Disusun oleh:
2021
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
Daftar Isi
Kata Pengantar...............................................................................................2
Daftar Isi..........................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................................7
2.5 Fungsi Bermain Dalam Pendidikan Jasmani Dengan Sasaran Pada Aspek
Efektif...............................................................................................................13
BAB 3 PENUTUP...........................................................................................17
3.1 Saran...........................................................................................................17
3.2 Kesimpulan.................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Bermain berkaitan dengan kata “dapat” dan bekerja berkaitan dengan kata
“harus”. Bagi anak-anak, bermain adalah aktivitas yang dilakukan karena
ingin, bukan karena harus memenuhi tujuan atau keinginan orang lain.
Bermain tidak memerlukan konsentrasi penuh, tidak memerlukan pemikiran
yang rumit. Sebaliknya, bekerja menuntut konsentrasi penuh, harus belajar,
dan menggunakan pikiran secara tercurah. Anak juga memandang bermain
sebagai kegiatan yang tidak memiliki target. Mereka dapat saja meninggalkan
kegiatan bermain kapan pun mereka mau; dan sebaliknya, bekerja memiliki
target, harus diselesaikan, dan tidak dapat berbuat sekehendak hati. Bagi
mereka, bermain adalah kebutuhan, sedangkan bekerja adalah sebuah
keharusan (Wing, 1996).
4
Melalui kegiatan bermain, latihan mental atau aspek kognitif dan psikis
pada anak dapat diikutsertakan pada tujuan pendidikan, terutama pendidikan
jasmani untuk membentuk dan melatih mental anak agar memiliki sikap yang
tangguh dan bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang
akan mereka hadapi kedepannya. Menurut Erikson (1963), bermain membantu
anak mengembangkan rasa harga diri. Alasannya adalah karena dengan
bermain anak memperoleh kemampuan untuk menguasai tubuh mereka,
menguasai, dan memahami benda-benda, serta belajar keterampilan sosial.
Anak bermain karena mereka berinteraksi guna belajar mengkreasikan
pengetahuan. Bermain merupakan cara dan jalan anak berpikir dan
menyelesaikan masalah. Anak bermain karena mereka membutuhkan
pengalaman langsung dalam interaksi sosial agar mereka memperoleh dasar
kehidupan sosial. Jalane & Wulf (2014) pelaatihan mental dapat memiliki
dampak positif pada pembelajaran motorik dan meningkatkan akurasi. Hasil
penelitian Pates & Palmi (2002) dan dapat membuat seseorang lebih santai,
tenang dan lebih terfokus dalam melakukan servis dalam permainan
bulutangkis.
5
3. Apa hakikat Bermain?
4. Bagaimana hakikat bermain di dalam pendidikan?
5. Bagaimana fungsi bermain dalam pendidikan jasmani dengan sasaran pada
aspek afektif?
6. Apa saja risiko bermain bagi anak?
1.3 Tujuan
1. Unutk memahami hakikat dari Pendidikan
2. Untuk mengetahui hakikat Pendidikan Jasmani
3. Untuk memahami hakikat Bermain
4. Untuk memahami hakikat bermain di dalam pendidikan
5. Untuk memahami fungsi bermain dalam pendidikan jasmani dengan
sasaran pada aspek afektif
6. Untuk mengetahui saja risiko bermain bagi anak
6
BAB II
ISI
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar
“didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perluasan, dan cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan
sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras
dengan alam dan masyarakatnya.
7
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of
culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk
memanusiakan manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk
mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang
disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pertahanan keamanan. Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah
proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat
pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dengan demikian
hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilainilai, motivasi dan tujuan
dari pendidikan itu sendiri.Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi
berikut :
Pendapat yang diungkapkan Barrow (2001; dalam Freeman, 2001) adalah bahwa
pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang dan melalui
gerak insani, ketika tujuan kependidikan dicapai melalui media aktivitas otot-otot,
termasuk: olahraga (sport), permainan, senam, dan latihan jasmani (exercise).
Pendapat lain namun dalam ungkapan yang senada, seperti diungkapkan Barrow
(2001; dalam Freeman, 2001) adalah bahwa pendidikan jasmani dapat
didefinisikan sebagai pendidikan tentang dan melalui gerak insani, ketika tujuan
kependidikan dicapai melalui media aktivitas otot-otot, termasuk: olahraga
(sport), permainan, senam, dan latihan jasmani (exercise). Hasil yang ingin
dicapai adalah individu yang terdidik secara fisik. Nilai ini menjadi salah satu
8
bagian nilai individu yang terdidik, dan bermakna ketika hanya berhubungan
dengan sisi kehidupan individu.
9
Sesungguhnya, ketika dulu dikenal ada istilah “gerak badan”, barangkali
ada istilah yang memadankan olahraga dengan gerak badan, yaitu aktivitas
jasmani yang sekedar untuk menggerakkan badan saja, tidak ada ciri
kompetitifnya. Pendidikan jasmani memiliki bidang garapan yang makin meluas.
Seolah tidak mengenal batas mana wilayah cakupannya. Karena itu, sering
diidentikan dengan istilah “human movement” atau gerak insani yang juga luas,
seluas bidang kajian tentang insan/manusia. Suatu studi yang juga mempelajari
tentang gerak insani dan mengarahkan gerak insani sebagai media pendidikan.
Namun dalam perdebatan ini, belum ada kesepahaman resmi bahwa gerak insani
bisa menggantikan istilah pendidikan jasmani
10
pakar, yakni Sukintaka (1998) menyatakan bahwa bermain adalah aktivitas
jasmani yang dilakukan dengan sukarela dan bersungguh-sungguh untuk
memperoleh rasa senang dari aktivitas tersebut.
Bermain salah satu kegiatan yang sejalan dengan erat dengan pendidikan.
Dalam bermain anak mampu mengembangkan potensi yang ada dalam diri
masing-masing anak. Bermain sebagai salah satu lingkungan yang mampu
mempengaruhi dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak baik fisik,
psikis, maupun social. Banyak orang yang sebenarnya belum menyadari
bahwasannya bermain merupakan bagian dari kegiatan edukasi yang
menyenangkan karena pasalnya orang awam masih beranggapan bahwa bermain
hanya sekedar kegiatan pelengkap untuk memenuhi waktu senggang tanpa
merasakan dampak positif yang dirasakan dari kegiatan bermain yang edukatif.
Oleh karena itu, bermain benar-benar penting kehadirannya untuk berjalan selaras
dengan dunia pendidikan. Hal itu sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Colloza (Sukintaka,1998:6) menyatakan bahwa bermain betul-betul bagian
dari pendidikan.
11
dengan pembelajaran akan kehidupan merupakan dua hal yang saling melengkapi
dan tidak dapat dipisahkan. Dari bermain, anak dapat belajar dan mengerti dirinya
sendiri untuk mempersiapkan hal-hal baru yang akan dihadapi di kehidupan yang
akan datang. Lain hal dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hadi Soekatno
yang mempunyai keyakinan bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat
pendidikan itu dapat membimbing anak ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan
yang murni (Sukintaka,1998:8) yang berarti dalam kegiatan bermain anak akan
memperoleh berbagai macam pengalaman belajar baik kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Pengalaman-pengalaman itu lah yang berguna bagi anak untuk
menyempurnakan perkembangan aspek dalam hidupnya.
12
dapat mengelola emosi secara baik sehingga bermanfat untuk kehidupan di
kemudian hari
Dari pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain
mempunyai fungsi yang mulia yaitu mampu membawa anak ke arah pribadi yang
baik yang ditunjukkan melalui perubahan dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik sesuai dengan perubahan dalam ranah pendidikan bahkan mampu
membawa anak ke arah kesempurnaan hidup.
2.5 Fungsi Bermain dalam Pendidikan Jasmani dengan Sasaran pada Aspek
Afektif
13
harus mendapatkan unsur psikologis, sehingga aktifitas yang dilakukan dapat
mencapai tujuan pembelajaran. Olahraga tidak hanya mencakup kegiatan fisik,
akan tetapi melibatkan unsur psikis. Secara luas pengertian mental mencakup:
pikiran, pandangan, image dan sebagainya yang pada intinya adalah
pemberdayaan fungsi berpikir sebagai pengendali tindakan dan respons tubuh
(Satiadarma, 2010).
Aspek psikis manusia tidak dapat tampak secara nyata seperti pada aspek
fisik, tetapi dapat dilihat dari gejala yang tampak dalam fisiknya. Seperti raut
wajah berseri- seri menunjukkan gejala jiwa yang senang, riang gembira, puas,
atau lega. Sebaliknya raut wajah murung menunjukkan keadaan jiwa yang sedih
atau jengkel. Gejala jiwa 69 yang lain masih banyak seperti kecerdasan, emosi,
minat, perhatian, motivasi, empati, tanggapan, kecemasan, ketakutan, keberanian,
percaya diri, agresivitas, akal, penalaran dan sebagainya. Kemampuan psikis
tersebut dapat berkembang melalui kegiatan bermain dan pendidikan jasmani,
sebab aspek psikis juga merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran
14
pendidikan jasmani di sekolah. Melalui aktivtas bermain, anak-anak akan
memperoleh berbagai macam pengalaman secara psikis seperti kemampuan
kecedasan secara praktis yaitu memutuskan masalah secara tepat dan cepat,
mampu mengelola emosi dan rasa cemas atau takut karena faktor ini dapat
menyebabkan kemampuan berfikir dan gerak menjadi kacau atau susah dikontrol
jika tidak dikelola dengan baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, atau
menumbuhan semangat atau motivasi diri yang tinggi pula, melatih perhatian,
menumbuhkan minat belajar yang tinggi, dan sebagainya
Risiko psikis adalah segala risiko bermain yang berakibat pada kondisi
psikologis anak. Risiko psikis tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan dan acap kali
sulit dihindari. Psikis sendiri merupakan faktor yang berasal dari dalam individu
meliputi motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, memori, emosi,
kepercayaan, dan sikap. Adapun risiko bermain yang dilaporkan melalui observasi
adalah kebosanan, motivasi belajar menurun, emosi labil, dan apatis.
a. Kebosanan
Anak-anak bukanlah manusia dewasa yang dapat bertahan lama dengan satu
aktivitas. Anak akan berpindah aktivitas dalam hitungan menit. Mereka cepat
bosan. Sebagian anak memang dapat menyelesaikan kegiatan main tertentu
dan tekun melakukan eksploitasi. Meskipun demikian, ebagian anak justru
tersiksa dengan satu permainan dan adakalanya merusaknya. Oleh karena itu,
penting bagi orang tua dan guru menyediakan berbagai alternatif kegiatan agar
anak dapat beralih bermain saat mereka mengalami kebosanan.
b. Motivasi Kegiatan Lain Menurun
Dilaporkan bahwa anak-anak yang menggunakan waktu bermain tanpa
manajemen yang baik mengakibatkan menurunnya motivasi untuk melakukan
kegiatan lain menurun. Ungkapan, “Bermain membuatnya lupa segalanya”
sering terucap dari orang tua yang memiliki anak “gila bermain”. Sebagian
kecil anak menemukan keasyikan dengan bermain tertentu, seperti bermain
balok, atau game-game online sehingga menolak kegiatan lain. Di KB dan
TK, anak yang demikian menolak berbagai alat main dan menolak kegiatan
15
lain. Hal ini ditengarai terjadi pada anak yang semenjak kecil tidak diberi
padanan mainan yang bervariasi, berpatok pada satu alat main saja. Meskipun
kasus ini tidak mendominasi, guru atau orang tua tetap perlu mengatasinya
melalui variasi kegiatan, toleransi, serta aturan, dan jadwal ebagia. Tidak
perlu memaksa anak beralih main, tetapi pancinglah perhatian anak dengan
alat main lain, dan biarkan dia memutuskan sendiri.
c. Emosi Labil dan Apatis
Belum diketahui pasti kaitan antara bermain pasif dengan kelabilan emosi.
Meskipun demikian, ditemukan fakta bahwa bermain membuat anak-anak
tertentu mudah marah, mudah sedih, dan mudah bosan. Anak-anak yang
bermain kompetitif dan terlibat dengan game-game online cenderung mudah
terpancing emosi dan apatis. Mereka menjadikan ajang bermain sebagai ajang
kompetisi dan ebagian lagi menjadi apatis pada lingkungan. Ketika terlibat
dengan game online, anak selalu berada pada kondisi respons sehingga
menganggap tamu datang, orang lewat, pertanyaan orang tua, dan sapaan
teman sebaya sebagai gangguan. Sebagian anak bereaksi dengan marah dan
ebagian lagi tidak bereaksi sama sekali. Bagaimana pun Anda maklum,
dewasa ini game online dapat diakses di mana pun, dan anak-anak bebas
mendapatkannya dari gadget orang tua. Gadget tersebut dipenuhi dengan
game-game yang menyita perhatian anak.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat diketahui fungsi bermain dalam pendidikan adalah kegiatan yang mampu
mengembangkan potensi anak yang ada dalam diri anak baik fisik, psikis, maupun
sosial kita tau bahwa bermain adalah sarana bermasyarakat, dan anak tersebut
dapat mengetahui apa potensi dan kemampuan yang ada dalam diri nya.
3.2 Saran
Saran dari kami dalam mengatasi kebosanan kita bisa melakukan kegiatan
yang menarik kembali semngat anak seperti Bermain peran, dalam cerita rakyat,
atau karakter kesukaan seorang anak, bermainlah bersama anak, buat lah sebuah
pedang dari kardus, sayap dari kain jadi lah super hero untuk mereka. jadilah si
anak, melakukan yang membuat anak riang kembali, dengan demikian juga anak
dapat belajar dengan riang tanpa ada kata kebosanan.
17
Daftar Pustaka
Konsep_Pendidikan_Jasmani_.pdf (upi.edu)
Isnaini, Moh. Yudha dan Suryansyah. 2018. “Aplikasi Latihan Mental Dalam
Pembelajaran Gerak Untuk Meningkatkan Keterampilan Pada
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan”. Vol. 2, No.
1, Juni 2018, Hal. 17-25
18