Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

1. Nilai Etika

Nilai yang dalam bahasa Inggrisnya value berasal dari bahasa Latin

valere diartikan sebagai berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat.

Sehingga nilai sering diartikan sebagai suatu kualitas hal yang menjadikan hal

itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan

(Lorens Bagus, 2005: 713). Nenggo yang berguna bagi kehidupan masyarakat

Manggarai merupakan sesuatu yang bernilai. Kualitas nenggo terdapat pada

syair-syair sebagai media utamanya.

Nilai dijawab dengan tiga macam cara: (1) nilai sepenuhnya berhakekat

subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi

yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung

pada pengalaman-pengalaman mereka. Hal ini dapat dinamakan ‘subjektivitas’;

(2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi,

namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan

esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan

‘objektivisme logis’; (3) nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang

menyusun kenyataan, disebut ‘objektivisme metafisik’ (Kattsoff, 2004: 323).

Nilai-nilai nyanyian nenggo pada pertunjukan tari caci dapat diketahui dengan

3 (tiga) pendekatan (subjektivitas, objektivisme logis, dan objektivisme

metafisik). Tiga pendekatan menggambarkan keterkaitan antara pengalaman

6
pelaku nenggo, interpretasi pengapresiasi nenggo, dan kesesuaian dengan pola

hidup masyarakat Manggarai.

Berkenaan dengan etika nilai, Max Scheler memiliki pandangan yang

berbeda dari pandangan Kant. Max Scheler mendasarkan etika (tindakan baik

manusia) pada nilai, sedangkan Kant berpendapat bahwa tindakan baik manusia

didasarkan pada kewajiban. Menurut Max Scheler, sebuah tindakan bernilai

secara moral bukan karena merupakan kewajiban, melainkan merupakan

kewajiban karena bernilai secara moral (Wahana, 2008: 100). Pandangan Max

Scheler tersebut jika dikaitikan dengan keberadaan nyanyian nenggo; orang

Manggarai mengalunkan nyanyian nenggo bukan karena serta merta suatu

kewajiban biasa, melainkan merupakan kewajiban karena menyadari

kebermanfaatan nyanyian nenggo sebagai suatu kekhasan budaya.

Dalam hal perbedaan pandangan mengenai subjektivitas dan objektivitas


nilai, Max Scheler memberikan pemecahan kompromis sebagai jalan
keluarnya. Max Scheler berpendapat bahwa nilai itu berada secara objektif
dan tersusun secara hierarkis (bersifat objektif), namun penangkapan dan
perwujudan nilai tergantung pada subjek (bersifat subjek). Dalam pengertian
sehari-hari, nilai sering dikacaukan dengan hal yang bernilai. Antara nilai
dan hal yang bernilai telah dibedakan secara jelas oleh Max Scheler. Nilai
adalah kualitas yang membuat suatu hal menjadi hal yang bernilai,
sedangkan hal yang bernilai merupakan suatu hal yang membawa kualitas
nilai. Dengan demikian, nilai dapat kita pahami sebagai yang berbeda dan
tidak tergantung pada hal yang bernilai. Meskipun dapat terwujud dalam
dunia indrawi yang bersifat empiris, namun nilai memiliki dunianya sendiri
yang keberadaannya tidak tergantung pada keberadaan dan perubahan dunia
empiris. Dunia nilai merupakan tempat nilai-nilai berada, yang
keberadaannya bersifat mutlak dan tersusun secara hierarkis; sedangkan
perwujudan nilai dapat beraneka ragam dan berubah-ubah sesuai dengan
perubahan dunia empiris (Wahana, 2008: 101).

Kualitas pada nyanyian nenggo adalah nilai. Nenggo disebut sebagai hal

bernilai yang membawa kualitas nilai. Penangkapan nilai yang terdapat pada

7
nyanyian nenggo tergantung dari pengapresiasi nenggo. Harus diketahui bahwa

nilai merupakan hal yang berbeda dan tidak tergantung pada nenggo. Nilai pada

nyanyian nenggo bersifat mutlak dan tidak akan pernah berubah. Perubahan dari

cara mengalunkan nenggo (gaya dari pelaku nenggo) merupakan suatu hal yang

wajar dan sama sekali tidak mempengaruhi nilai nyanyian nenggo.

Menurut Scheler ada empat gugus nilai yang mandiri dan jelas
berbeda satu sama lain: Pertama, nilai-nilai sekitar "yang enak” dan
"yang tak enak” (bagi Scheler "nilai negatif", anti-nilai, juga termasuk di
alam nilai). Kedua, nilai-nilai vital, di mana yang paling utama adalah
nilai "yang luhur" dan "yang hina" di mana juga termasuk "keberanian"
dan "sifat takut-takutan", perasaan "sehat" dan "tak enak badan", dan
sebagainya. Gugus ketiga mencakup nilai-nilai rohani yang sama dengan
gugus nilai keempat, kejiwaan ciri khаѕ bаhwа mеrеkа tidаk mеmрunуаi
perasaan ара pun pada perasaan fisik di tubuh kita. Ada tiga macam nilai
rohani: 1) nilai "yang indah" dan "yang jelek”, jadi nilai-nilai estetik; 2)
nilai-nilai “yang benar" dan "yang tidak benar” (dalam arti "dapat" dan
"tidak dapat dibenarkan"), kita dapat mengatakan wilayah nilai keadilan.
3) nilai-nilai "pengertian kebenaran murni”, yaitu kebernilaian
pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri dan bukan karena barangkali
ada manfaatnya. 4) gugus nilai keempat dan tertinggi adalah nilai-nilai di
sekitar "yang Kudus" dan "yang profan" yang dihayati manusia dalam
pengalaman religius. (Suseno, 2018: 17-18).

Dari pengelompokan nilai menurut Scheler dapat menerangkan bahwa

nilai nyanyian nenggo memiliki jenis yang berbeda namun saling keterkaitan

dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Masing-masing penari caci

mengalunkan nyanyian nenggo berdasarkan keadaan atau pengalaman yang

mereka peroleh, baik saat pertunjukan tari caci berlangsung maupun dari

pengalaman hidup keseharian mereka. Perbedaan jenis yang dimaksud sebagai

tatanan nilai.

Di antara empat gugus nilai itu terdapat tatanan atau hirarki: Ada
yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Nilai yang paling rendah
adalah nilai-nilai "yang enak" dan "yang tak enak". Nilai-nilai vital
berhakekat lebih tinggi karena menyangkut dinamika kehidupan

8
seutuhnya. Nilai-nilai rohani lebih tinggi daripada nilai-nilai yang secara
hakiki terikat pada (bahasa Scheler: relatif terhadap) perasaan badani.
Gugus nilai paling tinggi yang selalu harus didahulukan adalah nilai-nilai
sekitar "yang Kudus". Hirarki di antara gugus nilai itu bersifat apriori,
jadi berlaku lepas dari segala pengalaman. Begitu kita sadar akan
beberapa nilai yang bersaing, kita langsung sadar pula nilai mana yang
seharusnya didahulukan terhadap nilai-nilai lain. Misalnya, kita langsung
menyadari bahwa "yang sehat" atau "yang luhur" harus didahulukan
terhadap "yang enak". Begitu pula orang langsung sadar bahwa nilai
"yang benar" harus didahulukan terhadap "yang sehat" atau "yang enak"
tidak tahu apa itu "yang benar" (Suseno, 2018: 17-18).

Nyanyian tradisi nenggo yang ditampilkan pada setiap rangkaian acara

adat masyarakat Manggarai khususnya pada pertunjukan tari caci, memiliki nilai

yang dapat dijadikan panutan dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Dalam

pertunjukan tari caci; penampilan nenggo bukan hanya sebagai bentuk

bernyanyi biasa, tetapi terdapat pesan-pesan yang harus disampaikan (baik

kepada lawan main maupun kepada seluruh masyarakat yang hadir menyaksikan

pertunjukan tari caci).

Masalah-masalah nilai yang khusus dikaji dari berbagai jenis cabang

pengetahuan diantaranya ekonomi, estetika, etika, filsafat agama, dan

epistemologi. Epistemologi berkaitan dengan persoalan kebenaran. Etika

membahas tentang persoalan kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan estetika

meninjau tentang persoalan masalah keindahan (Kattsoff, 2004: 319). Nyanyian

nenggo merupakan sebuah pengetahuan yang tentu saja mengandung masalah-

masalah nilai sesuai yang sudah dipaparkan. Nilai-nilai etika pada nyanyian

nenggo diyakinkan memiliki nilai-nilai kebaikan yang menjadi pedoman hidup

masyarakat Manggarai.

9
2.2.1 Pengertian Sastra

Secara harafiah, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos”, memiliki

makna watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Lazimnya, etika berkaitan dengan

moral yang dalam bahasa Latinnya yakni “mos” dan bentuk jamaknya

“mores”, di mana maknanya adalah adat kebiasaan atau cara hidup seseorang

dengan melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.

Meskipun pengertiannya hampir sama, namun etika dan moral memiliki

perbedaan. Etika difungsikan untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Sementara itu, moral difungsikan untuk penilaian perbuatan yang dilakukan

(Achmad, 2018: 9). Salah satu filsuf yang mengkaji ilmu etika adalah Marx

Scheler dengan karangannya berjudul “bentuk-bentuk formal dalam etika dan

nilai etika yang bersifat material”. Karya tersebut menampakkan

konfrontasi/koreksi pendiriannya dengan etika Immanuel Kant.

Etika Scheler muncul dari hasrat untuk melanjutkan etika Kant, meskipun dengan

mengatasi ‘formalisme rasionalis’ etika Kant (Frondizi, 2007: 107). Menurut

Scheler etika Kant merupakan etika tertinggi yang pernah dihasilkan oleh seorang

jenius dalam bidang filsafat. Walalupun demikian Kant pada dasarnyanya telah

dikritik, dikoreksi, dan disempurnakan dengan berhasil oleh para filsuf yang

mengikutinya, namun sama sekali tidak mempengaruhi dasarnya yang hakiki.

10
...,etika Kant harus diselamatkan dari tuduhan yang hanya
menganggapnya sebagai ‘formalisme’. Hal ini tidak berarti bahwa Scheler
mengakui kecenderungan etika material yang merupakan etika empiris
mengenai benda-benda dan tujuannya serta meneguhkan kembali prinsip a
priori yang ditetapkan Kant. Prinsip ini merupakan titik tolak pemikiran
Scheler. Scheler menegaskan bahwa Kant melakukan dua kesalahan.
Pertama, Kant mengacaukan antara yang a priori dengan yang formal.
Kedua, Kant mengacaukan antara yang a priori dengan yang rasional. Etika
Scheler bermaksud untuk mengoreksi kesalahan ini dengan menggunakan
sebuah etika nilai material dan apriorisme emotif. Itulah yang merupakan
sintesis dari pemikiran etis Scheler (Frondizi, 2007: 108).

Pemahaman aksiologi Scheler didapatkan dari hasil melanjutkan dan

memperbaiki etika Kant dengan menganalisi latar belakang etika Kant.

Apriorisme Kant dimulai oleh Scheler, mengganggap bahwa etika material (

empirisisme dan validitas induktif menjadi dasar dalam mengubah bentuk hidup

dan kemakmuran) di tolak Kant.

Dalam penyamaan a priori dengan yang formal terjadi kesalahan oleh

Kant, ia berpikir bahwa etika mengenai benda-benda dan tujuan, serta memiliki

validitas induktif dan empiris semestinya merupakan etika material. Kemudian

Kant juga beranggapan salah bahwa heteronom, hedonis, etika tentang

keberhasilan merupakan etika material.

Scheler mengakui penolakan dan kekacauan Kant akan etika mengenai

benda-benda dan tujuan. Benda adalah sesuatu yang bernilai dan merupakan

suatu yang keliru apabila nilai berada pada posisi yang sama dengan benda-

benda. Kekuatan alam atau sejarah dapat menghancurkan dunia benda-benda,

sehingga nilai moral manusia tidak tergantung pada benda-benda. Nilai empiris,

11
indukatif dan prinsip yang didasarkan bersifat relatif dimiliki benda-benda.

Ketika menerima etika benda-benda, prinsip moral akan mengalami

ketertinggalan. Scheler berpendapat bahwa dunia benda-benda pada suatu jaman

tertentu tidak mungkin dikritik, karena benda-benda secara pasti didasarkan oleh

etika.

Suatu kesalahan bahwa setiap prinsip etis yang berusaha untuk


meletakkan tujuan berkaitan dengan nilai moral dari hasrat yang terukur.
Tujuan sebagaimana adanya tidak pernah baik maupun buruk, dalam arti
bebas dari nilai yang harus direalisasikan. Perilaku yang baik ataupun
yang buruk, dengan demikian, tidak dapat diukur dengan
menghubungkannya dengan tujuan, karena konsep mengenai yang baik
dan yang buruk tidak dapat disarikan dari isi empiris tujuan. Salah satu
kelebihan Kant adalah ia telah melepaskan semua etika tujuan dan benda-
benda. Kesalahan Kant terkandung di dalam pemikiran bahwa semua
etika material pasti merupakan etika benda-benda dan tujuan. Hal ini
mengakibatkan bahwa semuanya termasuk dalam prinsip etik yang
seharusnya ditolak karena isi empirisnya (Frondizi, 2007: 107-110).

Hal ini sepakat menurut Scheler, bahwa benda-benda

memiliki/memberikan nilai nilai, dan dipahami bahwa nilai tidak bergantungan

pada benda. Hal inilah yang membentuk sebuah etika aksiologis Kant yang

material dan apriori. Untuk tujuan tersebut, Scheler memberi dasar yang kuat

dan membuktikan bahwa nilai itu tidak tergantung pada benda-benda. Akhirnya

etika aksiologis Kant yang material dan apriori dikoreksi dengan menggagas

pemahaman etika yang disebut ordo amoris.

2.2.2. Pengertian Budaya

Kata kebudayaa berasal dari “budaya” dalam bahasa Belanda “cultur”,

bahasa Inggris disebut “culture”, berasal dari perkataan Latin “Colere“ yang

berarti mengelolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan.

12
Terutama mengelola tanah atau bertani. Dari pengertian ini kemudian

berkembang arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk

mengubah alam”. Dalam bahasa Indonesia (sisi kebahasaannya); kebudayaan

berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi

yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan dapat dipahami sebagai segala

kegiatan atau aktifitas manusia yang didasari dari akal atau budi dan dapat

diterima berdasarkan akal atau budi pula.

Pendapat lain mengatakan, bahwa “budaya” adalah suatu perkembangan

dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, oleh karena itu

terdapat perbedaan antara budaya dan kebudayaan. Budaya merupakan budi

yang menghasilkan daya kemudian dituangkan dalam bentuk cipta, karsa, dan

rasa. Dari cipta, karsa, dan rasa tersebut menghasilkan suatu kebudayaan.

Dalam istilah “antropologi budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di

sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti

yang sama (Widagdho, dkk, 1994: 18). Nyanyian tradisi nenggo sebagai wujud

kebudayaan masyarakat Manggarai merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa para

leluhur Manggarai yang kemudian terus dipelajari dan diwariskan secara turun

temurun hingga kini.

2.2.3. Macam-macam Budaya

Manggarai memiliki musik rakyat yang terdapat pada jenis nyanyian dan

alat musiknya. Nyanyian terdapat pada nenggo, landu, dan mbata, sedangkan

alat musiknya seperti nggong (gong), gendang, sunding tongkeng, prere, dan

juk (gambus). Jenis musik tradisi tersebut dapat ditampilkan pada berbagai

upacara adat Manggarai.

13
Alat musik gong dan gendang merupakan alat musik yang sering

digunakan dalam berbagai upacara Manggarai. Dalam pertunjukan tari caci,

nenggo ditampilkan/dibawakan secara acapella oleh penari caci. Sementara

alat musik nggong dan gendang dimainkan sebagai musik iringan keseluruhan

pertunjukan tari caci.

1. Nenggo

Nenggo adalah warisan turun temurun leluhur berupa nyanyian khas

daerah Manggarai NTT yang biasanya dinyanyikan pada saat acara adat, gelar

tari caci dengan menggunakan syair-syair berupa peribahasa (go’et),

menggunakan nada khas serta makna yang tersampaikan berupa tersurat dan

tersirat. Dalam menyanyikan atau menyajikan nenggo, pada saat-saat tertentu

dilakukan dengan spontanitas, sehingga tidak heran yang bisa menyanyikan

nenggo adalah bapak-bapak yang berpengetahuan atau keahlian khusus.

2. Tari Caci

Dalam memahami tari caci, terlebih dahulu dipilah berdasarkan suku

kata; kata caci berasal dari kata ‘ca’ yang artinya satu. Kemudian kata ‘ci’ jika

berdiri sendiri artinya paksa atau memaksa. Pengertian caci secara harfiahnya

yaitu satu-satu, satu di sana, satu di sini, memukul dan menangkis secara

berbalasan, satu lawan satu.

Dalam pertunjukan tari caci, terdapat berbagai kriteria-kriteria yang

harus dperhatikan, antara lain sebagai berikut:

a. Lelaki

b. Selek

c. Lomes

14
2.2.4. Pengertian pendekatan

Etnografi berasal dari kata ‘ethnos’, sebuah terma Yunani, bermakna

orang, ras, atau kelompok budaya (A.D. Smith, 1989: 13-18). Ketika ‘etno’

sebagai kata sisipan digabung dengan ‘grafis’ untuk membentuk terma

etnografis, maknanya mengacu pada sub-disiplin yang dikenal sebagai

antropologi deskriptif dalam pengertiannya yang lebih luas, ilmu pengetahuan

yang memfokuskan diri pada upaya untuk menggambarkan cara hidup umat

manusia. Dengan demikian, deskripsi ilmiah sosial tentang manuisa dan

landasan budaya kemanusiaan menjadi acuan etnografis(Peacok, 1986).

Antropologi deskriptif yang juga disebut etnografi dinilai tidak mengacu pada

teori dan murni berkaitan dengan deskripsi. Dalam pandangan seorang ahli

etnografis seringkali dipandu oleh citra-citra dunia yang menentukan data apa

yang benar atau relevan dan yang samar: suatu perhatian pada suatu benda,

bukannya benda yang lain menunjukkan satu dimensi dari nilai komitmen

pengamat atau peneliti yang bersangkutan sekaligus kepentingannya yang

syarat-nilai (Denzim & Lincoln, 2009: 30).

2.2.5 Pengertian Pendekatan Antropolgi Sastra

Berdasaran pengetahuan peneliti dan berdasarkan data sumber-sumber

jurnal penelitian, belum ditemukan penelitian mengenai kesenian nenggo di

kabupaten Manggarai NTT. Sebagai kajian penelitian relevan, peneliti mencari

beberapa jurnal penelitian yang memiliki kesamaan dalam aspek kajian teori dan

metodologi yang dipakai, diantaranya;

1. Five elements of normative ethics a general theory of normative individualism.

15
Jurnal penelitian ini ditulis oleh Dietmar Von der Pfordten pada tahun 2011.

Jurnal ini mengkaji etika normatif antara konsekuensialisme atau utilitarianisme dan

deontologi atau Kantianisme melalui analisis unsur-unsur teori klasik.

2. Dance and Quality of Life for Indigenous Communities in Australia.

Jurnal ini ditulis oleh Kim Dunphi pada tahun 2019. Dijelaskan bahwa

masyarakat adat sekarang meneruskan tradisi kuno (tarian dan seni lainnya) agar

kesehatan dan kesejahteraan dipertahankan dan dikembangkan.

2.2.6. Kerangka Berpikir

Dalam Penelitian ini dirancang dengan alur pikir sebagai berikut:

Tinjauan Nilai-Nilai Etika Nyanyian Tradisi Nenggo


pada Pertunjukan Tari Caci di Manggarai NTT

Nenggo

Pertunjukan Tari Caci

Etnografi, Fenomenologi Nilai Max Scheler

Etika

Analisis Data

Kesimpulan
Gambar 1. Kerangka Berpikir

16

Anda mungkin juga menyukai