Rawa Lebak-WPS Office
Rawa Lebak-WPS Office
Menurut Djamhari (2009), daerah rawa lebak merupakan daerah yang rendah, karena dekat dengan
aliran sungai sehingga selalu dipengaruhi dengan pasang surut air sungai. Pasang surutnya air
dipengaruhi oleh musim. Saat musim penghujan, luapan air sungai melimpah sampai ketinggian 75 cm.
Sementara itu pada saat musim kemarau, air yang menggenangi lahan rawa berangsur kering. Bahkan,
bisa terjadi kekeringan pada lahan rawa selamar 3 bulan. Agroekosistem rawa lebak mempunyai sifat,
ciri dan watak yang sangat khas dan unik dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Karakter unik
tersebut antara lain adalah sifat genangan dan tanahnya yang spesifik. Bentang lahan (landscape)
wilayah rawa sendiri meliputi wilayah tanggul sungai, dataran banjir, termasuk sebagian wilayah rawa
belakang (back swamp). Sementara menurut Direktorat Rawa (1992) ekosistem rawa lebak dibagi dalam
tiga kategori, yakni rawa lebak dangkal, rawa lebak tengah, dan rawa lebak dalam. Kategori tersebut
dibuat berdasarkan berdasarkan pada kedalaman genangan dan lamanya tergenang. Lahan rawa lebak
dangkal atau lahan pematang memiliki kedalaman genangan air kurang dari 50 cm, dengan lama
genangan antara satu sampai dengan tiga bulan. Lahan rawa lebak tengahan memiliki kedalaman
genangan air antara 50 sampai 100 cm dengan lama genangan air antara tiga sampai dengan enam
bulan. Lahan rawa lebak dalam memiliki kedalaman genangan air lebih dari 100 cm dengan lama
genangan lebih dari 6 bulan. Proporsi kedalaman genangan dan lamanya genangan air pada rawa lebak
tentunya menggambarkan karakteristik lahan rawa dan potensi permasalahan yang dimiliki oleh masing-
masing kategori rawa lebak tersebut. Yang menjadi perbedaan lahan rawa lebak dengan lahan lainnya
yakni ketika pada musim hujan terjadi genangan air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang
cukup lama. Jenis tanah pada lahan rawa lebak adalah tanah mineral dan gambut (Effendi et al. 2014).
Menurut Achmadi dan Las (2006), lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah gambut,
terbentuk dari bahan organik atau sisa-sisa pepohonan yang dapat berupa bahan jenuh air dengan
kandungan karbon organik sebanyak 12-18 persen atau bahan tidak jenuh air dengan kandungan karbon
organik mencapai 20%. Berdasarkan ketebalan, lahan gambut di lahan rawa lebak bisa berupa lahan
bergambut (ketebalan lapisan gambut 20-50 cm), gambut dangkal (ketebalan lapisan gambut 50-100
cm), gambut sedang (ketebalan lapisan gambut 100-200 cm), dan gambut dalam (ketebalan lapisan
gambut 200-300 cm). Di lahan gambut, terdapat simpanan karbon yang besar. Jumlah simpanan karbon
tersebut ditentukan oleh topografi lahan pasang surut yang di dalamnya terdapat cekungan dataran
danau, kubah gambut, rawa belakang sungai dan dataran pantai. Pada ekosistem air tawar (lahan rawa
lebak), vegetasinya didominasi oleh jenis pohon campuran berupa tumbuhan semak seperti pakis,
berembang, seduduk, beringin dan tumbuhan kayu seperti meranti (Shorea spp.), tumih
(Combretocarpus rotundatus) dan geronggang (Cratoxylon arborescens). Sementara itu, pada ekosistem
marin (lahan rawa pasang surut) vegetasinyadidominasi oleh vegetasi mangrove. Biomassa tanaman
pada hutan rawa gambut menyimpan karbon sekitar 200 ton karbon per hektare. Menurut Djamhari
(2009), lahan rawa lebak merupakan rawa yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak-
anaknya, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim
kemarau. Pendapat lainnya mengenai rawa lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan
yang turun pada suatu tempat atau pada daerah sekitarnya sehingga airnya tergenang cukup lama
akibat kondisi topografi yang rendah, tetapi juga karena faktor drainasenya yang buruk (Helmi 2015;
Efendi et al. 2014). Sementara (Waluyo dan Suparwoto 2014) dalam hasil penelitiannya mengemukakan
bahwa lahan rawa lebak merupakan salah satu wilayah pengembangan pertanian masa depan dan yang
perspektif. Lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani
dengan potensi daya saing yang dapat diusahakan. Berdasarkan data luas lahan suboptimal di Indonesia,
luas lahan rawa lebak di Indonesia ada seluas 9.3 juta ha, dan 81% atau 7.5 juta ha dari luasan tersebut
merupakan lahan yang potensial untuk pertanian (Mulyani dan Sarwani 2013). Lahan rawa lebak dapat
diusahakan sepanjang waktu termasuk pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau, lahan rawa
lebak dimanfaatkan sebagai sumber benih, dan pemanfaatan deposit mineral yang penting bagi
kesehatan melalui produk pangan fungsional sehingga dapat meningkatkan harga jual hasil pertanian
(Waluyo et al 2012). Dari seluruh lahan rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai usahatani, hampir 91
persen diusahakan untuk usahatani padi dengan satu kali musim tanam per tahunnya, dan hanya 9
persen yang diusahakan dua kali musim tanam dalam setahun (Sudana 2005). Sudana (2005) juga
menambahkan, selain tanaman padi petani juga mengusahakan tanaman lain seperti tanaman semusim
(khususnya tanaman pangan), tanaman hortikultura, tanaman industru, dan juga mengombinasikan
antara komoditas pertanian dan komoditas perikanan maupun peternakan. Selain untuk pemanfaatan
dalam bidang pertanian, rawa lebak juga memiliki potensi perikanan yang bernilai ekonomi. Sifat unik
lahan rawa lebak yang akan tergenang air pada musim hujan akan mendatangkan potensi perikanan
yang cukup besar. Peluang yang terdapat pada lahan rawa lebak untuk dijadikan sebagai lahan pertanian
memang besar. Akan tetapi, terdapat beberapa kendala yang belum juga terpecahkan. Kendala utama
pengebangan usahatani pada lahan rawa, khususnya rawa lebak ialah banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau yang belum bisa diprediksi. Masalah air ini, memang masalah yang
sulit diatasi oleh para petani. Kelebihan atau kekurangan air yang terjadi pada rawa lebak terjadi bukan
hanya pada sebidang tanah saja, melainkan terjadi dalam satu hamparan (Guswara dan Widyantoro
2012). Penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan secara individual, dan harus secara berkelompok.
Pemerintah daerah juga harus ikut terlibat dalam mengatur tata air di lahan rawa lebak. Budi daya padi
yang dilakukan pada lahan rawa lebak rentan akan serangan hama seperti tikus, wereng cokelat,
penggerek batang, da penyakit tanaman (Djamhari 2009). Selain kendala teknis, ada pula kendala sosial
ekonomi, seperti keterbatasan modal, tenaga kerja, dan tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya
rendah.
Rawa merupakan istilah yang digunakan untuk semua lahan basah yang
bervegetasi, baik yang berair tawar, air asin maupun payau, berhutan ataupun
dan pohon rawa (Archibold 1995 ; Suwignyo 1996). Ekosistem rawa di Indonesia
dapat dibedakan menjadi rawa pasang surut dan rawa non-pasang surut. Rawa
pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
dan rawa non pasang surut, meliputi rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Berdasarkan vegetasinya, rawa dapat dibedakan
menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan, atau bahkan berdasarkan jenis
vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah, dan rawa rumput (Davis
et al. 1995).
Menurut Saanin (1981) rawa lebak atau dikenal dengan nama “floodplain”
merupakan perairan dataran rendah yang merupakan bagian dari daerah aliran
vegetasinya yang meluas atau berkurang, kelihatan seperti danau besar, sedang,
dan kecil namun dengan kedalaman yang kecil dan bervariasi menurut musim, dan
dalam sebagian besar waktu setahun masih berhubungan dengan sungai induknya.
Rawa lebak merupakan ekosistem yang terdapat di dataran banjir sekitar sungai
dan merupakan daerah limpasan dari luapan air sungai (Welcomme 1983). Rawa
lebak memiliki variasi yang tinggi berdasarkan waktu dan ruang . Ekosistem rawa
lebak dapat meliputi : rawa berumput, rawa hutan, saluran-saluran sungai, dan
danau atau kolam yang permanen dan temporal. Tipe habitat rawa lebak di
Indonesia (studi kasus di Sumatera Selatan) meliputi : rawa berrumput (lebak atau
lebak kumpai), rawa hutan (rawang), sawah, anak sungai (sungei), sungai mati
atau oxbow (danau) dan cekungan rawa (lebung) (Utomo 1993; Hoggarth et al.
1999). Produktifitas ikan dan biota lain di rawa lebak ditentukan oleh siklus
pengaturan dan efisiensi energi, makanan, ruang dan waktu yang digunakan oleh
Asia terutama oleh kerusakan habitat, eksploitasi berlebih, polusi dan perubahan
iklim (Braatz et al. 1994).
Jumlah species ikan dipengaruhi oleh ukuran luas dari ekosistem. Semakin
Garro et al. (2005), keanekaragaman species pada umumnya meningkat dari hulu
ke arah hilir.
mangsa.
2. Pemanfaatan kolom air permukaan, tengah, dan dasar untuk penyebaran ikan.
3. Pembagian waktu mencari makan, yaitu ada species yang mencari pada saat
malam saja, dan species lain hanya pada waktu siang saja.
4. Kondisi fisik kimiawi perairan yang optimal untuk mendukung kehidupan ikan.
predator.
Distribusi dan migrasi ikan rawa lebak bergantung pada toleransi terhadap
kondisi lingkungan seperti oksigen terlarut, pH, suhu dan kondisi kekeringan
selama periode surut (Hoggarth et al. 1999). Ikan yang hidup di rawa lebak dapat
digolongkan menjadi ikan ‘whitefish’ yang tidak dapat mentoleransi kondisi oksigen
terlarut yang rendah dan ‘blackfish’ yang bersifat menetap dan dapat mentoleransi
kadar oksigen rendah pada saat musim kering. Ikan blackfish adalah ikan yang seluruh siklus hidupnya
berada di rawa. Ikan golongan Labirinthici dan Ostariophisi
yang tak bersisik pada umumnya merupakan ikan penghuni tetap rawa, misalnya
haruan (Channa micropeltes), senggaringan (Macrones nigriceps), dan sepat
(Trichogaster leeri) (Saanin 1981). Ikan whitefish bermigrasi dari sungai ke rawa
pada musim hujan dan kembali ke sungai pada musim kemarau. Ikan ini banyak
diwakili dari famili Cyprinidae (Moyle & Cech 1988). Menurut Baran (2006),
perubahan tinggi air merupakan faktor utama yang mendorong ikan rawa lebak
didominasi oleh ikan famili Cyprinidae. Ikan lain meliputi : Siluridae, Bagridae,
2002). Di rawa lebak sungai Kahayan diperoleh 44 species oleh Buchar et al.
(2000) dan 48 species oleh Torang & Buchar (2000).
oleh tiga faktor kunci yaitu : siklus penggenangan, tekanan aktivitas penangkapan
produktifitas ikan lebih tinggi. Pada saat periode penggenangan, wilayah rawa
lebak menjadi sangat luas, menyediakan tempat untuk memijah dan perlindungan
1987). Kelangsungan hidup ikan rawa lebak dipengaruhi oleh lamanya periode
penggenangan. Semakin lama periode penggenangan, maka anak ikan dan ikan
muda memiliki kesempatan lebih lama di rawa lebak yang banyak makanan alami
Menurut Hoggarth et al. (1999), kelangsungan hidup ikan pada periode kering lebih
karnivora dan omnivora. Komunitas ikan di Danau Tundai (kawasan rawa lebak di Berengbengkel
Palangkaraya), didominasi oleh golongan ikan karnivora (65,9%)
sedangkan ikan herbivora 20,45 %, dan ikan omnivora 6,81 % (Buchar et al.
2000). Sedangkan komunitas ikan di rawa lebak hulu sungai Kapuas didominasi
oleh ikan omnivora (54%), sedangkan ikan karnivora 36% dan herbivora 10 %
(Giesen 1987 dalam Mackinnon et al. 2000) Menurut Hoeinghaus et al. (2003),
ikan detritivor di rawa lebak Sungai Amazon cenderung dominan di perairan yang
dalam seperti di tengah perairan atau muara sungai, dan ikan herbivora cenderung
sosial, pilihan, dan kendala untuk mencapai keuntungan sosial yang diinginkan
pada wilayah geografik tertentu dan pada periode tertentu. Sedangkan menurut
dan komunitas.
pada kondisi yang diinginkan untuk mencapai keuntungan sosial. (4) pengelolaan
merespon berbagai stressor, baik alami atau buatan manusia, tetapi ada
pada kondisi yang diinginkan. (5) pengelolaan ekosistem dapat ataupun tidak
untuk pengelolaan ekosistem yang efektif, namun hanya merupakan salah satu
perairan adalah untuk menjamin keseluruhan tanah dan air sekitar perairan,
(1983) pengelolaan sistem perairan meliputi : kontrol runoff dan erosi, memelihara
habitat alami perairan, memelihara aliran air (kuantitas air), memelihara kualitas
Menurut Hoggarth & Aeron-Thomas (1998) ada lima tipe unit pengelolaan rawa lebak yaitu :
1. Pengelolaan wilayah tangkapan air (catchment management areas atau CMAs) yang meliputi seluruh
sungai dan area tangkapan.
2. Pengelolaan perairan wilayah desa (village management areas atau VMAs) yang meliputi beberapa
danau oxbow.
3. Pengelolaan perairan oleh pihak tertentu (privatized Management Areas atau PMAs). Biasanya berupa
danau oxbow yang dikuasai oleh orang tertentu berdasarkan keturunan atau mekanisme lelang.
4. Pengelolaan yang meliputi beberapa badan air (Multi waterbody management area).
5. Pengelolaan perairan yang meliputi beberapa desa (multi village management area).
Keragaman ekologis dan sosial di ekosistem rawa lebak mengakibatkan pengelolaan yang cocok di suatu
lokasi belum tentu cocok untuk tempat lain. Pengelolaan kawasan tersebut lebih bergantung pada solusi
lokal dibandingkan dengan pendekatan “top down” (Hoggarth et al. 1999). Menurut Pomeroy (1995),
model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan siapa yang mengelola,
yaitu : pengelolaan oleh Pemerintah (Government base management), pengelolaan oleh masyarakat
(community base management) dan pengelolaan bersama antara Pemerintah dan Masyarakat (co-
management). Pada dasarnya sumberdaya ikan di Indonesia merupakan milik Negara. Kemampuan
lembaga Pemerintah untuk mengelola perikanan di rawa lebak pada umumnya sangat terbatas, karena
ekosistem rawa lebak memiliki keragaman yang tinggi, adanya keterbatasan kapasitas tenaga dan
keuangan (Hoggarth et al. 1998).
Pada sumberdaya ikan yang dieksploitasi oleh masyarakat tradisional, pengelolaan dilakukan
berdasarkan partisipasi masyarakat, yaitu masyarakat lokal mengelola sendiri sumberdaya ikan untuk
mencapai keberlanjutan (Ali 1996).
Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional lebih dinamis, karena disesuaikan dengan
proses sosial dan ekologis. Konservasi yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat di rawa lebak
Muyuy, Peru, memiliki keanekaragaman hayati lebih tinggi dibandingkan konservasi formal seperti
taman alam (Pinedo-Vasquez et al. 2001). Penerapan pengelolaan perikanan oleh masyarakat sendiri
(community base management) sudah ada di Indonesia terutama untuk masyarakat tradisional seperti
di pesisir Sulawesi Utara (Tulungen et al. 1998), di Hulu Sungai Kapuas (Hoggarth & Aeron-Thomas
1998), dan di Jambi (Hoggarth et al. 1999).