Anda di halaman 1dari 47

Rumah Sakit Mitra Idaman

Panduan Penyusunan, Penerapan dan Evaluasi


Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway
(CP)
2017

1
Pedoman PPK dan CP RSMI
KATA PENGANTAR

Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan horus dilakukan


secara berkesinambungan. Pemahaman dan penerapan evidence-based
practice oleh dokter secara individual merupakan hal yang baik untuk
peningkatan kualitas pelayanan. Untuk penyakit atau kondisi klinis yang
jumlahnya banyak, berisiko tinggi, mahal, serta bervariasi dalam praktik
diperlukan standardisasi.

Upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan


standar pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang
sistematis, mutakhir, evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa
pelayanan lain dalam menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK
disusun oleh panel pakar (dari organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar
lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan hasilnya disahkan oleh Menteri
Kesehatan. PNPK harus diterjemahkan menjadi Panduan Praktik Klinis
(PPK) oleh masih-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai
dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis fasyankes, dengan
mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka lain. Karena
jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan merujuk
pada sumber lain (artikel asli, meta-analisis, PNPK negora lain, buku ajar,
panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).

PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah


termasuk clinical pathway (CP) untuk penyakit yang perjalanannya dapat
diprediksi dan memerlukan penanganan multidisiplin, algoritme (diagram
untuk pengambilan keputusan yang cepat), protokol (panduan pelaksanaan
tugas yang cukup kompleks), prosedur (panduan langkah-Iangkah tugas
teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada perawat). Perlu
ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas pada
penyakit atau kondisi klinis yang homogen, perjalanan klinisnya dapat
diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.

Pembuatan CP penting karena meningkatnya permintaan berbagai


pihak akan penggunaan tehnologi yang tepat (termasuk tidak berlebih),
pelayanan yang lebih terkoordinasi, komunikasi yang lebih baik antara tenaga
kesehatan dengan pasien, meningkatnya pertanyaan dari masyarakat tentang

2
Pedoman PPK dan CP RSMI
profesionalisme dan kompentasi dari tenaga kesehatan, serta meningkatnya
tuntutan malpraktek atas kelalaian medis.

Penyebab masalah-masalah tersebut dapat dilacak dari bervariasinya


proses dan hasil dari sebuah pelayanan terhadap suatu kasus dan kondisi yang
sama/mirip, sebagai contoh sering terlihat berbagai pendekatan/tindakan yang
berbeda dalam menangani suatu kasus, dan juga ketidak jelasan rencana
pulang dari seorang pasien yang dirawat. Hal tersebut menunjukan tidak
terdapatnya sistem perencanaan pelayanan kesehatan yang baku sehingga
memungkinkan terjadinya variasi yang dapat dihindari bahkan kesalahan vital
dalam proses pelayanan.

Melihat ini maka diperlukan alat lain yakni clinical pathways.


Clinical pathways adalah salah satu alat manajemen penyakit yang banyak
dipakai dan telah berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir ini, terutama
sejak banyaknya laporan penelitian (meski masih diperdebatkan) yang
menunjukan bahwa clinical pathways memiliki potensi dalam mengurangi
variasi pelayanan yang tidak perlu sehingga dapat meningkatkan outcome
klinik dan juga penghematan pemakaian sumber daya (baca: biaya). Di
Indonesia, clinical pathways kembali dibicarakan setelah pemerintah/ Depkes
menunjukan komitmennya untuk menerapkan casemix/DRG’s.

Clinical pathways atau juga dikenal dengan nama lain seperti: Critical
care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway,
caremaps®, atau Anticipated recovery pathway, adalah sebuah rencana yang
menyediakan secara detail setiap tahap penting dari pelayanan kesehatan,
bagi sebagian besar pasien dengan masalah klinis (diagnosis atau prosedur)
tertentu, berikut dengan hasil yang diharapkan.

Clinical pathway secara terstruktur memberikan cara bagaimana


mengembangkan dan mengimplementasikan pedoman klinik (clinical
guideline/best practice) yang ada kedalam protokol lokal (yang dapat
dilakukan). Clinical pathway juga menyediakan cara untuk mengidentifikasi
alasan mengapa sebuah variasi (pelayanan tidak sesuai dengan standar yang
telah ditentukan) yang tidak dapat diidentifikasi melalui audit klinik. Hal
tersebut dimungkinkan karena clinical pathway juga merupakan alat
dokumentasi primer yang menjadi bagian dari keseluruhan proses
dokumentasi pelayanan dari penerimaan hingga pemulangan pasien. Dengan
kata lain, clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan

3
Pedoman PPK dan CP RSMI
memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan
tepat waktu.

4
Pedoman PPK dan CP RSMI
BAB I

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

A. DEFINISI PPK

Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti


standar prosedur operasional (SPO) dalam Undang-W1dang Praktik
Kedokteran yang merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu untuk
menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, bahwa "standar"
merupakan hal yang harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis
SPO dibuat berupa PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu
atau lebih: alur klinis (clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme,
standing order. Berikutcontoh-contoh mengapa PPK dapat sarna atau tidak di
fasyankes yang berbeda:

 PPK untuk demam berdarah dengue (DBO) tanpa syok, karena tidak
memerlukan peralatan dan keahlian canggih sarna semua fasyankes.
 Di suatu rumah sakit tipe A, PPK untuk penyakit jantung bawaan biru
mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy
(BAS), dilanjutkan dengan bedah korektii, karena semua sumber daya
tersedia. Di rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga PPK-nya adalah setelah pasien didagnosis,
diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus dirujuk.
 Di rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah
saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke non-hemoragik memerlukan
pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
Namun di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia
harus dibuat alur klinis yang berbeda.
B. TUJUAN PPK
1. Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu
2. Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
3. Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
4. Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
5. Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai

5
Pedoman PPK dan CP RSMI
C. Ruang Lingkup PPK

Dalam setiap buku PPK harus disertakan disclaimer (wewanti,


penyangkalan) yang intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat
rekomendasi / advis, dan untuk implementasinya harus disesuaikan dengan
keadaan pasien. Disarankan disclaimer mencakup minimal pernyataan bahwa
(1) PPK dibuat untuk average patients, (2) PPK disusun untuk penyakit
tunggal, (3) respons pasien terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariosi,
(4) PPK dianggap sahih pada soot dicetak, dan (5) praktik dokter harus
mengakomodasi persepsi dan keinginan pasien dan keluarga. Dalam hal
dokter tidak melaksanokan apa yang tertulis di PPK, ia horus menjelaskan
alasannya dalam rekam medis.

D. TATALAKSANA
a. Penyusunan PPK

PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis


yang ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian. Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil
penyakit/kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala
turunannya) dibuat dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk
pada: Pustaka mutakhir berupa artikel asli; Systematic review atau meta-
analisis; PNPK dari negara lain; Buku ajar; Panduan dari organisasi profesi;
Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes; Kesepakatan para staf medis

Di rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakit-penyakit terbanyak


untuk setiap departemen, sedangkan untuk rumah sakit tipe A dan tipe B yang
memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakit-penyakit
terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masing-masing. Pembuatan PPK
dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh
Direksi.

b. Isi PPK

Pada umumnya PPK berisi butir-butir berikut:

1. Pengertian
2. Anamnesis

6
Pedoman PPK dan CP RSMI
3. Pemeriksaan fisis
4. Prosedur diagnostik
5. Diagnosis banding
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
8. Edukasi
9. Prognosis
10. Daftar pustaka
c. Perangkat Pelaksana (Dokumentasi)

Dalam PPK mungkin terdapat hal-hal yang memerlukan rincian


langkah demi langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan
serta kebutuhan, dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme,
protokol, prosedur, maupun standing order.

1. Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon
pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa
yang harus dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan
yang efektif dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat
darurat atau instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang
darurat, dengan menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang
cepat untuk memberikan pertolongan.

2. Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi
tertentu yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien
mengalami atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu
perlu dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan
berupa protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari
pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan
pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,
pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam
protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang
mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu
intervensi harus dihentikan, dan seterusnya.

3. Prosedur

7
Pedoman PPK dan CP RSMI
Prosedur merupakan uraian langkah-demi-langkah untuk
melaksanakan tugas teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat
(misalnya cara memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat
luka, suctioning, pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya
pungsi lumbal atau biopsi sumsum tulang).

4. Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien
tertentu, atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh:
perawatan pascabedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam,
pemberian antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia
tertentu.

Contoh:

 Dalam PPK disebutkan bahwa tatalaksana stroke non-hemoragik


harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta
intervensi dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik
penyakit stroke non-hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis
(clinical pathway, CP); sehingga perlu dibuat CP untuk stroke
non-hemoragik.
 Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik
perlu dilakukan hemodialisis. Uraian rinei tentang hemodialisis
dimuat dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.
 Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam
kompleks perlu dilakukan pungsi lumbal. Uraian pelaksanaan
pungsi lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur
pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.
 Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian
diazepam rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh
perawat bila dokter tidak ada; ini diatur dalam "standing order".
d. Penerapan

Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunan-turunannya": clinical


pathway, algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan
yang harus diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya
dikatakan bahwa semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang

8
Pedoman PPK dan CP RSMI
tertulis dalam PPK tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan
kondisi pasien secara individual.

1. PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada
yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien rata-rata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah kotor,
tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2. PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembalipada
pasien demam tifoid. Pada PPK demam tifoid seolah-olah pasien tersebut
hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi, tidak ada
asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol, dan
seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan keluhan
utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia juga
menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya.
Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif menurut
PPK harus diberikan propranolol; namun bila temyata ia menderita asma
berat, maka propranolol tidak boleh diberikan.
3. Pasien gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh
diberikan karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita
diare berdarah; menumt PPK misalnya hams diberikan ko-trimoksazol
sebagai obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan bim
dan memperoleh warfarin maka ko-trimoksasol tidak dapat diberikan.
4. Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan terapeutik sangat
bervariasi. Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apa-apa,
namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps atau
manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sarna juga terjadi pada Prosedur
diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan pencitraan.
5. PPK dianggap valid pada saat dicetak. Kemajuan teknologi kesehatan
berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif dan
aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping yang
jarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut tidak
boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif, tersedia,
dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya, maka obat
tersebut hams diberikan sebagai pengganti obat yang ada dalam PPK.

9
Pedoman PPK dan CP RSMI
6. Praktik kedokteran modern mengharuskan kita mengakomodasi apa yang
dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma
evidence-based practice, yakni dalam tata laksana pasien diperlukan
kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan
keluarga), maka clinical decision making process hams menyertakan
persetujuan pasien. Bila menumt ilmu kedokteran ada obat atau prosedur
yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya tidak setuju,
maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya setelah pasien
diberikan penjelasan yang lengkap.
7. Orang yang paling berwenang menilai secara komprehensif keadaan
pasien adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhimya
menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur
sesuai dengan yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan
apa yang ada dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan
jelas dalam rekam medis, dan ia hams siap untuk
mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak dilakukan maka dokter
tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya kepada pasien.
e. Revisi

PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya


harus selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Untuk itu
PPK secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun.
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka
mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula.

10
Pedoman PPK dan CP RSMI
BAB II

CLINICAL PATHWAY

A. DEFINISI CLINICAL PATHWAY

Clinical pathways atau juga dikenal dengan nama lain seperti: Critical
care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway,
caremaps®, atau Anticipated recovery pathway, adalah sebuah rencana yang
menyediakan secara detail setiap tahap penting dari pelayanan kesehatan,
bagi sebagian besar pasien dengan masalah klinis (diagnosis atau prosedur)
tertentu, berikut dengan hasil yang diharapkan.

B. RUANG LINGKUP CLINICAL PATHWAY

Clinical pathway secara terstruktur memberikan cara bagaimana


mengembangkan dan mengimplementasikan pedoman klinik (clinical
guideline/best practice) yang ada kedalam protokol lokal (yang dapat
dilakukan). Clinical pathway juga menyediakan cara untuk mengidentifikasi
alasan mengapa sebuah variasi (pelayanan tidak sesuai dengan standar yang
telah ditentukan) yang tidak dapat diidentifikasi melalui audit klinik. Hal
tersebut dimungkinkan karena clinical pathway juga merupakan alat
dokumentasi primer yang menjadi bagian dari keseluruhan proses
dokumentasi pelayanan dari penerimaan hingga pemulangan pasien. Dengan
kata lain, clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan
memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan
tepat waktu.

C. TUJUAN CLINICAL PATHWAY

1. Memilih “best practice” pada saat pola praktek diketahui berbeda


secara bermakna dan sebenarnya tidak perlu.
2. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan
penggunaan pemeriksaan klinik dan prosedur klinik lainnya.
3. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang bebeda
dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar
dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang
lebih sedikit

11
Pedoman PPK dan CP RSMI
4. Memberikan seluruh staf yang terlibat tujuan umum yang harus tercapai
dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut
5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa
data proses pelayanan sehingga provider dapat mengetahui seberapa
sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan
sesuai dengan standar
6. Mengurangi beban dokumentasi klinik
7. Meningikatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada
pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat
tentang rencana pelayanan)

D. TATALAKSANA CLINICAL PATHWAY


a. Penyusunan

Umumnya clinical pathways dikembangkan untuk diagnosa atau


tidakan yang “high-volume”, ”high-risk” dan ”high-cost”. Clinical pathways
banyak dikembangkan di rumah sakit namun saat ini secara bertahap sudah
mulai diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing
homes dan home healthcare.

Berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathways, salah


satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1. Bentuk tim penyusun clinical pathways yang terdiri dari staf
multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan tim
dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti
organisasis profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk
menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical
pathways.
Agenda pertemuan pertama umumnya adalah adalah untuk
mengidentifikasi peran narasumber dan tim penyusun, memilih
kasus/kelompok pasien, mengidentifikasi key players, menetapkan
time-frame, membuat rencana site visit dan studi literatur dan
menyusun agenda pertemuan berikut.
Kiriteria dalam memilih kasus/kelompok pasien seharusnya meliputi
kondisi klinik yang sering terjadi atau berbiaya tinggi, yang diminati
oleh para staf klinik, atau yang dalam praktek sehari-hari memiliki
banyak variasi dan berpengaruh kepada outcome pasien.

12
Pedoman PPK dan CP RSMI
2. Evaluasi Pelaksanaan Diagonis/Tindakan Saat ini di RS yang
bersangkutan untuk mengenal praktik yang sekarang berlangsung,
menilai sistem pelayanan yang ada, dan memperkuat alasan mengapa
clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan evaluasi internal perlu
dilanjutkan dengan evaluasi eksternal misalnya dengan melakukan
benchmark ke RS lain. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan
ide.
3. Studi literatur untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab
dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan
kekuatan evidens. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan
rekomendasi tertulis.
4. Diskusi kelompok terarah untuk mengenal kebutuhan pelanggan
(internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan RS
dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta mengenal kesenjangan antara
harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut juga
untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu
pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta pengukuran dan
monitoring
5. Susun pedoman klinik dengan mempertimbangkan hasil evaluasi
internal dan eksternal, hasil studi literatur dan hasil focus group
discussion. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur
pelayana.
6. Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi
penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan pathway. Bauran
ini meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang
digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan,
praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
7. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome. Contoh
ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan
mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru,
skala kesehatan pasien (wellness indicator),
8. Mendisain dokumentasi clinical pathway dengan memperhatikan
format clinical pathway (apakah format bebas atau checklist) dan
ukuran kertas.
Secara konvensional clinical pathway ditulis dalam bentuk
fomulir matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu
pelayanan disisi yang lain. Aspek pelayanan meliputi: Penilaian dan

13
Pedoman PPK dan CP RSMI
Pemantauan Pasien; Pemeriksaan penunjang medik; Tatalaksana;
Medikasi; Nutrisi; Kegiatan; Konsultasi dan komunikasi tim; Konseling
psikososial; Pendidikan dan komunikasi dengan pasien/keluarga; dan
Rencana discharge.
Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi
klinik harian, namun hal ini dapat berbedatergantung dari perjalanan
dan perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical
pathway untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu
perminggu atau bulan).
Umumnya CP terdiri dari:
a. Header (identifikasi pasien, tanggal penyusunan clinical
pathway,nomor revisi)
b. Aksis vertikal yang berupa: tindakan/intervensi yang dilakukan
mulai dari kajian (medis, keperawatan, penunjang medis),
terapi/intervensi (medis, keperawatan, penunjang medis,
farmasi), rencana discharge (kajian, konferensi kasus, kajian
tujuan discharge, pendidikan pasien, rujukan, tukar menukar
informasi) dan kebutuhan khusus (sosial, personal, medis)
c. Aksis horisontal: waktu (dengan interval dapat jam, hari,
minggu, bulan)
d. Ruang untuk pencatatan adanya variasi
e. Ruang untuk pembubuhan tandatangan petugas pada tiap
intervensi yang dilakukan.
Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu
mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat
kesesuaian dengan dokumentasi lain.
Clinical pathways mengintegrasikan protokol terapi, rencana
asuhan keperawatan dan aktifitas dari pelayanan klinik lainnya dalam
sebuah rencana pelayanan yang secara jelas menetapkan outcome yang
akan didapat oleh pasien.
Clinical pathways yang baru disusun perlu diuji coba dahulu
yang meliputi penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data,
kemudian diikuti dengan pelatihan kepada para staff untuk
menggunakannya.
Diperlukan analisa variasi dan menelusuri mengapa praktek
dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical
pathways. Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi

14
Pedoman PPK dan CP RSMI
umum, memberi signal kepada staf akan adanya pasien yang tidak
mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical
pathways dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-
aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat
menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat
dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi yang dapat
dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit
penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang
individu).
Idealnya seluruh staf yang terlibat dalam pelayanan pasien
dengan kondisi tertentu yang terpilih dalam clinical pathways didorong
untuk:
1. Mengikuti clinical pathways.
2. Melengkapi dokumen clinical pathways, memberi tanda setiap
elelmen kunci dari pelayanan yang diberikan sesuai apa yang
dilakukan.
3. Merasa bebas menentukan pelayanan yang berbeda dari clinical
pathways dengan memberikan justifikasi dan menulisnya dalam
formulir variasi.
4. Melakukan tindakan yang tepat pada saat clinical pathways
menunjukan adanya perkembangan pasien yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan (lebih baik atau kurang baik).
5. Memastikan bahwa pasien mengerti mengenai alur pelayanan yang
terkait dengan mereka dan memberikan akses kepada clinical
pathways.

b. Evaluasi

Alat yang baik untuk melakukan evaluasi terhadap clinical pathways


harus mempunyai karakteristik adanya (Vanhaercht 2006): Komitmen dari
organisasi; Path project management; Persepsi mengenai konsep dari
pathway; Format dokumen; Isi pathway; Keterlibatan multidisiplin ilmu;
Pengelolaan variasi; evidance based medicine, maintenance pathway;
Akuntabilitas; Keterlibatan pasien; Pengembangan pathway; Dukungan
sistim dan dokumentasi; pengelolaan operasional; Implementasi; Pengelolaan
hasil (outcome) dan Keamanan

15
Pedoman PPK dan CP RSMI
Ada tujuh instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan audit
terhadap isi dan mutu clinical pathways. Ketujuh instrumen adalah:The
Clinical Path Assesment; The ICP Analysis Sheet; The ICP Evaluation Form;
The ICP Key Elements Checklist; The Integrated Care Pathway Appraisal
Tool (ICPAT); The QAT Pathway Development / Practice Standard dan The
Template for Clinical Pathway Design.

Integrated Clinical Pathway Appraisal Tool (ICPAT) merupakan salah


satu instrumen yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk melakukan
evaluasi dari isi dan mutu, yang terdiri dari 6 dimensi (Whittle, 2009) yaitu :

1. Memastikan ICP: Bagian ini memastikan apakah formulir yang dinilai


adalah Clinical Pathway (CP). Hal ini disebabkan karena ada banyak
kesimpangsiuran pengertian dan definisi mengenai CP. Maka langkah
pertama yang perlu dilakukan adalah untuk menilai apakah suatu
guideline yang akan kita nilai adalah CP atau bukan.
2. Dokumentasi ICP: Merupakan salah satu bentuk dalam evaluasi
dokumentasi CP. CP adalah formulir yang digunakan secara aktual untuk
mendokumentasikan pelayanan/terapi yang diberikan kepada masing-
masing pasien. Dokumentasi ini termasuk untuk mencatat kepatuhan
maupun ketidakpatuhan (variasi)
3. Proses pengembangan ICP: Proses pengembangan CP sama pentingnya
dengan CP yang dihasilkan, karena CP merupakan sebuah alat yng akan
digunakan untuk mengevaluasi pelayanan / terapi yang telah diberikan
dan untuk memperbaiki pelayanan tersebut sehingga akan melibatkan
proses perubahan dalam praktek sehari-hari.
4. Proses implementasi ICP: Definisi dari penerapan (implementasi) CP
adalah saat proses pengembangan CP (termasuk uji coba) telah selesai
dilakukan dan tim yang mengembangkan telah siap untuk
menerapkannya dalam praktek sehari-hari. Dalam bagian ini pertanyaan-
pertanyaan yang dibuat adalah untuk memastikan efektifitas penerapan
dan penggunaan CP.
5. Pemeliharaan ICP: Salah satu faktor sukses terpenting dalam peggunaan
CP adalah kegiatana untuk menjaga CP yang mensyaratkan CP berfungsi
sebagai alat dinamis yang dapat merespon masukan dari staf, pasien,
respon klinis, referensi terbaru sehingga isi dan desain dari CP perlu
direview terus menerus.

16
Pedoman PPK dan CP RSMI
6. Peran organisasi: Peran organisasi merupakan salah satu hal penting yang
akan mendukung proses pelaksanaan CP.

Instrumen lain yang dapat digunakan untuk evaluasi clinical pathways


adalah audit klinis. Tahapan melakukan audit klinis untuk evaluasi clinical
pathways hampir sama dengan untuk evaluasi mutu layanan kesehatan di
rumah sakit. Tahapan yang harus dilakukan adalah:

1. Pemilihan topik: pada tahap ini kita melakukan pemilihan 5 topik CP


yang sudah diimplementasikan di rumah sakit. Bila ada lebih dari 5 topik
CP yang sudah berjalan di rumah sakit, maka prioritaskan 5 topik yang
disusun pada tahun itu.
2. Penetapan kriteria: Dipilih dari kriteria yang terdapat dari form clinical
pathways (bisa proses bisa outcome). Tentukan juga kriteria perkecualian
(kriteria justifikasi apabila kriteria audit tersebut tidak dilakukan).
Perkecualian dilihat didaftar variasi.
3. Pengumpulan data: Ambil dari 30 – 100 form CP yang telah diisi.
Lakukan penilaian dari data yang ada sesuai dengan kode hasil audit:
kode 1: Sesuai kriteria; kode 2: Tidak sesuai kriteria tapi memenuhi
perkecualian (ada alasan/justifikasi); dan kode 3: Tidak sesuai kriteria
tidak memenuhi perkecualian. Masukan penilaian pada form
pengumpulan data seperti berikut:

4. Analisa data: Pada tahap analisa data dilakukan kegiatan sebagai berikut:
Menghitung tingkat kepatuhan secara umum, mengidentifikasi pola
penyimpangan, dan mengidentifikasi penyebab penyimpangan.
5. Menetapkan dan melaksanakan perubahan: untuk melakukan tindak lanjut
perubahan yang efektif, maka syaratnya adalah: ditujukan pada yang kompeten;
ada batas waktu; tanggung jawab ditegaskan & dikomunikasikan; serta dibuat
rencana secara detail (POA) yang mencakup permasalahan, rencana tindakan,
pelaksana, batas waktu, persetujuan yang berwenang.
Berikut adalah contoh form penyusun POA:

17
Pedoman PPK dan CP RSMI
6. Melakukan re-audit: lakukan audit medik ulang setelah selesai melakukan
intervensi. Re-audit dilakukan dengan cara: audit terhadap topik clinical
pathways yang telah dintervensi, jumlah clinical pathways yang hampir sama,
kriteria dan perkecualian yang sama, serta evaluasi apakah telah ada perbaikan.
Bila tidak maka perlu dirumuskan tindak lanjut yang baru.

DAFTAR ISTILAH KUNCI

1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang


dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan pembuat keputusan klinis tentang tata laksana
penyakit atau kondisi klinis yang spesifik. PNPK disusun oleh kelompok pakar
dari organisasi profesi, akademisi, serta pakar lain yang terkait yang dikoordinasi
oleh Kemenkes.PNPK disahkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam pustaka PNPK
setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
2. Panduan Praktik Klinis, (Clinical Practice Guidelines, PPK) merupakan
panduan yang bersifat rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter gigi
dalammelaksanakan pelayanan pada pasien dengan penyakit atau kondisi klinis
tertentu.Panduan ini berbasis bukti dan memberikan informasi tentang pelayanan
yang paling efektif, aman, dan cost-effective. Dokter atau dokter gigi
menerapkan PPKsesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk
menentukan rencana pelayanan yang tepat kepada pasien. PPK disusun oleh
fasilitas kesehatan dengan mengacu pada PNPK dan / atau sumber pustaka
mutakhir; di rumah sakit penyusunan PPK dikoordinasi oleh Komite Medis.
3. Clinical pathway (CP, alur klinis) adalah bagian atau kelengkapan PPK yang
mengatur, mengurutkan, dan menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh
dokter, perawat, profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. CP
dinilai efektif dan efisien bila diterapkan pada penyakit atau kondisi klinis yang
perjalanan klinisnya dapat diprediksi serta memerlukan pendekatan
multidisiplin. Perencanaan tata laksana dibuat tercetak dalam format tabel, apa

18
Pedoman PPK dan CP RSMI
yang harus dilakukan, kapan dilakukan, apa outcome-nya dari hari ke hari,
bahkan untuk kasus tertentu dalam hitungan jam. Stroke non-hemoragik,
persalinan normal, bedah kaisar, apendektomi, pemasangan device untuk
menutup defek pada penyakit jantung bawaan merupakan contoh-contoh tata
laksana kasus yang layak untuk dibuat CP. Sinonim: care pathway, care map,
integrated care pathways, multidisciplinary pathways of core, pathways of core,
collaborative care pathways.
4. Algoritme adalah skema rekomendasi tata laksana pasien yang dirancang untuk
pengambilan keputusan yang cepat, misalnya di instalasi gawat darurat.
Algoritme biasanya disusun sebagai flowchart yang terstruktur, decision tree,
ataupun decision grid. Protokol merupakan pemandu lengkap tentang cara
melakukan tugas yang kompleks, seperti pemasangan dan pengaturan ventilator
mekanik, pelaksanaan hemodialisis.
5. Prosedur adalah panduan langkah demi langkah untuk tugas teknis tertentu,
seperti biopsi sumsum tulang, pemasangan infus, pungsi lumbal.
6. Standing orders merupakan suatu set instruksi dokter yang ditujukan kepada
perawat atau profesional kesehatan lain untuk memberikan intervensi kepada
pasien selama dokter tidak ada di tempat. Standing order dapat dibuat untuk set
kegiatan tertentu (misalnya pada operasi tertentu perawat mengukur tanda vital,
memasang kateter uretra, memasang infus, memberikan suntikan obat tertentu
tanpa perintah dokter. Standing order juga dilaksanakan pada kondisi pasien
tertent; missal pasien anak dengan kejang demam diberikan diazepam rektal,
anak dengan hiperpireksi diberikan parasetamol, dsb.
7. Disclaimer (penyangkalan, wewanti). Dalam kamus disclaimer merupakan
sinonim refusal, denial, rejection. Disclaimer diartikan sebagai pernyataan
formal untuk menolak bertanggung jawab secara hukum. Dalam konteks
panduan praktik klinis (PPK) disclaimer menunjukkan pembatasan atau
penolakan atas tanggung jawab hukum dalam penggunaan PPK, biasanya
disertai dengan keterangan ringkas. Misalnya: ..... penggunaan PPK ini horus
disesuaikan dengan keadaan pasien secora individual karena ...", ..... panduan ini
bukan buku ajar sehingga tidak memuat informasi yang lengkap ...", "
...penyusun PPK ini tidak menjamin keakuratan informasi dalam panduan ini. ..",
...... kami tidak bertanggung jawab atas hasil apa pun akibat penggunaan PPK
ini..." dan seterusnya. Penyangkalan ini horus dimuat di setiap PPK.

19
Pedoman PPK dan CP RSMI
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, et al, Integrated care pathway, BMJ, Vol 316, 1998.

Cheah, Development and implementation of a clinical pathway programmme in


acute care general hospital in Singapore, International journal for quality in
health care 2000, vol 12 no 5.

Coffey, Richards, Remmert et al, An introduction to critical paths. Quality


Management Health Care 1992.

Guinane, Carole. S., Clinical Care Pathway: tools and methods for designing,
implementing, and analysing efficient care practices, Mosby, 1997.

Djasri, Hanevi. Rahma, Puti Aulia, Training of Trainer Penyusunan, Implementasi


dan Evaluasi Clinical Pathway. Dynamic Consulting Group. 2017

Konsorsium Upaya Kesehatan Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan
Kedokteran, 2014

Mustika, D., Evaluasi Pengembangan dan Implementasi Clinical Pathway Sectio


Caesaria di Eka Hospital, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2011.

Whittle, C., ICPAT: Integrated care pathways appraisal tools. International Journal
of Care Pathway, 13, pp. 75 – 77, 2009.

20
Pedoman PPK dan CP RSMI
LAMPIRAN

1. Matriks Rencana Kerja Penyusunan Clinical Pathways


Kegiatan Waktu Penanggung Jawab Indikator Capaian Keterangan

Tahap Penyusunan Clinical Pathways

Menentukan topik

Menentukan koordinator multi


disiplin

Menetukan pemain kunci

Tahap Implementasi Clinical Pathways

Perbanyakan formulir clinical


pathways

Penyebaran formulir clinical pathways

Edukasi dan sosialisasi penggunaan


clinical pathways

1
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI

Tahap Evaluasi Clinical Pathways

Evaluasi clinical pathways

Penyusunan laporan

2
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
2. Lembar Kerja Penyusunan Clinical Pathways (lembar kerja ini
dikembangkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS)

LEMBAR KERJA
PENYUSUNAN CLINICAL PATHWAY
*Petunjuk pengisian: Hapus kata perintah yang ditulis dalam warna biru, lalu isilah
titik-titik dibawah ini sesuai dengan hasil diskusi kelompok. Bahas satu persatu
langkah, jangan melanjutkan ke langkah berikutnya sebelum diminta oleh fasilitator

1. Pemilihan Topik

A. Topik:(tentukan topik yang dipilih)



B. Alasan pemilihan topik: (masukkan data-data pendukung untuk
memperkuat alas an pemilihan topik)
...

2. Menunjuk Koordinator (Penasehat Multidisiplin)

Koordinator: (pilih koordinator yang akan mengkoordinir penyusunan


clinical pathway sesuai topik yang dipilih)

3. Menetapkan Pemain Kunci

Pemain Kunci: (tentukan semua klinisi yang berperan dalam pemberian


pelayanan untuk topik yang dipilih)

4. Melakukan Kunjungan Lapangan

Hasil kunjungan lapangan: (berisi temuan-temuan praktek klinik di rumah


sakit, temuan ini akan digunakan untuk memperbaiki/ menyusun PPK)

1. ...
2. ...
3. ...

5. Melakukan Pencarian Literatur

Hasil studi literatur: (berisi temuan penting dari telaah literatur yang
diperlukan untuk memperbaiki/ menyusun PPK)

1. ...
2. ...
3. ...

Daftar pustaka:

1. …
2. …

3
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
3. …

6. Melakukan Customer Focus Group:(tidak dikerjakan)

7. Melakukan Revisi PPK

(Template PPK berdasar Permenkes 1438 tahun 2010 bab V pasal 10 ayat 5)

Pengertian:

Anamnesis:

Pemeriksaan fisik:

Kriteria diagnosis:

Diagnosis banding:

Pemeriksaan penunjang:

Terapi:

Edukasi:

Prognosis:

Kepustakaan:

8. Penentuan Lama Rawat Inap

Lama Hari yang Ditetapkan Untuk Rawat Inap :

9. Menentukan Desain Clinical Pathway -- Pengukuran Proses dan


Outcome

Cara mengisi:

1. Sesuaikan kolom “time line” sesuai dengan lama hari yang ditetapkan
untuk rawat inap (nomer 8)
2. Isi item-item yang ada dalam SOP dan SAK yang telah direvisi (hasil
kerja nomer 7) ke dalam formulir

Nomor CP:
Clinical Pathways
Logo RS Tanggal berlaku:
(sebutkan nama diagnosis/tindakan)
Nomor revisi:
Nama pasien :_____________________________________________________
Tanggal lahir pasien :_____________________________________________________
Nomor rekam medik :_____________________________________________________
Catatan khusus :(berisi kondisi-kondisi khusus pasien yang harus diperhatikan
karena terkait pelayanan sesuai topik yang dipilih)
_____________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________
______________________________________________________

4
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Aspek Pelayanan Hari Hari II Hari dst
I(berikan III
tanda [ ]
untuk
menunjukkan
waktu
pemberian
layanan)
1. Penilaian dan Pemantauan Medis(Berisi semua
pemeriksaan medis yang harus dilakukan kepada
pasien. Ditulis dalam kata kerja yang lengkap dan
jelas) (tidak mengubah kondisi pasien)

• ...
2. Penilaian dan Pemantauan
Keperawatan(Berisi semua pemantauan
keperawatan. Ditulis dalam kata kerja yang
lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
3. Pemeriksaan Penunjang medik (lab, radiologi,
dsb)(Berisi semua pemeriksaan penunjang
medis yang diberikan kepada pasien. Ditulis
dalam kata kerja yang lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
4. Tindakan Medis(Berisi semua tindakan medis
yang diberikan kepada pasien. Ditulis dalam
kata kerja yang lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
5. Tindakan Keperawatan(Berisi semua tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien.
Ditulis dalam kata kerja yang lengkap dan
jelas)
• ...
• ...
• ...
6. Medikasi (Obat-obatan, cairan IV, tranfusi,
dsb)(Berisi semua medikasi yang diberikan
kepada pasien. Ditulis nama generik obat dan
dosisnya)

5
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
• ...
• ...
• ...
7. Nutrisi (enteral, parenteral, diet, pembatasan
carian, makanan tambahan, dsb)(Berisi jenis
nutrisi yang diberikan kepada pasien)
• ...
• ...
• ...
8. Kegiatan (aktifitas, toileting, pencegahan
jatuh)(Berisi semua kegiatan yang diberikan
kepada pasien. Ditulis dalam kata kerja yang
lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
9. Konsultasi dan komunikasi tim (rujuk ke
spesialis atau unit lain, jadwal konfrensi tim)
(Berisi semua konsultasi ke klinisi lain yang
diberikan kepada pasien. Ditulis dalam kata
kerja yang lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
10. Konseling psikososial (kepastian dan
kenyamanan bagi pasien/keluarga)(Berisi
semua konseling yang diberikan kepada pasien
dan keluarganya. Ditulis dalam kata kerja yang
lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
11. Pendidikan dan komunikasi dengan
pasien/keluarga (obat, diet, penggunaan alat,
rehabilitasi, dsb)(Berisi edukasi yang diberikan
kepada pasien. Ditulis dalam kata kerja yang
lengkap dan jelas)
• ...
• ...
• ...
12. Rencana discharge (penilaian outcome pasien
yang harus dicapai sebelum
pemulangan)(Berisi semua harapan hasil
perawatan pasien. Ditulis dalam kata sifat
yang lengkap dan jelas. Setiap hari perawatan
hendaknya meunjukkan hasil perawatan)
• ...
• ...

6
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
• ...

Variasi pelayanan yang Tanggal Alasan Tanda-


diberikan (Berisi semua tangan
variansi yang muncul saat
pengisian formulir clinical
pathway. Variansi diilhat bila
ada kotak yang tidak
dicontreng atau tidak ada
kotak namun dicontreng)

Tanggal masuk Tanggal keluar

Diagnosa Utama Kode ICD 10


Diagnosa Penyerta Kode ICD 10
Komplikasi Kode ICD 10

Tindakan Utama Kode ICD 9


Tindakan Lain Kode ICD 9

Petunjuk Penggunaan: (berisi cara-cara penggunaan formulir ini (misalnya dengan


cara mencontreng apabila sudha dilksanakan), masukkan juga criteria inklusi
maupun eksklusi, serta jenis variansi yang mungkin muncul dalam proses perawatan
pasien dengan topik tersebut)
1. Formulir ini digunakan dengan cara dicontreng apabila sudah dilaksanakan
2. Formulir ini hanya bisa digunakan untuk pasien dengan kriteria sebagai
berikut:
a. …
b. …
3. Formulir ini hanya sebagai pedoman, pelaksanaan di lapangan disesuaikan
dengan kondisi pasien
4. Isilah kolom variansi apabila terdapat ketidaksesuaian antara pelaksanaan di
lapangan dan clinical pathway, contohnya:
a. …
b. …
c. …
5. …

7
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
3. Lembar Kerja Evaluasi Clinical Pathways Menggunakan ICPAT (lembar
evaluasi ini dikembangkan oleh dr. Hanevi Djasri, MARS)

Memastikan bahwa yang kita nilai adalah Clinical Pathways (CP)


Karena ada banyak kesimpang-siuran pengertian dan definisi mengenai CP (de Luc
1999), maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah untuk menilai apakah
suatu guideline yang akan kita nilai adalah CP atau bukan. Karena tidak adanya satu
definisi tentang CP maka daftar pertanyaan berikut ini dirangkum dari berbagai
definisi yang dikenal dengan baik terutama di Inggris (Riley 1998, Johnson 1997,
Wilson 1997, Middleton & Roberts 2000).
Dimensi 1: Apakah benar CP?
Ya Tidak
KONTEN 1–10
1. Apakah CP punya titik awal?
2. Apakah CP punya titik akhir?
3. Apakah CP memberikan outline (garis besar) mengenai proses
pelayanan atau terapi?
4. Apakah CP menggambarkan perjalanan/alur pelayanan yang akan
diterima pasien (misalnya dalam rangkaian hari, minggu, bulan, tahap,
dsb)?
5. Apakah ICP mencakup kontinuitas pelayanan/terapi selama 24 jam (bila
diperlukan)?
6. Apakah CP juga berguna untuk mengingatkan para staf pada saat
pelayanan?
7. Apakah formulir CP dapat digunakan untuk mencatat pelayanan yang
didapat oleh individu pasien?
8. Apakah dokumentasi CP dapat mencatat secara spesifik pelayanan yang
dibutuhkan oleh pasien?
9. Apakah CP dapat membantu pengambilan keputusan atau menunjukan
fokus perhatian pada faktor-faktor lain seperti ko-morbidit, faktor resiko
atau masalah lain?
10. Apakah ada ruang dalam formulir ICP untuk menulis variasi atau
perkecualian terkait dengan kondisi atau pelayanan pasien?
MUTU 1–2
1. Dokumen CP digunakan sebagai bagian/kesatuan dalam
pelayanan/terapi
2. CP menggambarkan siapa saja yang berkontribusi dalam pelayanan

8
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Mengevaluasi Dokumentasi CP

CP adalah formulir yang digunakan secara aktual untuk


mencatat/mendokumentasikan pelayanan/terapi yang diberikan kepada masing-
masing pasien. Dokumentasi ini termasuk untuk mencatat kepatuhan maupun
ketidak-patuhan (variasi) sehingga standar yang berlaku untuk dokumen sejenis
(rekam medik) juga berlaku untuk CP. Evaluasi ini dikembangkan untuk CP yang
dikembangkan yang berbasis kertas (print out) meskipun beberapa prinsip juga dapat
dievaluasi untuk CP berbasis elektronik (e-CP)
Dimensi 2: Dokumentasi CP
Ya Tidak
KONTEN 11–33
11. Apakah judul CP memuat secara jelas jenis penderita/penyakit?
12. Apakah ada intruksi penggunaan formulir CP?
13. Apakah ada penjelasan mengenai keadaan dimana pasien tidak dapat
menggunakan CP ini (kriteria eksklusi)?
14. Apakah ada mekanisme untuk mengidentifikasi bahwa pasien
sebenarnya masuk dalam CP lain (bila memerlukan)?
15. Apakah ada nomor halaman disetiap halaman?
16. Apakah ada jumlah total halaman disetiap halaman?
17. Apakah ada nomor versi/revisi dari formulir CP?
18. Apakah ada tanggal kapan CP tersebut dikembangan/berlaku pada
formulir CP?
19. Apakah ada tanggal rencana review dokument CP?
20. Apakah semua singkatan/istilah dijelaskan dalam dokumen CP?
21. Apakah ada ruang untuk menuliskan nama pasien disetiap halaman?
22. Apakah ada contoh tanda-tangan (paraf) untuk setiap staf/klinisi yang
akan mengisi formulir CP?
23. Apakah ada instruksi tentang bagaimana cara mencatat
variasi/perkecualian?
24. Apakah ada peringatan akan pentingnya melengkapi
variasi/perkecualian?
25. Apakah sistem pencatatan variasi/perkecualian memuat data: tanggal,
jam, deksripsi variasi, tindakan yang diambil dan tanda-tangan/paraf?
26. Apakah ada sistem pengingat bahwa harus ada justifikasi profesional
sewaktu akan memberikan pelayanan/terapi yang diminta atau
dibutuhkan oleh pasien?
27. Apakah pasien memiliki akses kepada CP mereka?
28. Apakah ada kondisi dimana pasien mengisi beberapa bagian dari CP?
29. Apakah CP memasukan pernyataan persetujuan (consent) pasien
terhadap pelayanan/terapi yang diberikan (bila diperlukan)?
30. Apakan isi CP berdasarkan referensi?

9
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
31. Apakah ada penjelasan dimana tempat membuat catatan tambahan
dalam dokumentasi CP?
32. Apakan dijelaskan dimana CP disimpan saat digunakan?
33. Apakah sistem dokumentasi CP memenuhi standard dokumentasi RS
dan Nasional?
MUTU 3–6
3. Outcome/Tujuan untuk pasien ditetapkan dengan jelas
4. Instruksi penggunaan CP dicantumkan dengan jelas
5. Ada penjelasan mengenai partisipasi pasien dalam CP
6. Ada mekanisme untuk mencatat pelaksanaan pemberian penjelasan
variasi kepada pasien

Mengevaluasi Proses Pengembangan


Proses pengembangan CP sama pentingnya dengan CP yang dihasilkan (de Luc
2000), karena CP adalah sebuah alat (tools) yang akan juga digunakan untuk
mengevaluasi pelayanan atau terapi yang telah diberikan dan untuk memperbaiki
pelayanan tersebut sehingga akan melibatkan proses perubahan dalam praktek sehari-
hari (Andolina 1995, Dykes 1997 dan Overill 1998). Untuk itu pada langkah ini,
evaluator perlu memastikan adanya rasa memiliki dari para staf/klinisi terhadap CP
yang dihasilkan. Rasa memiliki tersebut dapat terlihat dari keterlibatan para
staf/klinisi dalam mengambil keputusan tentang pengembangan CP, keterlibatan
mereka dalam proses penyusunan dan uji-coba.
Dimensi 3: Proses pengembangan CP
Ya Tidak
KONTEN 34–46
34. Apakah dalam notulen pertemuan terdapat daftar absensi staf yang
terlibat dalam proses penyusunan?
35. Apakah ada catatan mengenai keputusan-keputusan yang diambil terkait
denganisi dari CP?
36. Apakah review praktek-praktek yang telah dilaksanakan menjadi dasar
dari pengembangan CP?
37. Apakah pencarian literatur dilakukan untuk menetapkan isi dari CP?
38. Apakah ada catatan dalam proses pengembangan alasan untuk
memasukkan sebuah referensi?
39. Apakah ada catatan dalam proses pengembangan alasan untuk tidak
memasukkan sebuah referensi?
40. Apakah ada staf penanggung jawab terhadap kerahasiaan pasien yang
mereview CP?
41. Apakah ada perwakilan pasien yang turut mereview CP untuk
memastikan kerahasiaan pasien?
42. Apakah CP telah diuji coba?
43. Apakah variasi/perkecualian diaudit saat uji-coba?

10
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
44. Apakah outcome/tujuan diaudit saat uji-coba?
45. Apakah dilakukan audit penggunaan CP saat uji coba?
46. Apakah ada umpan balik dari hasil audit penggunaan CP saat uji coaba?
QUALITY ITEMS 7–23
7. Standar dokumentasi yang telah ada sebelumnya telah diaudit sebelum
mengembangan CP
8. Semua referensi, pedoman dan petunjuk teknis yang digunakan dalam
CP tersedia untuk para staf untuk dipelajari
9. Penilaian terhadap referensi yang digunakan dilakukan secara
komprehensif
10. Resiko klinik dipertimbangkan sebagai bagian dari CP
11. Diskusi tentang isi dari CP dilakukan secara komprehensif
12. Pelatihan, pendidikan dan kompetensi staf diperhatikan sebagai bagian
dari isi CP
13. Semua perwakilan staf yang akan menggunakan CP telah dilibatkan
dalam proses pengembangan
14. Pasien dilibatkan dalam pengembangan CP
15. Kebutuhan pasien yang multi-kultur telah dipertimbangkan
16. Pendapat para staf mengenai CP dikumpulkan saat uji coba
17. Persyaratan hukum telah terpenuhi dalam uji coba
18. Semua staf dan pasien (bila diperlukan) yang diminta mengisi CP telah
melaksanakan hal itu saat uji coba.
19. Pada uji coba telah diidentifikasi area ketidak-patuhan dengan resiko
yang dapat ditolerir oleh RS
20. Pada uji coba telah diidentifikasi area yang dapat tidak digunakan
dengan resiko yang dapat ditolerir oleh RS.
21. Jumah sampel pasien untuk uji coba CP mencukupi
22. Pendapat pasien dikumpulkan pada saat uji coba
23. Hasil uji-coba telah didiskusikan dengan pasien.

11
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Mengevaluasi Proses Penerapan

Dalam tahap evaluasi ini, definisi dari penerapan CP adalah “saat proses
pengembangan CP (termasuk uji coba) telah selesai dilakukan dan tim yang
mengembangkan telah siap untuk menerapkannya dalam praktek sehari-hari”.
Pertanyaan berikut ini bertujuan untuk memastikan efektifitas penerapan dan
penggunaan CP
Dimensi 4: Penerapan CP
Ya Tidak
KONTEN 47–51
47. Apakah ada bukti bahwa RS pada proses pengembangan telah menelaah
kemungkinan resiko yang dapat terjadi karena penggunaan CP sebelum
di gunakan?
48. Apakah sudah ada program pelatihan penggunaan CP untuk para staf?
49. Apakah telah ada kesepakatan tentang penyipanan CP setelah
digunakan?
50. Apakah ada sistem untuk memberikan umpan balik tentang variasi yang
terjadi dalam CP kepada pasien?
51. Apakah telah ada alokasi sumber daya untuk melaksanakan training
penggunaan CP?
MUTU 24
24. Penilaian resiko oleh RS telah mencukupi (adequate)

Mengevaluasi Proses Maintenance CP

Salah satu faktor sukses terpenting dalam penggunaan CP adalah kegiatan untuk
menjaga (maintenance) CP yang mensyaratkan agar CP dapat berfungsi sebagai alat
yang dinamis yang dapat merespon masukan dari staf, pasien, respon klinis, referensi
terbaru sehingga isi dan desain dari CP perlu direview terus menerus (Dykes 1998, de
Luc 2000).
Dimensi 5: Maintenance CP
Ya Tidak
KONTEN 52–55
52. Apakah CP direview setiap tahun atau kurang?
53. Apakah ada individu staf yang bertanggung jawab untuk menjagaCP?
54. Apakah ada pelatihan bagi para staf saat ada perubahan isi/format dari
CP?
55. Apakah ada pelatihan secara rutin penggunaan CP untuk para staf baru
yang terlibat?
MUTU 25–37

12
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
25. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview (minimal tiap tahun)
26. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview baik penggunaan
maupun kelengkapan dokumentasinya
27. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview berdasarkan adanya
clinical evidence baru
28. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview berdasarkan
variasi/perkecualian yang timbul
29. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview berdasarkan
outcomes/goals/objectives yang dicapai
30. Isi dan dokumentasi CP secara rutin telah direview berdasarkan
masukan dari para staf
31. Kode variasi telah diperbaharui sesauai dengan persyaratan organisasi
dan daerah/nasional
32. Kode variasi yang digunakan telah direview dan diperiksa untuk
penggunaan dan konsistensinya
33. Ada bukti bahwa masukan dari staf telah merubah praktek
34. Ada bukti bahwa masukan dari pasien telah merubah praktek
35. Variasi dan pencapaian goals/outcomes/objectives telah diumpan-
balikan kepada para staf
36. Variasi dan pencapaian goals/outcomes/objectives telah diumpan
balikkan kepada pasien
37. Pasien terlibat dalam mereview isi dari CP

Dimensi 6: Peran organisasi untuk CP


Ya Tidak
KONTEN ITEMS 56–58
56. Apakah dalam perencanaan ditingkat RS memuat yang secara spesifik
rencana untuk mengembangkan CP?
57. Apakah pengembangan CP didukung oleh Komite Medik?
58. Apakah CP dijadikan bukti bahwa RS telah menjalankan Clinical
Governance?
MUTU 38–49
38. Individu yang mengembangkan CP adalah klinisi
39. Ada tim stratejik yang mereview seluruh proses pengembangan CP
40. Ada bukti bahwa CP terintegrasi kedalam inisiatif lain yang dimiliki RS
41. Ada pedoman RS untuk dokumentasi CP
42. RS menyadari bahwa CP melibatkan komitmen perubahan jangka
panjang
43. Aspek manajemen resiko RS telah dipertimbangkan dengan baik pada
proses pengembangan CP

13
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
44. Ada pengelolaan (manajemen) untuk program pengembangan CP
45. Target RS terkait pengembangan CP haruslah berupa target yang dapat
tercapai (achievable)
46. Dokumentasi CP mencerminkan kebijakan RS dalam dokumentasi
pelayanan klinik (clinical documentation)
47. Sistem pelaporan variasi pada CP mencerminakan kebijakan RS dalam
mengelola variasi pelayanan klinik
48. Ada alokasi waktu yang cukup untuk mengembangan CP
49. Ada pelatihan yang komprehensif untuk mengembangkan dan
menggunakan CP

4. Lembar Kerja Evaluasi Clinical Pathways Menggunakan Audit Klinis


Tabel Kepatuhan Penggunaan Clinical Pathways
Bulan Jumlah Pasien Jumlah Penggunaan % Penggunaan CP
CP

Tabel Pemenuhan Kriteria Clinical Pathways


Kriteria CP 1 CP 2 CP 3 CP 4 CP 5 Dst ...

Kriteria 1

Kriteria 2

Kriteria 3

Kriteria 4

Kriteria 5

14
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
5. Lembar Kerja Penyusunan Laporan Hasil Evaluasi Clinical Pathways dan
Rencana Tindak Lanjut Menggunakan ICPAT

JUDUL

Disusun oleh:

….

RS ….

Latar Belakang

- Berisi alasan pemilihan topik CP


- Berisi alasan pelaksanaan evaluasi dengan ICPAT untuk topik CP
- Tujuan evaluasi CP menggunakan ICPAT

Metode

Uraikan proses evaluasi CP dengan ICPAT (berapa dimensi yang dipakai dan
alasannya, cara mengisi formulir ICPAT). Berikut adalah dimensi ICPAT yang
digunakan dalam evaluasi CP topik … (tabel 1).

Tabel 1. Dimensi ICPAT yang digunakan dalam evaluasi CP topik …

Dimensi Jumlah Item Konten Jumlah Item Mutu

1. Apakah benar CP?


2. Dokumentasi CP
3. Proses pengembangan CP
4. …

Hasil

- Uraikan terlebih dahulu hasil evaluasi CP dengan metode ICPAT baru masukkan
data-data dalam tabel

Secara ringkas, hasil evaluasi clinical pathway dengan topik... dengan metode
ICPAT dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.:

Tabel 2. Hasil penilaian CP dengan ICPAT

Dimensi Konten Mutu


Dimensi 1 … …
Dimensi 2 … …
Dimensi 3 … …

15
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Pembahasan

Membahas secara sistematis proses-proses berikut:

- Proses penyusunan clinical pathways (apa saja pendukung dan hambatan


penyusunan CP topik ini)
- Proses uji coba/ implementasiCP (siapa yang melakukan, pengorganisasian,
pelaporan hasil uji coba) apa saja pendukung dan hambatannya
- Proses penilaian clinical pathways menggunakan ICPAT apa saja
temuannya, dan apa saja penyebabnya

Kesimpulan dan Saran

Memberian kesimpulan dan saran berdasarkan temuan-temuan yang muncul dalam


pembahasan

Kepustakaan

Daftar pustaka yang diacu dalam penyusunan laporan ini

6. Lembar Kerja Penyusunan Laporan Hasil Evaluasi Clinical Pathways dan


Rencana Tindak Lanjut Menggunakan Audit Klinik

JUDUL

Disusun oleh:

….

RS …

Latar Belakang

- Berisi alasan pemilihan topik CP


- Berisi alasan pelaksanaan audit klinik untuk topik CP
- Tujuan audit klinik CP

Metode

Penyusunan pedoman audit klinik

Instrumen audit klinik disusun berdasarkan hasil diskusi dan konsensus tim adhoc
yang terdiri dari [sebutkan keahlian masing-masing anggota tim] dan mengacu
kepada referensi dari [sebutkan nama pengarang dan tahun referensi]. Instrumen
audit klinik yang disepakati tim adhoc adalah:

16
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Tabel 1. Instrumen audit klinik

Kriteria
1
2
3
4
5

Proses audit klinik

- Masukkan jalannya pengambilan data, berapa rekam medik yang diperiksa,


berapa yang dapat diaudit, jelaskan alasan tidak dapat diaudit, hambatan
pengambilan data bila ada, dsb

Hasil dan Pembahasan

Audit menunjukan bahwa tingkat kesesuaian penatalaksanaan [masukan topik audit]


untuk setiap kriteria antara [masukan persentase paling tinggi] hingga [masukan
persentase paling rendah], hasil lengkap terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tingkat kesesuaian penatalaksanaan [masukan topik audit] terhadap


standard

Kriteria Tingkat kesesuaian (%)


Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Berdasarkan hasil diskusi tim adhoc dengan menggunakan alat bantu berupa fish
bone diagram [atau tools lain seperti RCA, akar pohon masalah, dsb] berhasil
diidentifikasi penyebab ketidak-sesuaian terhadap standar penatalaksanaan pasien
[masukan topik audit] sebagai berikut (tabel 3).

Tabel 3. Penyebab ketidaksesuaian terhadap standard

Kriteria Penyebab ketidak-kesesuaian


Kriteria 1 1.
2.

Kriteria 2 1.
2.

Kriteria 3 1.
2.

Kriteria 4 1…..

Kriteria 5 1…..

17
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
Rencana Tindak Lanjut

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas, maka tim adhoc mengusulkan


untuk melakukan tindak lanjut berupa [sebutkan seluruh rencana tindak lanjut yang
akan dilakukan], secara detail dapat terlihat pada tabel 4.

Tabel 4. Rencana Tindak Lanjut (POA) peningkatan mutu penatalaksanaan [masukan


topik audit]

Tindaklanjut Tujuan Indikator Penanggung Jangka Biaya


keberhasilan jawab waktu
1
2
3
4
5
6
Pelaksanaan Tindakan Perbaikan

[ceritakan/deskripsikan mengenai pelaksanaan/jalannya tindakan perbaikan sesuai


POA untuk peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan topik audit]

Hasil Re-Audit

Tabel 5. Hasil audit dan re-audit 1 tingkat kesesuaian penatalaksanaan [masukan


topik audit] terhadap standard

Kriteria Tingkat kesesuaian (%) Tingkat kesesuaian


Audit (%)
Re-audit
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5

Pembahasan hasil re-audit 1

[masukkan hasl dan pembahasan hasil re audit 1]

Tabel 6. Hasil audit dan re-audit 2 tingkat kesesuaian penatalaksanaan [masukan


topik audit] terhadap standard

Kriteria Tingkat kesesuaian (%) Tingkat kesesuaian


Audit (%)
Re-audit
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Pembahasan hasil re-audit 2

18
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
[masukkan hasl dan pembahasan hasil re audit 2]

Tabel 7. Hasil audit dan re-audit 3 tingkat kesesuaian penatalaksanaan [masukan


topik audit] terhadap standard

Kriteria Tingkat kesesuaian (%) Tingkat kesesuaian


Audit (%)
Re-audit
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Kriteria 5
Pembahasan hasil re-audit 3

[masukkan hasl dan pembahasan hasil re audit 3]

Kesimpulan dan Saran

Memberian kesimpulan dan saran mulai dari kegiatan penyusunan CP, uji coba
hingga penilaian dan pelaksanaan reaudit

Kepustakaan

Daftar pustaka yang diacu dalam penyusunan laporan ini

7. Contoh PPK
PPK: Hipoglikemia
1. Pengertian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL
dengan gejala klinis.
Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
 Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau abat hipoglikemik
oral.
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menu run: gagaI ginjal
kronik, pasca persalinan.
 Masukan makan tidak adekuat: jumlah kalori / waktu makan tidak
tepat.
 Kegiatan jasmani berlebihan.
2. Diagnosis
Gejala dan tanda klinis:
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara.

19
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
 Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan
gemetar
 Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
 Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis
terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.
 Waktu makan terakhir, jumlah masukan gizi.
 Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
 Lama menderita OM, komplikasi OM.
 Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
 Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik p, dll.
Pemeriksaan fisis
 Pucat, diaforesis,
 Tekanan darah
 Frekuensi denyut jantung
 Penurunan kesadaran
 Oefisit neurologik fokal transien
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum:
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
3. Diagnosis banding
Hipoglikemia karena
 Obat: (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol, (kadang): kinin,
pentamidine (jarang): salisilat, sulfonamid
 Hiperinsulinisme endogen:
 Insulinoma
 Kelainan sel p jenis lain
 Autoimun
 Sekresi insulin ektopik
 Penyakit kritis: Gagal hati; Gagal ginjal; Gagal jantung; Sepsis
 Starvasi dan inanisi
 Defisiensi endokrin: Kortisol, growth hormone; Glukagon, epinefrin
 Tumor non-sel B; Sorkoma; Tumor adrenokortikal, hepatoma
 leukemia, limfoma, melanoma
 Pasco-prandial: Reaktif (setelah operasi gaster); Diinduksi alkohol

20
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
4. Pemeriksaan penunjang
 Tes fungsi ginjaI
 Tes fungsi hati
 C-peptide
5. Tata laksana
Stadium permulaan (sadar): Berikan gula murni 30 gram (2 sendok
makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau
gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
 Stop obat hipoglikemik sementara,
 Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
 Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
 Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga
hipoglikemia):
 Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus
intra vena,
 Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
 Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
o Bila GDs < 50 mg/dL ~ + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
o Bila GDs < 100 mg/dL ~ + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL
IV
 Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 %:
o Bila GDs < 50 mg/dL ~ + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
o Bila GDs < 100 mg/ dL ~ + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL
IV
o Bila GDs 100 - 200 mg/ dL ~ tanpa bolus Dekstrosa 40 %
o Bila GDs > 200 mg/ dL ~ pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip Dekstrosa 1 0 %
 Bila GDs > 100 mg/ dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan
GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200
mg/dL ~ pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atou
NoCI 0,9 %.
 Bila GDs > 100 mg/ dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemontouon
GDs setiap 4 jam, dengon protokol sesuoi di otas.Bila GDs > 200

21
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
mg/dL ~ pertimbongkon menggonti infus dengon Dekstroso 5 % otou
NoCI 0,9 %.
 Bila GDs > 100 mg/dL sebonyok 3 koli berturut-turut, sliding scale
tiap 6 jam:
Gula Darah (mg/dl) Rapid Insulin (Unit, subkutan)

< 200 0

200 – 250 5

250 – 300 10

300 – 350 15

>350 20

 Bila hipoglikemio belum terotosi, dipertimbongkon pemberion


ontogonis insulin, seperti: adrenolin, kortison dosis tinggi, atau
glukagon 0,5-1 mg IV / 1M (bila penyebobnya insulin)
 Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100
mg per 4 jam selama 1 2 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus
dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8
jam. Dicari penyebab lain kesadoran menurun
6. Edukasi
Memberitahu tanda-tanda hipoglikemia dan cara mengatasi dengan
minum air gula, teh manis, makanan manis, dll.
7. Prognosis
8. Daftar Pustaka
PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding
Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang IImu Penyakit
Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8.
Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Longo DL, Jameson Jl. Harrison's Principles of Internal
Medicine.15'h ed. New York: McGrawHill, 2001 :2138-43.

22
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
8. Contoh Protokol
Uji tempel pada dermatitis kontak
1. Indikasi
 dermatitis kontak alergi (pembuktian dan mencari etiologi)
 dermatitis kontak iritan dengan DD/DKA
 dermatitis kronis yang belum diketahui penyebabnya
2. Persiapan
 lesi kulit dalam keadaan tidak aktif
 sebaiknya dilakukan setelah 2 minggu lesi tenang
 tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik
(prednison > 1 Omg) minimal selama 3 hari sebelum uji atau sesuai
waktu paruh obat
 dapat digunakan alergen standar (Eropa) atau non-standar dengan
pengenceran dan vehikulum yang sesuai
3. Pelaksanaan
 Bahan uji tempel diisikan pada unit uji tempel
 Uji tempel dilaksanakan dengan posisi pasien dalam keadaan duduk
atau tidur
 Pasien diminta untuk membuka pakainan sehingga daerah punggung
atau lengan atas bagian lateral dapat terlihat
 Dilakukan pembersihan lokasi uji dengan kapas alkohol 70%
 Unit uji tempel yang telah diisi, ditempelkan pada lokasi uji dan
ditambahkan plester hipoalergenik di luarnya ( untuk fiksasi )
 Unit uji tempel dibiarkan menempel selama 48 jam. Untuk
menghindari terlepasnya unit uji tempel, selama waktu tersebut lokasi
uji tidak boleh basah dan pasien dianjurkan untuk membatasi
aktivitasnya
 Setelah 28 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian violet
 Setelah ditunggu 15-30 menit untuk menghilangkan efek tekanan,
hasil uji tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu :
? ertema
+ eritema, infiltrat, papul
++ eritema, infiltrat, papul, vesikel
+++ eritema, infiltrat, papul, vesikel berkonfluesi atau bula negatif
IR reaksi iritan
NT tidak dilakukan uji

23
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
 Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk tidak
basah/kena air
 Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan
ulang dengan cara yang sama
 Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat alergik
atau iritan
 Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai
relevansinya melalui anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan
relevansi positif ditetapkan sebagai penyebab kelainan kulit saat ini
 Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna
(+,++,+++) dan daftar benda yang mengandung zat tersebut
 Hasil uji tempel yang positif bermakna namun relevansi negatif tetap
dianjurkan untuk dihindari.
4. Daftar pustaka
Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of patch testing. In:
Lachapelle JM, Maibach HI ed. Patch testing / Prick testing a practical
guide. Berlin: SpringerVerlag 2003: 27-66
Wahlberg LE, Elsner P, Kanerva L, Maibach HI. Management of positive
patch test reactions. Berlin: Springer-Verlag 2003.

9. Contoh Prosedur
Pemasangan sonde lambung

1. Indikasi
 Pemberian makanan enternal pada:
o Pasien dengan refleks isap/telan yang tidak baik, misalnya
bayi prematur atau pasien kelainan neurologis
o Pasien-pasien yang tidak dapat makan peroral
 Pemberian obat-obatan secara langsung
 Pemeriksaan analisis getah lambung (biokimia, kultur)
 Dekompresi dan pengososngan lambung

2. Kontraindikasi
 Pasca-esofagoplatis
 Perforasi esophagus
3. Alat yang dibutuhkan

24
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
 Alat pengisap listrik/manual
 Sonde lambung ("feeding tube"): untuk bayi ukuran 5 Fr-8 Fr, untuk
anak ukuran 9 Fr- 12 Fr
 Plester, pinset
 Air steril atau Nael 0,9%
 Semprit 5 ml dan 20 m
 Stetoskop
 Monitor jantung (bila ada)
4. Cara
 Pasien ditidurkan telentang dengan kepala lebih tinggi o lubang
hidung dan orafaring dibersihkan dengan pengisap secara hati-hati
 Panjang bagian sonde lambung yanga akan dimasukkan diperkirakan
dengan jalan mengukur jarak dari lobang hidung ke orofaring terus ke
esofagus, sampai batas plester berada di lubang hidung
 Sambil memasukkan sonde, denyut jantung dipantau (awas
bradikardia)
 Semprit dipasang pada pangkal sonde
o Bila diisap, cairan lambung akan mengalir keluar, ini
ditampung sesuai dengan kebutuhan
o Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk pemberian
makanan atau obat. Diperiksa sekali lagi apakah ujung
sonde tersebut betul berada di lambung (bukan di paru)
yaitu dengan memasukkan udara melalui semprit 5-10 ml
dan didengarkan di daerah lambung dengan stetoskop
o Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk dekompresi
udara maka pangkal sonde dimasukkan ke dalam bejana
berisis air steril atau air bersih
o Sonde difiksasi dengan plester
 Catatan
o Pada anak/bayi dengan distress pernapasan sebaiknya
sonde lambung dimasukkan melalui mulut. Caranya sama
hanya sambil mendorong perlahanlahan anak dimintakan
untuk melakukan gerakan menelan.
10. Bila terdapat tahanan sewaktu pemasukan sonde, hendaknya jangan terus
dipaksakan (bahaya perforasi).

25
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
11. Contoh Algoritma

26
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI
12. Contoh Standing Order

Admiting orders: Preoperative cardiac surgery

1. Ukur beart dan tinggi badan pasien


2. Identifikasi alergi, dilabel tertulis dengan "alergi terhadap ............."
3. *tanda tangan persetujuan tindakan operasi : ..............•••...
4. Pemeriksaan tanda vital: diperiksa setiap jam
5. Nutrisi per oral setelah tengah malam
6. Hibiclens shower (sabun) pada pagi hari: basahi badan, cuci dari leher ke
bawah dengan 2 oz Hibiclens, bilas dan ulangi (jangan dipakai pada
wajah, kepala, membran mukosa atau luka terbuka)
7. Foto polos toraks
8. EKG
9. Darah lengkap, pemeriksaan metabolism dasar, profil lipid
10. Urinalisis (jika operasi katup)
11. Pemeriksan golongan darah dan cross match terhadap 2 kantong PRC
(waspadai operasi jika pasien dalam pengobatan anti trombolisis)
12. *Restoril _________ mg per oral setiap jam (dapat diulangi sekali)
13. Nitrogliserin 1/ 150 mg sublingual jika perlu (angina)

27
Lampiran Pedoman PPK dan CP RSMI

Anda mungkin juga menyukai