Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM

MATAKULIAH PERTANIAN ORGANIK

LAPORAN LENGKAP

FARIDA

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
PERBANDINGAN PEMBUATAN KOMPOS DARI
SAMPAH DAUN KERING DAN DAUN BASAH DI
KEBUN AKADEMIK FAKULTAS PERTANIAN

LAPORAN LENGKAP

Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan


Matakuliah Pertanian Organik pada Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako

Oleh:

FARIDA
E 281 19 172

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


JURUSAN BUDIDAY TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
Judul : Perbandingan Pembuatan Kompos Dari Sampah Daun
Kering dan Daun Basah di Kebun Akademik Fakultas
Pertanian

Nama : Farida

Stambuk : E 281 19 172

Kelas : AGRONOMI 2

Palu, Desember 2021

Menyetujui,

Koordinator Asisten Asisten Penanggung Jawab

Samsu, S.P. Muhammad Iqbal


E 281 17 082

Disahkan oleh,
Dosen Penanggung Jawab
Matakuliah Pertanian Organik

Dr. Sc. Agr. Ir. Henry N. Barus, M.Sc


19651105 199203 1 004

iii
RINGKASAN

FARIDA (E 281 19 172) Perbandingan Pembuatan Kompos Dari Sampah


Daun Kering dan Daun Basah di Kebun Akademik Fakultas Pertanian.

Pertanian organik dapat diartikan sebagai praktek bertani tanpa


menggunakan input dari luar lahan dan hanya menggantungkan semua pada alam
dengan cara mengembalikan semua sisa-sisa tanaman ke tanah sebagai pupuk
organik. Pupuk organik adalah pupuk yang dibuat dari bahan-bahan organik atau
alami. Lebih rincinya pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi
makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk
organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Praktikum ini bertujuan untuk membandingkan
pengomposan sampah bahan kering dan bahan basah. Faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengomposan yaitu C/N bahan baku, jenis dan ukuran bahan baku,
aerasi, kelembaban, suhu, mikroorganisme dan aktivator. Jenis teknologi pada
pengomposan aerobik, diantaranya: Pengomposan Sistem Windrow, Aerated
Static Pile Composting, In-vaseel Composting Sistem, Vermicomposting, dan
Effective Microorganisme (EM). Berikut ini jenis teknologi pengomposan
anaerobik: digesti Anaerobik dengan tingkat kepadatan rendah, digesti Anaerobik
dengan tingkat kepadaan tinggi, pengomposan dengan teknologi rendah,
pengomposan dengan teknologi sedang, dan pengomposan dengam teknologi
tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan pengomposan sampah daun kering dapat
dilihat pada Tabel 1. Menunjukkan bahwa suhu rata - rata 50°C, memiliki aroma
menyengat dan memiliki warna coklat kehitaman. Sedangkan pada hasil
pengamatan kompos sampah daun basah dapat dilihat pada Tabel 2. Yang
menunjukkan suhu rata - rata 40°C sampai 50°C, memiliki aroma menyengat dan
memiliki warna yang bervariasi diantaranya kuning kecoklatan, hijau kecoklatan,
kecoklatan, hijau dan hijau kecoklatan. Pada hari ke-5 pengamat menambahkan
bahan organik (daun basah) sehingga warnanya hijau kecoklatan. Dan pada hari
ke-14 pengamat juga menambahkan bahan organik (daun basah) sehingga pada
hari ke-15 warnanya hijau. Proses pengomposan akan berhenti setelah mencapai
kematangan yang sempurna dengan indikator yang dapat diamati meliputi warna,
aroma, dan tekstur. Warna yang ideal adalah coklat kehitaman atau serupa dengan
warna tanah, selama proses fermentasi kompos akan menimbulkan berbagai bau
yang mneyengat, tergantung dari bahan yang digunakan serta aktifitas mikroba
yang terdapat di dalamnya. Aroma dari kompos menyerupai humus atau tidak
menyengat, dan tekstur kompos yang baik adalah tetap lembab namun tidak
menetes ketika diperas.

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
laporan ini dengan judul “ Perbandingan Pembuatan Kompos Dari Sampah Daun
Kering dan Daun Basah di Kebun Akademik Fakultas Pertanian”. Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Pertanian
Organik.
Selama pelaksanaan praktikum ini penulis banyak mendapatkan arahan,
bimbingan, saran serta dorongan dari berbagai pihak sehingga pelaksanaan
praktikum dan penulisan laporan ini dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Oleh karenanya, dengan kerendahan hati penyusun ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Sc. Agr. Ir. Henry N. Barus, M.Sc., selaku dosen penanggung
jawab praktikum mata kuliah pertanian organik.
2. Samsu, S.P., selaku koordinator asisten araktikum mata kuliah pertanian
organik.
3. Muhammad Iqbal., selaku asisten penanggung jawab praktikum mata
kuliah pertanian rganik.
Akhir kata, Alhamdulillahi Rabbil Alamin semoga Allah SWT
Memberikan imbalan yang setimpal atas kebaikan dan jasa-jasa mereka, serta
penulis ini mendapatkan ridho-Nya dan bermanfaat bagi semua pihak.

Palu, Desember 2021

Penyusun

v
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
RINGKASAN ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix

I. PENDAHLUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2 Tujuan Praktikum................................................................................ 3
1.3 Manfaat Praktikum.............................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kompos ................................................................................ 4


2.2 Proses Pengomposan ........................................................................... 5
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan ........................................ 6
2.4 Mikrobiologi Kompos ......................................................................... 8
2.5 Jenis Teknologi Komposting .............................................................. 10

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu .............................................................................. 13


3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 13
3.3 Cara Kerja ........................................................................................... 13

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil .................................................................................................... 14


4.2 Pembahasan......................................................................................... 14

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 18


5.2 Saran ................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENYUSUN

vi
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Data Hasil Pengomposan Sampah Daun Kering .......................................... 15

2. Data Hasil Pengomposan Sampah Daun Basah ........................................... 15

vii
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Sampah Daun Kering dan Basah Dimasukkan dalam Bak Kompos............ 25

2. Penambahan Pupuk Kandang Sapi............................................................... 25

3. Penyiraman Sampah Daun Kering dan Basah ............................................. 25

4. Pelarutan Cairan EM-4 ................................................................................. 26

5. Proses Pembalikan Atau Pengadukan Sampah Daun Kering dan Basah ..... 26

6. Pengecekan Suhu Sampah Daun Kering ...................................................... 26

7. Pengecekan Suhu Sampah Daun Basah ....................................................... 27

viii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung

dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca

panen dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan

standardisasi (IFOAM, 2018). Menurut Badan Standardisasi Nasional (2012),

"Organik" adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah

diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas

atau lembaga sertifikasi resmi.

Aspek ekonomi dapat berkelanjutan bila produksi pertaniannya mampu

mencukupi kebutuhan dan memberikan pendapatan yang cukup bagi petani.

Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis

dalam pertanian menjadikan pertanian organik menarik perhatian baik di tingkat

produsen maupun konsumen. Kebanyakan konsumen akan memilih bahan pangan

yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan, sehingga mendorong

meningkatnya permintaan produk organik. Pola hidup sehat ini telah melembaga

secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus

beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi

(nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Pangan

yang sehat dan bergizi tinggi ini dapat diproduksi dengan metode pertanian

organik (Yanti, 2015).


Hubungan antara pertanian organik dengan manusia memang merupakan

sälah satu bentuk hubungan yang mendasar karena dengan aktivitas pertanian

manusia bisa mendapatkan bahan pangan dan sandang untuk mempertahankan

kehidupannya. Dikalangan praktisi, ilmuwan dan petani marak digunakan istilah

produk organik mulai dari makanan organik, seperti sayur organik, beras organik,

dan buah buahan organik. Pertanian organik dapat diartikan sebagai praktek

bertani tanpa menggunakan input dari luar lahan dan hanya menggantungkan

semua pada alam dengan cara mengembalikan semua sisa-sisa tanaman ke tanah

sebagai pupuk organik (Winarno, 2014)

Pupuk organik adalah pupuk yang dibuat dari bahan-bahan organik atau

alami. Lebih rincinya pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi

makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk

organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat

fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik

daripada kadar haranya. Bahan-bahan yang termasuk pupuk organik antara lain

pupuk kandang, kompos, kascing, gambut, rumput laut dan guano. Berdasarkan

bentuknya pupuk organik dapat dikelompokkan menjadi pupuk organik padat dan

pupuk organik cair. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau,

pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan

sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian,

dan limbah kota (sampah) (Adam, 2014).

Penggunaan pupuk organik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan

pupuk anorganik karena pupuk organik mengandung unsur mikro yang lebih

2
lengkap, pupuk organik mampu berperan memobilisasi atau menjembatani hara

yang sudah ada di tanah sehingga mampu membentuk partikel ion yang mudah

diserap oleh akar tanaman., pupuk organik berperan dalam pelepasan hara tanah

secara perlahan dan kontinu sehingga dapat membantu dan mencegah terjadinya

ledakan suplai hara yang dapat membuat tanaman menjadi keracunan, pupuk

organik membantu menjaga kelembaban tanah dan mengurangi tekanan atau

tegangan struktur tanah pada akar-akar tanaman, pupuk organik dapat

meningkatkan struktur tanah dalam arti komposisi partikel yang berada dalam

tanah lebih stabil dan cenderung, pupuk organik sangat membantu mencegah

terjadinya erosi lapisan atas tanah yang merupakan lapisan mengandung banyak

hara, pupuk organik berperan positif dalam menjaga kehilangan secara luas hara

Nitrogen dan Fosfor terlarut dalam tanah, kualitas tanaman yang menggunakan

pupuk organik akan lebih bagus sehingga tanaman tidak mudah terserang penyakit

dan tanaman lebih sehat, dan untuk kesehatan manusia tanaman yang

menggunakan pupuk organik lebih menyehatkan karena kandungan nutrisinya

lebih lengkap dan lebih banyak (Suriadikarta, 2014).

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktikum

Praktikum ini bertujuan untuk membandingkan pengomposan sampah bahan

kering dan bahan basah.

1.3 Manfaat Praktikum

Manfaat dari praktikum ini yaitu untuk memberikan informasi tentang

perbandingan kompos dari sampah bahan kering dan bahan basah.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kompos

Kompos adalah proses yang dihasilkan dari pelapukan (dekomposisi) sisa-

sisa bahan organik secara biologi yang terkontrol (sengaja dibuat dan diatur)

menjadi bagian-bagian yang terhumuskan. Kompos sengaja dibuat karena proses

tersebut jarang sekali dapat terjadi secara alami, karena di alam kemungkinan

besar terjadi kondisi kelembaban dan suhu yang tidak cocok untuk proses biologis

baik terlalu rendah atau terlalu tinggi (Situmorang, 2016).

Fermentasi merupakan istilah yang digunakan dalam proses pembuatan

bokashi. Jika diartikan secara harfiah adalah proses yang khusus digunakan untuk

menghasilkan bahan-bahan seperti asam organik dan alkohol. Pengguna atau

pembuat kompos harus tahu bahwa fermentasi untuk pembuatan bokashi adalah

bagian dari proses pengomposan (Metting, 2013).

Kompos merupakan semua bahan organik yang telah mengalami degradasi

atau penguraian sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya,

berwarna kehitaman dan tidak berbau. Bahan organik organik ini berasal dari

tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan. Namun, khusus pupuk yang

dibuat dari kotoran hewan biasa disebut pupuk kandang. Adapun humus adalah

hasil proses humifikasi atau perubahan-perubahan lebih lanjut dari kompos.

Proses humifikasi ini dapat berlangsung hingga ratusan tahun (Jannah, 2014).
2.2 Proses Pengomposan

Pembuatan pupuk organik atau kompos. Bahan yang digunakan adalah

potongan sisa tanaman pertanian, dedak, serbuk gergaji, pupuk kandang (ayam,

kambing, sapid an lainnya), terpal pembungkus atau penutup. Tahapan pembuatan

kompos, pertama-tama siapkan tanaman atau sampah organik kemudian di

potong-potong menjadi ukuran lebih kecil. Letakkan potongan tanaman atau

sampah organik pada tumpukan dengan lebar 1,3 m, panjang 2 m dan setebal 15

cm. Kemudian, letakkan diatasnya pupuk kandang setebal 5-15 cm secara merata.

Taburkan serbuk gergaji kayu lalu ditutup dengan dedak secara tipis dan merata.

Kemudian dilarutkan cairan pembiakan bakteri EM-4 (600 mL) ke dalam air

10 liter dan diaduk. Setelah merata maka tuang pada lapisan diatas lapisan dedak

tersebut. Ulangi tahapan pemberian sisa tanaman, pupuk kandang, serbuk gergaji,

dedak dan cairan bakteri EM-4 hingga berlapis-lapis setinggi 1-1,5 meter. Tutup

tumpukan bahan kompos dengan terpal rapat-rapat. Panas akan meningkat mulai

40ºC hingga 65ºC pada tumpukan menunjukkan bahwa mikroba sedang bekerja

melapukkan bahan kompos.

Setelah 7 hari maka kompos dibalik atau diaduk, bila perlu ditambahkan

kembali cairan pembiakan bakteri EM-4. Setelah merata maka ditutup kembali.

Setelah 2-4 minggu kompos bisa digunakan. Kompos yang matang umumnya

berumur 2-3 bulan, dengan ciri berwarna hitam kecoklatan, remah atau gembur

dan tidak berbau menyengat (Yovita, 2015).

5
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Kompos adalah bahan organik yang dibusukkan pada suatu tempat yang

terlindung dari matahari dan hujan, diatur kelembabannya dengan menyiram air

bila terlalu kering (Roidah, 2013). Faktor yang mempengaruhi keberhasilan

pengomposan yaitu C/N bahan baku, jenis dan ukuran bahan baku, aerasi,

kelembaban, suhu, mikroorganisme dan aktivator. Ukuran bahan baku dan kadar

air merupakan salah satu faktor keberhasilan proses pengomposan. Penentuan

kadar air dan ukuran bahan baku optimum diperlukan untuk mengetahui kondisi

optimum yang dapat mempercepat proses pengomposan. Penambahan aktivator

juga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Penambahan aktivator berupa

mikroorganisme lokal (mol) diharapkan mampu mempercepat proses

pengomposan. Hal-hal yang perlu diperhatikan agar proses pengomposan dapat

berlangsung lebih cepat antara lain sebagai berikut:

2.3.1 Nilai C/N bahan

Rasio C/N (Karbon dan Nitrogen) yang efektif untuk proses pengomposan

berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C (Karbon) sebagai

sumber energi dan menggunakan N (Nitrogen) untuk sintesis protein. Pada rasio C/N

di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup karbon untuk energi dan nitrogen

untuk sintesis protein. Semakin rendah nilai C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk

pengomposan semakin singkat.

2.3.2 Ukuran bahan

Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya

karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan bakteri. Untuk itu, bahan organik

perlu dicacah hingga berukuran kecil. Bahan yang keras sebaiknya dicacah hingga

6
berukuran 0,5 - 1 cm, sedangkan bahan yang tidak keras dicacah dengan ukuran yang

agak besar, sekitar 5 cm. Pencacahan bahan yang tidak keras sebaiknya tidak terlalu

kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air) kurang baik karena

kelembabannya menjadi tinggi.

2.3.3 Komposisi bahan

Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan cepat.

Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan

kotoran hewan. Ada juga yang menambahkan bahan makanan dan zat pertumbuhan

yang dibutuhkan mikroorganisme. Dengan demikian, mikroorganisme juga akan

mendapatkan bahan makanan lain selain dari bahan organik.

2.3.4 Jumlah mikroorganisme

Dalam proses pengomposan, yang akan berperan adalah bakteri, fungi,

Actinomycetes, dan protozoa. Selain itu, harus sering ditambahkan pula

mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya

jumlah mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat.

2.3.5 Kelembaban

Pada umumnya, mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembapan sekitar 40

- 60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara

optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan

mikroorganisme tidak berkembang atau mati.

2.3.6 Keasaman (pH)

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas

mikroorganisme. Kisaran pH yang baik untuk pengomposan sekitar 6,5—7,5 (netral).

Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu

7
dapur untuk menaikkan pH. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan

aktivator. Beberapa aktivator yang tersedia di pasaran antara lain Orga Dec,

Stardec, EM4, dan Fix–Up Plus. Semua aktivator tersebut sudah dikemas dalam

berbagai ukuran yang siap dipasarkan dalam proses pengomposan ternyata juga dapat

melibatkan hewan lain (organisme makro), seperti cacing tanah yang bekerja sama

dengan mikroba dalam proses penguraian. Dalam hal ini, cacing memakan bahan

organik yang tidak terurai, mencampur bahan organik, dan membuat rongga-rongga

udara sebagai aerasi. Kehadiran cacing tanah dapat mempercepat penghancuran

bahan organik oleh mikroorganisme. Penguraian oleh mikroorganisme disebut

pengomposan atau composting, sedangkan keterlibatan cacing (vermes) dalam proses

pengomposan disebut vermicomposting dan hasilnya disebut casting (Cahaya, 2016).

2.4 Mikrobiologi Kompos

Menurut Rao (2017). Mikroba yang berperan dalam proses pengomposan

ada dua jenis yang dominan, yaitu bakteri dan jamur. Jenis-jenis bakteri penting

yang mempengaruhibproses pengomposan dapat dikelompokkan berdasarkan asal

bakteri, kebutuhan oksigen, suhu, dan jenis makanannya. Bakteri berdasarkan

asalnya ada 2 yaitu Autokton adalah bakteri asli, contoh Arthrobacter dan

Nocardio, dan Zimor adalah bakteri pelindung, contoh Pseudomonas dan

Bacillus. Jumlah bakteri autotroph seragam dan tetap karena berasal dari bahan

organik tanah asalnya, jika ada bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah

maka bakteri Zimogar akan meningkat namun akan menurun kembali jika bahan

organik tersebut habis (Sutedjo et al, 2016).

8
Bakteri berdasarkan kebutuhan terhadap oksigen (O2), Anaerobik yaitu

bakteri yang berkembang biak tanpa O2, Aerobik yaitu bakteri yang berkembang

biak dengan O2, dan Anaerobik Fakultatif, yaitu bakteri yang mampu berkembang

biak tanpa atau dengan O2. Bakteri yang dikelompokkan berdasarkan suhu, yaitu

Psikrofil bakteri yang optimal berkembang di suhu < 20ºC, Mesofil bakteri yang

berkembang optimal di suhu 15 - 45ºC, Termofil bakteri yang berkembang

optimal di suhu 45 - 65ºC. Bakteri yang dikelompokkan berdasarkan makanannya

yaitu Autotrof bakteri yang dapat menyusun makanannya sendiri, Heterotrof

bakteri tergantung pada makanan yang tersedia, dan Fotoautotrof, bakteri yang

memperoleh energinya dari sinar matahari (Sutedjo et al, 2016).

Mikroorganisme yang dominan dalam pengomposan setelah bakteri adalah

jamur (fungi), umumnya jamur dapat berkembang di lingkungan asam,

kebanyakan bersifat aerobik, dan perkembangannya akan menurun jika

kelembaban terlalu tinggi. Bahan organik tanaman yang digunakan untuk kompos

umumnya terbagi 2 macam, yaitu bahan organik yang memiliki kandungan

Nitrogen (N) tinggi dan Karbon (C) tinggi, contohnya pupuk kandang, daun

legum (gamal, lamtoro, kacang-kacangan) atau limbah rumah tangga. Bahan

organik yang memiliki kandungan N rendah dan C tinggi, contohnya dedaunan

yang gugur, jerami, serbuk gergaji, bagian tanaman yang tua (TKS = Tandan

Kosong Kelapa Sawit) (Sutedjo et al, 2016).

Limbah bahan organik yang memiliki kandungan N tinggi dan C tinggi jika

akan dicamur dengan bahan yang memiliki N rendah dan C tinggi untuk dibuat

kompos, maka perbandingannya adalah 1 : 4. Dan selama proses pengomposan

9
diusahakan suhu diatur pada kisaran 60 - 65ºC, maka kompos akan memiliki

proses yang sempurna (Tan, 2017). Laju pengomposan akan menurun pada suhu

diatas 70ºC, dan optimal pada suhu 40 - 50ºC (Sutedjo et al, 2016).

Suhu pengomposan menentukan mutu kompos yang dihasilkan, jika

pembuatan kompos tidak menimbulkan panas menunjukkan aktivitas mikroba

tidak berjalan sesuai harapan. Menurut Sutedjo (2016), suhu kompos mempunyai

pengaruh baik karena mampu menurunkan pathogen (mikroba atau gulma yang

berbahaya). Jika suhu dalam proses pengomposan hanya berkisar kurang dari

20ºC maka kompos dinyatakan gagal, sehingga perlu diulang kembali. Cek

kembali jumlah bahan kompos apakah sudah cukup banyak, kelembaban kompos

apakah tidak terlalu kering, atau penutup kompos apakah sudah cukup rapat. Jika

suhu pengomposan lebh dari 20ºC maka menunjukkan aktivitas mikroba yang

cukup baik dan laju metabolism meningkat cepat.

2.5 Jenis Teknologi Komposting

Teknologi pengomposan sampah sangat beragam baik ssecara aerobik

maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Pada pengomposan

aerobik, dengan adanya udara yang dapat mempercepat proses pembusukan oleh

mikroorganisme aerobik, proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau.

Jenis teknologi pada pengomposan aerobik, diantaranya Pengomposan Sistem

Windrow, merupakan metode paling sederhana dan sudah sejak lama dilakukan.

Untuk mendapatkan aerasi dan pencampuran, biasanya tumpukan sampah tersebut

dibalik atau diasuk. Hal ini dapat juga menghambat bau yang timbul. Aerated

Static Pile Composting, udara disuntikkan melalui pipa statis kedalam tumpukan

10
sampah. Untuk mencegah bau yang timbul, pipa dilengkapi dengan exhause fan.

In-vaseel Composting Sistem, sistem pengomposan dilakukan didalam kontainer

atau tanki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau

disuntikkan udara, pemantauan suhu, dan konsetrasi oksigen.

Vermicomposting, merupakan langkah pengembangan pengomposan secara

aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai perombak utama atau

dkomposer, inokulasi cacing tanah dilakukan pada saat kondisi material organik

sudah siap menjadi media tumbuh (kompos setengah matang). Effective

Microorganism (EM), merupakan kultur campuran dari miktoorganisme yang

menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, EM dapat memfermentasikan bahan

organik dan memanfaatkan gas serta panas dari proses pembusukan sumber

energi. Manfaat yang dapat diambl dalam teknologi EM, pada pengolahan sampah

kota adalah berkurangnya bau busuk dan panas yang keluar dari tumpukan

sampah.

Pada pengomposan anaerobik, oksigen tidak diperlukan, proses berlangsung

lama, biasanya menimbulkan baud an akhir yang terpenting adalah gas metana

sebagai sumber energi baru. Berikut ini jenis teknologi pengomposan anaerobic,

Pengomposan dengan teknologi rendah, teknik ini dilakukan dengan cara

sederhana, seperti windrow composting, kompos ditumpuk dalam barisan sejajar.

Tumpukan bisa ditutup atau tidakditutup, dan dibolak-balik secara berkala.

Pengomposan dengan teknologi sedang. Pada tumpukan bahan kompos

ditambahkan pipa-pipa atau saluran aerasi. Blower mekanik atau mesin pemompa

digunakan utnuk meningkatkan aerasi tumpukan bahan kompos. Pembalikan juga

11
dilakukan secara mekanis menggunkan mesin pembalik. Pengomposan dengam

teknologi tinggi. Pengomposan dilakukan dengan peralatan yang dibuat khusu

untuk mempercepat pembuatan kompos. Tedapat panel-panel untuk mengatur

kondisi. Teknik ini umumnya digunakan pada produksi kompos skala besar atau

skala industri (Joe Pamungkas, 2014).

12
III . METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum Pertanian Organik, dilaksanakan di lahan Kebun Akademik,

Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako pada hari Jum’at tanggal 5 November

2021 sampai tanggal 2 Desember 2021 pukul 07.30 WITA sampai dengan selesai.

3.2 Alat dan Bahan

Pada praktikum kali ini alat yang digunakan antara lain sekop, parang,

karung, selang, ember, waring dan termometer.

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini antara lain sampah daun

kering, sampah daun basah, air, dan cairan EM-4.

3.3 Cara Kerja

Pertama-tama siapkan bahan organik (sampah daun kering dan sampah

daun basah), kemudian potong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. Lalu

bahan organik dimasukkan ke dalam tempat pembuatan kompos atau bak kompos

kemudian, letakkan diatasnya pupuk kandang secara merata. Kemudian dilarutkan

cairan pembiakan bakteri EM-4 (600 mL) ke dalam air 10 liter dan diaduk.

Setelah merata maka tuang pada lapisan tersebut. Ulangi tahapan pemberian

bahan organik, pupuk kandang, dan cairan bakteri EM-4 hingga berlapis-lapis.

Setelah 7 hari maka kompos dibalik atau diaduk. Setelah 2 - 4 minggu kompos

bisa digunakan. Kompos yang matang umumnya berumur 2 - 3 bulan, dengan ciri

berwarna hitam kecoklatan, remah atau gembur dan tidak berbau menyengat.

13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan tentang pertanian organik


maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Data Hasil Pengomposan Sampah Daun Kering


Hari Ke- Suhu Aroma Warna
1 52°C Sangat Menyengat Coklat Kehitaman
5 57°C Menyengat Coklat Kehitaman
10 54°C Menyengat Coklat
15 55°C Menyengat Coklat Kehitaman
18 53°C Menyengat Coklat Kehitaman

Tabel 2. Data Hasil Pengomposan Sampah Daun Basah


Hari Ke- Suhu Aroma Warna
1 47°C Agak Menyengat Kuning Kecoklatan
5 47°C Menyengat Hijau Kecoklatan
10 47°C Menyengat Kecoklatan
15 46°C Tidak Berbau Hijau
18 55°C Menyengat Hijau Kecoklatan

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan pengomposan sampah daun kering dapat

dilihat pada Tabel 1. Menunjukkan bahwa suhu rata - rata 50°C, memiliki aroma

menyengat dan memiliki warna coklat kehitaman. Sedangkan pada hasil

pengamatan kompos sampah daun basah dapat dilihat pada Tabel 2. Yang

menunjukkan suhu rata - rata 40°C sampai 50°C, memiliki aroma menyengat dan

memiliki warna yang bervariasi diantaranya kuning kecoklatan, hijau kecoklatan,

kecoklatan, hijau dan hijau kecoklatan. Pada hari ke-5 pengamat menambahkan

bahan organik (daun basah) sehingga warnanya hijau kecoklatan. Dan pada hari
ke-14 pengamat juga menambahkan bahan organik (daun basah) sehingga pada

hari ke-15 warnanya hijau.

Untuk menghasilkan kompos yang baik, selama proses fermentasi harus

memperhatikan beberapa faktor di antaranya yaitu suhu, pH, dan kelembaban.

Suhu normal diawal proses fermentasi pengomposan adalah 40 - 50°C. Suhu ini

akan meningkat setelah hari ke tiga hingga mencapai 60°C dan akan menurun

seiring dengan matangnya kompos. Yang perlu diperhatikan adalah suhu setelah 2

minggu pengomposan. Suhu yang cenderung tinggi setelah 2 minggu

pengomposan harus segera di turunkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

memasang pipa airasi atau dengan membolak-balik kompos. Suhu tinggi ini

bersifat merugikan karena akan merusak unsur hara yang telah dihasilkan

sebelumnya (Arief Budiharjo, 2017).

Saat proses pengomposan kisaran pH normal adalah 5 - 8. pH yang

cenderung asam (pH 4 - 5) terjadi saat bakteri melakukan penguraian bahan

organik. Kondisi ini akan menjadi netral saat bahan kompos telah matang. pH

yang cenderung asam justru menguntungkan karena pada kondisi inilah akan

terbentuk unsur nitrogen yang sangat banyak. Suasana yang cenderung asam juga

bermanfaat untuk mematikan nimfa ataupun telur dari berbagai serangga dan

organisme patogen lainnya. Pengukuran suhu dilakukan 2 minggu setelah proses

pengomposan dimulai. Hal ini diharapkan tidak mengganggu proses fermentasi

bahan organik dalam menghasilkan berbagai unsur hara (Astuti Herawati, 2016).

Kelembaban berkaitan dengan kadar air yang terdapat dalam bahan

kompos. Diawal proses pengomposan, sampah daun sudah dipisahkan

15
berdasarkan tingkat kelembabannya. Tingkat kelembaban ideal untuk

pengomposan adalah 60%. Kelembaban rendah atau di bawah 60% akan

membuat bahan terlalu kering dan pematangan kompos menjadi lebih lama.

Adapun kelembaban yang terlalu tinggi atau lebih dari 60% akan membuat

kondisi bahan menjadi sangat basah (Dipoyuwo, 2018).

Kondisi ini akan sangat merugikan karena menjadi media pertumbuhan

berbagai bakteri non dekomposer. Bakteri ini pula yang akan aktif memproduksi

gas sehingga berakibat menimbulkan bau yang sangat menyengat pada kompos.

Suhu, pH, dan kelembaban merupakan tiga faktor yang harus selalu dipantau

selama proses pengomposan. Proses pengomposan akan berhenti setelah mencapai

kematangan yang sempurna dengan indikator yang dapat diamati meliputi warna,

aroma, dan tekstur (Junita, 2019).

Warna yang ideal adalah coklat kehitaman atau serupa dengan warna

tanah. warna yang terlalu hitam disebabkan kadar air yang terlalu tinggi selama

proses pengomposan. Sebaliknya, warna yang terlalu cerah merupakan hasil dari

pengomposan yang terlalu kering atau kelembabannya di bawah 30%. Aroma

menjadi salah satu indikator dari kematangan suatu kompos. Selama proses

fermentasi kompos akan menimbulkan berbagai bau yang mneyengat, tergantung

dari bahan yang digunakan serta aktifitas mikroba yang terdapat di dalamnya.

Aroma dari kompos menyerupai humus atau tidak menyengat (Khoirul, 2012).

Kompos yang telah matang akan memiliki tekstur menggumpal ketika

digenggam. Ini terjadi karena kompos mengalami penyusutan massa hingga

16
hampir 50% dari berat semula. Tekstur kompos yang baik adalah tetap lembab

namun tidak menetes ketika diperas (Rohend, 2015).

Menurut Sutedjo (2016), suhu kompos mempunyai pengaruh baik karena

mampu menurunkan pathogen (mikroba atau gulma yang berbahaya). Jika suhu

dalam proses pengomposan hanya berkisar kurang dari 20ºC maka kompos

dinyatakan gagal, sehingga perlu diulang kembali. Cek kembali jumlah bahan

kompos apakah sudah cukup banyak, kelembaban kompos apakah tidak terlalu

kering, atau penutup kompos apakah sudah cukup rapat. Jika suhu pengomposan

lebh dari 20ºC maka menunjukkan aktivitas mikroba yang cukup baik dan laju

metabolis memeningkat cepat.

17
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum mata kuliah Pertanian Organik yang telah dilakukan, maka

diperoleh hasil pengamatan:

1. Pengomposan sampah daun kering menunjukkan bahwa suhu rata - rata

50°C, memiliki aroma menyengat dan memiliki warna coklat kehitaman.

Sedangkan pada hasil pengamatan kompos sampah daun basah

menunjukkan suhu rata - rata 40°C sampai 50°C.

2. Memiliki aroma menyengat dan memiliki warna yang bervariasi

diantaranya kuning kecoklatan, hijau kecoklatan, kecoklatan, hijau dan

hijau kecoklatan. Pada hari ke-5 pengamat menambahkan bahan organik

(daun basah) sehingga warnanya hijau kecoklatan.

3. Pada hari ke-14 pengamat juga menambahkan bahan organik (daun basah)

sehingga pada hari ke-15 warnanya hijau. Suhu, pH, dan kelembaban

merupakan tiga faktor yang harus selalu dipantau selama proses

pengomposan.

4. Proses pengomposan akan berhenti setelah mencapai kematangan yang

sempurna dengan indikator yang dapat diamati meliputi warna, aroma, dan

tekstur.

18
5. Warna yang ideal adalah coklat kehitaman atau serupa dengan warna tanah,

selama proses fermentasi kompos akan menimbulkan berbagai bau yang

mneyengat, tergantung dari bahan yang digunakan serta aktifitas mikroba

yang terdapat di dalamnya.

6. Aroma dari kompos menyerupai humus atau tidak menyengat, dan tekstur

kompos yang baik adalah tetap lembab namun tidak menetes ketika

diperas.

5.2 Saran

Sebaiknya ketertiban disaat praktikum dapat lebih diperhatikan, kemudian

sebelum praktikum dimulai praktikan terlebih dahulu memahami dan menguasai cara

kerja dari praktikum yang akan kita lakukan, agar tidak menghambat pada saat

praktikum berjalan, praktikan dan asisisten melakukan dengan serius agar praktikum

lebih teratur.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adam WA. 2014. The effect of organic mattern the bulk and the true densities of
some incluvated Podsolic Soil. J, Sci 24 :10-7.

Arief Budiharjo, Muhammad. 2017. Studi Pengomposan Sampah Kota Sebagai Salah
Satu Alternatif Pengelolaan Sampah Di TPA Dengan Menggunakan
Aktivator EM4 (Effective Microorganism). Jurnal PRESIPITASI. Vol 1, No
1, p.25-30.

Astuti Herawati, Dewi dan Arif Wibawa, Andang. 2016. Pengaruh


PretreatmentJerami Padi pada Produksi Biogas dari Jerami Dan Sampah
Sayur Sawi Hijau Secara Batch. Jurnal Rekayasa Proses. Vol 4, No 1, p.25-
29.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2012. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-
6729- 2012. Sistem Pangan Organik. Jakarta.

Cahaya T.S., Andhika dan Nugroho, A.D., 2016. Pembuatan Kompos dengan
Mengunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu).
Semarang. Universitas Diponegoro.

Dipoyuwono. 2018. Meningkatkan Kualitas Kompos. Kiat Mengatasi Permasalahan


Praktis. Jakarta: Agromedia Pustaka.

IFOAM. 2018. The World of Organic Agriculture - Statistics & Emerging Trends
2018. http://www.soel.de/fachtheraaii downloads/s_74_l O.pdf.

Jannah, M. 2014. Evaluasi Kualitas Kompos dari Berbagai Kota sebagai Dasar
dalam Pembuatan SOP (Standard Operating Procedure) Pengomposan.
(Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Joe Pamungkas. 2014. Teknologi Pembuatan Kompos. Institut Pertanian Bogor.


Bogor.

20
Junita Nasution, Fadma., dkk. 2019. Aplikasi Pupuk Organik Padat dan Cair Dari
Kulit Pisang Kepok Untuk Pertumbuhan Dan Produksi Sawi (Bransica
Junsea L.). Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol 2, No 3, p.1029-1027.

Khoirul Anas, Argo., dkk. 2012. Pengaruh Variasi Massa Umbi Ganyong (Canna
edulis) Pada Pembuatan Dan Karakterisasi Plastik Biodegradable Ramah
Lingkungan Berbahan Dasar Umbi Ganyong. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas
Negeri Yogyakarta.

Metting, F.B. 2013. Soil Microbial Ecology: application in agricultural and


environment management. Marcel Dekker. New York. 646p.

Rao, N.S.B. 2017. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Penerbit


Universitas Indonesia. Jakarta. 355 hal.

Rohendi, E. 2015. Lokakarya Sehari Pengelolaan Sampah. DKI Jakarta : sebuah


prosiding Bogor.

Roidah, Ida Syamsu. 2013. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik Untuk Kesuburan
Tanah. Jurnal Universitas Tulungagung BONOROWO. Vol. 1.No.1.

Situmorang R. 2016. Ringkasan Disertasi. Pemanfaatan Bahan Organik Setempat,


Mucuna sp dan Fosfat Alam untuk Memperbaiki Sifat-sifat Palehumults di
Miramontana, Sukabumi. Program Pascasarjana IPB.

Suriadikarta DA, T Prihatini, D Setyorini, dan W Hartatik. 2014. Teknologi


Pengelolaan Bahan Organik Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
183-238.

Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, R.D.S. Sastroatmodjo. 2016. Mikrobiologi


Tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 447p.

21
Tan, K.H. 2017. Environmental Soil Science. Marcel Dekker, INC. New York.304p.

Winarno, F.G, Ananto Kusuma S., Durono. 2014. Pertanian dan Pangan Organik,
Sistem dan Sertifikasi. M-Bio Press. Bogor. 27-36.

Yanti, R. 2015. Aplikasi Teknologi Pertanian Organik: Penerapan Pertanian


Organik oleh Petani Padi Sawah Desa Sukorejo Kabupaten Sragen, Jawa
Tengah. Tesis. Universitas Indonesia.

Yovita Hety Indriani. 2015. Membuat Kompos Secara Kilat. (Buku). Penebar
Swadaya Grup. Jakarta.

22
LAMPIRAN

23
DOKUMENTASI

Gambar 1. Sampah Daun Kering dan Basah Dimasukkan dalam Bak Kompos.

Gambar 2. Penambahan Pupuk Kandang Sapi.

Gambar 3. Penyiraman Sampah Daun Kering dan Basah.

24
Gambar 4. Pelarutan Cairan EM-4.

Gambar 5. Proses Pembalikan atau Pengadukan Sampah Daun Kering dan Basah.

Gambar 6. Pengecekan Suhu Sampah Daun Kering.

25
Gambar 7. Pengecekan Suhu Sampah Daun Basah.

26
Biodata Penulis

Penulis bernama lengkap Farida, lahir di desa Taranja,

Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Pasangkayu, pada

tanggal 05 Oktober 2000, terlahir sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara dan penulis memulai

pendidikan dari Sekolah Dasar Negeri Taranja,

Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Pasangkayu pada

tahun 2007 dan tamat pada tahun 2013 dan pada tahun

yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Pasangkayu dan tamat

pada tahun 2016. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Pasangkayu

dan tamat pada tahun 2019, setelah lulus penulis melanjutkan pendidikan ke

Universitas Tadulako melalui jalur undangan Bidik Misi dan diterima sebagai

mahasiswa Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi.

No. Hp : 0822-5968-7766

Email : faridha0521@gmail.com

27

Anda mungkin juga menyukai