Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE


Oleh:
Abdul malik
Jauhari Aif Aini 212
Sulis Nuryanto

Tugas : AIK
Dosen : Wasito, S.E., M.M

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) MUHAMMADIYAH

Jl. Gajahmada No. 11 TUBAN


TAHUN 2019
Kata Pengantar

Puji suyukur mari kita haturkan kepada allah Swt. Yang telah
melimpahkan karunia, hidayah serta inayahnya sehingga kami masih diberikan
kesempatan, kenikmatan, kemauan, dan kesehatan. Sehingga kita masih bias
menjalankan aktivitas kita dengan sehat wal afiat tanpa kekurangan sedikitpun.
Serta diberikan kemauan dan kekuatan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
“AIK” dengan tepat waktu. Untuk memenuhi tugas studi semester satu.

Sholawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada nabiyullah


Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan
yang terang benderang , untuk itu marilah kita syukuri dan manfaatkan
kenikmatan yang sangat besar ini dengan semakin mendekatkan diri kita kepada
allah Swt. Mari kita menengok kebelakang kita mengheningkan cipta untuk
mengingat jasa pahlawan yang telah rela mengorbankan jiwa mereka demi
kemerdekaan islam. Bayangkan saja yang mana kita untuk beribadah saja pada
zanam rosulullah nyawa sebagai taruhannya , sedangkan kita sekarang hidup
dizaman serba kemudahan tanpa ancaman. Kita beribadah shalat,zakat,puasa,
tidak ada yang melarang, tidak ada yang mengancam. Namun kita kebanyakan lalai
dengan semua ini. Marilah kita jadikan kenikmatn yang sangat besar ini kita
jadikan sebagai lading kita untuk mencari pahalanya allah Swt. Agar kita kelak
dapat masuk syurgnya allah. Aamiin…. Yaitu dengan cara menjauhi segala yang
dilarang oleh allah dan melaksanakan apa yang telah diperintahkannya melalui
kabar dari al-qur’an dan As-sunnah, serta mengikuti apa yang telah ditutunkan
oleh nabi Muhammad melalui hadist-hadistnya.

Tuban……………………………2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

A. LATAR BELAKANG ...................................................................... i


B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................ii

BAB II PEMBAHASAN

A. ISLAM SEBAGAI WAY OF LIIFE


1. PENGERTIAN, TUJUAN, FUNGSI ISLAM .............................
2. SUMBER AJARAN ILAM ........................................................
3. RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM .....................................
4. KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM .....................................

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN...............................................................................
BAB I

A. LATAR BELAKANG

Apakah kita pernah pertanya dan berpikir tentang diri kita, ataukah kita malah
sebaliknya, kita tidak pernah peduli akan nasib yang akan menimpa diri kita di masa
yang akan datang.

Seirama dengan berjalannya waktu, maka kedewasaan pun akan semakin


bertambah. Begitu juga dengan sisi positip & negatip yang ada disekeliling kita, ini
akan menjadi bumbu-bumbu kehidupan dalam perjalanan kita. Disadari atau tidak
bahwa sesunguhnya yang mendewasakan diri kita adalah diri kita sendiri dalam
bersikap menghadapi cobaan dan problematika yang ada.

Nah untuk itu diperlukan sebuah pondasi yang kokoh untuk mengkonter sisi
negatip/prolematika dalam kehidupan, salah satu yang mendasarinya adalah ilmu dan
pengalaman. Ilmu sebagai pengetahuan dan pengalaman sebagai tolak ukur dalam
mengambil langkah atau tindakan.

Ada pepatah mengatakan: “Semakin tinggi pohon kelapa, maka semakin


kencang pula angin yang menerpa”. Jika pohon tersebut akarnya kuat, maka semakin
kuat pula ia bertahan. Tapi sebaliknya, jika akarnya tidak kuat, maka angin pun akan
semakin mudah untuk menjatuhkan.

Begitupun dengan karakter seseorang, bilamana imannya kuat, maka cobaan


dan godaan apa pun yang menerpanya tidak akan bisa merubah hatinya, maka kita
sebagai umat islam harus tetap berpegang taguh pada norma-norma agama. Ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surah Ali-Imran ayat 103.

"Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah,"

Karena agama sebagai nilai dasar/asas dan juga sebagai aturan hidup umat
manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, maka agama jangan
hanya dijadikan sebagai nilai spiritual saja, tapi juga diamalkan atau diaplikasikan
dalam rutinitas kehidupan sehari-hari.

Bagi umat islam agama adalah dasar (pondasi) utama dari keharusan
berlangsungnya pendidikan karena ajaran-ajaran islam yang berifat universal
mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik
yang bersifat ubbudiyah (mengatur hubungan manusia dengan tuhannya), maupun
yang bersifat muamalah (mengatur hubungan manusian dengan sesamanya). Adapun
dasar-dasar dari pendidikan islam adalah

a. Al-qur’an
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang diungkapkan oleh subhi
saleh, al-Qur’an berarti bacaan, yang merupakan kata turunan (masdhar) dari
fi’il madhi qara’a dari arti ism al-maful yaitu maqru’ yang artinya dibaca.
“bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah
menciptakan manusia dsri segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmulah yang
maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam, dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S al-Aalaq: 1-5).
Ayat tersebut merupakan perintah kepada manusia untuk belajar dalam
meningkatkan ilmu pengetahuan dan kemampuannya termasuk didalam
mempelajari, mengenali, dan mengamalkan ajaran-ajaran yang ada dalam
islam itu Sendiri yang mengandung aspek- aspek kehidupan manusia.
Dengan demikian islam sebagai dasar utama dari pendidikan islam.

b. As-sunnah
Setelah alQur’an dasar dalam pendidikan islam adalah as-sunnah, as-
sunnah merupakan perkataan, perbuatan atau pengakuan Rosulullah,
yang dimaksud dalam pengakuan itu adalah perbuatan orang lain yang
diketahui Rosulullah dan beliau membiarkan saja kegiatan itu berjalan.
Sunnah merupakan sumber kedua setelah alQur’an, sunnah juga berisi
tentang akidah, syari’ah, dan berisi tentang pedoman untuk
kemasalahatan hidup manusia seutuhnya.

B. RUMUSAN MASALAH
ISLAM SEBAGAI WAW OF LIIFE

1. Apa pengertian, tujuan, fungsi islam


2. Apa sumber ajaran ilam
3. Apa ruang lingkup ajaran islam
4. Apa karakteristik ajaran islam
BAB II

ISLAM SEBAGAI WAY OF LIFE


1. Pengertian, tujuan, dan fungsi islam

Pengertian islam

“SETIAP anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi,” demikian kutip sebuah hadits yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim

Fitrah Allah  maksudnya ciptaan Allah. Sebab manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal
itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada
kekafiran adalah susulan.

Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah SWT dan Rasulullah SAW diatas 
menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi,
Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang
melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu.

Al-Quran mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama


Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus (dinul qayyim), tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30) : 3).

Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah SWT. Ketika
lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga
kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai
tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan
meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al Araf (7) : 172).

Berpaling dari Islam adalah menyiksa dirinya sendiri. Karena ia melempar dimensi
spiritual di dalam dirinya. Maka kehidupan manusia akan mengalami kehampaan (krisis
makna). Apa yang diburu dan dimilikinya tidak menambah kebaikan dirinya, keluarganya
dan lingkungan sosialnya (tidak barakah).

Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan
spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita
menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang
tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar,
popularitas, tetapi tidak ditemani oleh Islam akan membuat kita kecewa seumur hidup.
Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan,
kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan
kebahagiaan kita.
Berbeda dengan dunya (sesuatu yang dekat), mata’ (kepuasaan sesaat), nikmat dinul
Islam hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya banyak sekali
orang yang menyatakan dirinya secara formal memeluk Islam, tetapi dalam realitas
kehidupannya ada yang merasa tidak nyaman dengan atribut keislaman. Bahkan Islam
yang indah dan mulia tersebut disalahpahami. Dahulu Islam ditambah-tambah. Kemudian
Islam dikurangi. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hudud (hukum pidana). Sekarang ini
Islam diberi embel-embel lain. Islam radikal, Islam moderat dll. Islam masih dipandang
belum sempurna. Sehingga memerlukan pengurangan dan penambahan, sehingga dia
tidak merasa at home untuk memakainya.

Tujuan islam

Tujuan agama islam adalah sebagaimana namanya islam yang juga berasal dari kata
salam yang berarti kesejahteraan atau keselamatan begitu juga islam.Tujuannya adalah
memberikan keselamatan atau kesejahteraan di dunia sampai di akhirat bagi
umatnya.Islam juga bertujuan sebagai jalan kehidupan di dunia sampai ke akhirat bagi
umatnya.

Fungsi islam
Agama Islam, hakikatnya, adalah sistem keyakinan dan prinsip-prinsip hukum serta
petunjuk prilaku manusia, yang didasarkan pada al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad ulama
dalam rangka menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Berdasarkan hal ini, Islam,
paling tidak,mempunyai empat fungsi agama, berikut ini:

Pertama, Islam berfungsi sebagai tuntunan bagi manusia agar memiliki al-akhlāq
al-karīmah (perangai yang mulia dan terpuji). Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
sayadiutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq mulia.” Al-akhlāq al-karīmah harus
kitalakukan, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan
sesamamanusia dan alam di sekeliling kita. Al-Qur’an dan Hadis serta hasil ijtihad para
ulamamemberikan tuntunan kepada kita bagaimana kita melaksanakan ‘ibādah maḥḍah
(ibadahmurni), seperti shalat, puasa dan haji, secara baik dan benar. Ketiga sumber Islam
ini jugamengajarkan bagaimana kita dapat berinteraksi sosial dengan santun dan beradab.
Dengandemikian, apabila ada satu pandangan keagamaan atau tindakan tertentu yang
cenderungmeninggalkan/mengenyampingkan unsur al-akhlāq al-karīmah, seperti
kekerasan,pemaksaan kehendak, dan ujaran kebencian, maka kita bisa memastikan bahwa
pandanganatau tindakan tersebut bukanlah dari Islam, melainkan merupakan
kesalahpahaman terhadapajaran Islam.

Kedua, agama Islam itu berfungsi sebagai jalan untuk mengapai


kemaslahatan,ketenangan dan kedamaian serta keselamatan, baik di dunia maupun di
akhirat. Semua ajaranIslam bertujuan untuk menciptakan kondisi dan situasi semacam itu.
Tak satupun ajaran dariIslam, baik perintah maupun larangan, yang bertujuan untuk
menciptakan kerusakan di mukabumi ini atau kesengsaraan di akhirat nanti. Allah SWT
berfirman: “Dan janganlah kamumembuat kerusakan di muka bumi ini setelah Allah
memperbaikinya ...” (Q.S. al-A‘raf: 56).Ada banyak ayat lain dan hadis Nabi Saw yang
memerintahkan kita untuk menjaga jiwa,kehormatan dan harta kita dan orang lain dari
bahaya apapupun bentuknya.

Ketiga, Islam mengandung ajaran-ajaran yang moderat, seimbang dan lurus, atau
al-dīn al-qayyim. Islam menyeimbangkan anatara urusan dunia dan akhirat. Allah
berfirman:“Dan carilah pada apa-apa yang dianugerahkan oleh Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeriakhirat, dan dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dalam
(kenikmatan) dunia ... (Q.S.1al-Qashash: 77). Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa
suatu ketika sekumpulan orangdari kalangan Sahabat Nabi berkunjung ke rumah-rumah
istri Nabi Muhammad Saw untukbertanya tentang ibadah Nabi. Setelah mendengar
jawaban tentang hal ini, salah seorang darimereka lalu mengatakan: “Saya akan shalat
tahajjud sepanjang malam.” Yang lainmeangatakan: “Saya akan berpuasa setiap hari
sepanjang tahun.” Yang lain lagi mengatakan:“Saya akan menjauhi wanita, tidak akan
menikah, dan akan menghabiskan hidup saya untukberibadah.” Mendengar perkataan-
perkataan mereka itu, Nabi Muhammad Saw bersabda:“Kalian telah mengatakan begini
dan begitu. Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya saya adalahorang paling takut kepada
Allah dan orang yang paling bertakwa kepada-Nya, tetapi sayaberpuasa dan berbuka,
saya shalat malam tetapi juga tidur, dan saya menikahi wanita-wanita.Barang siapa yang
tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (H.R. al-Bukhari dan
Muslim). Berdasarkan sifatnya yang moderat ini, Islam tidak mengajarkan sikapekstrem
dalam bentuk dan dalam bidang apapun. Seandainya ada pandangan keagamaan
yangmengarahkan kita untuk bersikap ekstrem dan radikal, baik dalam hal ritual
keagamaan,ekonomi, politik dan lain sebagainya, maka kita harus mewaspadainya, dan
karena itu, kitatidak perlu mengikutinya.

Keempat, agama mestinya berfungsi sebagai pemersatu umat yang berbeda-beda,


baikdari segi keagamaan, suku dan adat istiadat, karena agama mengajarkan
bagaimanaberprilaku dan bersikap secara baik terhadap orang-orang yang berbeda-beda
itu.Pemersatuan umat-umat yang beragam ini telah dipraktekkan oleh Nabi segera
setelahmemasuki Kota Madinah pada tahun 622 H. dengan membuat Piagam Madinah
yangmempersatukan umat Islam secara internal dan antara umat Islam dan umat-umat
lain yangada di sana, khususnya Yahudi dan Nasrani. Atas dasar hal tersebut, apabila ada
pandangan, sikap dan prilaku seseorang yang cenderung memecah belah umat dan
bahkan menimbulkan konflik horisontal, maka kita harus bersikap waspada dan tidak
perlu kita ikuti, karena agamatidak mengajarkan hal tersebut.

2. Sumber Ajaran Islam


a. Al-Qur’an

Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana


firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika
Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”. Al-Quran adalah
kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi
pekerti (akhlak). Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan
terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran membenarkan
Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya.“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang
ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S.
10:37). “Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang
benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).Al-Quran dalam wujud
sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama
kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa
Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang
diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf
Utsmani.

b. Al-hadist/ as-sunnah

Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau
"kebiasaan" (traditions). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan
penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah
persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.Kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi
Muhammad Saw.“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga
mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan
dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).“Apa yang diberikan Rasul
(Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah”
(Q.S. 59:7).“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-
Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).“Berpegangteguhlah kalian
kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu
Daud).Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-
Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara
tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh
langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar”
sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga
bacaan tahiyat dan salam.Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang
para sahabatnya menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar
ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh
Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.

c.Ijtihad

Al-Qur‟an dan al-Sunnah sebagaimana disebutkan sebelumnya merupakan sumber


utama (primer) ajaran Islam. Adapun pemikiran (ijtihad) merupakan sumber sekunder
yang dapat digunakanketika dalil yang dibutuhkan untuk menetapkan suatu hukum tidak
terdapat di dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah tersebut,yaitu ketetapan hukum yang bersifat
dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, seperti masalah sosial,
ekonomi, politik, budaya dan ilmupengetahuan.

Seperti dalam kasus pengangkatan Muadz ibn Jabal sebagai hakim di Yaman yang
diawali dengan dialog dengan Nabi tentang cara memutuskan hukum adalah tonggak
awal dasar pemakaian ijtihad di bidang hukum, sebagaimana tertulis di dalam hadis
berikut:“Bahwa tatkala Rasulullah akan mengutus Mu‟adz ke Yaman, Rasul bersabda:
Bagaimana engkau memutuskan hukum jika dihadapkan padamu suatu perkara? Mu‟adz
berkata: Akan aku putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Qur‟an).Rasul bersabda: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya? Mu‟adz berkata: Akan aku putusakan
berdasarkan sunnah Rasulallah.Rasul bersabda: jika kamu tidak menemukan di dalam
keduanya (al-Qur‟an dan as-Sunnah)? Mu‟adz berkata: Aku akan berijtihaddengan
pikiranku, tanpa mempersempit. Maka Rasulullah menepuk dada Mu‟adz sambil
bersabda: segala puji bagiAllah yang memberi taufiq bagi utusan Rasul-Nya pada apa
yang diridhahi Rasul-Nya.”
Setelah peristiwa ini, ijtihad pun kemudian menjadi sumber hukum ketiga sesudah al-
Qur‟an dan al-Sunnah.Di dalam Lisan al-„Arabkata al-ijtihadsecara bahasa berasal dari
kata al-jahdyang berarti al-Thaqahyang mempunyai arti upaya sungguh-sungguh.Bentuk
kata (‫اد‬RRR‫ )اجته‬bersepadan dengan kata (‫ال‬RR‫ )افتع‬yang menunjukan arti keadaanlebih
(mubalaghah) atau maksimal dalam suatu tindakan atau perbuatan. Bentuk kata masdar-
nya ada dua bentuk yang berbeda artinya:1.Jahdun(‫ )جهد‬dengan arti kesungguhanatau
sepenuh hati atau serius. Contohnya firman Allah Mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan segala kesungguhan.”(QS. al-An‟am (6): 109).2.Juhdun(‫)جهد‬dengan arti
kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat, dan susah.
Contohnya firman Allah SWT: “Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu
menghina mereka.”(QS. At-Taubah (9): 79).34Jadi, secara bahasa,ijtihadadalah berusaha
atau berupaya dengan sungguh-sungguh. Perkataan ini tentu saja tidak akan dipergunakan
di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan kebenaran.Sedangkandalam
pengertian terminologinya, dapat dikutipkan dari beberapa pendapat, antara lain: Menurut
Al-Ghazali (w. 505 H), ijtihadadalah pengerahan kemampuan oleh mujtahid untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar‟a.Menurut al-Syaukuni dalam
kitabnya Irsyad al-Fukuhul, ijtihadadalah mengerahkan kemampuan dalam
memperolehhukum syar‟i yang bersifat amali melalui cara istinbath. Menurut Ibnu
Subkhi, ijtihadadalah pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan
kuat tentang hukum syar‟i.Al-Amidi memberikan definisi ijtihad sebagaipengerahan
kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang hukum syara‟ dalam bentuk yang
merasa dirinya tidak mampu berbuat seperti itu.Dari beberapa definisi di atas dapat
diambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut:

1.Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal

2.Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang
keilmuan disebut faqih

3.Produk atau usaha yang diperolehdari ijtihad itu adalah dugaan kuat tentang hukum
syara‟ yang bersifat amaliah

4.Usaha ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath

3. Ruang Lingkup Ajaran Islam

Islam sebagai agama dan objek kajian akademik memiliki cakupan dan ruang
lingkup yang luas. Secara garis besar, Islam memiliki sejumlah ruang lingkup
yang saling terkait, yaitu lingkup keyakinan (aqidah), lingkup norma (syariat),
muamalat, dan perilaku (akhlak/ behavior)

Pembahasan berikut ini memberikan elaborasi seputar tiga ruang lingkup


pembahasan tentang Islam.

1.Aqidah (Iman)

Secara bahasa, kata aqidahmengandung beberapa arti, diantaranya


adalah: ikatan, janji.Sedangkan secara terminologi, aqidahadalah kepercayaan
yang dianut oleh orang-orang yang beragama atau tali yang mengokohkan
hubungan manusia dengan Tuhan. Menurut W. Montgomery Watt, seorang pakar
study Arab dan keislaman mengatakan aqidah sebagai salah satu istilah dalam
Islam mengalami perkembangan dalam penggunaannya. Pada permulaan Islam,
aqidahbelum digunakan untuk menyebut pokok kepercayaan umat Islam yang
bersumber dari syahadat, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Istilah
aqidahbaru disebut-sebut dalam diskusi para mutakallimun, ulama ilmu kalam,
yang membicarakan secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung
dalam prinsip syahadatain, dua kesaksian, tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad itu utusan Allah, yang kemudian bermuara pada munculnya
beberapa aliran (firqah) dalam Islam.

Puncak perkembangannya, istilah aqidahdigunakan untuk menunjuk


keyakinan dalam Islam yang komprehensif sebagaimana dijelaskan dalam kitab
al-Aqidah al-Nizhamiyyahkarya al-Juwayni (w. 478 H/ 1085 M).Ikatan dalam
pengertian ini merujuk pada makna dasar bahwa manusia sejak azali telah terikat
dengan satu perjanjian yang kuat untuk menerima dan mengakui adanya Sang
Pencipta yang mengatur dan menguasaidirinya, yaitu Allah SWT. Dalam nada
yang bersifat dialogis, al-Qur‟an menggambarkan adanya ikatan serah-terima
pengakuan antara Allah dan manusia,seperti di dalam firman-Nya:“ Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmumengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".(QS.al-A‟raf [7]:172).Inti aqidah adalah
tauhid kepada Allah. Tauhid berarti satu (esa) yang merupakan dasar kepercayaan
yang menjiwai manusia dan seluruh aktivitasnya yang dilakukan manusia semata-
mata kepada Allah, terbebas dari segala bentuk perbuatan syirik (menyekutukan
Allah SWT).
Aqidah sebagai sebuah objek kajian akademik meliputi beberapa agenda
pembahasan, yaitupembahasan yang berhubungan dengan beberapa aspek seperti
aspek Ilahiyah(ketuhanan), nubuwah, dan ruhaniyaharkanul iman(rukun iman).
Pertama, pembahasan yang berkaitan dengan aspek ilahiyahmeliputi
segala yang berkaitan dengan Tuhan, seperti wujud Allah, sifat-sifat Allah,
perbuatan-perbuatan, dan nama-nama-Nya.
Kedua, pembahasan tentang kenabian (nubuwah) yang berkaitan dengan
Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul Allah
serta kemukjizatanya.
Ketiga,aspek ruhaniyahmembicarakan tentang segala sesuatu yang
bersifat transcendentalatau metafisik seperti ruh, malaikat, jin, iblis, dan setan.
Selain tiga aspek tersebut, aspek
keempat yang menjadi lingkup kajian dalam aqidah adalah
sam’iyahyang membahas tentang sesuatu yang dalil-dalil naqliberupa al-Qur‟an
dan Sunnah, alam jiwa dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan
yang dituntut Allah SWTkepadanyabarzakh, akhirat, azab, dan kubur.
Sistem kepercayaan Islam atau aqidahdibangun di atas enam dasar
keimanan yang lazim disebut rukun Iman yang meliputi keimanan kepada Allah,
para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, serta qadha danqadar-Nya.
Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa
dan raganya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah
SWTkepadanya.

‘2.Syari’at (Islam) Sementara itu, syariah menurut bahasa berarti jalan, yakni
jalan besar di sebuah kota. Syariah juga berarti apa yang diturunkan Allah kepada para
Rasul-Nya meliputi aqidah dan hukum-hukum Islam.Syariah juga mempunyai arti
sumber mata air yang dimaksudkan untuk minum. Makna ini yang dipergunakan Bangsa
Arab saat mengatakan: (syaraa al-ibl)yang berarti unta itu minum dari mata air yang
mengalir tidak terputus. Syari‟ahdalam arti luas adalah din, agama yang diturunkan Allah
kepada para Nabi (Q.S. al-Syura [42]:13).Sedangkan dalam pengertian terminologinya
versi kalangan hukum Islam (fuqaha), kata syariatdipergunakan dalam pengertian sebagai
hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWTbagi hamba-Nya. Dengan pengertian ini,
syariatberarti mencakup seluruh syariat samawi yang diturunkan bagi manusia lewat para
Nabi yang hadir ditengah-tengah mereka. Penggunaan pengertian umum ini kemudian
dispesifikkan para ulama dengan embel-embel syari‟at Islamyang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. sebab syari‟at Islam adalah penutup seluruh syari‟at samawi. Ia
juga merupakan intisari syari’at-syari’at sebelumnya yang telah disempurnakan bentuk
dan isinya sehingga merupakan syari’at yang paripurna bagi manusia di setiap zaman dan
tempat. Atas dasar tersebut, syari’atdidefinisikan sebagai kumpulan hukum yang
ditetapkan Allah SWTbagi seluruh umat manusia kepada Nabi Muhammad SAW.
melalui titah ilahi dan sunnah.

Istilah syari’ah mempunyai arti luas, tidak hanya berarti fiqih dan hukum, tetapi
mencakup pula aqidah dan akhlak. Dengan demikian, syari‟ah mengandung arti bertauhid
kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada para rasul-Nya, semua kitab-Nya dan hari
pembalasan. Pendeknya, syari’ah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang
menjadi berserah diri kepada Tuhan.

Akan tetapi, di kemudian hari, pengertian syari’ah malah dipahami secara


terbatas dalam arti fiqih dan hukum Islam. Hal ini berawal ketika soal hukum
mendominasi perbincangan pasca Rasulullah, sehingga berkembang opini secara umum
bahwa syari’at Islam adalah hukum Islam itu saja. Maka terjadilah penyempitan makna
syari’ah menjadi hanya persoalan hukum. Konsekuensinya, pembahasan di bidang lain
terpaksa harus diberi terminologi baru, di luar istilah syari‟ah. Misalnya soal
aqidah(teologi) harus diberi istilah ushuluddin,sementara akhlak(penyucianjiwa), yang
merupakan hikmah terbesar dari semua ibadah dinamai ilmu tasawuf.Hal itu
dimaksudkan untuk menunjukkanbahwa syariah benar-benar telah diberi arti sempit
sebatas hukum, di luar aqidah, bahkan sudah menjadi istilah yang identik dengan hukum
fiqih atau hukum Islam semata.Apabila dikaji lebih mendalam tentang persamaan antara
fiqih dan syari‟at dalam konteks ajaran yang diturunkan Allah untuk mengatur kehidupan
manusia di dunia, keduanya mempunyai sumber yang sama, yakni al-Qur‟an dan as-
Sunnah. Perbedaannya, syari‟at sifatnya tekstual, hanya apa yang tertuang dalam al-
Qur‟an dan as-Sunnah tanpa ada campur tangan dari manusia, sedangkan fiqih sifatnya
lebih fungsional karena teks-teks syari’at ditafsirkan dan dipahami secara mendalam
sehingga memudahkan manusia untuk mengamalkannya. Fiqih menciptakan rukun dan
syarat, dan batalnya suatu perbuatan kesyariatan manusia. Fazlur Rahman menyebut fiqih
sebagai petunjuk praktis pengalaman syari’at atau konsep fungsional bagi keberadaan
syari’at.
Di kalangan ushuliyyin (ahli ushul fiqih), fiqih diartikan sebagai hukum praktis
hasil ijtihad, sementara kalangan fuqaha(ahli fiqih) pada umumnya mengartikan fiqih
sebagai kumpulan hukum-hukum Islam yang mencakup semua hukum syar’i, baik yang
tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atas teks itu sendiri. Aspek-aspek
kesyariatan yang dipahami melalui pendekatan fiqhiyahadalah semua aturan yang
berawal dari teks illahiyahyang mengandung perintah, larangan maupun semata-mata
sebagai petunjuk.

Ada dua unsur pokok yang mengandung perintah, larangan, dan petunjuk, yakni:

(1) tidak menerima perubahan atau tidak boleh diubah dalam situasi dan kondisi
bagaimanapun, yang disebut dengan tsawabit,misalnya masalah aqidah dan ibadah
mahdah;

(2) menerima perubahan (mutaghayyirah), baik disebabkan oleh tempat, situasi-


kondisi, maupun niat.Padahal, keseluruhan ajaran Islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an
dan yang dicontohkan dalam sunnah Nabi semuanya disebut syari’ah, mencakup aqidah
dan akhlak. Dengan demikian, kedua aspek tersebut, yakni aqidah dan syari‟ah (dalam
arti hukum), tidak dapat dipisahkan sama sekali, baik dalam bentuk pengamalan, maupun
dalam bentuk pemikiran yang berkembang mengenai dua aspek tersebut.

3.Akhlak (Ihsan) Ihsandalam arti khusus sering disamakan dengan akhlak, yaitu
tingkah laku dan budi pekerti yang baik menurut Islam.Akhlakberasal dari kata
khalaqa(menjadikan, membuat). Dari kata dasar itu dijumpai kata khuluqun(bentuk
jamak), yang artinya perangai, tabiat, adat atau sistem perilaku yang dibuat.Adapun yang
dimaksud dengan ihsandalam hadits Nabi SAW. di atas adalah seperti terlihat pada
penggalan hadist yang berarti: Lalu malaikat Jibril bertanya, “Apakah ihsan itu?
Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-
Nya, meskipun engkau tidak sanggup melihat-Nya, karena Dia senantiasa melihat kamu.
Ada tiga bentuk caraibadah:

a.Melaksanakan ibadah dengan menyempurnakan syarat dan rukun atas dasar


ikhlas karena Allah semata

b.Melaksanakan ibadah dengan perasaan bahwasanya Allah melihat. Inilah yang


dinamakan maqam muraqabah.Maka sabda Nabi SAW: “Jika engkau tidak melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”Hadits di atas memberi pengertian bahwa kalau
kita belum dapat mencapai maqam musyahadah,hendaknya kita usahakan supaya kita
dapat mencapai maqam muraqabah.

c.Melaksanakan ibadah dengancara tersebut dengan rasa terbenam dalam laut


mukasyafah. Bagi orang yang memperoleh derajat ini, beribadah seakan-akan melihat
Allah sendiri. Inilah maqam Nabi SAW.Sabda Nabi ini mendorong kita untuk mencapai
keikhlasan dalam beribadah dan dalam bermuqarabah pada setiap ibadah, serta
menyempurnakan khusyuk, khudhu‟ dan hadir dalam hati.

Dengan demikian, ihsanmenurut Rasulullah SAW. adalah beribadah kepada


Allah. Ibadah ini tidak formalitas, tetapi terpadu dengan perasaan bahwa dirinya sedang
berhadapan langsung dengan Allah. Sementara itu, ihsanmenurut bahasa berarti kebaikan
yang memiliki dua sasaran.
Pertama , ia memberikan berbagai kenikmatan atau manfaat kepada orang lain.

Kedua, ia memperbaiki tingkah laku berdasarkan apa yang diketahuinya yang


manfaatnya kembali kepada diri sendiri.

Al-Qur‟an menekankan agar manusia tidak hanya berbuat ihsan kepada Allah,
tetapi juga berbuat ihsan kepada seluruh makhluk Allah, yakni manusia dan alam,
termasuk hewan dan tumbuhan. Ihsan kepada Allah merupakan modal yang sangat
berharga untuk berbuat ihsan kepada sesama. Al-Quran memberi penghargaan yang
tinggi terhadap perbuatan ihsan yang dilakukan manusia terhadap sesama dan lingkungan
hidupnya seperti tersirat pada ayat-ayat al-Qur‟an berikut ini:

(1) tidak ada balasan bagi perbuatan ihsan kecuali ihsan yang lebih sempurna.
(QS. ar-Rahman [55]:60); (2) perbuatan ihsan itu kembali kepada dirinya sendiri (QS. al-
Isra [17]:7); (3) perbuatan ihsan itu tidak akan pernah sia-sia (QS. Hud [11]: 115);

(4) kasih sayang Allah diberikan dengan mudah dan cepat kepada orang-
orangyang terbiasa berbuat ihsan (QS. al-A‟raf [7]: 56.Allah mewajibkan ihsandalam
segala perbuatan, baik yang batin maupun yang lahir (jawarih)yang dihadapkan kepada
Allah. Maksudnya, lingkup ihsan meliputi ikhlas, kebaikan dan kesempurnaan pekerjaan
itu. Memang Nabi menjelaskan pula bahwa ihsan adalah jiwa iman dan Islam; dan iman
dan Islam itu diterima Allah jika berdasarkan ikhlas. Dengan kata lain modal ihsanialah
ikhlas. Sebab, semua amal yang batiniyah, ataupun yang lahiriyah, baru diterima jika
dilandasi oleh ikhlas, dan ihsan memang unsur yang paling pokok untuk bangunan ad-
din.Adapuncara untuk mewujudkan ikhlasialah dengan menumbuhkan perasaan di kala
sedang beribadah bahwa kita sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Allah, seakan
melihat-Nya, dan dapat mendengar ucapan-Nya. Dengan demikian, kita akan berupaya
sekuat diri untuk khusyuk dan membaguskan semua pekerjaan dengan mengarahkan
semua kecakapan dan kepandaian yang dimiliki. Adapun jika jalan seperti ini tidak dapat
dicapai, maka sekurang-kurangnya kita menumbuhkan perasaan bahwa Allah melihat
semua gerak-gerik dan af’alkita. Tidak ada satupun yang luput dari penglihatan-Nya.

Dengan demikian, pengamalan agama itu tidak hanya berdimensi syari‟ah, tapi
juga berdimensi ihsanyang bertujuan untuk membimbing umat Islam menjadi pribadi
yang mulia, merasakan kedekatan dengan Allah, sekaligus bertujuan untuk membangun
solidaritas sosial diantara sesama umat manusia. Trilogi ajaran Islam (Aqidah, Syari‟at
dan Akhlak) secara umum dipandang sebagai pokok ajaran Islam. Aqidah mengajarkan
keimanan dan keyakinan yang akan dijadikan sebagai landasan pandangan hidup, syari’at
(hukum Islam) mengajarkan pola hidup beraturan dalam suatu tatanan hukum
komprehensif, dan akhlak menyandarkan muslim atas segala tindakan bermoral yang
dilakukannya.Iman/ kepercayaan adalah “pembenaran hati” yang mengikat manusia dan
mengarahkannyasesuai dengan hakikat dari objek iman. Karena sifatnya yang mengikat
itu, maka ia dinamai juga sebagai „aqidah(ikatan). Ia bersemai di dalam hati, tidak
tampak dalam kenyataan. Islam adalah pengamalan yang merupakan dampak/ buah dari
iman, yang memang harus tampak dalam kenyataan. Ia dinamai juga syari’ah, yang
secara harfiah berarti sumber air yang memberikan kehidupan, sedangkan
ihsan(kebajikan) menghasilkan budi pekerti yang menciptakan hubungan harmonis, Ia
adalah akhlak. Dengan demikian, ajaran yangdibawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah
Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak, atau Iman, Islam, dan Ihsan.Maka kaitan Iman, Islam, dan
Ihsan ialah ibarat ruh dengan tubuh. Jika Iman ditamsilkan sebagai watak (ghara-iz)dan
Islam sebagai tubuh (jawarih), maka Ihsan ialah ruh yang mendinamiskan ghara-izdan
menggerakkan jawarih.
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN.

Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan
segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah, agar dipergunakan
sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah
memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya, baik yang meliputi akidah, akhlak,
maupun syariah.

Dua komponen pertama, akidah dan akhlak, bersifat konstan (tetap). Keduanya
tidak mengalami perubahan apa pun dengan berbedanya waktu dan tempat.
Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf
peradaban umat manusia. Perbedaan itu sesuai dengan masa masing-masing rasul.
Hal ini diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 48 yang artinya:

”Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian [421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat di antara kamu [422], kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan- Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.”

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW juga bersabda:

“Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, ibunya (syariahnya) berbeda-
beda sedangkan dinnya (tauhidnya) satu.” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad)

Oleh karena itu, syariah Islam yang dibawa Rasulullah SAW mempunyai keunikan
tersendiri. Bukan saja menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal.
Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak akan ada syariah lain yang datang
untuk menyempurnakannya.

Komprehensif, berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik


ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan untuk menjaga
ketaatan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Khaliq-nya. Ibadah juga
merupakan sarana untuk mengingatkan secara terus-menerus mengenai tugas
manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Muamalah diturunkan untuk
menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial.

Universal, berarati syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat
sampai akhir zaman. Universalitas ini tampak jelas terutama pada bidang
muamalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel (lentur), muamalah tidak
membeda-bedakan antara Muslim dan non-Muslim. Kenyataan ini tersirat dalam
suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

“Dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak
mereka adalah hak kita.”

Fleksibelitas muamalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal tsawabit wa


mutaghayyirat principles and variables (ada hal-hal yang bersifat tetap/prinsip dan
ada pula yang berubah-ubah/variable). Dalam sektor ekonomi misalnya, yang
merupakan prinsip diantaranya adalah larangan riba, sistem bagi hasil,
pengambilan keuntungan, dan pengenaan zakat. Sedangkan yang bersifat variabel
adalah instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut, misalnya
aplikasi prinsip jual beli modal kerja, penerapan asas mudharabah (investasi bagi
hasil), atau penerapan bai’ as-salam (jual beli pesanan) dalam pembangunan suatu
proyek.

Dan menjadi tugas cendekiawan muslim sepanjang zaman adalah mengembangkan


teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam variable yang sesuai dengan
situasi dan kondisi pada masanya.

Anda mungkin juga menyukai