Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TEORI BERMAIN

“Fungsi Bermain dalam Usaha Pendidikan dengan Sasaran pada Aspek


Afektif”

Dosen Pengampu: Carsiwan, M. Pd

Disusun oleh:

Laura Margareta – 2100550

Paisal Abdullatip – 2109861

Anugrah Restu Illahi – 2100816

Farhan Hakiki – 2106402

Gani Alief Santoso – 2100928

Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi

Fakultas Pendidikan, Kesehatan dan Olahraga

Universitas Pendidikan Indonesia

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Fungsi
Bermain dalam Usaha Pendidikan dengan Sasaran pada Aspek Afektif dengan
tepat waktu.

Makalah Fungsi Bermain dalam Usaha Pendidikan dengan Sasaran pada


Aspek Afektif disusun guna memenuhi tugas Bapak Carsiwan, M. Pd pada mata
kuliah Teori Bermain di Universitas Pendidikan Indonesia. Selain itu, penulis juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang
sejarah dan perkmbangan olahraga di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak


Carsiwan, M. Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Bermain. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima
demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar...............................................................................................2

Daftar Isi..........................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................4

1.1 Latar Belakang............................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................5
1.3 Tujuan ........................................................................................................6

BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................................7

2.1 Pengertian dan Hakikat Pendidikan............................................................7

2.2 Hakikat Pendidikan Jasmani.......................................................................8

2.3 Hakikat Bermain ........................................................................................10

2.4 Fungsi Bermain Dalam Pendidikan ...........................................................11

2.5 Fungsi Bermain Dalam Pendidikan Jasmani Dengan Sasaran Pada Aspek
Efektif...............................................................................................................13

2.6 Resiko Bermain Terhadap Psikis Anak .....................................................15

BAB 3 PENUTUP...........................................................................................17

3.1 Saran...........................................................................................................17

3.2 Kesimpulan.................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bermain merupakan kegiatan yang bersinergi dengan aktivitas olahraga,


tetapi kedua hal tersebut merupakan jenis kegiata yang berbeda. Dapat
dikatakan bahwasannya bermain merupakan salah satu bagian dari unsur
olahraga. Hal yang membedakan keduanya ialah olahraga menekankan
kegiatan bermain yang lebih terstruktur, sedangkan bermain hanya sekedar
aktivitas untuk menyegarkan pikiran tanpa ada tuntutan aturan tertentu di dlam
prosesnya. Akan tetapi, keduanya sama-sama mengandalkan aktivitas fisik.
Meskipun tidak semua kegiatan bermain mengandalkan fisik, seperti bermain
catur, playstation, congklak, bola bekel, dan lain sebagainya. Namun, dalam
berbagai jenis permainan aktivitas fisik dilibatkan lebih dominan.

Bermain mengacu pada aktivitas, seperti berlaku pura-pura dengan benda,


sosiodrama, dan permainan yang beraturan. Bermain berkaitan dengan tiga
hal, yakni keikutsertaan dalam kegiatan, aspek afektif, dan orientasi tujuan.
Lebih lanjut, anak-anak mengatakan bahwa bermain bersifat mana suka,
sedangkan bekerja tidak demikian. Bermain dilakukan karena ingin dan
bekerja dilakukan karena harus.

Bermain berkaitan dengan kata “dapat” dan bekerja berkaitan dengan kata
“harus”. Bagi anak-anak, bermain adalah aktivitas yang dilakukan karena
ingin, bukan karena harus memenuhi tujuan atau keinginan orang lain.
Bermain tidak memerlukan konsentrasi penuh, tidak memerlukan pemikiran
yang rumit. Sebaliknya, bekerja menuntut konsentrasi penuh, harus belajar,
dan menggunakan pikiran secara tercurah. Anak juga memandang bermain
sebagai kegiatan yang tidak memiliki target. Mereka dapat saja meninggalkan
kegiatan bermain kapan pun mereka mau; dan sebaliknya, bekerja memiliki
target, harus diselesaikan, dan tidak dapat berbuat sekehendak hati. Bagi
mereka, bermain adalah kebutuhan, sedangkan bekerja adalah sebuah
keharusan (Wing, 1996).

4
Melalui kegiatan bermain, latihan mental atau aspek kognitif dan psikis
pada anak dapat diikutsertakan pada tujuan pendidikan, terutama pendidikan
jasmani untuk membentuk dan melatih mental anak agar memiliki sikap yang
tangguh dan bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang
akan mereka hadapi kedepannya. Menurut Erikson (1963), bermain membantu
anak mengembangkan rasa harga diri. Alasannya adalah karena dengan
bermain anak memperoleh kemampuan untuk menguasai tubuh mereka,
menguasai, dan memahami benda-benda, serta belajar keterampilan sosial.
Anak bermain karena mereka berinteraksi guna belajar mengkreasikan
pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak berpikir dan
menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan
pengalaman langsung dalam interaksi sosial agar mereka memperoleh dasar
kehidupan sosial. Jalane & Wulf (2014) pelaatihan mental dapat memiliki
dampak positif pada pembelajaran motorik dan meningkatkan akurasi. Hasil
penelitian Pates & Palmi (2002) dan dapat membuat seseorang lebih santai,
tenang dan lebih terfokus dalam melakukan servis dalam permainan
bulutangkis.

Latihan mental akan lebih berdampak pada seseorang apabila dilakukan


bersamaan dengan latihan keterampilan. Seperti diketahui, dimensi hubungan
tubuh dan pikiran menekankan pada tiga domain pendidikan, yaitu:
psikomotor, afektif, dan kognitif. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan
jasmani dan olahraga, Syer & Connolly (1984); Clancy (2006). Latihan psikis
merupakan metode efektif dalam pembelajaran untuk mempersiapkan
keterampilan yang dipelajari dengan baik pada pembelajaran pendidikan
jasmani olahraga dan kesehatan. Orang yang memiliki kemampuan tingkat
tinggi dalam latihan psikis memiliki kemampuan yang tinggi dalam
pembelajaran gerak sehingga kedua tingkat kemampuan menjadi penting
dalam keterampilan gerak untuk mendapatkan hasil yang optimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa hakikat dari Pendidikan?
2. Apa hakikat Pendidikan Jasmani?

5
3. Apa hakikat Bermain?
4. Bagaimana hakikat bermain di dalam pendidikan?
5. Bagaimana fungsi bermain dalam pendidikan jasmani dengan sasaran pada
aspek afektif?
6. Apa saja risiko bermain bagi anak?

1.3 Tujuan
1. Unutk memahami hakikat dari Pendidikan
2. Untuk mengetahui hakikat Pendidikan Jasmani
3. Untuk memahami hakikat Bermain
4. Untuk memahami hakikat bermain di dalam pendidikan
5. Untuk memahami fungsi bermain dalam pendidikan jasmani dengan
sasaran pada aspek afektif
6. Untuk mengetahui saja risiko bermain bagi anak

6
BAB II

ISI

2.1 Pengertian dan Hakikat Pendidikan

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia


untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu
masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena
itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya.

Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah “pedagogik” yaitu ilmu


menuntun anak, orang Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu
mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa
dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “Erzichung” yang
setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau
mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti
panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan
perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak. Sedangkan
menurut Herbart pendidikan merupakan pembentukan peserta didik kepada yang
diinginkan sipendidik yang diistilahkan dengan Educere.( M.R. Kurniadi,STh;1)

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar
“didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perluasan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan
sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya.

7
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of
culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk
memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk
mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang
disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah
proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat
pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dengan demikian
hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilainilai, motivasi dan tujuan
dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi
berikut :

1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai


keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan
pendidik;
2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi
lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4. Pendidikan berlangsung seumur hidup;
5. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu.

2.2 Hakikat Pendidikan Jasmani

Pendapat yang diungkapkan Barrow (2001; dalam Freeman, 2001) adalah bahwa
pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang dan melalui
gerak insani, ketika tujuan kependidikan dicapai melalui media aktivitas otot-otot,
termasuk: olahraga (sport), permainan, senam, dan latihan jasmani (exercise).
Pendapat lain namun dalam ungkapan yang senada, seperti diungkapkan Barrow
(2001; dalam Freeman, 2001) adalah bahwa pendidikan jasmani dapat
didefinisikan sebagai pendidikan tentang dan melalui gerak insani, ketika tujuan
kependidikan dicapai melalui media aktivitas otot-otot, termasuk: olahraga
(sport), permainan, senam, dan latihan jasmani (exercise). Hasil yang ingin
dicapai adalah individu yang terdidik secara fisik. Nilai ini menjadi salah satu

8
bagian nilai individu yang terdidik, dan bermakna ketika hanya berhubungan
dengan sisi kehidupan individu.

Pendidikan jasmani sering diartikan sebagai bentuk pendidikan olahraga.


Namun demikian, sesungguhnya pendidikan jasmani berbeda dengan pendidikan
olahraga. Meskipun olahraga sebagai salah satu bentuk kegiatan aktivitas jasmani,
tetapi olahraga lebih bermakna bentuk aktivitas jasmani kecabangan olahraga.
Pendidikan olahraga lebih bermakna pendidikan kedalam olahraga, dalam kaitan
ini ada bentuk sosialisasi kedalam olahraga. Karena itu muatan pendidikan
jasmani juga sering berupa sosialisasi kedalam olahraga. Mungkinkah pendidikan
jasmani bermakna ganda, yaitu selain bentuk pendidikan melalui atau tentang
aktivitas jasmani, tetapi juga bentuk pendidikan sosialisasi kedalam olahraga.

Pendidikan jasmani adalah suatu proses terjadinya adaptasi dan


pembelajaran secara organik, neuromuscular, intelektual, sosial, kultural,
emosional, dan estetika yang dihasilkan dari proses pemilihan berbagai aktivitas
jasmani. Pendidikan jasmani adalah upaya pendidikan melalui pemilihan aktivitas
jasmani, yang diarahkan untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Tujuan yang
hendak dicapai bersifat menyeluruh, bukan hanya tujuan perkembangan fisikal,
tetapi juga perkembangan kognitif, neuro-muscular, afektif-sosial-emosional, dan
bahkan moral sekali pun. Pendidikan jasmani adalah bentukan pendidikan yang
menyeluruh menyangkut semua dimensi utuh manusia. Pendidikan jasmani terkait
dengan aktivitas jasmani untuk kesehatan, kebugaran dan senam. Aktivitas
jasmani, meskipun kadang bentuknya berupa olahraga, tetapi orientasi tujuan yang
ingin dicapai adalah kesehatan dan kebugaran.

Pendidikan jasmani sebaiknya berbeda dengan istilah “sport”, “play” dan


“game.” Sport lebih bermakna kegiatan aktivitas jasmani kompetitif, yang
berujung pada penetapan ada yang menang dan ada yang kalah, selain juga ada
lembaga yang mengurusi dan mengawasinya secara formal. Sedangkan, play dan
game adalah bermain dan permainan. Dengan demikian, terdapat istilah
pendidikan jasmani, olahraga, bermain, dan permainan, yang keempatnya berbeda
makna.

9
Sesungguhnya, ketika dulu dikenal ada istilah “gerak badan”, barangkali
ada istilah yang memadankan olahraga dengan gerak badan, yaitu aktivitas
jasmani yang sekedar untuk menggerakkan badan saja, tidak ada ciri
kompetitifnya. Pendidikan jasmani memiliki bidang garapan yang makin meluas.
Seolah tidak mengenal batas mana wilayah cakupannya. Karena itu, sering
diidentikan dengan istilah “human movement” atau gerak insani yang juga luas,
seluas bidang kajian tentang insan/manusia. Suatu studi yang juga mempelajari
tentang gerak insani dan mengarahkan gerak insani sebagai media pendidikan.
Namun dalam perdebatan ini, belum ada kesepahaman resmi bahwa gerak insani
bisa menggantikan istilah pendidikan jasmani

2.3 Hakikat Bermain

Bermain adalah aktivitas yang digunakan untuk mendapatkan kesenangan,


keriangan, atau kebahagiaan. Bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat erat
kaitannya dengan dunia kanak-kanak. Dalam bermain, terdapat sebuah permainan
yang dijadikan sebagai objek bermain yang dapat dilakukan secara individu
maupun secara berkelompok. Jenis permainan yang biasa dimainkan misalnya,
bermain petak umpat, taplak gunung, dan lain sebagainya yang biasa dilakukan
anak-anak menjadi kegiatan rutinitas di kala waktu senggang. Dari sana, bermain
diangap menjadi suatu aktivitas yang biasa saja dan tidak ada hal yang istimewa.
Padahal, dari kegiatan bermain akan memberi dampak positif yang luas bagi anak,
mulai dari fisiknya, daya tangkap (kogitif), hingga sampai pada pembentukan
mentalnya (psikis/afektif).

Bermain, menurut Smith and Pellegrini (2008) merupakan kegiatan yang


dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, dilakukan dengan cara-cara
menyenangkan, tidak diorientasikan pada hasil akhir, fleksibel, aktif, dan positif.
Hal tersebut mengartikan rasa ungun bermain timbul bermula dari keinginan
individu yang ingin melakukan sebuah permain dengan tujuan untuk
menyenangkan dirinya tanpa ada tuntutan atau paksaan apapun. Akan tetapi,
meskipun bermain dapat dikatakan sebagai aktivitas manasuka, bermain
semestinya dilakukan dengan penuh kesungguhan agar hasil dari kegiatan bermain
yang berdampak positif dapat diperoleh, seperti yang dikatakan oleh salah satu

10
pakar, yakni Sukintaka (1998) menyatakan bahwa bermain adalah aktivitas
jasmani yang dilakukan dengan sukarela dan bersungguh-sungguh untuk
memperoleh rasa senang dari aktivitas tersebut.

Menurut Drikarya bahwa bermain bukan hanya aktivitas jasmani saja,


tetapi juga menyangkut fantasi, logika, dan Bahasa sehingga dalam bermain
dibutuhkan keterpaduan antara fisik dan psikis, dalam hal ini aktivitas jasmani dan
psikis meliputi logika, persepsi, ketangkasan, pemahaman, asumsi, emosi,
kecerdasan, keterampilan, dan lain-lain. Driyarkara juga mengatakan
bahwasannya dalam bermain harus memiliki dua watak, yakni eros yang berarti
bahwa bermain hendaknya didasari rasa senag terhadap komponen yang telah ada
dalam kegiatan bermain itu sendiri, lalu ada agon yang diartikan sebagai
oerjuangan untuk mengalahkan segala tantangan atau kesulitan dalam permainan.

2.4 Fungsi Bermain dalam Pendidikan

Bermain salah satu kegiatan yang sejalan dengan erat dengan pendidikan.
Dalam bermain anak mampu mengembangkan potensi yang ada dalam diri
masing-masing anak. Bermain sebagai salah satu lingkungan yang mampu
mempengaruhi dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak baik fisik,
psikis, maupun social. Banyak orang yang sebenarnya belum menyadari
bahwasannya bermain merupakan bagian dari kegiatan edukasi yang
menyenangkan karena pasalnya orang awam masih beranggapan bahwa bermain
hanya sekedar kegiatan pelengkap untuk memenuhi waktu senggang tanpa
merasakan dampak positif yang dirasakan dari kegiatan bermain yang edukatif.
Oleh karena itu, bermain benar-benar penting kehadirannya untuk berjalan selaras
dengan dunia pendidikan. Hal itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Colloza (Sukintaka,1998:6) menyatakan bahwa bermain betul-betul bagian
dari pendidikan.

Frobel dalam Sukintaka (1998) menyatakan bahwa bermain itu merupakan


organ kehidupan atau unsur kehidupan dan selalu berperanan sebagai wahana
pendidikan. Bermain merupakan unsur kehidupan berarti setiap ada kehidupan
ada kegiatan bermain yang selalu menyertainya. Melalui bermain anak akan
menemukan kepribadiannya. Hal tersebut diartikan bahwa kegiatan bermain

11
dengan pembelajaran akan kehidupan merupakan dua hal yang saling melengkapi
dan tidak dapat dipisahkan. Dari bermain, anak dapat belajar dan mengerti dirinya
sendiri untuk mempersiapkan hal-hal baru yang akan dihadapi di kehidupan yang
akan datang. Lain hal dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hadi Soekatno
yang mempunyai keyakinan bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat
pendidikan itu dapat membimbing anak ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan
yang murni (Sukintaka,1998:8) yang berarti dalam kegiatan bermain anak akan
memperoleh berbagai macam pengalaman belajar baik kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Pengalaman-pengalaman itu lah yang berguna bagi anak untuk
menyempurnakan perkembangan aspek dalam hidupnya.

Kohnstam,dkk dalam Sukintaka (1998;6-7) menyatakan berdasarkan


catatan harian para orang tua bahwa bermain mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Permainan sebagai sarana hidup bermasyarakat. Melalui bermain, anak secara


langsung belajar menerapkan kehidupan bermasyarakat secara nyata. Anak
mengalami dan menerapkan semua aturan dalam bermain secara ikhlas dan
sukarela, hal ini sama dengan hidup bermasyarakat yang melaksanakan aturan
yang ada dalam masyarakat.
b. Melalui bermain, anak akan mengetahui kemampuannya, menguasai alatnya,
mengetahui sifat alatnya. Bermain bagi anak merupakan cermin dalam
kehidupan, mereka akan mengetahui akan kelebihan dan kelemahannya baik
kognitif, afektif, ataupun psikomotorik, sebab ada teman atau lawan bermain
sebagai pembandingnya dalam aktivitas bermain tersebut.
c. Dalam bermain, anak akan mampu mengungkapkan emosinya yang
bermanfaat dikemudian hari. Melalui bermain, segala ketegangan dan
kecemasan yang dialami anak akan tersalurkan termasuk emosi yang muncul
dalam aktivitas bermain.
d. Dalam bermain, anak akan mampu mengungkapkan emosinya yang
bermanfaat dikemudian hari.
e. Melalui bermain, segala ketegangan dan kecemasan yang dialami anak akan
tersalurkan termasuk emosi yang muncul dalam aktivitas bermain. Dengan
kegiatan bermain yang selalu diulang-ulang maka memungkinkan anak untuk

12
dapat mengelola emosi secara baik sehingga bermanfat untuk kehidupan di
kemudian hari

Dari pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain
mempunyai fungsi yang mulia yaitu mampu membawa anak ke arah pribadi yang
baik yang ditunjukkan melalui perubahan dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik sesuai dengan perubahan dalam ranah pendidikan bahkan mampu
membawa anak ke arah kesempurnaan hidup.

2.5 Fungsi Bermain dalam Pendidikan Jasmani dengan Sasaran pada Aspek
Afektif

Pendidikan jasmani merupakan salah satu wadah pembelajaran bagi anak


untuk mengembangkan kemampuan beserta keterampilannya, terutama dalam
aktivitas gerak. Pendidikan jasmani melalui aktivitas olahraga berupaya
menyeimbangkan kemampuan fisik serta kemampuan psikis anak untuk
mempersiapkan mental yang tangguh. Mental psikologis yang mencakup pikiran,
pandangan, image dan pemberdayaan fungsi berfikir sebagai pengendali tindakan
dan respons tubuh (Maksum, 2011).

Olahraga tidak hanya mencakup kegiatan fisik, akan tetapi melibatkan


unsur psikis. Secara luas pengertian mental mencakup: pikiran, pandangan, image
dan sebagainya yang pada intinya adalah pemberdayaan fungsi berpikir sebagai
pengendali tindakan dan respons tubuh (Satiadarma, 2010). Hal tersebut
tergambarkan bahwasannya kemampuan fisik dan psikis sama-sama penting
kedudukannya dan harus diupayakan berjalan dengan seimbang. Dari olahraga
kita dapat menumbuhkan standar mental yang kuat dan dari latihan mental yang
kuat kita dapat mengembangkan keterampilan berolahraga yang lebih baik.

Terapi motoric dengan pemberdayaan mental tidak hanya berguna


mengatasi beragam kasus berkenaan dengan berbagai ganguan emosional, seperti:
kecemasan, ketegangan stres dan kurang percaya diri namun pelatihan mental juga
dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam sebuah permainan
(Barker dan Jones, 2008). Aktifitas olahraga yang diberikan dalam pengajaran

13
harus mendapatkan unsur psikologis, sehingga aktifitas yang dilakukan dapat
mencapai tujuan pembelajaran. Olahraga tidak hanya mencakup kegiatan fisik,
akan tetapi melibatkan unsur psikis. Secara luas pengertian mental mencakup:
pikiran, pandangan, image dan sebagainya yang pada intinya adalah
pemberdayaan fungsi berpikir sebagai pengendali tindakan dan respons tubuh
(Satiadarma, 2010).

Aktivitas bermain merupakan kebutuhan hidup bagi anak-anak yang sudah


ada dengan sendirinya. Melalui bermain, anak-anak mampu melepaskan segala
ketegangan, emosi, kecemasan, kelebihan tenaga, yang dialami dalam kehidupan
sehari-hari sehingga anak-anak mampu melepaskan sebagian beban hidupnya dan
merasa lega atau terpuaskan. Bila anak mampu menyalurkan segala perasaan yang
tertekan atau ketegangan dan juga dorongan-dorongan akan kebutuhannya melalui
bermain maka anak akan merasa senang, lega, dan relaks. Kelegaan ini
menumbuhkan sikap untuk dapat mengelola emosi secara nyata yang setiap saat
selalu muncul dan menyertai anak dalam kehidupan sehari-hari.

Aktivitas bermain juga membawa anak untuk mampu mengetahui


kelemahan dan kelebihan baik dirinya sendiri maupun orang lain sehingga
membantu pembentukan konsep diri yang positif, rasa percaya diri, harga diri, dan
kompetensi diri yang baik. Dengan demikian pribadi yang baik akan terbentuk
melalui aktivitas bermain tersebut. Kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang
baik seperti : jujur, disiplin, taat aturan, kerjasama, tulus ikhlas, murah hati, sabar
dan sebagainya yang semuanya dapat terbentuk melalui aktivitas bermain

Aspek psikis manusia tidak dapat tampak secara nyata seperti pada aspek
fisik, tetapi dapat dilihat dari gejala yang tampak dalam fisiknya. Seperti raut
wajah berseri- seri menunjukkan gejala jiwa yang senang, riang gembira, puas,
atau lega. Sebaliknya raut wajah murung menunjukkan keadaan jiwa yang sedih
atau jengkel. Gejala jiwa 69 yang lain masih banyak seperti kecerdasan, emosi,
minat, perhatian, motivasi, empati, tanggapan, kecemasan, ketakutan, keberanian,
percaya diri, agresivitas, akal, penalaran dan sebagainya. Kemampuan psikis
tersebut dapat berkembang melalui kegiatan bermain dan pendidikan jasmani,
sebab aspek psikis juga merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran

14
pendidikan jasmani di sekolah. Melalui aktivtas bermain, anak-anak akan
memperoleh berbagai macam pengalaman secara psikis seperti kemampuan
kecedasan secara praktis yaitu memutuskan masalah secara tepat dan cepat,
mampu mengelola emosi dan rasa cemas atau takut karena faktor ini dapat
menyebabkan kemampuan berfikir dan gerak menjadi kacau atau susah dikontrol
jika tidak dikelola dengan baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, atau
menumbuhan semangat atau motivasi diri yang tinggi pula, melatih perhatian,
menumbuhkan minat belajar yang tinggi, dan sebagainya

2.6 Resiko Bermain terhadap Psikis Anak

Risiko psikis adalah segala risiko bermain yang berakibat pada kondisi
psikologis anak. Risiko psikis tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan dan acap kali
sulit dihindari. Psikis sendiri merupakan faktor yang berasal dari dalam individu
meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, memori, emosi,
kepercayaan, dan sikap. Adapun risiko bermain yang dilaporkan melalui observasi
adalah kebosanan, motivasi belajar menurun, emosi labil, dan apatis.

a. Kebosanan
Anak-anak bukanlah manusia dewasa yang dapat bertahan lama dengan satu
aktivitas. Anak akan berpindah aktivitas dalam hitungan menit. Mereka cepat
bosan. Sebagian anak memang dapat menyelesaikan kegiatan main tertentu
dan tekun melakukan eksploitasi. Meskipun demikian, ebagian anak justru
tersiksa dengan satu permainan dan adakalanya merusaknya. Oleh karena itu,
penting bagi orang tua dan guru menyediakan berbagai alternatif kegiatan agar
anak dapat beralih bermain saat mereka mengalami kebosanan.
b. Motivasi Kegiatan Lain Menurun
Dilaporkan bahwa anak-anak yang menggunakan waktu bermain tanpa
manajemen yang baik mengakibatkan menurunnya motivasi untuk melakukan
kegiatan lain menurun. Ungkapan, “Bermain membuatnya lupa segalanya”
sering terucap dari orang tua yang memiliki anak “gila bermain”. Sebagian
kecil anak menemukan keasyikan dengan bermain tertentu, seperti bermain
balok, atau game-game online sehingga menolak kegiatan lain. Di KB dan
TK, anak yang demikian menolak berbagai alat main dan menolak kegiatan

15
lain. Hal ini ditengarai terjadi pada anak yang semenjak kecil tidak diberi
padanan mainan yang bervariasi, berpatok pada satu alat main saja. Meskipun
kasus ini tidak mendominasi, guru atau orang tua tetap perlu mengatasinya
melalui variasi kegiatan, toleransi, serta aturan, dan jadwal ebagia. Tidak
perlu memaksa anak beralih main, tetapi pancinglah perhatian anak dengan
alat main lain, dan biarkan dia memutuskan sendiri.
c. Emosi Labil dan Apatis
Belum diketahui pasti kaitan antara bermain pasif dengan kelabilan emosi.
Meskipun demikian, ditemukan fakta bahwa bermain membuat anak-anak
tertentu mudah marah, mudah sedih, dan mudah bosan. Anak-anak yang
bermain kompetitif dan terlibat dengan game-game online cenderung mudah
terpancing emosi dan apatis. Mereka menjadikan ajang bermain sebagai ajang
kompetisi dan ebagian lagi menjadi apatis pada lingkungan. Ketika terlibat
dengan game online, anak selalu berada pada kondisi respons sehingga
menganggap tamu datang, orang lewat, pertanyaan orang tua, dan sapaan
teman sebaya sebagai gangguan. Sebagian anak bereaksi dengan marah dan
ebagian lagi tidak bereaksi sama sekali. Bagaimana pun Anda maklum,
dewasa ini game online dapat diakses di mana pun, dan anak-anak bebas
mendapatkannya dari gadget orang tua. Gadget tersebut dipenuhi dengan
game-game yang menyita perhatian anak.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil pembahasan makalah ini ialah bermain dilakukan


secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan hanya dilakukan untuk bersenang
senang, anak bisa saja meninggalkan bermain kapan pun ia mau. Lalu dari
pendidkan itu sendiri yaitu menyalurkan pengetahuan, menyalurkan kegunaan
atau nilai, menyalurkan budaya, dan agama yang diarahkan dalam upaya untuk
memanusiakan manusia, bisa disebut juga pembentukan karakter suatu indivdu
dan juga pendidikan adalah upaya untuk mengubah perilaku individu atau
kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati dari berbagai aspek.

Pendidikan jasmani itu sendiri bisa didefinisikan sebagai pendidikan yang


kita salur kan memalalui aktivitas fisik, dengan media aktivitas otot dan gerak,
seperti olahraga olahraga, senam latihan jasmani, namun jika dilihat secara
spesifik lagi tujuan yang ingin dicapai bukan hanya aktivitas fisikal saja, namun
juga perkembangan kognitif, neuro muscular, afektif, sosial, dan emosional,
bahkan moral sekali pun.

Dapat diketahui fungsi bermain dalam pendidikan adalah kegiatan yang mampu
mengembangkan potensi anak yang ada dalam diri anak baik fisik, psikis, maupun
sosial kita tau bahwa bermain adalah sarana bermasyarakat, dan anak tersebut
dapat mengetahui apa potensi dan kemampuan yang ada dalam diri nya.

3.2 Saran

Saran dari kami dalam mengatasi kebosanan kita bisa melakukan kegiatan
yang menarik kembali semngat anak seperti Bermain peran, dalam cerita rakyat,
atau karakter kesukaan seorang anak, bermainlah bersama anak, buat lah sebuah
pedang dari kardus, sayap dari kain jadi lah super hero untuk mereka. jadilah si
anak, melakukan yang membuat anak riang kembali, dengan demikian juga anak
dapat belajar dengan riang tanpa ada kata kebosanan.

17
Daftar Pustaka

HAKIKAT PENDIDIKAN (upi.edu)

Konsep_Pendidikan_Jasmani_.pdf (upi.edu)

Isnaini, Moh. Yudha dan Suryansyah. 2018. “Aplikasi Latihan Mental Dalam
Pembelajaran Gerak Untuk Meningkatkan Keterampilan Pada
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan”. Vol. 2, No.
1, Juni 2018, Hal. 17-25

A.M. Bandi Utama. 2020. “Teori Bermain”. Yogyakarta: Percetakan Pohon


Cahaya. PC 0234-20

Dr. Tadkiroatun Musfiroh, M.Hum. PAUD4201-M1.pdf (ut.ac.id). “Teori dan


Konsep Bermain”

18

Anda mungkin juga menyukai