Anda di halaman 1dari 15

STUDI ENVIRONMENTAL KUZNETS CURVE DI ASIA: SEBELUM

DAN SETELAH MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS

STUDY OF ENVIRONMENTAL KUZNETS CURVE IN ASIA: BEFORE


AND AFTER MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS

Sri Indah Nikensari1*, Sekar Destilawati 1**, Siti Nurjanah1***


Departemen Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia
1

*indah_nikensari@unj.ac.id, ** pe8105152586@gmail.com, ***siti.nurjanah@unj.ac.id

Abstrak
Pencemaran lingkungan dapat menurunkan kesejahteraan subyektif (subjective well-being). Studi ini bertujuan
membuktikan berlakunya hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) di negara-negara berpendapatan tinggi
dan menengah Asia, juga untuk menganalisis perbedaan pengaruh GDP per kapita, konsumsi energi, dan populasi
penduduk pada emisi CO2 di wilayah yang sama pada periode sebelum dan setelah MDGs. Data diperoleh dari
World Bank dengan periode waktu 1987-2014, di mana analisisnya menggunakan metode kuantitatif dan expose
facto, dan melalui persamaan regresi data panel guna mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian membuktikan
bahwa sampai 2014 hipotesis EKC yang berbentuk U-terbalik belum terjadi di negara-negara high income yang
diteliti, namun akan terjadi ketika GDP per kapita sudah mencapai USD 51.44 ribu. Sedangkan di negara-negara
lower middle income, pola hubungan antara GDP per kapita dan emisi CO2 masih membentuk kurva U, atau
dengan kata lain hipotesis EKC belum akan terjadi di negara-negara ini, karena di beberapa negara tersebut masih
dalam tahap awal pembangunan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebelum MDGs (tahun 2000), GDP
per kapita, konsumsi energi dan jumlah penduduk di negara-negara high income berkontribusi atas naiknya emisi
CO2, namun pasca MDGs ditetapkan, meningkatnya GDP per kapita mampu menurunkan emisi CO2. Sedangkan
di negara-negara low middle income, di awal penelitian sebelum MDGs, data menunjukkan bahwa CO2 sudah
tinggi pada saat GDP per kapita masih rendah, dan pasca MDGs, kenaikan GDP per kapita masih berkontribusi
atas meningkatnya emisi CO2.
Kata kunci: subjective well-being, environmental economics, Kuznets Curve,GDP per capita

Klasifikasi JEL: I31, Q51, Q53, Q56

Abstract
The environmental pollution can reduce subjective well-being.Thus study aims to prove the validity of the
Environmental Kuznets Curve (EKC) hypothesis in high and middle income countries in Asia, also to analyze the
differences in the effect of GDP per capita, energy consumption, and population on CO2 emissions in the same region
before and after the MDGs. Data obtained from the World Bank for the period 1987-2014, where the analysis uses
quantitative methods and expose facto, and through panel data regression equations to achieve research objectives.
The results show that until 2014 the EKC hypothesis in the form of U-reversal has not occurred in the high income
countries studied, but will occur when GDP per capita has reached USD 51.44 thousand. Whereas in the lower
middle income countries, the pattern of the relationship between GDP per capita and CO2 emissions still forms
a U curve, or in other words the ECC hypothesis will not occur in these countries, because in some countries it is
still in the early stages of development. The results also showed that prior to the MDGs (2000), GDP per capita,
energy consumption and population in high income countries contributed to the increase in CO2 emissions, but
after the MDGs, rising GDP per capita was able to reduce CO2 emissions. Whereas in low middle income countries,
at the beginning of the study before the MDGs, the data showed that CO2 was already high at a time when GDP
per capita was still low, and after MDGs, increases in GDP per capita still contributed to rising CO2 emissions.
Keywords: Subjective well-being, environmental economics, Kuznets Curve, GDP per capita

JEL Classification: I31, Q51, Q53, Q56

11
PENDAHULUAN adalah memadukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dengan kebijakan dan program
Dalam beberapa dekade terakhir, percepatan
nasional serta mengembalikan sumber daya
industrialisasi, konsumsi energi, populasi
lingkungan yang hilang (Susanti, 2018). Indikator
penduduk, dan perubahan perilaku hidup telah
yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
memicu permasalahan lingkungan (Maryam,
target ini salah satunya adalah jumlah emisi
Mittal, & Sharma, 2017). Penurunan kualitas
CO2. Hal ini berarti bahwa pemerintah harus
lingkungan telah diakui secara global, dan
menerapkan pembangunan berkelanjutan untuk
menjadi bagian dari isu perubahan iklim dunia.
menjamin kelestarian lingkungan di masa
Organisasi internasional World Economic Forum
sekarang dan yang akan datang, terutama
(WEF) menyatakan bahwa perubahan iklim adalah
mengendalikan jumlah emisi CO2 (OECD, 2015).
masalah terserius yang mempengaruhi dunia
(WEF, 2017). Selama tahun 1880 sampai 2015 World Meteorological Organization
perubahan suhu permukaan bumi mengalami tren (WMO) menyatakan bahwa CO2 ialah penyebab
yang meningkat yaitu sebesar 0,07oC per dekade utama pemanasan global yang terjadi (WMO,
(Pratama, 2016). Masalah perubahan iklim, diakui 2017). Emisi CO2 melonjak tajam dalam abad
dunia sebagai ekternalitas negatif akibat kegiatan terakhir karena aktivitas manusia, terutama oleh
ekonomi tiap negara, yang dilakukan secara tidak penggunaan konsumsi bahan bakar fosil seperti
berkelanjutan. batubata, minyak dan gas, kegiatan manufaktur,
transportasi, serta konsumsi barang dan jasa yang
Pembangunan menjadi tidak berkelanjutan
secara langsung terkait dengan pertumbuhan
bila fokusnya hanya untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi. Sehingga terdapat hubungan sistematis
ekonomi yang tinggi. Dalam proses mendorong
antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas
laju pertumbuhan yang tinggi, pengabaian aspek
lingkungan, yang dikenal sebagai Environment
lingkungan menyebabkan menurunnya kualitas
Kuznet Curve (EKC) yang membentuk kurva
lingkungan (Phimphanthavong, 2013). Kualitas
U-terbalik. Hipotesis EKC hadir sebagai
lingkungan yang rendah, khususnya polusi udara,
pengembangan Grossman dan Krueger (1995) atas
menyebabkan menurunnya kesehatan (Landrigan
teori Kuznets pada tahun 1991 mengenai kurva
2017), menurunnya kebahagian (Goetzke and
U-terbalik yang menjelaskan hubungan antara
Rave 2015), dan menurunnya kesehatan dan
ketimpangan pendapatan dengan pertumbuhan
kesejahteraan subyektif (Zhang, Zhang, and
ekonomi, dimana pada awal pertumbuhan
Chen 2017). Kesejahteraan subyektif (subjective
ekonomi ketimpangan meningkat, namun
well-being) yang antara lain berkaitan dengan
ketimpangan akan menurun seiring dengan
kebahagiaan, kepuasan hidup dan pengaruh
meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
positif, merupakan salah satu dari tiga dimensi
pembangunan berkelanjutan, yaitu lingkungan, Setelah ditemukan, hipotesis EKC kemudian
sosial, dan ekonomi. dipopulerkan dalam World Development Report
1992 oleh Bank Dunia yang memandang
Urgensi pencapaian pertumbuhan ekonomi,
bahwa kegiatan ekonomi yang lebih besar
dan kelestarian lingkungan adalah dua hal
tidak terelakkan lagi akan merusak lingkungan.
yang sama pentingnya. Hal ini sejalan dengan
Setelah itu, hipotesis EKC menjadi bahan riset
disepakatinya program MDGs (Millennium
yang menarik, seiring dengan menguatnya isu
Development Goals) oleh 189 negara anggota
penurunan kualitas lingkungan global.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada
Konferensi Tingkat Tinggi di New York pada 6-8 Berbagai riset telah dilakukan, akan tetapi,
September tahun 2000, dan berakhir tahun 2015, hipotesis EKC sebagai bentuk analisis empiris
yang kemudian dilanjutkan dengan Sustainable masih dipertanyakan konsistensinya. Hal ini
Development Goals (SDG) mulai 2016. MDGs terkait dengan variasi temuan penelitian pada
sendiri memiliki delapan target, target ke tujuh model EKC. Beberapa penelitian di berbagai
dari delapan arah pembangunan yang disepakati kawasan ada yang dapat membuktikan berlakunya
adalah menjamin keberlangsungan lingkungan. hipotesis EKC dengan bentuk kurva U-terbalik
Tujuan tersebut memiliki target utama diantaranya dalam jangka panjang, salah satunya adalah

12 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


yang terjadi di Paskitan (Ali, Khatoon, Ather, dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan
& Akhtar, 2015), di Ethiopia (Endeg, 2015), perubahan iklim dalam bentuk aksi nyata, dan
dan di negara-negara di dunia berpendapatan akan diaplikasikan secara universal serta dapat
tinggi (Camci-Cetin, Kutluturk, and Cetin 2018). diukur dalam menyeimbangkan tiga dimensi
Namun, beberapa penelitian terkait EKC justru pembangunan berkelanjutan yakni lingkungan,
kontradiktif dengan hipotesis EKC. Penelitian sosial, dan ekonomi.
oleh Basarir & Arman (2013) mengungkapkan Adapun Millennium Development Goals
bahwa EKC tidak secara penuh terbukti di (MDGs) sendiri yang merupakan program awal,
negara Gulf Cooperation Council. Selain itu, telah menempatkan pembangunan manusia
kebenaran EKC juga tidak ditemukan di Afrika sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki
Selatan (Inglesi-Lotz & Bohlmann, 2014), di tenggat waktu dan kemajuan yang terukur.
negara-negara dunia berpenghasilan menengah Arah pembangunan yang disepakati secara
dan rendah (Camci-Cetin, Kutluturk, and Cetin global meliputi: (1) menghapuskan kemiskinan
2018). EKC bahkan berbentuk N di negara OECD, dan kelaparan, (2) mewujudkan pendidikan
dan non-OECD, yaitu di Amerika Latin, Asia, dan dasar untuk semua orang, (3) mempromosikan
Afrika (Beck & Joshi, 2015). kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
Masih adanya perbedaan dan perdebatan (4) menurunkan kematian anak, (5) meningkatkan
mengenai hipotesis EKC tersebut, penelitian ini kesehatan, (6) melawan penyebaran HIV/
bertujuan untuk membuktikan pola U-terbalik AIDS dan penyakit kronis lainnya, (7)
hipotesis EKC pada dua kelompok negara di menjamin keberlangsungan lingkungan, dan
Asia, yaitu negara-negara berpendapatan tinggi (8) mengembangkan kemitraan global untuk
(high income countries/HIC) dan negara-negara pembangunan (United Nation, 2007). Salah satu
berpendapatan menengah rendah (lower middle tujuan MDGs adalah memasikan kelestarian
income countries/LMIC). Dengan mengetahui lingkungan hidup. Tujuan ini memiliki tiga
pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi target utama yaitu memadukan prinsip-prinsip
dan emisi CO2, pemerintah di masing-masing pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan
negara diharapkan dapat mengambil tindakan atau dan program nasional serta mengembalikan
melakukan kebijakan pembangunan yang ramah sumber daya lingkungan yang hilang.
lingkungan. Selanjutnya, penelitian juga untuk Salah satu wujud penurunan kualitas
memeriksa perbedaan pengaruh yang diberikan lingkungan adalah adanya pemanasan global.
oleh pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi, World Meteorological Organization (WMO)
dan populasi penduduk terhadap emisi CO2 menyatakan bahwa CO2 ialah penyebab utama
antara sebelum dan setelah berlakunya program pemanasan global yang terjadi (WMO, 2017).
MDGs pada tahun 2000. Penulisan artikel ini Banyak faktor yang mempengaruhi emisi karbon
mengikuti urutan penulisan sebagai berikut: dioksida (CO2). Salah satu ahli yaitu, Suparmoko
bagian 1 tentang pendahuluan, bagian 2 berisi menyebutkan bahwa dengan berkembangnya
kajian pustaka, bagian 3 berbicara tentang metode waktu, dan semakin meningkatnya pembangunan
penelitian, bagian 4 menyajikan hasil penelitian akan berdampak pada penurunan fungsi lingkungan
dan pembahasan, bagian 5 berisi kesimpulan dan sebagai akibat dari meningkatnya pencemaran
rekomendasi. (Suparmoko, 2000). Pendapat Suparmoko di
dukung oleh Kementerian Negara Lingkungan
TINJAUAN PUSTAKA Hidup yang menyatakan aktivitas manusia
di dalam melaksanakan pembangunan telah
Tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
menimbulkan perubahan terhadap lingkungan
Development Goals/ SDGs) dengan 17 tujuan
yang merugikan manusia, misalnya kerusakan
pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan
dan pencemaran lingkungan (Kementerian Negara
oleh United Nations sejak akhir 2015 hingga
Lingkungan Hidup, 2009).
2030, merupakan kelanjutan atas tujuan MDGs.
Agenda pembangunan berkelanjutan ini dibuat Naiknya konsentrasi CO2 dipengaruhi
untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia oleh jumlah populasi, pertumbuhan ekonomi,

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 13
perkembangan teknologi, dan faktor lainnya akan menurunan degradasi lingkungan (Shaharir
(UNFCC, 2007). Pertumbuhan ekonomi & Alinor, 2013).
telah banyak menebang pohon, merusak Berdasarkan Gambar 1 yang menjelaskan
lahan, membanjiri sungai, dan jalur air serta tahapan yang terjadi dalam hubungan pertumbuhan
atmosfir dengan banyak polutan. Emisi ekonomi dan kualitas lingkungan, terlihat bahwa
karbondioksida 60 persen berasal dari sektor tahapan EKC terbagi menjadi tiga. Penjelasan
ekonomi yang memerlukan energi seperti pertama dari hubungan kurva U-terbalik Kuznet
industri, transportasi, permukiman, dan adalah tahapan pertumbuhan ekonomi melalui
komersial. Sedangkan 25 persen berasal dari transisi dari pertanian ke industri, kemudian
sektor kehutanan, dan 15 persen dari sektor pasca-industri dengan system perekonomian
pertanian (World Resource Institute, 2016). berbasis jasa. Kerusakan lingkungan cenderung
naik karena perubahan struktur ekonomi dari
Konsumsi energi ialah salah satu faktor yang
pedesaan ke perkotaan, dan dari pertanian ke
mampu mempengaruhi emsi CO2. Lean & Smyth
industri sebagai produksi masal, dan pertumbuhan
(2010) menjelaskan bahwa satu persen kenaikan
konsumsi. Hal ini kemudian menurun dengan
pada konsumsi energi listrik perkapita, dapat
perubahan struktur ekonomi yang kedua dari
mempengaruhi peningkatan emisi CO2 per kapita.
industri berat berbasis energi menjadi industri
Selanjutnya Zhu dan Peng, mendapatkan hasil
dan jasa berbasis teknologi (Panayotou, 1993).
penelitian bahwa perubahan tingkat konsumsi
Pada tahap pertama dari industrialisasi, polusi
energi dan populasi penduduk merupakan faktor
bertambah dengan cepat karena orang lebih
pengaruh utama terhadap jumlah intensitas emisi
tertarik dalam pekerjaan dan pendapatan daripada
karbon (Zhu & Peng, 2012). Dengan studi kasus
udara dan air bersih. Berkaitan dengan itu,
tempat yang berbeda, melalui penelitiannya juga
masyarakat terlalu miskin untuk membayar
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi,
pengendalian dan regulasi lingkungan pun tidak
dan konsumsi energi mempengaruhi emisi
bertanggungjawab (Dasgupta, Laplante, Wang,
karbondioksida (Pao & Tsai, 2011).
& Wheeler, 2002).
Pertumbuhan ekonomi dan emisi CO 2
Pada tingkat pendapatan yang rendah,
dijelaskan dalam sebuah hipotesis bernama
negara akan beralih dari pertanian ke industri
Environmental Kuznets Curve (EKC). Hipotesis
dan intensitas polusi naik sebagai limbah dari
EKC memperlihatkan kontribusi pertumbuhan
bertumbuhnya produksi dan konsumsi masal.
ekonomi terhadap emisi yang lebih tinggi tetapi
Hal ini dikarenakan penggunaan sumber daya
pertumbuhan ekonomi lebih lanjut kemudian
alam yang lebih besar, emisi polusi yang lebih
mampu menurunkan degradasi lingkungan.
banyak, dan tuntutan kenaikan output. Sedangkan
Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dan
pada tingkat pendapatan yang tinggi, kemajuan
pergeseran ke ekonomi berbasis jasa (Galeotti,
pembangunan ekonomi didominasi pada pasca-
2007).
industri atau perekonoman jasa. Pada tahap ini
Hipotesis EKC menjelaskan bahwa kesadaran linkungan naik, pengeluaran untuk
pertumbuhan ekonomi awalnya akan lingkungan lebih tinggi, efisiensi teknologi,
meningkatkan degradasi lingkungan. Hal ini dan kenaikan permintaan barang/jasa ramah
dikarenakan negara akan berfokus pada peingkatan lingkungan (Mrabet, Achairi, & Ellouze, 2014).
produksi tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Pergerakan kurva yang mulai seimbang membawa
Proses produksi yang dilakukan secara terus- sektor industri menjadi lebih bersih, orang
menerus kemudian akan mengakibatkan degradasi menghargai lingkungan lebih tinggi, dan regulasi
lingkungan berupa pencemaran baik terhadap menjadi lebih efektif (Dasgupta et al., 2002).
tanah, air, maupun udara. Pertumbuhan ekonomi
Bukti empiris memercayai pada bentuk regresi
pada titik tertentu kemudian akan menyadarkan
dari kualitas lingkungan hubungannya dengan
masyarakat bahwa kebutuhan akan kualitas
pendapatan dan variabel lainnya. Hubungan
lingkungan yang baik menjadi sanga penting.
empiris ini berpendapat bahwa pertumbuhan
Titik inilah yang disebut sebagai titik balik
ekonomi dengan sendirinya merupakan obat
(turning point) dimana pertumbuhan ekonomi

14 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


Sumber: Shaharir & Alinor, 2013
Gambar 1. Proses Titik Balik Hipotesis EKC

mujarab bagi degradasi lingkungan. Beckerman dan populasi penduduk diperoleh dari World
menuliskan bahwa “in the end the best – and Bank Development Indicators. Emisi CO 2
probably the only – way to attain a decent diukur dalam satuan metrik ton per kapita dalam
environment in most countries is to become ribuan, pertumbuhan ekonomi diukur dengan
rich”. Artinya, akhir jalan terbaik untuk mencapai PDB per kapita konstan 2010 US$ dalam
lingkungan yang layak bagi banyak negara adalah ribuan, populasi penduduk diukur dengan satuan
menjadi kaya (Beckerman, 1992). Hal ini berarti juta penduduk total per tahun, dan konsumsi
bahwa menjadikan lingkungan yang layak atau energi diukur sebagai energy use in kg of oil
kualitas lingkungan yang bagus slah satu caranya equivalent per capita dalam ribuan. Penelitian
dengan menjadikan sebuah negara yang kaya. ini juga menggunakan dummy tahun 2000 untuk
Negara yang kaya dicerminkan dari GDP yang mengetahui perbedaan pengaruh variabel bebas
tinggi akan memiliki kemampuan membayar terhadap variabel terikat sebelum dan setelah
kerusakan lingkungan yang lebih tinggi pula, disepakatinya MDGs.
sehingga kualitas lingkungan akan terjamin. Untuk menjawab tujuan penelitian,
digunakan metode kuantitatif dan metode
METODE PENELITIAN expose facto. Metode kuantitatif dipakai
Peneliti menggunakan data panel tahun 1987- untuk menjelaskan penyajian data berupa
2014 pada 10 negara kelompok high income table dan grafik, sedangkan metode expose
dan 10 negara kelompok low middle income facto digunakan untuk menguji hipotesis
di Asia. Negara-negara dalam kategori high EKC, serta melihat perubahan pengaruh
income meliputi Singapura, Jepang, Korea pertumbuhan ekonomi, populasi, dan
Selatan, Hongkong, Brunei Darussalam, Bahrain, konsumsi energi antara sebelum dan setelah
Israel, Saudi Arabia, United Emirates Arab, berlakunya MDGs di Asia.
dan Oman. Sedangkan negara-negara dalam Penelitian menggunakan model
kategori lower middle income meliputi Vietnam, persamaan kuadratik, untuk dapat mengetahui
Philipina, Myanmar, Indonesia, India, Sri Lanka, pola U-terbalik yang terbentuk dari hubungan
Banglades,Tunisia, Mongolia, dan Morocco. pertumbuhan ekonomi dan emisi CO 2 .
Variabel yang digunakan dalam penelitian Untuk itu peneliti menambahkan variabel
terdiri dari 5 variabel, yaitu emisi CO2 sebagai pertumbuhan ekonomi kuadrat. Berikut
variabel terikat, pertumbuhan ekonomi, populasi ini adalah persamaan yang digunakan
penduduk, dan konsumsi energi sebagai variabel peneliti untuk menjawab permasalahan dalam
bebas. Data PDB per kapita, konsumsi energi, penelitian ini.

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 15
CO2 it= α + β1 PDB it + β2 PDB2 it + β3 POP it Lagrange Multiplier. Setelah mendapatkan model
+ β4 KE it + β5 D00*PDBit + β6 D00*KE it + β7 terbaik, langkah selanjutnya adalah melakukan
D00*POP it + ɛit
(1) beberapa uji, yakni uji normalitas dan uji asumsi
klasik (untuk persamaan regresi model OLS).
Keterangan:
Uji normalitas residual dalam penelitian ini
CO2 it = Emisi gas CO2 untuk negara i pada tahun t menggunakan uji Jarque –Bera (JB). Jika hasil
PDB it = PDB per kapita untuk negara i pada tahun t dari JB statistik > Chi Square tabel, maka data
PDB2 it = PDB per kapita kuadrat untuk negara i pada tidak berdistribusi secara normal. Sedangkan jika
tahun t hasil dari JB statistik < Chi Square tabel, maka data
POP it = Populasi untuk negara i pada tahun t berdistribusi secara normal (Gujarai, 2010). Masih
KE it = Konsumsi energi untuk negara i pada tahun menurut Gujarati, multikolinearitas dapat dilihat
t dari nilai koedisien korelasi antar sesama variabel
D00 it = Dummy program MDGs untuk negara i pada bebas. Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari
tahun t 0,8 maka tidak ada masalah multikolinearitas,
(0=Sebelum MDGs, 1=Setelah MDGs)
namun jika probabilitasnya lebih besar dari 0,8
α = konstanta
maka ada masalah multikolinearitas. Terakhir,
β1,2 = koefisien
heteroskedastisitas dapat diuji dengan uji
ɛ = residual (error term)
Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan cara
meregresikan variabel-variabel bebas terhadap
Berdasarkan persamaan diatas, untuk residual absolut. Heteroskedastisitas terjadi
mengestimasi berlakunya hipotesis EKC di apabila nilai residual dari model tidak memiliki
negara-negara high income dan negara-negara varians yang konstan. Heterokedastisitas biasanya
lower middle income di Asia, didasarkan pada terjadi pada data cross-section sehingga tidak
syarat-syarat berikut: menutup kemungkinan terjadi heteroskedastisitas
a. Jika β2 < 0, terjadi hubungan berbentuk U- pada data panel. Berkaitan dengan hal tersebut,
terbalik permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi
b. Jika β2 ≥ 0, terjadi hubungan berbentuk U dengan penggunaan estimasi Generalized
c. Turning point = Least Square (GLS), metode ini mampu
mempertahankan sifat efisiensi estimatornya,
Berdasarkan syarat-syarat diatas, dapat tanpa harus menghilangkan sifat ketidakbiasan
diartikan bahwa hipotesis EKC terjadi apabila (unbiased) dan konsistensi estimator.
secara signifikan variabel PDB per kapita
bernilai positif dan kuadrat PDB per kapita HASIL DAN PEMBAHASAN
bernilai negatif. Selanjutnya, untuk mengetahui
perubahan pengaruh pertumbuhan ekonomi, Pemilihan model terbaik menggunakan uji
populasi penduduk, dan konsumsi energi terhadap likelihood ratio dan uji Hausman, di negara-negara
emisi CO2 antara sebelum dan setelah berlakunya high income dan negara lower middle income
program MDGs, dapat dilihat dari nilai dummy dengan menggunakan aplikasi E-Views 9. Hasil
tiap variabel bebas. Apabila dummy signifikan pengujian menunjukkan bahwa model terbaik
berarti terdapat perubahan yang terjadi pada dalam penelitian ini adalah fixed effect model
variabel tersebut setelah berlakunya MDGs. (FEM). FEM dipilih sebagai model estimasi
terbaik karena mendukung tujuan peneliti, dan
Sebelum melakukan estimasi, persamaan
juga memiliki Adj-R­2 tertinggi dan signifikan
data panel harus melalui beberapa tahapan
dengan taraf nyata 5% untuk seluruh bariabel
analisis data. Pertama adalah menentukan model
bebas yang digunakan dalam model penelitian
terbaik, antara Common Effects Model (CEM),
ini. Selain itu, penelitian ini juga melakukan
Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect
pembobotan cross section weight (GLS dengan
Model (REM). Untuk mengetahui model terbaik,
menggunakan estimasi varians residual cross
maka dilakukan Chow Test, Hausman Test, dan

16 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


section, karena terdeteksi adanya masalah Keterangan:
heteroskedastisitas), dan pembobotan SUR (GLS CO2 : Emisi CO2
dengan menggunaan covariance matrix cross
GDP : Pendapatan per kapita
section). Setelah mendapat persamaan model
terbaik, selanjutnya dilakukan uji normalitas GDP2 : Pendapatan per kapita kuadrat
dan uji asumsi klasik. Hasil uji normalitas data KE : Konsumsi Energi
residual menunjukkan bahwa data residual POP : Populasi Penduduk
dalam penelitian ini masih normal, dan dari uji D00 : Dummy Variabel (Nilai 0, untuk periode
multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas
sebelum MDGs; Nilai 1, untuk setelah
menunjukkan tidak adanya penyimpangan gejala
klasik dalam penelitian ini. Berikut ini adalah MDGs)
persamaan regresi data panel dengan model Fixed Atas dua persamaan diatas kemudian
Effect Model: dilakukan uji hipotesis dan analisis koefisien
Negara-negara berpendapatan tinggi: determinasi (R 2 ). Uji hipotesis diperlukan
CO 2 = -1.09*D00*GDP + 2.24*D00*KE + untuk mengetahui apakah koefisien regresi
0.549*D00*POP + 3.49*GDP - 0.03*GDP2 + yang diperoleh menunjukkan hasil signifikan
5.00*KE + 24.43*POP - 405.66 (2) atau tidak. Sedangkan Pengujian koefisien
determinasi dilakukan untuk melihat seberapa
Negara-negara berpendapatan rendah: besar variabel bebas yang digunakan peneliti
CO 2 = 17.79*D00*GDP + 20.70*D00*KE - mampu menjelaskan emisi CO2 sebagai variabel
0.08*D00*POP - 68.74*GDP + 6.59*GDP2 + terikatnya. Hasil uji hipotesis dan analisis
118.6*KE + 3.53*POP - 460.27 (3) koefisien determinasi, dirangkum dalam tabel 1
berikut ini.

Tabel. 1 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis dan Analisis Kefisien Determinasi

Variabel Variabel Prob. Prob.


Sampel Koef Adj-R2
Dependen Independen T-statistik F-statistik
D00*GDP -1.2 33 0.000
D00*KE 2.566 0.000
D00*POP 0.552 0.000
High Income
CO2 GDP 4.553 0.000 0.000 0.994
Countries
GDP2 -0.049 0.000
KE 5.708 0.000
POP 24.39 0.000
D00*GDP 19.239 0.000
D00*KE -24.994 0.000

Lower D00*POP 0.4590 0.014


Middle
CO2 GDP 48.773 0.000 0.000 0.985
Income
Countries GDP 2
-7.247 0.000
KE 46.965 0.000
POP 0.861 0.000

Sumber: Data diolah

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 17
Tabel 1 menunjukkan bahwa secara parsial Hipotesis Environmental Kuznets Curve
(uji t) diketahui bahwa setiap variabel bebas (EKC) di Asia
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC)
variabel terikatnya. Siginifikansi tiap variabel ini dikemukakan oleh Grossman & Krueger
bebas terhadap variabel terikat dapat terlihat dari pada tahun 1995. Dalam hipotesis tersebut
nilai probabilitas t-statistik kurang dari 0.05. dijelaskan hubungan pertumbuhan ekonomi
Sedangkan bila dilihat secara simultan (uji F), dengan kerusakan lingkungan yang membentuk
diketahui bahwa seluruh variabel bebas dalam model kurva U terbalik. Model kurva terbentuk
setiap model tersebut secara bersama-sama akibat pertumbuhan ekonomi pada awalnya
memiliki pengaruh signifikan terhadap emisi CO2. meningkatkan kerusakan lingkungan, namun
Kesimpulan tersebut didapat dari nilai Prob. F dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi itu
statistik yang nilainya kurang dari 0.05. sendirilah yang mampu menurunkan kerusakan
Berdasarkan tabel 1 diatas, diketahui pula lingkungan (Grossman & Krueger, 1995).
hasil pengujian koefisien determinasi (R2) baik Hipotesis ini dikenal sebagai EKC karena
di high income countries maupun lower middle kemiripannya dengan Kurva Kuznets U terbalik
income countries, menunjukkan bahwa variabel yang menjelaskan hubungan antara ketimpangan
bebas yang dipakai dalam penelitian ini mampu pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
menjelaskan variabel terikat dengan sangat baik Tabel 2 yang merupakan ringkasan hasil
karena nilai R2 yang melebihi 90 persen. Secara uji, yang menunjukkan adanya perbedaan hasil
umum dapat dikatakan bahwa hasil pengujian R2 pengujian hipotesis EKC di Asia, baik di negara-
dalam penelitian ini mendekati nilai 100 persen, negara high income ataupun di negara-negara
yang berarti variabel bebas mutlak menjelaskan lower middle income. Hipotesis EKC dinyatakan
variabel terikat secara sempurna. Besarnya nilai berlaku apabila variabel GDP per kapita memiliki
R2 dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh nilai koefisien positif dan variabel GDP2 per
pemilihan metode FEM, yang memungkinkan kapita kuadrat memiliki nilai koefisien negatif.
nilai koefisien determinasi menjadi lebih besar. Berdasarkan perhitungan statistik, di negara-
Perlu diketahui, kelemahan mendasar metode negara high income Asia (Singapura, Jepang,
FEM pada koefisien determinasi yaitu bias Korea Selatan, Hongkong, Brunei Darussalam,
terhadap jumlah variabel independen yang masuk Bahrain, Israel, Saudi Arabia, United Emirates
ke dalam model. Arab, dan Oman), hipotesis EKC saat ini belum
Berdasarkan besaran pengaruh tiap variabel terjadi, namun dalam jangka panjang hipotesis
bebas yang menunjukkan pengaruh signifikan EKC dapat terjadi. Dengan asumsi ceteris paribus,
terhadap variabel terikat, dapat dibuktikan tentang nilai pada Tabel 2 secara umum menunjukkan
hipotesis EKC di negara-negara berpendapatan bahwa setiap kenaikan GDP per kapita sebesar
tinggi dan negara-negara berpendapatan menengah USD 1,000 pada negara high income akan
rendah di Asia, dan menjelaskan perbedaan meningkatkan emisi CO2 sebesar 3.498 metrik
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat ton per kapita. Peningkatan ini terus menerus
antara sebelum dan setelah berlakunya program berlangsung sampai pada negara-negara tersebut
MDGs.

Tabel 2. Hasil Pengujian Hipotesis EKC di Asia

Nilai Koefisien
Sampel Turning Point Terjadinya EKC
GDP GDP2
Akan terjadi ke depan
High Income Countries 3.498 -0.034 USD 51.44 rb

Lower Middle Income Tidak terjadi


-68.74 6.599 USD 5.208 rb
Countries

Sumber: Data diolah

18 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


mencapai tingkat GDP per kapita sebesar USD menjelaskan hubungan pertumbuhan ekonomi
51.44 ribu. Setelah nilai GDP per kapita tersebut dan emisi CO2 di kawasan BRIC kecuali Rusia.
dilalui, maka emisi CO2 mulai menurun sebesar Selain itu, Murniati (2018) juga memiliki hasil
0.034 metrik ton per kapita pada setiap kenaikan penelitian serupa yang membenarkan berlakunya
USD 1,000 GDP per kapita. Karena saat ini hanya hipotesis EKC baik di Asia Timur maupun di Asia
negara Uni Emirate Arab yang pernah mencapai Tenggara.
GDP per kapita lebih dari USD 51.44 ribu (dan Terlepas dari hasil penelitian yang
Singapura di tahun 2014), sementara negara lain membenarkan akan berlakunya hipotesis EKC,
masih di bawahnya, maka hipotesis EKC belum kemampuan menurunkan emisi CO2 ditentukan
terjadi di negara-negara high income, namun oleh negara itu sendiri, meskipun hasil penelitian
kedepan hipotesis EKC dapat tercapai karena EKC meramalkan negara tersebut akan mampu
nilai GDP positif sedangkan nilai GDP2 negatif. menurunkan emisi CO2 pada pencapaian GDP
Berdasarkan realitas data seperti tergambar pada per kapita sebesar USD 51,440, namun bila tidak
Gambar 1, Jepang merupakan negara dengan diimbangi dengan upaya serius, maka penurunan
emisi CO 2 teringgi, disusul Korea Selatan emisi CO2 tidak akan terwujud.
dan Saudi Arabia, di mana sepanjang periode
Hal sebaliknya terjadi di negara-negara
penelitian beberapa kali terjadi kondisi di mana
lower middle income Asia (Vietnam, Philipina,
emisi CO 2 menurun ketika GDP per kapita
Myanmar, Indonesia, India, Sri Lanka, Banglades,
meningkat, sehingga ke depan hipotesis EKC
Tunisia, Mongolia, dan Morocco), di mana
dapat berlaku di sini.
hipotesis EKC tidak terbukti baik saat ini maupun
Menggunakan perspektif pembangunan ke depan. Bedasarkan Tabel 2, variabel GDP per
ekonomi, akan berlakunya hipotesis EKC pada kapita bertanda negatif, dan variabel GDP2 per
negara-negara high income dalam penelitian ini kapita bertanda positif, sehingga membentuk
sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan model kurva U, bukan U terbalik. Tabel 2
yang menginginkan bahwa pembangunan yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan GDP per
dilakukan saat ini harus turut memperhatikan kapita sebesar USD 1,000 pada negara lower
kepentingan generasi mendatang, salah satunya middle income mampu menurunkan emisi CO2
dengan upaya menjaga kualitas lingkungan. sebesar 68.745 metrik ton per kapita. Penurunan
(Grossman & Krueger 1995). Selain itu, beberapa ini terus menerus berlangsung sampai pada negara
penelitian lain yang telah dilakukan juga memiliki tersebut mencapai tingkat GDP per kapita sebesar
hasil yang serupa. Sejalan dengan hasil penelitian, USD 5.208. Setelah nilai GDP per kapita tersebut
Pao dan Tsai (2010) dengan judul CO2 Emissions, dilalui, emisi CO2 akan cenderung meningkat
Energy Consumption and Economic Growth, juga sebesar 6.599 metrik ton per kapita pada setiap
membuktikan berlakunya pola U terbalik dalam kenaikan GDP per kapita USD 1,000.

Gambar 2. Emisi CO2 dan GDP per capita di high income Asia

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 19
Ada beberapa kemungkinan mengapa pembangunan ekonominya. Ketiga, adanya
hipotesis EKC belum akan terjadi di negara- ketidaksamaan atas besarnya emisi CO2 setiap
negara lower middle income. Pertama, negara- negara dalam kelompok lower middle income.
negara lower middle income masih berada dalam Namun secara individu, ada negara-negara ketika
awal-awal pembangunan ekonomi dibandingkan GDP per kapita naik bersamaan dengan emisi CO2
dengan negara-negara high income, kedua awal yang menurun, misalnya terjadi di Indonesia pada
pembangunan ekonomi di masing-masing negara periode 2010-2012 (lihat Gambar 3). Hasil yang
tidak sama, misalnya Vietnam, Myanmar dan bervariasi dalam studi empiris hipotesis EKC
Banglades yang lebih belakangan melakukan ini dapat terjadi karena perbedaan pendekatan
pembangunan dibandingkan dengan Indonesia dalam objek studi dan periode penelitian (Beck
dan India yang sudah lebih dahulu melakukan & Joshi, 2015).

Gambar 3. Emisi CO2 dan GDP/cap di lower middle income Asia

Kurva U juga ditemukan oleh penelitian suatu negara, negara tersebut semakin menguras
sebelumnya (Abdurahman, 2012), untuk melihat sumber daya alamnya untuk memperoleh output
pengaruh pertumbuhan dan keterbukaan ekonomi perekonomian yang lebih besar, yang secara sadar
terhadap emisi CO2 dalam jangka panjang. Hasil atau tidak sadar telah mengorbankan kualitas
yang sama juga pernah dikaji berkaitan dengan lingkungan. Dengan demikian, hasil estimasi
hubungan antara pembangunan ekonomi dan menggambarkan bahwa emisi CO2 akan terus
defortasi hutan tropis, yang membentuk model meningkat seiring dengan pertumbuhan GDP per
kurva U saat memperlihatkan hubungan kedua kapita dalam jangka panjang.
variabel. Hasil temuan yang membentuk model Sejalan dengan hal itu, Halkos (2009) dalam
kurva U dapat diinterpretasikan sebagai sebuah penelitiannya menjelaskan alasan terjadinya
model yang melihat bagaimana pengorbanan penurunan kualitas lingkungan. Menurut Halkos,
lingkungan dalam rangka mencapai output perkembangan alami dari pembangunan ekonomi
perekonomian (Kuswantoro, 2009). Dalam arti berasal dari sektor pertanian yang bersih dari polusi
kata lain, untuk mendapatkan GDP per kapita menuju sektor industri yang sarat akan polusi,
yang lebih tinggi, maka semakin tinggi pula emisi serta berakhir pada sektor jasa dan pelayanan
CO2 yang dikeluarkan. Terjadinya peningkatan yang akan membersihkan dan mengembalikan
emisi CO2 setelah negara memiliki GDP per kualitas lingkungan. Secara khusus, pembangunan
kapita yang lebih besar dimungkinkan terjadi ekonomi yang dikaitkan dengan pencemaran
karena adanya penemuan teknologi produksi yang lingkungan memiliki tiga efek berbeda yang dapat
lebih canggih untuk keperluan perluasan industri. menjelaskan pengaruh pertumbuhan ekonomi
Anomali terjadi pada negara lower middle terhadap degradasi lingkungan yakni efek skala,
income yang memperlihatkan bahwa semakin kaya efek komposisi, dan efek teknis. Peningkatan

20 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


emisi sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi berlakunya MDGs, ditambahkan variabel
pada jangka panjang merupakan dampak dari dummy pada setiap variabel bebas. Berikut ini
efek skala yang terjadi. Sehingga bertambahnya adalah Tabel 3 yang merupakan ringkasan hasil
volume kegiatan ekonomi akan meningkatkan penelitian tersebut.
jumlah emisi CO 2 yang dilepaskan ke udara Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa setiap
(Abdurahman, 2012). Oleh sebab itu, penemuan variabel bebas memiliki pengaruh yang berbeda
kurva U yang terjadi pada negara lower middle beda terhadap emisi CO2. Di negara-negara high
income wajar adanya. Pada dasarnya negara lower income Asia, semua variable bebas (GDP per
middle income berada dalam fase pembangunan kapita, konsumsi energi, dan populasi penduduk)
yang seringkali menyampingkan lingkungan. Bila selama tahun 1987-2014 mempunyai pengaruh
dikaitkan dengan hasil penelitian pada negara positif terhadap emisi CO2. Hal tersebut berarti
high income, pendapatan per kapita negara lower bahwa jika terjadi peningkatan GDP per kapita,
middle income yang menjadi tolok ukur titik balik konsumsi energi, dan populasi penduduk dalam
kurva masih jauh tertinggal dari angka 51 ribu suatu negara maka emisi CO2 yang dihasilkan
USD. Dengan pendapatan sebesar itu barulah negara tersebut meningkat.
negara high income mampu secara perlahan
Namun bila dilihat secara khusus, yaitu
menurunkan tingkat emisi CO 2, diharapkan
dengan membandingkan periode sebelum dan
dengan adanya kemajuan teknologi yang semakin
setelah MDGs (dengan menambahkan variabel
cepat, mampu pula mempercepat negara lower
dummy), ada perbedaan pengaruh variable bebas
middle income untuk berhasil menurunkan tingkat
pada emisi CO2. Setelah berlakunya MDGs,
emisi CO2.
meningkatnya GDP per kapita sebesar USD 1,000
Perubahan Pengaruh Pertumbuhan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 1,090
Ekonomi, Konsumsi Energi, dan Populasi metrik ton per kapita. Keberhasilan negara high
Penduduk terhadap Emisi CO2 Sebelum dan income (khususnya Jepang) dalam menurunkan
Setelah MDGs pengaruh terhadap emisi CO2 sejalan dengan
urgensi penanganan masalah perubahan iklim.
Program MDGs diwujudkan sebagai upaya
Kesepakatan antar negara, khususnya negara
nyata melindungi kelestarian lingkungan, yang
high income atau negara maju dunia, termasuk
secara resmi berlaku untuk seluruh anggota
juga yang ada di Asia, untuk menekan emisi CO2,
PBB selama tahun 2000 sampai tahun 2015.
dipelopori dengan adanya perjanjian Protokol
Dalam menjalankan program MDGs, tiap negara
Kyoto pada Desember, 1997. Jepang sebagai tuan
memiliki caranya tersendiri. Salah satu caranya
rumah, dan negara maju lainnya yang meratifikasi
yaitu dengan mengendalikan faktor-faktor
protokol ini, berkomitmen untuk mengurangi
yang mempengaruhi emisi CO2, sehingga tidak
emisi atau pengeluaran CO2 dan lima gas rumah
memperparah kerusakan lingkungan. Untuk
kaca lainnya, agar memperlambat pemanasan
melihat perbedaan pengaruh variabel bebas
global.
terhadap variabel terikat sebelum dan setelah

Tabel 3. Pengaruh Variabel Bebas Terhadap Emisi CO2 Sebelum dan Setelah MDGs

Koefisien variabel bebas (dengan


Koefisien variabel bebas
dummy)

GDP 3.49 D00*GDP -1.09


High Income KE 5.00 D00*KE 2.24
POP 24.43 D00*POP 0.54
GDP -68.74 D00*GDP 17.79
Lower Middle Income KE 118.6 D00*KE 20.70
POP 3.535 D00*POP -0.08

Sumber: Data diolah, signifikan pada taraf 5%

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 21
Setelah berjalan kesepakatan Protokol Sama halnya dengan konsumsi energi, setelah
Kyoto, pada tahun 2000 disepakati pula oleh berlakunya MDGs, pengaruh populasi penduduk
seluruh anggota PBB mengenai program MDGs terhadap emisi CO2 pada negara high income
(Milennium Development Goals) yang salah satu semakin besar. Menurut Goodness dan Prosper
poin capaiannya adalah mencapai keseimbangan (Goodness &Prosper, 2017), banyaknya jumlah
antara kesehatan ekonomi dan lingkungan. penduduk mampu meningkatkan permintaan
Sasaran utama dua program tersebut adalah energi, yang berbahan bakar fosil. Bila terus
negara maju, tak terkecuali yang ada di Asia, untuk menerus berlanjut, maka peningkatan emisi CO2
itu, negara tersebut terdorong untuk menjalankan tidak dapat dihindari. Terlebih untuk kasus negara
berbagai program yang mendukung kelestarian maju, yang pada dasarnya kemajuan teknologi
lingkungan. Sejalan dengan itu, Jepang yang sudah melebihi negara lainnya. Penduduk di negara
menjadi salah satu sasaran utama, menjalankan maju, pasti sangat bergantung pada teknologi,
upaya untuk mengurangi pengeluaran emisi yang membutuhkan listrik, kemudian kendasaraan
CO2 dengan cara mendorong penggunaan energi pribadi, yang membutuhkan bahan bakar, sebagai
terbarukan, dan juga energi nuklir. Banyak negara tenaganya. Selain pola hidup masyarakatnya yang
maju lainnya juga telah menetapkan regulasi tidak ramah lingkungan, semakin banyaknya
yang berkaitan dengan batubara, pengunaan jumlah masyarakat juga berimplikasi pada
energi terbarukan, dan kendaraan beremisi meningkatnya kuantitas transportasi, penurunan
rendah. Melalui berbagai upaya tersebut, pada ruang terbuka hijau, perubahan gaya hidup yang
tahun 2014 analisis tahunan PWC menemukan mendorong pertumbuhan konsumsi energi,
penurunan intensitas karbon tertajam sejak tahun ketergantungan kepada minyak bumi sebagai
2000. Analisis tersebut sejalan dengan temuan sumber energi. Sejalan dengan hal tersebut,
dalam penelitian ini, yaitu adanya keberhasilan Harris seorang ilmuan ekonomi menyatakan
negara maju (khususnya Jepang) menurunkan bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan
pengaruh pendapatan per kapita terhadap emisi standar hidup akan sangat membutuhkan jumlah
CO2. Di negara-negara high income Asia yang konsumsi energi yang semakin tinggi (Harris,
diteliti, konsumsi energi dan populasi penduduk 2002). Oleh karena itu, tidak heran jika populasi
juga memiliki nilai koefisien positif terhadap penduduk di negara maju dapat meningkatkan
emisi CO2 setelah ditambahkan variabel dummy. jumlah emisi CO2.
Hal tersebut berarti bahwa setelah berlakunya Berbeda dengan temuan di negara maju,
program MDGs, konsumsi energi dan populasi di negara-negara lower middle income selama
penduduk mempunyai pengaruh semakin besar tahun 1987-2014 menunjukkan pengaruh GDP
terhadap emisi CO2. Pengaruh positif konsumsi per kapita terhadap emisi CO2 masih negatif.
energi terhadap emisi CO2 dapat terjadi karena Pengaruh negatif tersebut bukan berarti bahwa
pasca berlakunya MDGs industri pada negara high negara-negara lower middle income lebih
income Asia, berproduksi terus-menerus dengan dapat menjaga kelestarian lingkungan daripada
skala yang sangat besar, terlepas dari upayanya negara high income, namun lebih kepada waktu
untuk menekan laju emisi CO2. Demikian pula pelaksanaan pembangunan yang masih baru
industri tambang seperti batu bara, minyak bumi, berjalan dibanding di negara maju. Di negara-
dan gas alam, yang masih menjadi andalan bagi negara lower middle income Asia yang diteliti,
perekonomian, turut meningkatkan emisi CO2. pembangunan ekonomi dilakukan sekitar tahun
Kita tahu bahwa kegiatan produksi di tambang 70-an, bahkan ada yang di tahun 90-an, berbeda
dilakukan dengan cara membakar bahan bakar dengan pembangunan ekonomi di negara-negara
fosil untuk menghasilkan energi, maka karbon maju yang lebih dahulu dilakukan. Selain itu
dalam bahan bakar bereaksi dengan oksigen, kegiatan industri di negara-negara lower middle
untuk membentuk gas karbon dioksida (CO2). income Asia tidak seaktif di negara-negara high
Dengan kata lain, meningkatnya konsumsi energi income. Baru setelah tahun 2000 (berlakunya
tersebut mendorong meningkatnya emisi CO2. MDGs), kegiatan pembangunan ekonomi di
negara-negara ini menyebabkan meningkatnya

22 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


emisi CO2. Pasca tahun 2000, perkembangan Indonesia pernah berhasil menurunkan emisi CO2
aktifitas industri semakin pesat, selain itu negara ketika GDP per kapita naik, yaitu pada periode
berkembang seperti Indonesia juga aktif dalam 2010-2012.
kegiatan pertambangan. Sementara itu ada
perubahan konsumsi energi yang tinggi setelah Di negara-negara high income sebelum
berlakunya MDGs, karena negara-negara ini MDGs ditetapkan, semakin tinggi tingkat GDP
berada pada tahap pembangunan ekonomi, dimana per kapita, konsumsi energi (KE) dan jumlah
dalam prosesnya membutuhkan energi yang lebih penduduk (Pop) telah meningkatkan emisi
banyak, dan pendapatan nasional yang dimilikinya CO2. Namun pasca penetapan MDGs, semakin
belum cukup untuk melakukan tindakan preventif tinggi GDP per kapita, negara semakin mampu
ataupun menanggulangi degradasi lingkungan. menurunkan emisi CO 2, namun KE dan Pop
Adapun pengaruh populasi penduduk pasca tetap berkontribusi atas meningkatnya emisi CO2.
berlakunya MDGs, memiliki koefisien negatif Sedangkan di negara-negara lower middle income
dan signifikan terhadap emisi CO 2. Hal ini (khususnya India dan Indonesia), emisi CO2 sudah
bukan berarti bahwa setiap penambahan populasi naik di awal-awal periode penelitian ketika GDP
penduduk mampu menurunkan emisi CO 2 , masih rendah, itulah sebabnya hubungan antara
namun lebih kepada proporsi peningkatan GDP per kapita dan emisi CO2 berbanding
jumlah penduduk yang lebih tinggi dibandingkan terbalik. Namun setelah tahun 2000 (penetapan
proporsi peningkatan emisi CO2 yang masih MDGs), meningkatnya GDP per kapita, KE dan
rendah karena pembangunan belum sepesat di Pop menyebabkan meningkatkan emisi CO2 di
negara-negara maju. semua negara.
Untuk mengurangi masalah kerusakan
KESIMPULAN lingkungan akibat meningkatnya emisi CO 2,
Hipotesis EKC dinyatakan terbukti apabila dalam khususnya di negara-negara berpenghasilan
hasil penelitian menunjukkan koefisien GDP per menengah rendah seperti Indonesia, beberapa
kapita bertanda positif dan koefisien GDP per alternatif dapat dilakukan. Yang paling efektif
kapita kuadrat bertanda negatif, dengan titik balik adalah pengenaan sanksi pada badan usaha atau
(turning point) tertentu, sehingga kurva berbentuk perorangan yang dengan sengaja menyebabkan
U terbalik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya emisi CO2 ini, melalui UU yang
di negara-negara high income Asia hipotesis dibuat DPR. Selain itu literasi bahaya akibat
EKC akan terjadi ketika GDP per capita mereka pencemaran lingkungan perlu digalakkan melalui
mencapai USD 51.44 ribu, yang sepanjang berbagai saluran, sehingga dapat mengurangi/
periode penelitian hanya Singapore yang sudah menurunkan emisi CO2. Berkaitan dengan temuan
mencapainya. Di Negara-negara high income ini, penelitian, konsumsi energi fosil sebaiknya
Jepang, Korea Selatan dan Arab Saudi merupakan dikurangi, digantikan dengan energi yang ramah
negara yang beberapa kali berhasil menurunkan lingkungan seperti energi listrik dan energi surya.
emisi CO2 ketika GDP per kapita naik. Berlakunya Untuk itu pemakaian energi fosil diberbagai
hipotesis EKC ini diartikan bahwa di masa depan, keperluan saat ini sudah saatnya dikurangi, dan
setelah melampaui turning point, negara-negara digantikan dengan menggunakan energi ramah
high income akan mampu menurunkan emisi CO2. lingkungan.
Sedangkan di negara-negara low middle income Terlepas dar temuan, penelitian ini memiliki
Asia, koefisien GDP per kapita bertanda negatif, beberapa kekurangan seperti hanya memberikan
dan koefisien GDP2 per kapita bertanda positif, kesimpulan secara umum di tiap kelompok negara
sehingga kurva membentuk huruf U, atau dengan high income dan lower middle income di Asia,
kata lain hipotesis EKC tidak berlaku. Namun di sehingga penelitian dengan pendekatan individu
negara perlu dilakukan.

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 23
REFERENSI stock. Environment, Development and
Sustainability, 9(4), 427–454. https://doi.
Abdurahman, D. A. (2012). Dampak pertumbuhan
org/10.1007/s10668-006-9030-y
dan keterbukaan ekonomi terhadap degradasi
lingkungan. Departemen Ilmu Ekonomi Goetzke, Frank, and Tilmann Rave. 2015.
Fakultas Ekonomi Dan Manajemen Institut “Regional air quality and happiness in
Pertanian Bogor, 1–142. Germany.” International Regional Science
Review 38 (4):437-451.
Ali, A., Khatoon, S., Ather, M., & Akhtar, N.
(2015). Modeling Energy Consumption Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1995).
, Carbon Emission and Economic Economic Growth and the Environment.
Growth : Empirical Analysis for Pakistan. The Quarterly Journal of Economics, 110(2),
International Journal of Energy Economics 353–377. https://doi.org/10.2307/2118443
and Policy, 5(2), 624–630. Gujarati, D. (2010). Dasar-Dasar Ekonometrika.
Basarir, A., & Arman, H. (2013). Sustainable Jakarta: Salemba Empat.
development and environmental Kuznets Halkos, G. (2009). Environment and Sustainable
curve in GCC countries. In Proceedings Development. International Journal of
of the 13th International Conference on Global Environmental Issues, (17), 111–116.
Environmental Science and Technology, Harris, J. M. (2002). Environmental and Natural
Athens, Greece, September 5 (Vol. 7). Resource Economics: A Contemporary
Beck, K. A., & Joshi, P. (2015). An Analysis of the Approach. Boston: Houghton Mifflin Co.
Environmental Kuznets Curve for Carbon Inglesi-Lotz, R., & Bohlmann, J. (2014).
Dioxide Emissions: Evidence for OECD and Environmental Kuznets curve in South
Non-OECD Countries. European Journal Africa: To confirm or not to confirm? (No.
of Sustainable Development, 4(3), 33–45. 6378). EcoMod.
https://doi.org/10.14207/ejsd.2015.v4n3p33 Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009).
Beckerman, W. (1992). Economic growth and Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL.
the environment: Whose growth? whose Kuswantoro, D. P. (2009). Pembangunan
environment? World Development, 20(4), Ekonomi dan Deforestasi Hutan Tropis.
481–496. https://doi.org/10.1016/0305-
Landrigan, Philip J. 2017. “Air pollution and
750X(92)90038-W
health.” The Lancet Public Health 2
Camci-Cetin, Sema, Murat Mustafa Kutluturk, (1):e4-e5.
and Ahmet Kibar Cetin. 2018. “The
Lean, H. H., & Smyth, R. (2010). CO2 emissions,
Impact of Income Levels of Countries
electricity consumption and output in
on Environmental Pollution: Testing the
ASEAN. Applied Energy, 87(6), 1858-1864.
Environmental Kuznets Curve “ Fresenius
Environmental Bulletin 27 (9):5804-5810. Maryam, J., Mittal, A., & Sharma, V. (2017).
CO2 Emissions, Energy Consumption and
Dasgupta, S., Laplante, B., Wang, H., & Wheeler,
Economic Growth in BRICS:An Empirical
D. (2002). Confronting the Environmental
Analysis. IOSR Journal of Humanities and
Kuznets Curve. Journal of Economic
Social Science, 22(2), 53–58. https://doi.
Perspectives, 16(1), 147–168. https://doi.
org/10.9790/0837-2202055358
org/10.1257/0895330027157
Mrabet, A., Achairi, R., & Ellouze, A. (2014). The
Endeg, T. W. (2015). Economic growth and
Two-Way relationship between Economic
environmental degradation in Ethiopia:
Growth and CO2 Emissions. 2(6), 32–35.
An environmental Kuznets curve analysis
approach. Journal of Economics and OECD. (2015). Survey Ekonomi OECD Indonesia.
International Finance, 7(4), 72–79. https:// Panayotou, T. (1993). Empirical Test and Policy
doi.org/10.5897/JEIF2015.0660 Analysis of Environmental Degradation at
Galeotti, M. (2007). Economic growth and Different Stages of Economic Development.
the quality of the environment: Taking In WORLD EMPLOYMENT PROGRAMME

24 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 27, No. 2, 2019


RESEARCH. https://doi.org/http://sci- UNFCC. (2007). Sekilas Tentang Perubahan
hub.tw/http://www.ilo.org/public/ libdoc/ Iklim. Retrieved from http://unfccc.int/files/
ilo/1993/93B09_31_engl.pdf meetings/cop_13/press/application/pdf/
Pao, H. T., & Tsai, C. M. (2011). Modeling and sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf.
forecasting the CO2 emissions, energy United Nation. (2007). Perkembangan Pencapaian
consumption, and economic growth in MDGs Indonesia. Jakarta.
Brazil. Energy, 36(5), 2450–2458. https:// WEF. (2017). Global Shapers Survey. Global
doi.org/10.1016/j.energy.2011.01.032 Shapers Community. Retrieved from http://
Phimphanthavong, H. (2013). The Impacts www.shaperssurvey2017.org/static/data/
of Economic Growth on Environmental WEF_GSC_Annual_Survey_2017.pdf
Conditions in Laos. 4(5), 766–774. WMO. (2017). WMO Statement on The State
Pratama, M. I. A. (2016). Hipotesis Environmental of The Global Climate in 2017. Retrieved
Kuznets Curve di Indonesia Tahun 1960- from https://library.wmo.int/doc_num.
2013. Universitas Diponogoro. php?explnum_id=4453
Shaharir, b. M. Z., & Alinor, M. b. A. K. World Resource Institute. (2016). Rising To The
(2013). The Need for a New Definition Challenge.
of Sustainability. Journal of Indonesian Zhang, Xin, Xiaobo Zhang, and Xi Chen. 2017.
Economy and Business, 28(2), 251–268. “Happiness in the air: how does a dirty
https://doi.org/10.1007/978-94-007-2285-9 sky affect mental health and subjective
Suparmoko, M. (2000). Ekonomi Sumber Daya well-being?” Journal of environmental
Alam dan Lingkungan. Yogyakarta: BPFE. economics and management 85:81-94.
Susanti, E. D. (2018). Environmental Kuznet Zhu, Q., & Peng, X. (2012). The impacts of
Curve: Hubungan Pertumbuhan Ekonomi population change on carbon emissions in
dengan Degradasi Kualitas Udara Dalam China during 1978-2008. Environmental
Pencapaian MilleniumDevelopment Goals Impact Assessment Review, 36, 1–8.
(MDGs) di Indonesia. Universitas Negeri
Yogyakarta.

Studi Environmental Kuznets ... (Sri Indah N., Sekar Destilawati., Siti Nurjanah) │ 25

Anda mungkin juga menyukai