Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asesmen & Intervensi Pendidikan
Dosen Pengampu :
Dr. Novi Qonitatin S.Psi., M.A.
Dr. Dra. Niken Fatimah Nurhayati, M.Pd.
Disusun Oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
Gambaran Kasus
Rio adalah siswa kelas 3 SD, tidak naik kelas dua kali. Di kelas Rio tidak bisa duduk
dan selalu meninggalkan meja. Ia senang berkeliling kelas dan selalu mengajak bicara dan
mengganggu teman-temannya. Prestasi di kelas tidak memuaskan. Ia adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Usia Rio 11 tahun. Adiknya kelas 2 SD dan usianya 8 tahun. Wali kelas
yang bersangkutan mengeluhkan tentang tulisannya yang jelek dan tidak ada orang lain yang
dapat membacanya. Rio sendiri bingung saat ia diminta untuk membaca tulisannya kembali.
Namun, jika guru memberi ujian lisan ia mampu menjawab pertanyaan tersebut. Sebenarnya
Rio bisa mengenal huruf, namun ketika ia harus merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat,
ia tidak mampu. Yang menjadi permasalahan adalah gurunya tidak mau memberinya ujian
lisan, melainkan ia dipaksa untuk menulis. Banyak PR menulis yang diberikan padanya,
namun Rio tidak dapat mengerjakannya. Di kelas Rio juga sebisa mungkin menghindari
tugas menulis dan sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya secara tuntas.
Identitas Subjek
Nama/Inisial : R
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Kelas 3 SD
A. RANCANGAN ASESMEN
1. Wawancara Klinis
a. Gejala atau Simptom yang dialami oleh subjek
Di kelas R tidak bisa duduk dan selalu meninggalkan meja. Ia senang
berkeliling kelas dan selalu mengajak bicara dan mengganggu teman-temannya.
Wali kelasnya mengeluhkan tentang tulisannya yang jelek dan tidak ada orang
lain yang dapat membacanya. Rio sendiri bingung saat ia diminta untuk
membaca tulisannya kembali. Namun jika guru memberi ujian lisan ia mampu
menjawab pertanyaan tersebut. Banyak PR menulis yang diberikan padanya,
namun Rio tidak dapat mengerjakannya. Di kelas Rio juga sebisa mungkin
menghindari tugas menulis dan sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan
kepadanya secara tuntas.
b. Hipotesis atas permasalahan subjek
Berdasarkan simptom dan gejala yang dialami oleh subjek diatas, maka
hipotesis atas permasalahan subjek yaitu subjek mengalami masalah gangguan
proses belajar yaitu disleksia atau kesulitan belajar menulis dalam hal menyusun
kata menjadi kalimat dan mengalami Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD).
c. Tinjauan teoritis terkait hipotesis tersebut
1) Definisi Disleksia
Disleksia merupakan suatu gangguan dimana penderitanya
mengalami masalah gangguan belajar spesifik. Menurut Budiani, Marhaeni,
& Putrayasa (2018) disleksia adalah suatu gangguan proses belajar dimana
seseorang mengalami kesulitan membaca, menulis atau mengeja dengan kata
lain, disleksia ini tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tingkat
kecerdasan seseorang.
2) Faktor Penyebab Disleksia
Menurut Endang dalam Budiani, Marhaeni, & Putrayasa (2018)
disleksia yaitu suatu alternatif istilah untuk menunjukkan pola kesulitan
belajar dengan karakteristik adanya masalah rekognisi dan akurasi kiri lebih
besar sedangkan penderita disleksia memiliki belahan otak yang simetris,
dengan kata lain yaitu penderita disleksia ini memiliki belahan otak kanan
yang lebih besar daripada otak kanan manusia pada umumnya, serta belahan
otak kiri yang lebih kecil daripada manusia pada umumnya. Bagian otak kiri
berkaitan dengan urutan, cara berpikir linier, dan kemampuan berbahasa.
Dengan ukuran sisi kiri yang lebih kecil daripada manusia normal maka
dengan sendirinya area bahasa penderita disleksia berbeda pula. Inilah yang
membuat kemampuan mereka memproses informasi linguistik/bahasa jadi
berbeda.
3) Ciri-Ciri Disleksia
Tanda-tanda disleksia tidaklah terlalu sulit apabila para orang tua dan
guru memperhatikan mereka secara cermat. Anak yang menderita disleksia
apabila diberi sebuah buku yang tidak akrab dengan mereka, mereka akan
membuat cerita berdasarkan gambar-gambar yang ada di buku tersebut yang
mana antara gambar dan ceritanya tidak memiliki keterkaitan sedikitpun.
Anak yang mengidap disleksia mengalami ketidakmampuan dalam
membedakan dan memisahkan bunyi dari kata-kata yang diucapkan Selain
itu anak yang mengidap disleksia memiliki kesulitan dalam permainan yang
mengucapkan bunyi-bunyi yang mirip, seperti salah mengucap “cat” dan
“bat”. Berikut akan diberikan ciri-ciri anak disleksia (Le Fanu, 2006), yaitu:
a) Membaca dengan amat lamban dan terkesan tidak yakin atas apa yang ia
ucapkan.
b) Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang
beranjak dari satu teks ke teks berikutnya.
c) Melewatkan beberapa suku kata, frasa atau bahkan baris-baris dalam
teks.
d) Menambahkan kata-kata atau frasa-frasa yang tidak ada dalam teks yang
dibaca.
e) Membolak-balik susunan huruf atau suku kata dengan memasukkan
huruf-huruf lain.
f) Salah melafalkan kata-kata dengan kata lainnya, sekalipun kata yang
diganti tidak memiliki arti yang penting dalam teks yang dibaca.
g) Membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti.
h) Mengabaikan tanda-tanda baca.
2) Wawancara
Wawancara adalah sebuah kegiatan tanya jawab secara lisan untuk
memperoleh informasi. Wawancara dilakukan pada penelitian ini untuk
mendapatkan data lebih mendalam mengenai masalah yang dihadapi oleh
subjek. Wawancara dipilih sebagai metode pada penelitian ini karena untuk
mendapatkan data yang lebih mendalam mengenai subjek. Yang nantinya
data tersebut sangat berguna dalam penyusunan asesmen ataupun intervensi
sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh subjek.
Tujuan dari wawancara yang akan dilakukan adalah untuk menggali
informasi yang lebih mendalam terhadap kondisi dan permasalahan yang
dialami oleh subjek. Wawancara juga dilakukan pada guru untuk menggali
keadaan subjek ketika mengikuti pembelajaran di sekolah. Dan juga
wawancara dilakukan pada orang tua subjek untuk mengetahui keadaan
subjek selama dirumah.
Panduan Wawancara (Interview Guide)
a) Wawancara dengan subjek
● Perkenalkan diri ya, adik namanya siapa?
● Boleh diceritakan kegiatan adik seperti apa?
● Boleh diceritakan kenapa adik merasa kesulitan dalam mengikuti
pembelajaran di sekolah?
● Bagaimana teman-teman adik di sekolah?
● Bagaimana guru adik membantu adik belajar di sekolah?
● Ayah ibu suka bantu adik untuk belajar atau tidak?
● Apa adik punya teman di sekolah?
● Ketika berada di kelas, pelajaran apa yang adik sukai? Tolong
beritahu alasannya, ya.
● Menurut adik, mata pelajaran apa yang sulit adik pahami? Kenapa?
b) Wawancara dengan guru
● Bagaimana anda mendeskripsikan subjek R?
● Menurut anda, adakah yang membedakan R dengan teman
sebayanya? Ceritakan.
● Bisakah anda ceritakan, bagaimana subjek R mengikuti
pembelajaran di sekolah?
● Pertanyaan seperti apa yang biasanya tidak bisa dijawab oleh subjek
R?
● Apa mata pelajaran yang sulit diikuti R? Ceritakan.
c) Wawancara dengan orang tua
● Bagaimana keseharian R saat di rumah? Tolong ceritakan
● Apakah R pernah diperiksa oleh dokter atau profesional?
● Apakah subjek R memiliki saudara atau teman bermain saat di
rumah?
● Bagaimana teman sebaya R memperlakukan subjek R?
● Menurut anda, bagaimana kondisi R di sekolah?
● Ketika mengerjakan PR, apa kesulitan R?
3) Tes Psikologi
Pada kasus ini, peneliti menggunakan tes psikologi yaitu tes WISC.
Tujuan digunakannya tes psikologi ini adalah untuk melihat dan menemukan
skor IQ yang dimiliki oleh R, dan juga hasil dari tes psikologi ini dapat
digunakan untuk membuat diagnosis.
a) Tes CPM
Colours Progressive Matrices (CPM) merupakan tes untuk
mengukur tingkat intelegensi umum pada anak dengan usia 5-11 tahun
yang dapat digunakan pada anak dengan kategori normal dan
abnormal. Tes ini dinilai mampu untuk mendeskripsikan kemampuan
abstrak dan pemahaman non verbal dari subjek (Hormansyah dan
Karmiyati, 2020). Tes CPM berisikan 36 item/gambar dan dibagi
menjadi 3 kelompok, yakni set A, set B, dan set AB yang berisikan 12
item pada masing-masing kelompok.
b) ADHD Rating Scale
ADHD rating scale bertujuan untuk screening dan menilai
perilaku anak ADHD. Skala ini berisi 18 aitem pernyataan berdasarkan
9 kriteria hiperaktif-impulsif dan 9 kriteria inatensi. Dikarenakan
subjek tidak dapat menulis dan membaca, maka terapis membantu
untuk membacakan pernyataan-pernyataan dari skala tersebut dan diisi
sesuai jawaban dari subjek (Hormansyah dan Karmiyati, 2020).
c) WISC
Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) merupakan
tes inteligensi yang dikembangkan oleh David Wechsler. WISC adalah
tes inteligensi yang dapat digunakan untuk anak usia 5 tahun 0 bulan
hingga 15 tahun 11 bulan. WISC juga telah mengalami perkembangan
selama ini, perkembangannya yaitu :
- 1950 W-B II direvisi menjadi WISC
- 1974 direvisi menjadi WISC-R
- 1991 direvisi menjadi WISC III
- 2003 direvisi menjadi WISC IV.
WISC termasuk kedalam tes individual. WISC juga telah
digunakan dan dikembangkan di AS sejak tahun 1944 oleh David
Wechsler. Pada tahun 1978, URDAT Fak. Psikologi UI menerbitkan
manual WISC adaptasi yang terdiri dari 12 subtes dan 2 kategori tes
yaitu Verbal dan performance/ Nonverbal. WISC terdiri atas 12 subtes
yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila
diperlukan penggantian subtes. Untuk melakukan tes WISC
dibutuhkan perlengkapan yaitu, satu paket WISC (Buku panduan,
lembar jawab dan alat tes), stopwatch, alat tulis (minimal 2 pensil)
serta kertas kosong. Berikut ini adalah subtes yang dilakukan pada
WISC adalah :
i) Verbal Test
- Information (informasi)
- Comprehension (pengertian)
- Arithmetic (hitungan)
- Similarities (persamaan)
- Vocabulary (perbendaharaan kata)
- (Digit Span/Rentang Angka)
ii) Performance Test
- Picture Completion (melengkapi gambar)
- Picture Arrangement (mengatur gambar)
- Block Design (rancangan balok)
- Object Assembly (merakit objek)
- Coding (simbol)
- (Mazes)
C. Integrasi Data
Menurut hasil asesmen, hipotesis yang telah ditetapkan sebelumnya ternyata
sesuai dengan keadaan yang dialami oleh subjek. Subjek benar mengalami disleksia atau
kesulitan dalam belajar. Intervensi yang dapat dilakukan kepada subjek yaitu play
therapy yang dikombinasikan menggunakan metode reinforcement token economy,
remedial dan tutoring kepada subjek langsung.
D. Sasaran Laporan Asesmen
Laporan ini ditujukan untuk pihak yang berhubungan dengan subjek, seperti
keluarga maupun pihak sekolah. Alasannya adalah agar pihak keluarga dari subjek dapat
mengetahui kondisi dan permasalahan yang sedang dialami oleh subjek baik itu dari segi
akademik maupun sosialnya, sehingga pihak keluarga dapat membantu subjek dalam
mengatasi permasalahannya. Pihak sekolah juga diberikan laporan hasil asesmen dari
subjek dikarenakan subjek memiliki penurunan prestasi yang disebabkan oleh
permasalahan fisik dan psikologis, sehingga diharapkan pihak sekolah dapat mengerti
keadaan subjek.
RANCANGAN INTERVENSI DAN MEDIA PSIKOEDUKASI
A. Intervensi
Intervensi yang cocok dilakukan untuk mengatasi permasalahan gangguan
proses belajar disleksia atau kesulitan belajar menulis dalam hal menyusun kata
menjadi kalimat yang dialami oleh subjek yaitu melalui play therapy, remedial dan
tutoring. Menurut Nawangsih (2014), Play therapy merupakan suatu teori yang
dibangun berdasarkan pondasi teoritik yang sistematis. Play therapy sendiri disusun
berdasarkan kerangka teoritis psikologi dan konseling, seperti Psikoanalisa, Client
Centered, Cognitive behavior, Adlerian, Gestalt, dll. Selain itu, play therapy juga
menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien yang
memerlukan bantuan. Tujuannya yaitu untuk mencegah dan mengatasi persoalan
psikis serta membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan
tugas perkembangannya yang optimal.
Nawangsih (2014) juga menjelaskan bahwa konsep dasar dalam play therapy
ini diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Bermain merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam memahami
dunia anak-anak.
2. Aspek perkembangan dalam kegiatan bermain merupakan cara dalam
menemukan dan mengeksplorasi identitas diri subjek.
3. Permainan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna sebagai
kegiatan fisik sekaligus sebagai terapi.
4. Anak dapat melakukan eksperimen dengan pilihan imajinatif dan terhindar
dari konsekuensi seperti saat di dunia nyata.
Selain itu, play therapy juga dapat didefinisikan sebagai bahasa simbolik anak
yang bersifat alami yang guna menyatakan emosi dalam pengalaman sehari-hari yang
dapat digunakan sebagai proses penyembuhan diri anak. Tedjasaputra dalam Saadah
dan Hidayah (2013) menjelaskan bahwa bermain dapat digunakan sebagai media
psikoterapi terhadap anak, karena dengan bermain perilaku anak akan bebas, hal ini
dapat membantu anak atau murid dalam mengatasi kesulitan pada masalah belajar.
B. Teori Intervensi
1. Play Therapy dengan kombinasi Token Economy
Terdapat beberapa karakter atau kebiasaan pada anak yang mengalami
gangguan belajar membaca atau disleksia, yaitu seperti kesulitan dalam
mengenali atau membedakan huruf, penyimpangan dalam membaca, adanya
penghilangan huruf dalam kata, membaca dengan kecepatan yang cukup
lambat, serta keterbatasan dalam memori jangka pendek dalam membedakan
arah (Saadah dan Hidayah, 2013).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan terdapat beberapa media
play therapy yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan proses belajar
disleksia, yaitu:
a. Membuat kartu bingo yang digunakan ketika belajar, kartu bingo dapat
berupa kosa kata. Dimana anak dibantu untuk menyebutkan kosa kata
yang tertulis pada kartu “bingo”.
b. Membuat potongan-potongan puzzle
c. Magnet huruf yang digunakan untuk menyusun kata, kalimat dan puisi
di atas papan.
d. Bermain games (seperti Hangman, Scrabble, Boggle) untuk
meningkatkan kemampuan mengeja dan membaca anak.
e. Memilih huruf, dimana anak membuat kosakata sesuai dengan huruf
pertama yang dipilih.
f. Membuat kartu memory game, anak diminta membuat beberapa kata
dan mencocokkannya sesuai dengan kategori.
Metode token economy juga diterapkan pada saat play therapy dengan
cara memberikan reward stiker bintang per sesinya untuk dapat ditukarkan
menjadi benda yang subjek sukai, contohnya dengan memberikan permen,
roti, mainan dan sebagainya apabila subjek dapat mengikuti perintah yang
diberikan oleh terapis. Setiap kali terapis meminta subjek untuk menyebutkan
kata atau kalimat dengan jelas dan subjek dapat mengikutinya dengan baik,
subjek akan diberikan stiker bintang sebagai reward. Apabila subjek tidak
dapat mengikutinya, subjek tidak akan diberikan reward. Reward disini
berfungsi sebagai hal untuk menarik subjek agar subjek mau dan tertarik untuk
mengikuti kegiatan intervensi yang telah dirancang per sesinya. Stiker bintang
tadi dapat dikumpulkan dan ditukarkan menjadi barang yang disukai oleh
subjek. Menurut Widihapsari dan Yoenanto (2021), penggunaan reinforcement
berbentuk token economy sebagai intervensi dapat membuat subjek dengan
kondisi ADHD mempertahankan perhatiannya saat mengerjakan tugas-tugas
di sekolah yang telah diberikan oleh gurunya. Peran orang tua atau pihak wali
dari subjek memiliki peranan penting dalam meningkatkan durasi perilaku
on-task dan kinerja akademik dari subjek.
2. Remedial
Remedial merupakan usaha perbaikan yang dilakukan pada fungsi
belajar yang terhambat. Perbaikan pengajaran sebaiknya dilakukan secara
individual dan mengandung makna timbal balik, untuk siswa dan guru. Dalam
program remedial (perbaikan belajar mengajar) sebaiknya mengikuti prosedur
sebagai berikut :
a. Analisis diagnosis
b. Menentukan bidang yang perlu mendapatkan perbaikan
c. Menyusun program perbaikan
d. Melaksanakan program perbaikan
e. Dan menilai perbaikan belajar-mengajar yang telah diterapkan.
Biasanya program remedial dapat diberi sedini mungkin pada anak
usia prasekolah, yang dalam hal ini sedang mengalami proses perkembangan
motorik dan perseptual.
3. Tutoring
Merupakan bantuan yang diberikan langsung pada bidang studi yang
terhambat dari siswa yang sudah duduk dibangku sekolah. Cara ini lebih cepat
karena tanpa melalui perbaikan proses dasarnya terlebih dahulu, dengan tujuan
mengejar ketinggalan di kelas. Tapi sebaiknya intervensi yang paling ideal dan
menyeluruh akan mencakup kedua program (remedial dan tutoring).
C. Tahapan Intervensi
1. Pra intervensi
Tahap awal intervensi merupakan tahap persiapan, dimana setelah
melakukan asesmen berupa observasi, wawancara, dan tes psikologi untuk
mengumpulkan data, peneliti membaca literatur mengenai analisis kasus
individu. Pada kasus ini berdasarkan simptom dan gejala yang dialami subjek
yaitu subjek mengalami permasalahan dalam menulis dan menyelesaikan
tugas. Setelah itu, peneliti membuat rancangan program intervensi yang sesuai
dengan tema atau permasalahan penelitian yang dibuat hanya berbentuk
gambaran kasarnya saja.
2. Proses intervensi
Intervensi pertama dilakukan dengan konseling. Konseling dilakukan
untuk mengetahui masalah yang terjadi pada klien secara rinci dan membuat
hipotesis permasalahan. Setelah hal-hal di atas selesai dilakukan, peneliti
membuat jadwal dengan subjek penelitian untuk melaksanakan intervensi
yang tentunya dilakukan setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Setelah konseling dilakukan dan hipotesis permasalahan ditemukan,
ternyata subjek R mengalami disleksia atau kesulitan menulis. Maka dari itu
akan dilakukan intervensi lanjutan berupa Play Therapy, Remedial dan
Tutoring.
Intervensi dalam penelitian ini dirancang dalam 2-4 kali pertemuan.
Untuk waktu tiap pertemuan yaitu meliputi 30-60 menit. Dalam proses
intervensi ini, apabila dalam pertemuan yang telah dilaksanakan subjek belum
juga mengalami perubahan maka akan direncanakan kembali untuk jadwal
terapi lanjutan.
3. Pasca intervensi
Pada tahapan ini, peneliti akan melakukan evaluasi terhadap intervensi
yang telah dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan dilihat berdasarkan:
a) Kemampuan subjek dalam mengatasi permasalahannya.
b) Hasil konseling tiap sesi pada subjek.
c) Perubahan yang dialami oleh subjek setelah proses intervensi selesai
D. MEDIA PSIKOEDUKASI
- Psikoedukasi yang disusun peneliti berbentuk poster infografis yang nantinya
akan disebarluaskan melalui media sosial
- Psikoedukasi tersebut ditujukan untuk masyarakat umum yang memiliki anak
atau anggota keluarga dengan disleksia
- Tujuan pembuatan psikoedukasi ini yaitu sebagai media informasi, wawasan dan
juga pengetahuan mengenai disleksia serta bagaimana langkah yang bisa
dilakukan oleh pihak keluarga maupun orang disekitarnya dalam menghadapi
anak dengan disleksia.
- Bentuk visual psikoedukasi :
DAFTAR PUSTAKA
Budiani, L., Marhaeni, A. A. I. N., & Putrayasa, I. B. (2018). Kesulitan membaca kata anak
disleksia usia 7-12 tahun di sekolah SDN 1 Sangsit Kecamatan Sawan Kabupaten
Buleleng Bali. PENDASI: Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia, 2(2), 84-89.
Hormansyah, R. D., Karmiyati, D. (2020). Play therapy untuk meningkatkan atensi pada anak
ADHD. PROCEDIA, 8(2), 55-64.
Sa’adati, T. I. (2015). Intervensi sikologis pada siswa dengan kesulitan belajar (Disleksia,
Disgrafia, dan Diskalkulia). JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan
Teknologi, 13(1), 1-12.
Widihapsari, I. A. G. K., & Yoenanto, N. H. (2021). Aplikasi teknik shaping dan token
ekonomi untuk meningkatkan durasi perilaku on-task pada anak dengan ADHD:
The application of shaping technique and token economy to increase on-task
behavior in a child with ADHD. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 12(1), 64-80.