Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM

Penulis:
dr. Naimatul
Khoiriyah

Disusun untuk

Melaksanakan Tugas Dokter Internsip

Dokter Pendamping:
dr. Crystalia

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMKIT TINGKAT III BALADHIKA HUSADA
KABUPATEN JEMBER
2021
Nama Peserta : Naimatul Khoiriyah
Nama Wahana : Rumkit Tk. III Baladhika Husada Jember
TOPIK : ilmu penyakit anak
Tanggal (kasus) : 11 November 2021 No. RM: 113794
Nama Pasien : An.H (Laki-laki) Nama Pendamping: dr. Crystalia
Objektif Presentasi
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 15 menit. Saat
kejang terjadi tubuh pasien kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada
o Tujuan:
1. Menegakkan diagnosis
2. Manajemen dan tatalaksana
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan Diskusi

Data Pasien Nama : An. H No Registrasi : 113794

1
DATA UTAMA BAHAN DISKUSI
1 Diagnosis/Gambaran Klinis
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum masuk rumah
sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 10 menit. Saat kejang terjadi tubuh pasien
kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada. Ibu pasien mengatakan pagi hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam. Awalnya demam yang dialami tidak
begitu tinggi, dan demam turun setelah pemberian obat penurun demam. Kemudian dimalam
harinya pasien kembali demam dan langsung mengalami kejang. Ibu pasien mengatakan
demam yang dialami demam tinggi, saat diukur suhu tubuh pasien mencapai 39,4
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

3. Riwayat Penggunaan Obat


pemakaian obat paracetamol sirup. Saat kejang tidak diberikan

4. Riwayat keluarga
Kejang/epilepsi disangkal, abang pasien (anak pertama) pernah mengalami hal
yang serupa dengan pasien.

5.Riwayat Kehamilan
ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter kandungan. Sakit sewaktu hamil
disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan
oleh dokter kandungan. Selain itu disangkal.

6. Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak pertama yang lahir secara section cesarea dengan
berat badan lahir 3200 gr yang segera menangis.

7. Imunisasi
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien imunisasi lengkap

8. Riwayat Pemberian makanan

2
0 - 6 bulan: ASI 6 bulan - 2 tahun: MPASI + makanan keluarga

Data antropometri
• Berat Badan : 13 kg
• Tinggi badan : 90 cm
• BB/U : -2SD s/d +2 SD
• PB/U : -2SD s/d +2
• BB/PB : -2SD s/d +2 SD
• Status Gizi : Normal

Vital Sign
• Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Compos Mentis
• Nadi : 109 x/menit
• Pernafasan : 26 x/menit
• Suhu : 38,7 C (axial)
• Keadaan Gizi : Gizi baik

PemeriksaanFisik
a.Kulit
— Warna : sawo matang
— Turgor : cepat kembali
— Sianosis : tidak ada
— Ikterus : tidak ada
— Oedema : tidak ada
— Anemia : tidak ada
b. Kepala
— Rambut : Hitam, sukar dicabut
— Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)
— Mata : Conjunctiva pucat (-), ikterik (-)
— Pupil : Bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+/ +), refleks cahaya tidak
langsung (+/ +)
— Telinga : Serumen (- / -),Sekret (-/ -)
— Bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)
— Lidah : lidah kotor(-)
— Tonsil : T1/T1, hiperemis (+)
— Faring : Hiperemis (+)
C.Leher
— Inspeksi : Simetris
— Palpasi : Kaku kuduk (-)
— Pembesaran KGB : Tidak ada
d.Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris.
Anterior-posterio kiri kanan
Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
auskultasi Ronkhi (-), Whezing(-) Ronkhi (-), Whezing(-)

jantung
— Inspeksi : Ictus cordis terlihat
— Palpasi : Ictus cordis teraba.
— Perkusi : Tidak dilakukan
— Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-)

E.Abdomen
— Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-), vena collateral(-)
— Palpasi : Soepel, NT (-), H/L/R tidak teraba
— Perkusi : Timpani
— Auskultasi : Peristaltik (+)
f. Genitalia : Tidak diperiksa
G. Anus : Tidak diperiksa

H. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)


I. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)
J. Ekstremitas : normal sianosis (-)

Pemeriksaan Penunjang
• Hb 10,9 gr/dl
• Ht 28 %
• Eritrosit 6,2 x 106/mm3
• Leukosit 24.700/mm3
• Trombosit 423000 U/L
• E/B/NS/L/M 0/0/66/27/7
• Na/K/Cl 139/4,0/100 mmol/L
• Ur/Cr 14/0,20 mg/dL

Diagnosis
Kejang demam sederhana e.c tonsilofaringitis
Terapi
• O2nasal kanul 2 L/iIVFD RL 30 gtt/i
• Inj.Cefotaxime 200 mg/24 jam
• Inj. gentamicin 15mg/12 jam
• Stesolid supp 10 mg bila
• kejang Paracetamol syr 3 x 1 1/2Cth

Prognosis
Dubia et bonam

Follow up

Tanggal Follow Tera


up pi
11-11- S : demam (+) batuk (+) kejang Inf. Rl 30 tpm
2021 (-) O : KU : baik Inj. Cefotaxime 200
HR : mg/24jam Inj. Gntamicin
110x/menit 15mg 12/jam Paracetamol
RR : syr 3x1 ½ cth Stesolid supp
23x/menit T : jika perlu
37,50C
A: kejang demam et
causa
tonsilofaringitis
12-11- S : demam (-) Batuk (-) kejang Inf. Rl 30 tpm
2021 (-) O : KU : baik Inj. Cefotaxime 200
HR : mg/24jam Inj. Gntamicin
106x/menit 15mg 12/jam Paracetamol
RR : syr 3x1 ½ cth Stesolid supp
24x/menit T : jika perlu
37 C
A : kejang demam et
tonsilofaringitis
13-11- S : demam (-) batuk (-) kejang Boleh pulang
2021 (-) O : KU : baik
HR :
100x/menit
RR :
20x/menit T :
36,70C
Daftar Pustaka:
Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana
Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Mansyur, Arif (2004), Kapita selekta anak Media Aesculapius FKUI
Sumijati M.E, dkk, 2000, Asuhan Keperawatan Pada Kasus Penyakit Yang Lazim
Terjadi Pada Anak, PERKANI : surabaya.
Matondang, Corry S, 2000, Diagnosis Fisis Pada Anak, Edisi ke 2, PT. Sagung Seto:
Jakarta.

Hasil Pembelajaran :
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Patofisiologi
e. Gambaran Klinis Diagnosis
f. Penatalaksanaan

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 -
4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat ataupun epilepsi
yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu
tubuh di atas 38C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang
demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia
prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika.
Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Sedangkan di Hong Kong angka kejadian
kejang demam sebesar 0,35%. Dan di China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden
kejang demam mencapai 14%.
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bangkitan kejang demam pada
usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 –
5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90%
pendertita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan.
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.

Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.

Tabel 3.1

N klinis Kejang d KD kompleks


o sederhana
1 Durasi < 15 mnt >15 menit
2 Tipe kejang umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali >1
kali
4 Defisit neurologis - +/-
5 Riwayat keluarga kejang demam +/- +/-
6 Riwayat keluarga tanpa KD +/- +/-
7 Abnormalitas neurologi sebelumnya +/- +/-

Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35% berupa kejang
demam kompleks.

Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat keluarga,
faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara, pemakaian
bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).

a.Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8C aksila atau
diatas 38,3C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering
disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang
demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul
bangkitan kejang demam sebesar 80%.Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh
terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh
berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan
suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%,
sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan
termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan
reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+
ke dalam sel meningkat dan timbunan
asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas
membrane sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel.
Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan
meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion
Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel
neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara
pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam
glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator.
Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.

b.Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2) perkembangan
prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan 6) mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase
perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama
pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor.
Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator
yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih
dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam.

c.Faktor riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi
autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita
dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi
sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam
maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.

D.Usia saat ibu hamil

Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan.
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat
menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia
dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya
fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai
e.Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia
dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau
usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar
9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan
oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu
dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan
pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.

f.Kehamilan primipara atau multipara

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan


lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih
sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus
lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan
cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga
terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan
kejang sebagai manifestasi klinisnya.

g.Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu, seperti
menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang.
Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah
menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin.
Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa
dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang
sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang
berakibat terjadinya kejang.
h.Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah intrakranial.


Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia,
yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang.
Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada
derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang
biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24
jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan
gejala sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan
menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.

i.Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR
dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini
dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat
menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.

j.Kelahiran premature dan postmatur

Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum
berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat, dan
sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20
detik maka kemungkinan timbulnya kerus Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau
postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen
akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu
yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic. akan otak yang permanen lebih
besar.

k.Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada
primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida
, kala I selama 7 jam dan kala II 15 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan
hipoksia dapat berupa kejang.

L.Persalinan dengan alat Persalinan yang sulit

termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma
lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural.
Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan cukup bulan karena trauma.
Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera
karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang
sebagai manifestasi klinisnya.
Patofisiologi

Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel
dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+ K+dan Ca++. Bila sel saraf
mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan
potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+akan
lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane
masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+dan ion K+sehingga selisih potensial
kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar,
yang disebut sebagai respon lokal.

Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing
level, maka permeabilitas membrane terhadap Na+akan meningkat secara besar-besaran
sehingga timbulspike potensialatau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel
saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai
neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka permeabilitas membrane kembali ke
keadaan istirahat, dengan cara Na+akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel
melalui mekanisme pompa Na– K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori

▪ a.Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa NaK,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
▪ b.Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
▪ c.Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara
GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada
keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K
ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau
kepekaan sel saraf meningkat.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot,
dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah
lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi
perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik
dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan
metabolisme otak.

Diagnosis

Dari kriteria Livingstone yang telah dimodivikasi sebagai pedoman untuk membuat diagnosis
kejang demam sederhana, yaitu :
a.Dari anamnesa yang didapatkan

• Umur pasien kurang dari 6 tahun (4 tahun )


• Kejang didahului demam -Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan
kurang dari 15 menit -Kejang umum dan tonik klonik
• Kejang berhenti sendiri -Pasien tetap sadar setelah kejang

b.Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan

• Suhu tubuh aksila 38,2C


• Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang

MenurutConsensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan


kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain.
Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project
adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang
pada satu episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama
dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut
kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien
yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan rumat.

Tatalaksana

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:

o A.Mencegah kejang demam berulang


o b.Mencegah status epilepsy
o c.Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi d.Normalisasi kehidupan
anak dan keluarga.
Pengobatan fase akut

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan.
Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali
sehari).Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada
anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi
pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum
terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal
aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak
tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk
neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi
kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan
efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila
dibandingkan dengan diazepam intravena.

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan bila
berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara
profilaksis, yaitu:

o Profilaksis intermittent pada waktu demam


o Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.

Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai dengan
memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien mengalami demam
dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam. Pemakaian Diazepam penting
sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya
mencapai 38,6C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai
profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang
dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral
sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat mengkonsumsi
obat oral.

Prognosis

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya
0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar
4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang
demam cukup mengkhawatirkan bagi orangtuanya

Analisis kasus

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu
tubuh di atas 38C rektal atau di atas 37,8 C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang
demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan

prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar
4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang
demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya

Anda mungkin juga menyukai