Anda di halaman 1dari 10

KEPATUHAN DOKTER TERHADAP PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

Oleh:

Tiara Ayoe Andita H1AP20059

Aisyah Amelia H1AP21001

Heppy Hasrianita Putri H1AP21007

Pembimbing :
dr. Ferdi , Sp.An.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah prosedur yang dilaksanakan oleh sekelompok
profesi yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang dibuat oleh
organisasi profesi dan disahkan oleh pimpinan rumah sakit. PPK disusun dalam rangka
pengendalian mutu dan biaya bagi pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien. Penyusunan
isi PPK didasarkan pada referensi yang ditetapkan oleh kolegium terkait dalam upaya
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional sehingga rumah sakit diwajibkan bersama dengan
Kelompok Staf Medis (KSM) menyusun Panduan Praktik Klinis (Permenkes RI, 2014).
Panduan Praktik Klinis berkontribusi pada pengurangan komplikasi dan kesalahan
pengobatan, sebagai contoh dalam program rehabilitasi rawat jalan akan diimplementasikan
secara lokal di jalur klinis dengan lebih rinci, seperti kapan harus menyerahkan rujukan dan
kepada siapa harus diserahkan. Dengan demikian, PPK bertujuan untuk menstandarisasi proses
perawatan klinis dari institusi perawatan kesehatan sebagai pedoman praktik klinis berbasis bukti
dan memiliki potensi untuk mengurangi kesalahan pengobatan dan meningkatkan prognosis
pasien (Rotter et al, 2019).
Saat ini, para klinisi lebih mengutamakan otonomi dalam melakukan prosedur diagnosis
terapi dimana setiap dokter di rumah sakit mempunyai prosedur dan protokol masing-masing
sehingga perbedaan ini memunculkan banyak variasi dalam praktik kedokteran. Variasi
pelayanan pada pasien akan memunculkan banyak variasi pula terkait biaya perawatan. Salah
satu cara untuk mengurangi variasi yaitu dengan adanya kendali mutu dan biaya dengan
penerapan PPK. Oleh karena itu, variasi pelayanan sebaiknya diminimalkan melalui proses
standarisasi (Suharso, 2012).
Dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh Arbrough, Kukhareva, Spivak, & Kawamoto
tahun 2015 membuktikan bahwa dengan menerapkan alur klinis atau PPK dapat menurunkan
penggunaan antibiotik spektrum luas sebanyak 59%, menurunkan biaya farmasi sebesar 23%,
menghemat 13% untuk biaya fasilitas rumah sakit, dan menurunkan lama rawat inap dirumah
sakit. Berdasarkan hal tersebut, penulis menilai pentingnya untuk mengetahui tingkat kepatuhan
Dokter terhadap PPK di RSMY ATAU INDONESIA agar dapat menjadi masukan kepada
rumah sakit untuk menyusun PPK khusus Rumah Sakit sehingga dapat mengurangi variasi
pelayanan yang diberikan kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Panduan Praktik Klinis


Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah prosedur yang dilaksanakan oleh sekelompok
profesi yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang dibuat oleh
organisasi profesi dan disahkan oleh pimpinan rumah sakit. PPK disusun dalam rangka
pengendalian mutu dan biaya bagi pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien. Penyusunan
isi PPK didasarkan pada referensi yang ditetapkan oleh kolegium terkait (Permenkes RI, 2014).
Clinical practice guidelines (CPG) merupakan prinsip-prinsip dan filosofi praktik klinis
yang berbasis bukti sudah banyak diterapkan dalam berbagai bidang pelayanan kesehatan di
berbagai negara. Prinsip inilah yang kemudian dituangkan secara formal dan sistematis dalam
suatu dokumen yang disebut dengan clinical practice guidelines (CPG) (Matthews & Sutherland,
2004).
Panduan Praktik Klinis atau CPG merupakan suatu instrumen yang menyajikan bukti-
bukti ilmiah dalam format yang mudah diakses oleh para klinisi. CPG didefinisikan sebagai
suatu pernyataan yang disusun secara sistematis dan dirancang untuk membantu para dokter dan
pasien dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan yang tepat dalam kondisi klinis yang
spesifik. CPG disusun untuk meningkatkan kualitas perawatan (quality of care), khususnya
dalam keadaan yang tidak pasti. Dalam pengembangannya, CPG disusun dari bukti-bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dari berbagai penelitian klinis. Bukti-bukti ini kemudian dikombinasikan
dengan keahlian klinis dari para klinisi yang kemudian menghasilkan rekomendasi klinis, yang
disebut CPG. Jadi, CPG adalah rekomendasi bagi profesi kesehatan untuk memberikan
pelayanan kepada seorang individu, yang didasarkan atas bukti-bukti terbaik yang tersedia, yang
bersifat saran untuk membantu praktik profesi kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan
keputusan klinis dan tidak untuk mengganti pengetahuan dan kemampuan mereka (Yaşar dkk,
2016).
Panduan Praktik Klinis bermanfaat baik bagi dokter maupun bagi pasiennya, karena CPG
meningkatkan kualitas informasi yang tersedia bagi para dokter, membantu dalam pengambilan
keputusan, dan oleh karenanya akan meningkatkan kualitas pelayanannya. CPG dapat mencakup
seluruh proses tata laksana dari suatu penyakit atau kondisi, atau bagian dari tata laksana, mulai
dari pencegahan dan perawatan diri, pelayanan primer, pelayanan sekunder, sampai pada
pelayanan spesialistik. Jadi kondisi yang direkomendasikan dalam suatu CPG bisa sangat luas,
atau sebaliknya, sangat spesifik. Sebagai contoh, CPG dapat memberi rekomendasi tentang
tatalaksana suatu gejala, misalnya rasa sakit, atau sebuah alat, misalnya kateter, atau suatu
kondisi spesifik misalnya psikosis (Yaşar dkk, 2016).
Dokter memiliki otonomi dan kemampuan dalam melakukan clinical reasoning
(penalaran klinik) dan clinical judgement (pertimbangan klinis) dalam pengambilan keputusan.
Subjektivitas dalam pengambilan keputusan ini bisa disebut dengan practice style factor,
tentunya subjektivitas tersebut dapat menimbulkan variasi dalam pelayanan kesehatan. Dampak
lebih lanjut dari keputusan variatif ini adalah dapat menimbulkan bias dalam mutu pelayanan
seperti overuse (pelayanan yang berlebihan), underuse ( pelayanan yang dibawah standar), dan
misuse (kesalahan dalam pemberian pelayanan). Standarisasi kompetensi dan pelayanan
kesehatan merupakan salah satu solusi agar variasi dalam pelayanan tidak terlalu bias (Suharso,
2012).
Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri suatu Panduan Praktik Klinis adalah suatu dokumen
(statement) yang disusun secara sistematis, dikembangkan berbasis pada hasil penelitian terbaru
dan terbaik, merupakan rekomendasi yang tidak mengikat, dapat mencakup seluruh proses atau
bagian dari tatalaksana suatu penyakit dan disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Panduan
Praktik Klinis bukan merupakan protokol yang bersifat kaku. Dalam penggunaannya, Panduan
Praktik Klinis akan dikombinasikan dengan keahlian klinis seorang dokter serta preferensi
(keinginan) pasien, bertujuan untuk mendapatkan hasil perawatan terbaik dan termurah dari
alternatif lain yang ada, berfungsi untuk mengurangi variasi dalam perawatan klinik, dan dapat
diaudit (Pramono, 2015).

2.2. Tujuan Panduan Praktik Klinis


Tujuan utama penerapan Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah untuk menyelaraskan
praktik klinis dengan rekomendasi pedoman, untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi
dalam suatu institusi. Panduan Praktik Klinis dapat berfungsi sebagai alat yang berguna untuk
mengurangi variasi dalam praktik klinis, sehingga memaksimalkan hasil pasien dan efisiensi
klinis. Selain itu, PPK juga menerjemahkan pedoman atau bukti ke dalam struktur lokal; (2)
merinci langkah-langkah dalam pengobatan atau perawatan dalam rencana, jalur, algoritme,
pedoman, protokol, atau "inventaris tindakan" lainnya; dan (3) bertujuan untuk menstandarisasi
perawatan untuk masalah klinis tertentu, prosedur atau episode perawatan kesehatan dalam
populasi tertentu.

2.3.Implementasi Panduan Praktik Klinis di Obgyn

2.3.1. Definisi Sectio Caesaria


Operasi sesar atau sectio caesarea (SC) adalah prosedur pembedahan dimana sayatan
dibuat melalui perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerektomi) untuk mengeluarkan bayi.
Sayatan dibuat baik secara horisontal maupun vertikal didalam rahim. Pada beberapa kondisi,
kecil kemungkinannya untuk mencoba melahirkan melalui vagina di kehamilan berikutnya.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam
(Thapa, Bhandari, & Adhikari, 2012).
Operasi sectio caesarea dapat dilakukan atas permintaan pasien dengan pertimbangan
tenaga medis. Pada umumnya operasi dilakukan bila persalinan tidak dapat dilakukan melalui
vagina. Disproporsi sefalopelvik, sudah pernah melakukan operasi sebelumnya, gawat janin, dan
prolaps tali pusar adalah beberapa indikasi umum dari sectio caesarea (Shamna, Kalaichelvan, &
Marickar, 2014).

2.3.2. Epidemiologi Sectio Caesaria


Sectio caesarea makin meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan
persalinan. Indikasi yang banyak dikemukakan adalah persalinan lama sampai persalinan macet,
ruptur uteri iminens, gawat janin, dan janin besar. Menurut World Health Organization (WHO),
rata-rata Sectio Caesarea 5-15% per 1000 kelahiran di dunia, angka kejadian dirumah sakit
pemerintah rata-rata 11%, sementara dirumah sakit swasta bisa lebih dari 30%. Angka
kejadian sectio caesarea di Indonesia menurut data surve nasional pada tahun 2011 adalah ±
1.200.000 dari ± 5.690.000 persalinan atau sekitar 24,8% dari seluruh persalinan (Depkes RI,
2011).

2.3.3.Indikasi Sectio Caesaria


Keputusan untuk melakukan SC didasarkan pada pertimbangan keamanan. Pada kondisi
tertentu, sectio caesarea lebih aman untuk ibu dan bayi daripada persalinan normal. Beberapa
pertimbangan sehingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi, yaitu (Sitio, 2015) :
1) Persalinan normal tidak berjalan dengan lancar.
2) Bayi tidak mendapatkan cukup oksigen.
3) Bayi berada dalam posisi yang abnormal.
4) Bayi kembar, kembar tiga atau lebih.
5) Ada masalah dengan plasenta pasien.
6) Ada masalah dengan tali pusar.
7) Ibu memiliki masalah kesehatan, seperti penyakit jantung yang tidak stabil atau tekanan darah
tinggi, dan infeksi yang dapat ditularkan kepada bayi selama persalinan pervaginam seperti
herpes genital atau HIV.
8) Bayi memiliki masalah kesehatan, misalnya hidrosefalus.
9) Riwayat SC sebelumnya.

2.3.4. Komplikasi Sectio Caesaria


Komplikasi risiko yang mungkin terjadi setelah persalinan dengan sectio caesarea adalah
infeksi. Infeksi pada atau di sekitar lokasi sayatan umum terjadi pasca operasi, termasuk sectio
caesarea. Infeksi pasca sectio caesarea dapat berupa infeksi endometritis yang merupakan
peradangan dan infeksi pada selaput yang melapisi rahim (Sitio, 2015).
2.3.5. Variasi Dalam Sectio Caesarea
Pada dasarnya setiap perbedaan dalam pelayanan sectio caesarea adalah variasi, mulai
dari pasien datang dengan penegakan diagnosis berupa anamnesa ataukah dengan pemeriksaan
fisik sampai pada pilihan terapi yang digunakan. Sesuai dengan dokumen Panduan Pelayanan
Klinis, variasi dapat terjadi pada anamnesa, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, disgnosis
banding, pemeriksaan penunjang, edukasi, terapi, maupun hasil yang diakibatkanya. Kerugian
yang dapat ditimbulkan dari banyaknya variasi seperti total biaya perawatan dan overused terapi
(Sitio, 2015).

Variasi pelayanan dapat timbul dari berbagai sebab, diantaranya karena ketiadaan panduan yang
tepat. Dalam penelitianya Geurtzen tentang variasi pelayanan pada kelahiran bayi premature
ditemukan bahwa dokter obsgyn dan anak akan memberikan respon yang baik terhadap 60%
pasien setelah diberlakukan panduan klinis penaganan bayi premature. Dari penelitian ini dapat
ditarik kesamaan dengan ketidak adaan panduan yang tepat akan membuat variasi pelayanan
semakin tinggi.Variasi akan tetap ada, seperti pada penggunaan USG. Setiap pasien yang datang
tidak harus selalu menggunakan USG untuk mengambil keputusan,misalnya pasien yang sudah
ada indikasi multak seperti panggul sempit. Untuk mengetahuinya kita cukup menggunakan
pemeriksaan fisik saja, dari hal tersebut juga bisa menjadi efisiensi biaya USG yaitu
meminimalisir penggunaan USG yang tidak perlu.

2.3.6.Pengaruh Panduan Praktik Klinis pada Sectio Caesaria

Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, rumah sakit berpedoman pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438/MenKes/Per /IX/ 2010. Dalam peraturan tersebut
dipergunakan istilah Standar Pelayanan Kedokteran (SPK ) yang terdiri dari Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK ) dan Standar Prosedur Operasional (SPO). PNPK dibuat oleh
organisasi profesi dan disahkan oleh Menteri Kesehatan RI, sedangkan SPO dibuat ditingkat
rumah sakit oleh profesi medis dikoordinasikan oleh Komite Medis dan ditetapkan oleh
penggunaanya oleh pimpinan rumah sakit (direktur) .(Permenkes RI, 2010).

Penerapan PPK merupakan salah satu poin yang disebutkan dalam pedoman Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit, bila diterapkan dengan baik akan membantu proses standarisasi, dengan
tujuan:
Melakukan standardisasi proses asuhan klinik
b. Mengurangi risiko dalam proses asuhan terutama yang berkaitan asuhan kritis;
c. Memanfaatkan sumber daya yang tersedia dengan efisien dalam memberikan asuhan
klinik tepat waktu dan efektif;
d. Memanfaatkan indikator prioritas sebagai indikator dalam penilaian kepatuhan
penerapan alur klinis di area yang akan diperbaiki di tingkat rumah sakit;
e. Secara konsisten menggunakan praktik berbasis bukti (evidence based practices) dalam
memberikan asuhan bermutu tinggi.

Sebagian dokter spesialis obsgyn belum mengimplementasikan Panduan Praktik Klinis Sectio
Caesarea dengan baik, sehingga masih terdapat variasi dalam pelayanan yang ditemukan pada
RS Swasta Sleman pada penelitian Nora Eka., dkk yaitu implementasi Panduan Praktik Klinis
Sectio Caesarea dalam menurunkan variasi pelayanan belum berjalan optimal. Penegakan
diagnosis menggunakan USG dilakukan pada 32 pasien (67%), sedangkan 16 pasien (33%) tidak
dilakukan. Pasien dengan lama rawat inap kurang dari tiga hari sebanyak tujuh pasien (15%),
sedangkan pasien dengan lama rawat inap tiga hari sebanyak 29 pasien (60%), dan pasien
dengan lama rawat inap lebih dari tiga hari sebanyak 7 pasien (15%).

Penelitian oleh Nugraha dan Dewi di RS swasta Sleman didapatkan dua pokok kendala. Kendala
yang pertama semua sepakat belum pernah ada sosialisasi PPK kepada dokter obgyn itu sendiri
dan bahkan beberapa tidak tahu apa bentuk fisik dan isi dari PPK itu sendiri. Kedua PPK sectio
caesarea sendiri tidak sesuai dengan keadaan rumah sakit karena bukan dari hasil diskusi
Kelompok Staf Medis obsgyn RS Swasta Daerah Sleman. Informan dua mengatakan PPK
Swasta Daerah Sleman harusnya benar diaplikasikan bukan hanya sekedar syarat untuk
kelengkapan dokumen adminstrasi akrediasi.

Menurut penelitian Farida R., Navis Y., Siti J (2016). dalam penelitianya tentang efisiensi biaya
pelayanan menggunakan Panduan Praktik Klinis mendapatkan lama rawat inap pada kasus
appendicitis dan sectio caesarea berbeda dalam rentang waktu tiga sampai empat hari. Biaya
untuk penegakan diagnosis seperti pemeriksaan elektrokardiogram, laboratorium dan USG akan
membebani cukup besar biaya rumah sakit yaitu 40-50% dari total pembiayaan, untuk itu
disarankan kordinasi ulang Panduan Praktik Klinis dan penerapan Clinical Pathway guna
mengurangi variasi biayan beban tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Panduan Praktik Klinis dikaitkan dengan peningkatan hasil pasien dan dapat memainkan
peran penting dalam keselamatan pasien. Mereka juga dapat bertindak sebagai intervensi
manajerial untuk mengatasi tantangan yang terkait dengan sistem campuran kasus (yaitu DRG)
dalam penggantian biaya perawatan kesehatan. Untuk penyedia layanan kesehatan lokal dan
pembuat kebijakan, pilihan penerapan strategi
PPK harus didasarkan pada pertimbangan kemungkinan biaya dan manfaatnya. Perlu
dicatat bahwa pengembangan dan implementasi PPK menghabiskan banyak sumber daya bila
dilakukan seperti yang direkomendasikan dalam proses aktif – tetapi kemungkinan akan
memiliki efek positif pada hasil pasien, sementara juga mengurangi biaya rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Arbrough, P, Kukhareva, P, Spivak, E, Hopkins, C, & Kawamoto, K 2015, 'Evidence-based care


pathway for cellulitis improves process, clinical, and cost outcomes', Journal Of Hospital
Medicine, 10, 12, pp. 780-786.
Geurtzen R. dkk., 2016, Perinatal practice in extreme premature delivery: variation in Dutch
physicians’ preferences despite guideline, Eur J Pediatr Springer175:1039–1046

Permenkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Jakarta.

Permenkes RI, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran. Jakarta.

Rotter T, de Jong RB, Lacko SE, et al. Clinical pathways as a quality strategy. In: Busse R,
Klazinga N, Panteli D, et al., editors. Improving healthcare quality in Europe: Characteristics,
effectiveness and implementation of different strategies [Internet]. Copenhagen (Denmark):
European Observatory on Health Systems and Policies; 2019. (Health Policy Series, No. 53.) 12.

Suharso, J. 2012. Membangun Budaya Keselamatan Pasien Dalam Praktik Kedokteran.


Yogyakarta: Kanisius.
Farida R., Navis Y., Siti J., 2016, Panduan Praktek Klinis dan Clinical Pathway Sebagai Solusi
Efisiensi Pembiayaan Diagnosa Hernia Inguinalis, Appendisitis, dan Sectio Caesarea di RSI
Gondanglegi. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit, 6 (2): 122-129.

Anda mungkin juga menyukai