Masyarakat Global
Disusun Oleh:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berkehidupan di muka bumi banyak terjadi interaksi social antara satu
individu dengan individu lain yang mana tidak selalu terjadi kesesuaian baik cara
maupun tujuan sehingga mengakibatkan timbulnya prasangka (prejudice), lalu
menjadi konflik (conflict) dan berakhir menjadi kekerasan (violence). Tindakan
kekerasan terhadap pihak lain merupakan bentuk aktivitas manusia yang
mempunyai indikasi melawan hukum atau bertentangan dengan undang-undang
yang berlaku. maka dari itu dalam tatanan masyarakat global perlu diperhatikan
kembali tentang etika dalam berinteraksi social dengan individu lain.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa dalam menjalankan peran
sebagai makhluk social manusia perlu mengetahui penyebab serta dampak yang
ditimbulkan dari adanya prasangka, konflik dan kekerasan sehingga diharapkan
manusia dapat mengontrol diri untuk tidak melakukan tindakan yang tidak
seharusnya dilakukan kepada individu lain. Maka dari itu tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu untuk membahas fenomena Prejudice, Conflict, and Violence
(prasangka, konflik, dan kekerasan) dalam masyarakat global berikut penyebab,
dampak dan cara mengatasi yang diharapkan dapat memberikan referensi kepada
masyarakat luas untuk dapat mengontrol diri dari perilaku yang tidak diharapkan
dalam berinteraksi sosial.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global ?
b. Apa saja yang menyebabkan Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global ?
c. Bagaimana dampak dari adanya Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global ?
d. Bagaimana cara mengatasi Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global ?
2
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Prejudice, Conflict, and Violence dalam masyarakat
global
b. Mengetahui penyebab Prejudice, Conflict, and Violence dalam masyarakat
global
c. Mengetahui dampak dari adanya Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global
d. Mengetahui cara mengatasi Prejudice, Conflict, and Violence dalam
masyarakat global
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hidayat, Rahmat, Faktor-Faktor Penyebab Kemunculan Prasangka Sosial (social prejudice) Pada Pelajar,
Hal 43-44.
2
Mustamin, Studi Konflik Sosial Di Desa Bugis, Jurnal Ilmiah Mandala Education, Vol 2 No 2 Oktober 2016.
Hal 186.
4
Menurut Nurjana (1994) konflik yaitu sebagai akibat situasi dimana keinginan atau
kehendak yang berbeda atau berlawanan antara yang satu dengan yang lain. Sehingga
salah satu atau keduanya saling terganggu.3
c. Pengertian Kekerasan (Violence)
Menurut John Hagan (1981:181) kekerasan atau laviolencia merupakan bentuk
tindakan seseorang kepada pihak lain yang berakibat pada timbulnya rasa sakit dan
perubahan baik fisik maupun psikis. Menurut Robert Audi (2001:90) kekerasan
adalah serangan atau penyalagunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang atau
binatang, serangan atau penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan
ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT), bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologi dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.4
B. Penyebab Prejudice, Conflict, and Violence dalam masyarakat global
a. Penyebab Prejudice (Prasangka)
Prasangka dalam kaitan dengan hubungan antar etnik, dilatar belakangi paling tidak
tiga faktor, yakni: pertama, keluarga, kedua, lingkungan dan ketiga pengalaman
hidup.5
Prasangka sosial dapat timbul karena terdapat faktor-faktor tertentu. Berbagai
pandangan dan konsep teoritis yang menyebabkan seseorang memiliki prasangka
sosial adalah sebagai berikut :
a) Allport (1954) dan Tajfel (dalam Turner & Giles, 1985)
Memandang munculnya prasangka karena adanya proses kategorisasi dalam diri
individu. Ditegaskan pula bahwa kategorisasi sosial merupakan basis psikologis
dari munculnya prasangka. Kategorisasi tersebut mencakup etnisitas dan
kecenderungan menjaga jarak sosial dengan orang-orang yang dianggap outgroup.
3
Wahyudi, Andri, Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan, Hal 3-4.
4
Anjari, Warih, Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence), E-Journal WIDYA Yustisia,
Volume 1, Nomor 1 April 2014, Hal 43.
5
Murdianto, “Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di
Indonesia)”. Qalamuna. Vol. 10 No. 2, Juli - Desember 2018, hal. 144.
5
b) Selain itu prasangka terkait dengan berbagai jenis kepribadian yang antara lain;
otoriter, konsep diri, self-esteem dan orientasi dominasi sosial. Dalam salah satu
teorinya Adorno (dalam Faturrohman, 1993) menyatakan bahwa prasangka
berhubungan dengan pola kepribadian seseorang. Menurut Adorno individu yang
memiliki prasangka yang tinggi biasanya memiliki kepribadian otoriterisme.
Hubungan positif antara self-esteem dan identitas sosial yang dengan prasangka,
dikemukakan oleh Fien & Spencer (1995) bahwa ancaman terhadap identitas sosial
dan self-esteem mendorong untuk mengembangkan penilaian prasangka terhadap
orang lain. Orientasi dominasi sosial (social dominance orientation) adalah
seseorang yang berkeinginan untuk memiliki dominasi pada ingroup-nya dan
menjadi superior pada outgroup. Individu dengan dominasi sosial yang tinggi
cenderung bersikap negatif terhadap beberapa kelompok yang marginal seperti
etnis minoritas, feminist, kelompok homoseksual (Whitley, 1999).
c) Hasil proses belajar (social learning theory)
Menurut teori ini prasangka pada dasarnya dipelajari oleh individu dari perilaku
individu lain di sekitarnya dan dari norma-norma sosial yang terdapat di dalam
masyarakat kebudayaannya. Berbagai penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa orangorang Amerika yang berasal dari bagian selatan
lebih berprasangka dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Amerika Serikat,
karena sejarah dan kondisi sosial yang diwariskan pada mereka penuh dengan
kekerasan dan prasangka rasial. Kelas pekerja lebih berprasangka daripada kelas
menengah, karena lingkungan yang miskin dan kurang berpendidikan membuat
mereka lebih berprasangka. Selain itu orang tua kulit putih lebih berprasangka
daripada orang muda kulit putih, karena mereka pernah hidup dalam zaman yang
diskriminatif dan segregatif (Sears dkk, 1991).
d) Keinginan untuk berkompetisi terutama untuk mendapatkan sumber daya yang
sangat berharga tetapi pada kenyataannya persediaannya hanya dalam jumlah yang
sangat terbatas, misalnya pekerjaan, daerah kekuasaan atau jabatan. Menurut teori
realistic group conflict, kompetisi akan menimbulkan permusuhan serta penilaian
yang negatif terhadap kelompok lain (outgroup).
e) Teori norma kelompok yang dikemukakan oleh Sherif dan Sherif (dalam Crandall
dkk, 2002)
Menggambarkan tentang perkembangan prasangka yang dikaitkan dengan norma
sosial kelompok dan adanya tekanan agar individu dapat konform terhadap norma
6
kelompok tersebut. Menurut teori ini, sikap, nilai-nilai, keyakinan dan prasangka
merupakan bagian dari proses sosialisasi : “the attitude of prejudice is a product of
group membership” (Sherif; dalam Crandall dkk, 2002). Menurut Sherif (dalam
Crandall dkk, 2002) sikap, nilai-nilai dan prasangka bukan merupakan hasil dari
pilihan-pilihan individu yang diperoleh selama hidupnya. Hal tersebut merupakan
hasil kontak dengan anggota dari kelompok lain, yang kemudian
distandardisasikan lalu diinternalisasikan menjadi nilai-nilai kelompoknya.
Kepatuhan seseorang pada nilai-nilai in-groupnya akan mengarahkan pada
munculnya prasangka.6
b. Penyebab Terjadinya Konflik Sosial (Social Conflict)
Menurut Abu Ahmadin (2009: 291) Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya
konflik sosial adalah sebagai berikut:
a) Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau
perbedaan kemampuan, pendirian dan perasaan, sehingga menimbulkan pertikaian
atau bentrok antar mereka.
b) Perbedaan pola kebudayaan: seperti perbedaan adat-istiadat, suku bangsa, agama,
bahasa, paham politik, pandangan hidup, sehingga mendorong timbulnya
persaingan dan pertentangan bahkan bentrok di antara anggota masyarakat
tersebut.
c) Perbedaan status sosial: seperti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, generasi
tua dan generasi muda dan sejenisnya.
d) Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat, baik secara pribadi maupun
kelompok, sepeti perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, agama dan
sejenisnya.
e) Terjadinya perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistim nilai, akibat
masuknya nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern, juga menjadi faktor penyebab terjadinya konflik sosial.
f) Interdependensi
Suatu keadaan dimana seorang individu dan kelempok yang mengembangkan
keinginanannya untuk mencapai tujuan hidup. Namun kepentingan-kepentingan
hidup-hidup masih mengharapkan bantua orang lain. Kondisi sosial yang mungkin
6
Dede Rahmat Hidayat, “Faktor-faktor Penyebab Kemunculan Prasangka Sosial (Social Prejudice) Pada
Pelajar”, hal. 43.
7
saja tidak mendukung kebutuhan itu seketika akan menimbulkan konflik. Walau
pun konflik yang terjadi masih dalam sub yang kecil.
8
Adanya proses peniruan/imitasi pelaku terhadap kejahatan yang terjadi melalui
media sosial maupun melihat /mengalami secara langsung, dan adanya ganguan
kejiwaan bagi penderita psikopat atau pelaku yang menderita ganguan jiwa.7
7
Warih Anjari, “Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan”. E-Journal WIDYA Yustisia. Vol. No. 1,
April 2014, hal. 46-50.
8
Joko Kuncoro. Prasangka dan Diskriminasi. Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang. Vol. 10, No. 10, 2008,
hal 12
9
Ibid, hal. 13
9
perubahan sosial. Dalam proses mencapai suatu perubahan, masyarakat seringkali
dihadapkan pada goyahnya norma dan nilai sosial, akibatnya terjadi peningkatan
konflik. Berikut dampak negative yang ditimbulkan akibat konflik dalam
masyarakat:
1) Menciptakan kondisi ketidakteraturan sosial dalam masyarakat;
2) Mengancam norma dan nilai sosial yang sudah terbentuk sebelumnya dalam
suatu masyarakat;
3) Menciptakan sifat prasangka buruk antar suatu kelompok;
4) Hilangnya kontrol sosial dalam masyarakat.
10
Warih Anjari. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence). E-Journal WIDYA Yustisia. Vol.
1. No.1, April 2014, hal. 48
10
siskamling sistem keamanan lingkungan yang terintegrasi dengan tokoh
masyarakat dan polisi.
11
Widyarini, Nilam, Prasangka: Penyebab dan Cara mengatasinya, Handout Psi Sosial II. Hal 14.
11
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu hal yang sederhana.
Cepat tidaknya suatu konflik dapat diatasi dengan adanya kesediaan dan keterbukaan
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik.
Solusi pemecahan:
1. Rujuk: merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerjasama dan
menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
2. Perusasi yaitu usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian
yang mungkin timbul, dengan adanya buktu factual serta dengan menunjukkan
bahwa usul kita mengutungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan
yang berlaku.
3. Pemecahan masalah terpadu yaitu dengan usaha menyelesaikan masalah dengan
memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi fakta perasaan
dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur menimbulkan rasa saling
percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan
keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
c. Cara Mengatasi Kekerasan
a) Memperkuat Pengendalian Sosial
Dalam hal ini, pengendalian sosial dapat dimaknai sebagai berbagai cara yang
digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang melakukan
penyimpangan, termasuk tindak kekerasan. Pengendalian sosial dapat dilakukan
melalui hal berikut :
1) Pengawasan, yaitu upaya mengawasi perilaku anggota masyarakat demi
mencegah terjadinya tindak kekerasan. Ini dapat dilakukan oleh warga
masyarakat ataupun aparat penegak hukum.
2) Penindakan, yaitu pengenaan sanksi atau hukuman kepada pelaku tindak
kekerasan. Tujuan penindakan adalah memberi contoh kepada warga
masyarakat agar tidak meniru tindakan pelaku kekerasan dan mengurangi
kemungkinan pengulangan tindak kekerasan oleh pelaku.
b) Mengembangkan Budaya Meminta dan Memberi Maaf
Jika seseorang melakukan perbuatan yang tidak pada orang lain, maka ada
kemungkinan orang tersebut akan membalas dengan tindak kekerasan. Namun,
bagaimana jika pelaku langsung meminta maaf? Tentunya tindak kekerasan dapat
dicegah. Untuk itu, perlu dikembangkan budaya untuk segera meminta maaf ketika
menyadari kekeliruan dan memberi maaf tanpa menyimpan dendam.
12
c) Menerapkan Prinsip Prinsip Anti Kekerasan
Berdasarkan konsep Satya Graha yang dikemukakan oleh Mahatma Gandhi harus
diupayakan untuk menerapkan prinsip-prinsip antikekerasan dalam menghadapi
situasi konflik. Prinsip antikekerasan dilaksanakan melalui strategi membangun
hubungan erat kerja sama, dan pendekatan pribadi terhadap lawan konflik.
Asumsinya ialah bahwa tindakan antikekerasan akan menimbulkan tangapan
serupa. Dengan demikian, konflik tidak akan pada kekerasan massa. Perlu diingat
pula ucapan Mahatma Gandhi yang dikutip oleh presiden AS, Ronald Reagen,
dalam sebuah pidato di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 September
1984, "Semua masalah bisa diselesaikan secara damai jika pihak yang bermusuhan
saling berbicara atas nama cinta dan kebenaran. Sepanjang sejarah, ungkapan cinta
dan kebenaran selalu menang."
d) Memberikan Pendidikan Perdamaian kepada Generasi Muda
Menurut Cawagas dan Swee Hin sangat penting untuk memberikan pendidikan
perdamaian kepada generasi muda untuk membekali mereka dengan kemampuan
yang dibutuhkan dalam penanggulangan dan penyelesaian konflik maupun tindak
kekerasan Pendidikan perdamaian tersebut meliputi sebagai berikut :
1) Membongkar dan menyingkirkan budaya kekerasan.
2) Hidup dengan rasa keadilan dan kepedulian
3) kan hak asasi manusia dan tanggung jawab sosial terhadap sesame
4) Hidup dalam harmoni dengan lingkungan alam (bumi) mbangun budaya
menghormati solidaritas dan rekonsiliasi
5) Terus mengembangkan inner peace, yaitu prinsip damai dalam diri sehingga
mampu menciptakan kedamaian di masyarakat.
e) Mengawasi Tayangan Televisi Mencegah Kekerasan
Kiranya sungguh tepat jika stasiun televisi memperbanyak tayangan yang
menampilkan semangat menolong dan tidak mengeksploitasi adegan Kekerasan.
Orang tua pun perlu mendampingi anak-anaknya saat menyaksikan televisi dapat
memberikan bimbingan atau penjelasan mengenai suatu tayangan.
f) Memastikan Terpenuhinya Kebutuhan Anggota Masyarakat
Frustrasi yang mengarah pada tindak kekerasan, salah satunya disebabkan oleh
tidak terpenuhinya kebutuhan kebutuhan dasar anggota masyarakat. Oleh karena
itu, pemerintah seharusnya mampu menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan
dan memastikan terpenuhinya kebutuhan fisik dasar (pangan, sandang, dan
13
perumahan) dari anggota masyarakat. Anggota-anggota masyarakat pun dapat
memberdayakan diri untuk membantu menciptakan lapangan pekerjaan melalui
kewirausahaan mandiri.
g) Meningkatkan Dialog dan Komunikasi Intensif Antarkelompok
Dalam Masyarakat Dialog dan komunikasi intensif dapat menjadi sarana untuk
menumbuhkan sikap saling menerima serta menghargai antarkelompok berbeda.
Dialog dan komunikasi intensif juga mampu mengembangkan kesediaan
memandang yang lain dengan penghargaan, tanpa saling memaksakan kehendak,
pendapat, atau pandangan sendiri. Jika kekerasan telah terjadi, maka dialog pun
sangat bermakna untuk mengeratkan kembali jalinan hubungan antarkelompok.
h) Mendampingi Korban Kekerasan
Untuk mengatasi trauma psikologis yang membekas dan memengaruhi kepribadian
individu, perlu diberikan pendampingan terhadap korban tindak kekerasan.
Pendampingan dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa korban
mengalami kekerasan bukan karena kesalahannya dan mengembalikan
kepercayaan diri korban untuk kembali berperan sesuai statusnya
i) Menyediakan Katarsis
Katarsis adalah sarana yang dapat digunakan untuk menyalurkan atau menurunkan
rasa marah maupun kebencian sehingga tidak mewujud menjadi tindak kekerasan.
Katarsis bisa berupa kegiatan yang menguras tenaga (pertandingan olahraga atau
kegiatan fisik positif lainnya) maupun karena untuk bersantai (taman kota atau
fasilitas publik lain yang mudah diakses.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Prasangka, konflik dan kekerasan merupakan suatu tindakan yang biasa terjadi dalam
kehidupan interaksi social dalam masyarakat. Ketiga hal tersebut dapat diketahui penyebab,
dampak dan cara mengatasi sehingga diharapkan dalam berkecimpung dalam masyarakat
manusia mampu mengontrol diri sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam
hal ini diharapkan terciptanya tatanan masyarakat global yang damai, aman dan sejahtera.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anjari, Warih. 2014. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence). E-Journal
WIDYA Yustisia.
Murdianto. 2018. “Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura
dan Tionghoa di Indonesia)”. Jurnal Qalamuna. Vol. 10 No. 2, hal. 144.
16
17