tidak
terdapat organ ekskresi yang terlepas, sel-sel ekskresi ditempatkan secara strategis di seluruh tubuh.

Sel ekskresi terdiri dari sebuah sitoplasma basal yang berisi inti dan sebuah vakuola berisi seberkas silia
ynag terbuka secara tetap ke dalam saluran pengumpul. Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar
dari trematoda adalah hermafrodit, mempunyai organ jantan dan betina. Tetapi pembuahan silang
merupakan hal yang biasa, dan pembuahan sendiri tidak umum. Pembuahan biasanya uterus, sperma
melewati sirus dari satu cacing ke uterus cacing lain.

Cestoda

Keberadaannya berjumlah sekitar 3500 spesies di seluruh dunia; hidup sebagai parasit dalam tubuh
hewan. Cacing pita (Cestoda) memiliki tubuh bentuk pipih, panjang antara 2 – 3m dan terdiri dari bagian
kepala (skoleks) dan tubuh (strobila). Kepala (skoleks) dilengkapi dengan lebih dari dua alat pengisap.
Sedangkan setiap segmen yang menyusun strobila mengandung alat perkembangbiakan. Tubuhnya satu
strobila tertutup oleh cuticula yang tebal; tidak berpigmen; tidak mempunyai tractus digestivus atau alat
indera dalam bentuk dewasanya. Makin ke posterior segmen makin melebar dan setiap segmen
(proglotid) merupakan satu individu dan bersifat hermafrodit.
Contoh cacing pita adalah Taenia solium dan Taenia saginata yang parasit pada orang. Taenia terdiri dari
sebuah kepala bulat yang disebut scolex, sejumlah ruas, yang sama disebut disebut proglotid. Pada kepala
terdapat alat hisap dan jenis Taenia solium mempunyai kait (rostellum) yang sangat tajam yang mengunci
cacing itu ke lapisan intestinal inang. Di belakang scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang
akan menghasilkan proglotid baru yang mula-mula kecil tumbuh menjadi besar. Panjang tubuh cacing
pita mencapai 2 m.

Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).Tiap
proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing.
Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja
dengan membawa ribuan telur. Jika termakan hewan lain, telur akan berkembang dan memulai siklus
hidup barunya. Cacing pita tidak memiliki saluran pencernaan. Cacing pita menyerap makanan yang telah
dicerna terlebih dahulu oleh inangi

Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus inangnya. Sari makanan diserap
langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya karena cacing ini tidak memiliki mulut dan pencernaan
(usus). Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna.
Inang perantara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan babi pada taenia solium. Cacing pita tidak
mempunyai saluran pencernaan dan sitem peredaran darah. Makanan langsung melalui dinding tubuh.
Sistem ekskresi yaitu berupa sel api.

Sistem saraf tersusun dari beberapa ganglion pada skoleks, dengan komisura melintang diantaranya. Dan
tiga batang saraf longitudinal setiap sisi tubuh (sebuah batang besar disebelah lateral dan yang kecil
disebelah ventral), satu ganglion kecil disetiap segmen pada masing-masing dari enam batang tersebut,
dan komisura pada setiap segmen menghubungkan ganglion-ganglion ini. Cestoda adalah hermafrodit,
yang mempunyai organ jantan dan betina. Organ jantan terdiri dari testis (menghasilkan spermatozoa),
vas deferen, seminal vesicle, penis, dan lubang kelamin. Sedangkan organ bertina terdiri dari ovarium,
oviduk, seminal uterus, vagina, dan lubang kelamin.

2.Apakah jenis cacing yang ada diskenario? Apa saja ciri-cirinya? (disma) liak

Pada skenario dikatakan bahwa pada pasien ditemukan ground itch atau ruam kemerahan, disertai
batuk, dan juga adanya anemia hipokrom, disertai adanya dugaan bahwa kemungkinan pasien terkena
infeksi saat mereka bermain tanpa menggunakan alas kaki, dan hal ini yang paling sesuai adalah cacing
tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus) karena cacing ini dapat menginfeksi seseorang
dengan menembus dermis dan dapat menimbulkan gejala sesuai yang telah disebutkan di skenario.
Dan berikut gejalanya.

1. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang
di sebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
2. Stadium dewasa
Gejala tergantung pada :
a. Spesies dan jumlah cacing
b. Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)

Tiap cacing N.americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05-0,1 cc sehari,


sedangkan A.duodenale 0,08-0,34 cc. Biasanya terjadi anemia hipokrom makrositer. Di samping itu juga
terjadi eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan adanya anemia belum ada. Biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun.
Ankilostomiasis dapat diklasifikasikan sebagai kulit, paru, atau usus. Lesi kulit terjadi ketika
larva filariform menembus kulit, biasanya dari kaki atau tangan. Beberapa hari setelah penetrasi lokal
dermatitis, yang dikenal sebagai tanah atau embun gatal, berkembang. Kulit berwarna merah, gatal, dan
edema. Dengan infeksi berulang kulit dapat melepuh. Infeksi piogenik 27 sekunder dapat berkembang di
situs-situs tersebut. Infeksi paru dimulai sekitar 2 minggu kemudian ketika larva mencapai paru-paru.
Pasien batuk dan eosinofilia perifer akan lebih parah dan persisten dengan A.duodenale dari
N.americanus. Larva menembus ke dalam memproduksi perdarahan alveoli dengan mononuklear
menyusup infeksi berat.

3.Bagaimana alur atau mekanisme dari cacing menginfeksi masuk kedalam tubuh manusia? Bagaimana
siklus hidup daric acing? (Fairuz) yunisaa

Jenis cacing apapun seperti pita, tambang, kremi, gelang bisa masuk ke tubuh ketika tangan
memegang/bersentuhan sama tinja, tanah, air atau makanan maupun minuman yang terkontaminasi dg telur
cacing. Contoh daging babi, sapi, atau ikan mentah/ kurang matang yang kemudian terbawa ke mulut ketika
sedang mengonsumsinya

Juga terutama larvanya ( baru menetas ) dpt nembus kulit dikarenakan telapak kaki ngga make alas jadinya
masuk ke sirkulasi darah dan ikut terbawa ke bagian dalam tubuh manusia

Mekanisme :
 Telur menetas menjadi larva di usus kecil inang.
 Larva melakukan perjalanan ke jantung dan paru-paru melalui aliran darah atau sistem limfatik.
 Setelah matang selama sekitar 10–14 hari di paru-paru, larva akan masuk ke saluran udara dan
naik ke tenggorokan.
 Pengidap dapat menelan larva kembali atau mengeluarkan larva tersebut ketika batuk.
 Bila tertelan, larva akan pindah ke usus dan bertumbuh menjadi cacing jantan atau betina. Cacing
betina dapat memiliki panjang lebih dari 40 sentimeter dan berdiameter kurang dari 6 milimeter.
Cacing jantan umumnya lebih kecil.
 Cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200.000 telur per hari bila ada cacing betina dan jantan
di usus.
 Telur-telur tersebut dapat keluar dari tubuh pengidap ke paru-paru ada juga yang keluar melalui
feses.

4.Apakah semua cacing dapat menginfeksi manusia atau tidak? Jika tidak sebutkan jenis cacing apa saja
yang menginfeksi manusia? (izza)
Cacing nematoda usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted
helminth”. Soil transmitted helminth adalah nematoda usus yang siklus hidupnya membutuhkan tanah
untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari stadium non infeksi menjadi stadium infektif.
Kelompok nematoda ini adalah Ascaris lumbricoides menimbulkan ascariasis, Trichuris trichiuria
menimbulkan trichuriasis, cacing tambang (ada dua spesies, yaitu Necator americanus menimbulkan
necatoriasis, Ancylostoma duodenale menimbulkan ancylostomasis), Strongyloides stercolaris
menimbulkan strongyloidosis atau strongyloidiasis. Adapun jenis kelompok nematoda usus lainnya atau
disebut juga nematoda usus non-soil transmitted helminth adalah nematoda usus yang siklus hidupnya
tidak membutuhkan tanah. Ada tiga spesies yang termasuk kelompok ini, yaitu Oxyuris/Enterobius
vermicularis (cacing kremi) menimbulkan enterobiasis dan Trchinnela spiralis dapat menimbulkan
trichinosis serta parasit yang paling baru ditemukan Capillaria philippinensis (Natadisastra dan Agoes,
2009: 72).

5.Bagaimana upaya preventif untuk mencegah terjangkitnya Infeksi parasite cacing? (romi) disma

 Mencuci tangan secara teratur dan juga sampai benar-benar bersih terutama setelah buang air,
mengganti popok bayi, sebelum memasak, dan sebelum makan.
 Memasak makanan sampai matang sempurna
 Cuci buah dan sayur dengan benar sebelum dikonsumsi
 Mengonsumsi air yang sudah matang atau air dalam kemasan
 Mencegah jangan sampai menelan air dari sungai, kolam, atau danau saat berenang
 Tidak berbagi penggunaan barang-barang pribadi, seperti sisir, handuk, topi, atau pakaian dalam,
dengan orang lain
 Beri obat cacing untuk binatang peliharaan secara berkala
 Hindari berjalan tanpa alas kaki dan menyentuh tanah atau pasir tanpa sarung tangan.
 Gunting kuku secara teratur dan hindari menggigit
 Tidak membuang tinja disembarang tempat
 Tidak memupuk sayuran dengan tinja manusia

6.Bagaimana mekanisme pemeriksaan feses dan bagaimana interpretasinya? (waudy) dede

Pengambilan Sampel

Prosedur pengumpulan sampel pada orang dewasa adalah sebagai berikut:

1. Pasien telah terlebih dahulu buang air kecil

2. Pasien menutup jamban atau bedpan dengan kontainer khusus atau plastik. Feses tidak boleh
diambil dari bedpan karena feses yang mengenai bedpan telah terkontaminasi dengan desinfektan. Feses
juga tidak boleh bercampur dengan air, air sabun, ataupun tissue
3. Pasien menggunakan sarung tangan tidak steril saat pengambilan sampel
o Setelah defekasi, sekitar 20-40 gram atau setara dengan 5-6 sendok sampel diambil
menggunakan aplikator yang tersedia. Untuk memudahkan, instruksikan pasien untuk mengisi wadah
tersebut setengah penuh

o Kemudian sampel dimasukan ke dalam dalam wadah dan ditutup dengan rapat

o Pada kasus konstipasi, minta pasien untuk mengumpulkan sampel sebanyak “dua butir
kacang” Kemudian tutup wadah tersebut dengan rapat

2. Lepaskan sarung tangan, lalu cuci tangan dengan bersih menggunakan sabun pada air yang
mengalir

3. Wadah diberi label yang lengkap. Label berisikan nama lengkap pasien, umur, jenis kelamin, dan
tanggal pengambilan sampel feses. Terdapat beberapa kebijakan yang berbeda dari laboratorium maupun
rumah sakit. Tidak jarang label telah diisi sebelum prosedur dijalankan

Prosedur pengumpulan sampel pada anak yang masih menggunakan popok:

1. Cara pertama adalah dengan mengambil sampel dari popok. Mengambil sampel secara langsung
dari popok disarankan, namun untuk hasil interpretasi yang lebih baik lapisi popok dengan plastik agar
sampel tidak terserap ke dalam popok. Pastikan sampel tidak bercampur dengan urin

2. Cara lain ialah menggunakan kantong khusus berlabel data pasien yang disediakan oleh klinik
atau rumah sakit. Kantong khusus tersebut ditempelkan pada kulit sekitar anus anak. Setelah spesimen
terkumpulkan kantong khusus tersebut dicabut, lalu diserahkan pada petugas laboratorium. Dengan cara
ini, dapat dipastikan feses tidak tercampur dengan urin.

Prosedural
Pemeriksaan feses meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis, tes darah samar tinja,
pemeriksaan mikrobiologi, dan imunologi

Pemeriksaan Makroskopis

Pada pemeriksaan makroskopis akan diperiksa hal-hal berikut:

 Warna : Warna normal pada feses adalah kecoklatan atau kuning. Warna tersebut diakibatkan
karena adanya zat bilirubin yang dihasilkan oleh hati. Namun, warna dapat bersifat variatif tergantung
pada diet pasien. Warna tanah liat (clay-coloured) atau warna dempul yang pucat menunjukan adanya
kelainan seperti obstruksi bilier, empedu, atau steatorrhea. Tinja berwarna gelap atau kehitaman (black
tarry stool) disebut melena. Melena terjadi jika terdapat perdarahan lebih dari 100 mL di saluran
pencernaan atas. Selain pendarahan pada saluran pencernaan atas, obat-obatan yang mengandung zat besi,
bismuth, dan karbon aktif juga dapat memberikan warna kehitaman pada tinja
 Konsistensi : Konsistensi normal feses adalah agak lunak dan berbentuk. Konstipasi
menyebabkan tinja menjadi kecil dan keras sehingga sulit untuk dikeluarkan.
 Jumlah : Pada keadaan normal, jumlah tinja manusia adalah 100-250 gram/hari. Namun, hal
tersebut dipengaruhi oleh jumlah makanan yang dikonsumsi, khususnya sayur yang banyak mengandung
 Bau : Bau normal pada tinja disebabkan oleh indol, skatol, serta asam butirat. Bau pada tinja
dihasilkan oleh keadaan seperti penguraian protein dan gula. Bau menyengat dapat disebabkan oleh
parasit Giardia lamblia atau malabsorpsi lemak
 Lendir : adanya sedikit lendir dalam tinja adalah normal. Beberapa bakteri dan parasit dapat
menyebabkan adanya lendir yang banyak pada tinja

 Darah : adanya campuran darah segar menandakan perdarahan pada saluran pencernaan bawah.
Darah yang bercampur dengan tinja juga didapati pada disentri yang disebabkan oleh Shigella
 Parasit : Pada infeksi parasit, kista parasit bisa ditemukan pada tinja yang padat, sedangkan
trofozoit bisa ditemukan pada tinja yang cair. Pada pemeriksaan makroskopis juga bisa tampak cacing,
contohnya Enterobius vermicularis dan Ascaris lumbricoides

Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis merupakan langkah yang penting dalam mendeteksi abnormalitas pada usus.
Pemeriksaan mikroskopis digunakan untuk melihat adanya leukosit, jenis protozoa, dan telur cacing.

Cacing yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan makroskopis dapat dilihat menggunakan pemeriksaan
mikroskopis. Direct wet mount, saline wet mount, dan iodine wet mount dapat digunakan untuk melihat
bentuk cacing, telur, larva, tropozoit, dan kista. Iodine wet mount lebih baik digunakan jika ingin melihat
kista. Cara sederhana tersebut ialah dengan sedikit menaruh sampel tinja yang diemulsi dalam 1-2 tetes
saline atau iodine pada slide kaca, kemudian slide kaca baru ditempatkan di atasnya dan sediaan diperiksa
di bawah mikroskop.
 Leukosit : Pada keadaan normal, leukosit tidak ditemukan dalam tinja. Untuk pemeriksaan
leukosit, sampel tinja diambil pada bagian yang berlendir.

 Eritrosit : Pada keadaan normal, eritrosit tidak ditemukan dalam tinja. Invasi amoeba dapat
menyebabkan adanya darah pada tinja.
 Lemak : Pada manusia sehat, kurang dari 6 g/hari lemak diekskresi dalam tinja.

 pH tinja diperiksa menggunakan kertas nitrazine. Kertas kemudian ditempelkan pada sampel tinja
selama 30 detik, kemudian bandingkan perubahan warna pada kertas nitrazine. pH normal tinja adalah
7,0-7,5. Pada bayi yang meminum asi, pH akan lebih asam daripada normal. Feses dengan pH rendah
dapat disebabkan oleh penyerapan yang buruk dari karbohidrat atau lemak
Peringatan Pemeriksaan Feses
Sebelum menjalani pemeriksaan feses, ada beberapa hal yang harus diketahui, yaitu:

 Pemeriksaan feses tidak boleh dilakukan pada saat menstruasi atau bila sedang menderita
perdarahan akibat wasir.
 Sampel tinja yang digunakan untuk pemeriksaan tidak boleh sampel yang telah jatuh ke dasar
kloset, terkena urine, atau terkena tisu toilet.
 Disarankan untuk memberitahu dokter mengenai obat, suplemen, atau vitamin yang sedang
digunakan. Dokter mungkin akan meminta pasien menghentikan konsumsi obat antasid, laksatif,
antidiare, obat anti inflamasi anti steroid (OAINS), antibiotik, dan antiparasit sebelum
pemeriksaan dilakukan.

Setelah Pemeriksaan Feses


Pasien umumnya akan mendapatkan hasil pemeriksaan feses dalam 1–3 hari. Ciri-ciri feses yang
dinyatakan normal adalah sebagai berikut:

 Berwarna coklat, bertekstur lembut, dan keseluruhan bentuknya konsisten


 Tidak mengandung bakteri, virus, jamur, parasit, lendir, nanah, darah, dan serat daging
 Mengandung 2ꟷ7 gram lemak dalam 24 jam
 Mengandung gula kurang dari 0,25 gram/dL
 Memiliki tingkat keasaman 7,0–7,5

7.Bagaimana mekanisme respon imun tubuh dalam menghadapi infeksi cacing? Penjelaskan repon imun
innate dan adaptif (dede) liak

Sistem imun tubuh host dalam merespon infeksi cacing ini sama dengan respon imun terhadap penyakit
alergi yaitu respon Th2 yang ditandai dengan peningkatan kadar interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-13 dan
disertai dengan peningkatan kadar imunoglobulin E

(IgE) dan eosinofilia. Walaupun kedua penyakit tersebut mempunyai fenomena imunologi yang sama,
ternyata kedua penyakit ini terjadi pada daerah dengan yang sang at berbeda. Penyakit alergi lebih sering
terjadi di negara maju dengan higienisitas dan sanitasi yang baik. Keadaan ini menimbulkan dugaan
bahwa infeksi cacing dapat melindungi individu terhadap munculnya alergi
Infeksi cacing biasanya bersifat kronik. Selain itu, kematian pejamu ternyata akan merugikan cacing itu
sendiri. Respons imun terhadap cacing biasanya lebih kompleks Hal ini disebabkan karena parasit
berukuran besar dan tidak bisa dimakan oleh fagosit. Infeksi cacing lebih banyak menginduksi aktivasi sel
Th2 yang melepas IL-4 dan IL- 5. IL-4 akan menginduksi proliferasi sel B dan merangsang produksi IgE
9,26
dan IgG4. Sedangkan IL-5 akan menginduksi perkembangan dan aktivasi dari eosinofil. Kemudian,
IgE yang berikatan dengan antigen cacing akan diikat oleh eosinofil. Eosinofil akan teraktivasi dan
mensekresi granul enzim yang dapat membunuh parasit. Granul eosinofil lebih toksik dibandingkan
neutrofil dan makrofag. Selain itu, eosinofil juga bersifat sitotoksik serta dapat menghancurkan patogen
multiselular yang berukuran besar. Namun demikian, yang baru diketahui saat ini fungsi sitolitik eosinofil
hanyalah terhadap fase larva parasit yang bermigrasi ke jaringan. Sel Th2 juga melepaskan sitokin yang
dapat memediasi aktivasi makrofag. Namun, dalam hal ini,fungsi makrofag yang ditingkatkan adalah
fungsi sintesis protein matriks ekstraselular yang penting dalam proses perbaikan jaringan. Sitokin IL – 4,
IL – 10, dan IL – 13 yang dikeluarkan oleh sel Th2 memiliki fungsi supresi terhadap imunitas yang
diperantarai oleh sel Th1. Hal ini ditandai dengan rendahnya kadar sitokin IFN – γ. Dengan demikian,
maka aktivitas mikrobisidal makrofag dihambat.

Filariasis Limfatik (FL) dapat menimbulkan respons imunitas selular kronis, fibrosis, dan limfedema
berat. Munculnya mikrofilaria dalam darah menyebabkan sitokin Th2 menjadi dominan, menghilangnya
respons sel T, dan peningkatan sintesis IgG4 spesifik parasit. Induksi toleransi sel T diduga terjadi pada
sel Th1, dimana terjadi supresi pada sel Th1 yang disebabkan oleh pengeluaran sitokin IL-4 oleh sel
15,26
Th2. Respons Th1 dan Th2 terhadap filariasis terjadi pada individu yang kebal terhadap infeksi
ulang. Respons kedua Th ini berperan penting dalam proteksi pejamu dan patogenesis filariasis.

Selain respons imun, pada FL juga dijumpai anergi sel T, walaupun mekanismenya belum jelas.
Defisiensi imun pada filariasis kemungkinan disebabkan akibat rusaknya kelenjar getah bening oleh
26
parasit. Selain itu, toleransi sel T terhadap filariasis diduga terjadi pada infeksi yang kronis. Pada
keadaan tersebut, didapatkan kadar IFN – γ dan IL – 5 rendah. Hal ini menunjukkan rendahnya aktivitas
sel CD4+, baik Th1 maupun Th2.

Pada daerah endemis filariasis ditemukan tiga respon yang berbeda terhadap filariasis. Respon tersebut
terbagi dalam individu yang rentan

terhadap infeksi, individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection), dan individu dengan gejala
klinis. Respon imun terhadap setiap individu tersebut sebagai berikut.

1. Individu yang rentan terhadap infeksi. Pada individu ini ditemukan respons Th2 yang lebih tinggi
daripada Th1, tingginya kadar IL – 10 (Treg), serta tingginya kadar IgG4 dan kadar IgE relatif
rendah.
2. Individu yang resisten terhadap infeksi (silent infection). Pada individu ini ditemukan respons
Th1 dan Th2 yang seimbang, yang dikontrol oleh Treg, kadar IgG4 rendah, dan kadar IgE
meningkat.

3. Individu dengan gejala klinis. Pada individu ini ditemukan respons Th1 yang tinggi, kadar IgE
yang lebih tinggi dari IgG4. Pada keadaan ini diduga aktivitas Treg rendah. Pada keadaan ini,
terjadi inflamasi kuat yang memicu keadaan patologi.

8.Bagaimana mekanisme dari system imun yang menyebabkan kemerahan dikaki serta batuk-batuk dan
batuk tersebut disebabkan oleh apa? Mekanisme terjadinya batuk(Lukman)

Patologi. Penetrasi kulit oleh larva filariform dari Necator americanus sering menyebabkan
dermatitis lokal, "tanah" atau "embun gatal," dengan edema, erytheme dan erupsi vesikular atau populer,
yang biasanya mereda secara spontan dalam waktu sekitar dua minggu kecuali infeksi bakteri sekunder
terjadi. Ancylostoma duodenale, tampaknya jauh lebih rentan untuk menghasilkan reaksi kulit. Sebagai
larva bermigrasi meninggalkan kapiler paru-paru dan menembus ke dalam alveoli, sehingga lesi
hemoragik di produksi tiap menit. Pada infeksi berat ini mungkin numerous dan bisa disertai dengan
infiltrasi sel bulat. Secara umum, reaksi paru seringkali tidak jelas secara klinis atau ringan.

REFERENCESS:
Febriyadi, A., Yolanda, R., Brahmana, E. M., Biologi, M., Keguruan, F., & Pengaraian, U. P.
(2015). Jenis-Jenis Cacing Nematoda Usus Yang Menginfeksi Siswa Madrasah
Ibtidaiyah Darul Ikhsaniah ( Mi ). Mi, 1–5.
Shanthi, D., Dewi, R., & Santa. (2016). Penuntun Praktikum Kimia klinik Urinalisis dan
cairan tubuh. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1–6.
Wijaya Norra Hendarni. (2015). Cacing Tambang Pada Petani Pembibitan Albasia (Studi
Kasus di Kecamatan Kemiri). 33–34.

Anda mungkin juga menyukai