Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang
kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada
hewan dan manusia yang merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak
diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh di
perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah
menciptakan kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan
vektor dan sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitik (Prianto, dkk.
2006.)
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya
terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan
masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini
dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan
kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur
hidup dan cara penularannya (Siregar.2006).
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan
cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan
diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus
akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan
untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di
periksa fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif
dan kuantitatif (Gandahusada, dkk, 2000).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pemeriksaan feses hewan dan manusia dengan
menggunakan metode natif (langsung)?
1.3 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode natif (langsung).

1
2. Mengetahui adanya telur cacing pada sempel feses.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Cacing
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi
prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal
ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani.
Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis
khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta
kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik
(Kadarsan,2005)
Kecacingan merupakan salah satu mikroorgisme penyebab penyakit dari
kelompok helminth (cacing), membesar dan hidup dalam usus halus manusia,
Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang
beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Terutamanya pada
anak-anak. Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing cambuk dan
cacing tambang dan cacing pita. (Athiroh, 2005)
Hasil survey menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia
sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih banyak terjadi pada
penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted
Helminth, yaitu golongan nematode usus yang dalam penularannya atau dalam
siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-
Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale (Siregar,Charles 2006).
Adapun Penyakit parasit pada hewan merupakan penyakit yang dapat
mempengaruhi produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan
kematian, tetapi bersifat menahun yang dapat mengakibatkan kekurusan, lemah
dan turunnya daya produksi (Kadarsan, 2005)
2.2 Identifikasi Parasit
Adapun identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam
membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga

3
memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak
yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada
persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup
maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung
dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di
periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan
cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 2005)
2.3 Definisi Feses
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi
100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel,
debris, celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak
peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan
frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu. Pemeriksaan
feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama
dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang
modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak
dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai
macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan
sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan
menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. Berdasarkan
gejala klinis dan dari pemeriksaan umum dan khusus. Dilakukan juga
pemeriksaan feses dan pemeriksaan darah untuk mendukung hasil diagnosis
(Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2006).
2.4 Jenis – jenis Cacing
1. Ascaris lumbricoides (cacing gelang)

Cacing gelang juga dapat masuk dalam tubuh


manusia dengan menghisap sari-sari makanan. Cacing
gelang ini merupakan caing yang paling umum
menginfeksi tubuh manusia. Cacing gelang dapat
tumbuh dewasa sampai mencapai ukuran 10-30 cm dengan tebal sebesar

4
pensil dan dapat hidup hingga 1-2 tahun. Cacing gelang mudah masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi dengan telur dari cacing gelang. Ketika kawanan telur cacing
gelang ini tertelan bersama makanan atau minuman dan memasuki usus,
kemudian telur ini akan menetap dan menjadi larva. Kemudian larva dari
telur yang sudah menetas ini mengalir ke dinding usus menuju paru-paru,
kemudian larva ini beranjak bergerak naik ke saluran bronkial ke tenggorokan
melalui kelenjar ludah yang tertelan, setelah itu larva akan kembali ke usus
kecil dan tumbuh menjadi dewasa, kawin dan berkembang biak menghasilkan
telur dalam waktu yang singkat yakni 2 bulan kemudian telur akan menetas
dan kembali siklus pertumbuhan cacing gelang seperti yang disebutkan. Jika
cacing gelang betina yang masuk dalam tubuh manusia mampu menghasilkan
hingga 240.000 telur dalam sehari. Penyakit cacingan yang sangat rentan
menyerang anak-anak ini, umumnya tidak menunjukkan gejala yang terlihat,
gejala akan terlihat ketika sang anak terlihat lemas, lesu, perut buncit,
gangguan gastrointestinal dan gejala kurang gizi kemungkinan besar sang
anak mengalami infeksi cacing gelang yang cukup parah. Bahkan terkadang
terlihat feses yang keluar encer, dan bercampur dengan lendir atau darah
(Kadarsan, S.)
Cacing gelang memiliki dinding 3 lapis :
1. Albuminoid : tebal dan bersifat impermiable
2. Lapisan Hialine : memberi bentuk telur, impermiable
3. Viteline : mengelilingi sel telur sangat impermiable
2. Oxyuris vermicularis (Cacing Kremi)

Berbentuk ovale biconcave dengan telur


mengandung larva cacing Merupakan jenis
cacing kedua, penyebab cacingan pada anak.
Cacing kremi ini juga dapat tumbuh dan
hidup didalam tubuh manusia. Cacing kremi
ini juga dikenal dengan nama cacing kerawit
atau cacing kecil-kecil karena memiliki ukuran tubuh yang kecil-kecil karena
memiliki ukuran tubuh yang kecil dan halus seperti benang, berwarna putih

5
dan memiliki panjang tubuh kira-kira 3-5 mm. Cacing kremi ini mudah
dikeluarkan bersaman dengan feses atau keluar dengan sendirinya melalui
anus. Cacing kremi ini lebih menular dan masuk dalam tubuh anak, ketika
anak tidak menjaga kebersihan tangannya. Telur cacing kremi ini akan
menempel pada tangan melalui kotoran manusia. Ketika tangan yang
tercemar tanpa disadari, telur dapat masuk kedalam tubuh, kemudian akan
mulai meneteskan telur dalam usus kecil dan bergerak turun ke usus besar
(Kadarsan, S.)
3. Ankylostomiasis (Cacing tambang)
Bentuk telur khas ovale dengan sitoplasma jernih
berisi lobus 4-8 mengandung larva. Cacing
tambang merupakan jenis cacing kecil dengan
panjang sekitar 8-15 mm. Cacing ini hidup dalam
usus dan sering menggigit dinding usus sehingga
menyebabkan pendarahan dan meracuni penderita.
Telur cacing tambang dapat keluar bersama kotoran (feses). Penyebab dari
timbul dan tumbuh cacing tambang yang masuk dalam tubuh, akibat tingkat
kebersihan yang kurang diperhatikan, misalnya buang air beesar sembarangan
sehingga menjadi media berkembang biaknya cacing tambang. Selain masuk
melalui mulut bersama yang mungkin tercemar, cacing tambang juga masuk
ke tubuh melalui kulit terutama kulit dikaki. Seseorang yang terkena penyakit
cacing jenis tambang ini umumnya akan menuai gejala atau tanda-tanda
seperti : merasakan mual ingin muntah, wajah terlihat lebih pucat, tubuh
menjadi lemah, sakit kepala, telinga berdengung dan napas menjadi sesak
sehingga mudah merasakan lelah (Kadarsan, S.)
4. Trichinella spiralis (Cacing cambuk)
Sangat khas berbentuk Tempayan dengan dua
operkulum atas dan bawah. Cacing cambuk ini
umumnya ditularkan melalui konsumsi daging
hewan yang tercemar atau mengandung larva
cacing ini. Cacing cambuk merupakan jenis cacing
dengan ukuran paling kecil dibanding ukuran jenis cacing lainnya yakni 1-2

6
mm. Manusia yang gemar mengkonsumsi makanan sajian daging setengah
matang atau mentah dai hewan yang terinfeksi, terutama jenis daging babi,
babi hutan dll. Telur yang menetas pada daging hewan ini kemudian menetas
dan menjadi larva yang masuk ke usus kecil, menembus mukosa dan tumbuh
menjadi dewasa dalam 6-8 hari (Kadarsan, S.)
5. Taeniasi (Cacing pita)
Cacing pita berbentuk panjang pipih menyerupai pita, kepala kecil dan
mempunyai kait untuk meletakkan diri pada dinding usus. Tubuhnya
memiliki ruas-ruas, setiap ruas dapat mengeluarkan ratusan telur. Cacing pita
mempunyai banyak jenis, tetapi ada tiga yang biasa dikenal, yaitu cacing pita
daging, cacing pita ikan, dan cacing pita babi. Cacing pita ini tidak tumbuh
hanya dalam tubuh manusia namun dapat pula didalam tubuh hewan ternak.
Akan tetapi tubuh manusia menjadi induk atau inang dari cacing pita ini. Ada
2 jenis cacing pita yang tumbuh dalam tubuh manusia yakni :

Taenia Saginata (Cacing Pita Sapi) dan Taenia Solium (Cacing Pita Babi).
Telur berbentuk bulat dengan kulit radial dan mempunyai 6 kait didalamnya.
A. Taenia saginata (Cacing pita sapi)
Cacing pita sapi merupakan cacing terbesar diantara semua jenis cacing
parasit dalam tubuh manusia. Ukuran cacing pita ini mencapai 8 meter dan
jenis cacing ini hampir selalu ada didalam saluran pencernaan tubuh manusia.
B. Taenia Solium (Cacing pita babi)
Taenia solium atau cacing pita babi merupakan jenis cacing pita yang
hidup dalam saluran pencernaan hewan babi. Cacing pita babi memiliki siklus
yang sama dengan cacing cacing pita sapi. Namun perbedaannya adalah kista
tersebut dapat dimata, otak atau otot sehingga menyebabkan masalah serius.
Apabila tubuh membunuh parasit itu, garam kalsium yang terbentuk ditempat

7
mereka akan membentuk batu kecil dijaringan lunak yang juga akan
menggangu kesehatan (Kadarsan, S.)
2.5 Jenis – jenis Metode Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan telur cacing pada feses, terdapat dua macam cara
pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Pemeriksaan secara Kualitatif
A. Metode Natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan
baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit
ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan
NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%
dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan
kotoran disekitarnya. Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat
dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan
sedikit, serta peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan
kekurangan metode ini adalah dilakukannya hanya untuk infeksi berat,
infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif dilakukan dengan cara
mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di atas gelas
obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah
mikroskop (Soedarto, 2011).
B. Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau
larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur
sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini
digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur.
Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan,
sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk
memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.
Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda,
Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili
Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang
infertile (Soedarto, 2011).

8
C. Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi
larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus,
Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari
feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat
berkembang menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama
kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam air
yang terdapat pada ujung kantong plastic (Soedarto, 2011)
D. Metode Selotip
Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya telur cacing
Enterobius vermicularis pada anak yang berumur 1 – 10 tahun.
2. Pemeriksaan secara Kuantitatif
E. Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique)
atau disebut teknik Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik
digunakan sepotong “cellahane tape”. Teknik ini lebih banyak telur
cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini
dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana
dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosa (Soedarto, 2011).

9
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum pemeriksaan nematoda usus pemeriksaan kualitatif metode
langsung secara natif dilaksanakan pada hari rabu, tanggal 14 Maret 2018.
Bertempat di Laboratorium mikrobiologi STIKES Bina Mandiri Gorontalo.

3.2 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
- Lidi/batang korek api - Kaca obyek yang bersih
- Kaca penutup - Mikroskop Cahaya

3.3 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
- Larutan NaCl 0,9%
- Lugol/eosin 2%
- Tinja hewan (sapi)
3.4 Prosedur Kerja
1. Mempersiapkan alat yang dibutuhkan
2. Mencuci tangan rutin sesuai teknik aseptik (prosedural) dan memakai
sarung tangan sebelum kontak dengan sampel.
3. Melakukan pemeriksaan makroskopis terhadap sampel pemeriksaan.
4. Meneteskan satu tetes larutan NaCl 0,9%/lugol/eosin 2% ke atas kaca
obyek.
5. Dengan lidi mengambil sedikit tetes (± 1-2 mg) dan mencampurkan dengan
tetesan larutan sampai homogen dan menjadi suspensi yang rata.
6. Pada pewarnaan dengan eosin cara pembuatan sediaan sama, hanya saja
sediaan harus tipis, sehingga warnanya merah jambu muda. Bila warnanya
merah jambu tua atau jingga maka berarti sediaan terlampau tebal.
7. Pada pewarnaan dengan lugol cara pembuatan sediaan sama, namun
sediaan tidak perlu terlalu tipis.
8. Membuang bila ada bagian-bagian atau serat yang kasar.
9. Menutup dengan kaca penutup ukuran 22 x 22 mm dengan perlahan-lahan,
sedemikian rupa sehinggga tidak terbentuk gelembung-gelembung udara.

10
10. Memeriksa secara sistematik dengan menggunakan pembesaran rendah
(obyektif 10x)
11. Bila menemukan obyek yang dicurigai adanya parasit memeriksa dengan
pembesaran yang lebih kuat (obyektif 40x) dan menggambar temuan yang
ada.

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil Pengamatan
No Gambar
Telur (+/-) Keterangan
1. - Tidak ditemukan telur
cacing pada sampel
yang diamati.

4.2 Pembahasan
Macam-Macam Metode Pemeriksaan Telur Cacing. Cara Langsung (Sedian
Basah) Pemeriksaan tinja secara langsung ada dua cara yaitu pemeriksaan tinja
secara langsung dengan kaca penutup dan tanpa kaca penutup. (Hardidjaja, P,
1990)
Dengan Penutup Kaca Letakkan satu tetes cairan diatas kaca benda kemudian
diambil feces (1-2 mm3 ) dengan lidi dan diratakan menjadi homogen, bila
terdapat bahan yang kasar dikeluarkan dengan lidi, kemudian ditutup dengan
kaca penutup, di usahakan caiaran merata dibawah kaca penutup tanpa ada
gelembung udara, kemudian amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
(Hardidjaja, P, 1990)
Pada praktikum ini di lakukan pemeriksaan feses metode langsung, yaitu
dengan pengamatan konsentrak ektrak feses yang di lakukan tanpa perlakuan
lain. Ini di lakukan untuk mengetahui adanya diagnose cacing parasite dalam
sampel feses tersebut (Hardidjaja, P, 1990)
Pada pemeriksaan identifikasi telur cacing metode natif atau langsung
digunakan untuk pemeriksaan secra cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi
untuk infeksi ringan sulit. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan eosin

12
2%. Penggunaan eosin 2 % bertujuan untuk membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya (Hardidjaja, P, 1990)
Adapun kekurangan dan kelebihan dari metode ini :
Kekurangan :
1) Dilakukan hanya untuk infeksi berat
2) Infeksi ringan sulit dilakukan
Kelebihan :
1) Mudah dan cepat untuk pemeriksaan telur cacing semua spesies
2) Biaya yang diperlukan sedikit
3) Peralatan yang digunakan sedikit

13
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil yang didapat dari pemeriksaan metotode natif atau langsung adalah
negatif, yang artinya tidak ditemukan telur cacing dalam feses yang telah
diperiksa.
5.2 Saran
Bagi para praktikan supaya lebih memperhatikan prosedur penelitian yang
telah ditetapkan. Selain itu, para praktikan di tekankan untuk menjaga
kebersihan agar tak ada penularan lanjutan dari telur yang ditemukan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Athiroh, N. 2005. Petunjuk Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Islam Malang.

Gandahusada,dkk. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI

Hardidjaja, Pinardi & TM. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi


Kedokteran. FKUI, Jakarta.

Kadarsan, S. 2005. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional LIPI: Bogor.

Prianto, dkk. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteraan. Ed VI. Jakarta: Gramedia

Siregar, Charles D. 2006. “Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan


Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari
Pediatri, Volume 8(2): 112-117

Siregar.2006.Prinsip ilmu penyakit dalam vol 2. Penerbit buku kedokteran


EGC:Jakarta

Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.

15
LAMPIRAN

16

Anda mungkin juga menyukai