Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PENGENTAR CASEMIX

Disusun Oleh:

Nama : Rani Aprilia

Nim : 1810104087

Kelas : Akk Semester 7

DOSEN PENGAMPU:

Dian Paramitha Asyari, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN 2021
1. Indikator-Indikator Pelayanan Rumah Sakit [BOR, ALOS, AVLOS, TOI, BTO,
GDR]

Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat


pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut
bersumber dari sensus harian rawat inap :

a. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur.


BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient
bed count days in a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI
(2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu.
Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur
rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus:
BOR = (Jumlah hari perawatan rumah sakit / (Jumlah tempat tidur X Jumlah
hari dalam satu periode)) X 100%

b. ALOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat).


Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat
memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu
dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut.
ALOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)

c. AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat).

AVLOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of


inpatient discharged during the period under consideration”. AVLOS menurut Depkes
RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping
memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu
pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu
pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari
(Depkes, 2005).
Rumus: 
AVLOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) 

d. TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)

TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak
ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran
tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi
pada kisaran 1-3 hari.

Rumus: 
TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) – Hari perawatan) / Jumlah pasien

keluar (hidup + mati)

e. BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)

BTO menurut Huffman (1994) adalah “...the net effect of changed in occupancy rate
and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian
tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan
waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50
kali.
Rumus:

BTO = Jumlah pasien keluar (hidup + mati) / Jumlah tempat tidur

f. GDR (Gross Death Rate)

GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000
penderita keluar.

Rumus:
GDR = ( Jumlah pasien mati seluruhnya / Jumlah pasien keluar (hidup + mati))

X 1000 ‰

2. Kelebihan Dan Kekurangan Diagnosis INA-DRG


a) Kekurangan dari sistem ini adalah :

1. Rumah sakit mengalihkan pengobatan dari rawat inap menjadi rawat jalan. Oleh
karena DRG tidak diterapkan pada rawat jalan

2. Rumah sakit menurunkan rata-rata lama hari rawat (LOS) Rumah sakit akan
mempercepat pemulangan pasien. Penurunan LOS merupakan implikasi tidak
adekuatnya pelayanan Rumah sakit dan perkembangan ke depan dapat mengganggu
infrastruktur home care karena kondisi pasien belum stabil

3. Terdapat kecendrungan untuk mengklasifikasikan kembali pasien ke diagnosis yang


lebih mahal yang disebut DRG Creep (Penjilat DRG)

4. Sistem pembayaran ini mengurangi ketajaman fokus diagnosis, sehingga sering kali
timbul kesalahan atau kelalaian dalam pemberian pengobatan kerena pengurangan
penunjang diagnostik pada pelayanan yang belum terstandar

5. Pembayaran pelayanan perawatan menjadi tidak jelas, bila kemandirian perawat


dalam intervensinya tidak jelas karena sistem ini menyatu dalam pembayaran
diagnosis

6. Sistem pembayaran ini tidak dapat membedakan antara kasus yang tingkat kesulitan
tinggi atau komplikasi dengan tingkat kesulitan rendah

7. Sistem pembayaran ini bersifat umum dan sulit untuk kasus-kasus kronik dan
berulang

b) Kelebihan dari sistem ini adalah :

1. Diagnosis-Related Group (DRG) dapat diberlakukan dengan cepat

2. Bagi pemerintah federal di Rumah Sakit, Diagnosis-Related Group (DRG) dapat


memberikan kepastian perkiraan biaya yang berasal dari program ini

3. Mengurangi beban administrasi Rumah Sakit dan mendorong upaya efisiensi.


Berdasarkan survey yang dilakukan oleh The President’S Private Sector Survey
On Cost Control, Diagnosis-Related Group (DRG) diproyeksikan berhasil
menghemat anggaran pemerintah federal sebesar 13 milyar dolar AS antara tahun
1984-1986.

4. Diagnosis-Related Group (DRG) dapat meningkatkan mutu pelayanan Rumah


Sakit

5. Diagnosis-Related Group (DRG) memberikan transparansi sistem management


Rumah Sakit dan pembayaran

6. Menguntungkan peserta medicare program, dimana perkiraan iuran biaya (Cost


Sharing) akan menurun

7. Diagnosis-Related Group (DRG) mengizinkan pembayaran upah atau gaji pada


agenci (Home Care) dan dikontrol oleh sistem pembayaran Rumah Sakit

8. Diagnosis-Related Group (DRG) membantu agenci memperkirakan dan


memprediksi secara tepat financial    yang di terima oleh rumah sakit.

3. Kelebihan dan kekurangan INA-CBG

Adapun kelebihan dan kekurangan sistem pembayaran Indonesia Case Base


Groups INA- CBG‟s menurut Thabrany 2014, yaitu :

a. Kelebihan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups INA- CBG‟s:

1. Memudahkan administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar

2. Memudahkan pasien memahami besaran tarif yang harus dibayar

3. Memudahkan perhitungan pendapatan rumah sakit

4. Memberikan intensif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk


menggunakan sumber daya seefisien mungkin

5. Mendorong kerja tim rumah sakit yang berpotensi meningkatkan kualitas


layanan dan menurunkan risiko kesalahan medis.

b. Kekurangan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups INA- CBG’s :


1. Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup dominan

2. Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan, seperti rekam medis,


teknologi, jaringan computer, dll.

3. Membatasi dokter dari upaya coba-coba produk obat, medis, yang ditawarkan
oleh perusahaan farmasi atau alat kesehatan.

4. Menimbulkan goncangan bagi para dokter yang biasa menentukan sendiri


besaran jasa medisnya.

5. Membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai