Anda di halaman 1dari 21

TUTORIAL IN CLINIC (TIC)

MASALAH KEPERAWATAN: PERILAKU KEKERASAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Stase Keperawatan Jiwa

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1 GELOMBANG 2

Akwila Verenisa 220112200632


Julli Risgian Putra 220112200599
Lady Rosa Romanauli Simanjuntak 220112200503
Vita Tri Andriani 220112200641
Widia Hertina Putri 220112200645

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XLI


UNIVERSITAS PADJAJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2021
TUTORIAL IN CLINIC (TIC)
MASALAH KEPERAWATAN: PERILAKU KEKERASAN

RESUME
Hasil Pengkajian
Nama klien Ny.Y umur 55 Tahun alamat Cihanjuang Cimahi. Pendidikan
terakhir SMA, Status pernikahan cerai hidup.

Ny.Y masuk ke Yayasan Nur Illahi pada tahun 2015 dengan alasan Ny.Y
sering mengancam, marah-marah, sehingga sempat melakukan perilaku kekerasan
terhadap keluarganya seperti ibu, kakak, dan kakak iparnya. Sehingga keluarga
tidak sanggup menangani Ny. Y. Pada saat di yayasan, Ny.Y juga sempat
memukul temannya dikarenakan Ny.Y mengalami halusinasi pendengaran.

Klien di diagnosa medis Bipolar Disorders dan Halusinasi Pendengaran.


Klien sempat di Isolasi kembali oleh caregiver dikarenakan emosi klien kurang
stabil, sehingga klien teriak-teriak dan marah-marah. Pada saat dikaji oleh
perawat, Ny.Y mengatakan bahwa ia kangen terhadap keluarganya, karena
keluarganya sudah lama belum menghubungi Ny.Y. Klien tampak sedih.

Care giver Ny.Y mengatakan bahwa banyak pasien wanita yang takut
pada Ny.Y, karena beliau sering marah-marah bahkan sempat memukul salah satu
pasien yang berada di yayasan. Ny.Y mengatakan bahwa teman-teman yang ada
di yayasan, jika di ajak ngobrol oleh Ny.Y teman-temannya jarang menjawab.
Namun meskipun begitu, Ny.Y tetap sering mengajak ngobrol teman-temannya.
Ny.Y juga mengatakan bahwa hubungan ia dengan teman-teman lainnya baik-
baik saja.

Klien memiliki hobi menyulam, memasak, dan karaoke. Klien


menceritakan aktivitas kesehariannya yakni mulai dari bangun tidur, mandi,
makan, dilanjutkan dengan melakukan aktivitas teratur yang ada di yayasan.
Hingga saat ini, klien masih mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan
oleh dokter yakni excimer, haloperidol, stelosi, premania dan jika klien
mengalami kesulitan tidur klien diberikan obat Chlorpromazine atau kolosapin.

Rumusan Diagnosa Keperawatan


Perilaku Kekerasan

STEP 1

 Bipolar

STEP 2

1. Apa pengertian dari bipolar?


2. Apa perbedaan bipolar dengan skizofrenia?
3. Apa saja penyebab dari bipolar?
4. Apa saja tanda dan gejala penyakit bipolar?
5. Bagaimana psikopatologi bipolar menjadi perilaku kekerasan?
6. Apa saja masalah keperawatan pada pasien bipolar?
7. Pengertian perilaku kekerasan
8. Prevalensi perilaku kekerasan
9. Penyebab perilaku kekerasan
10. Tanda dan gejala perilaku kekerasan
11. Dampak dari perilaku kekerasan
12. Cara mengontrol/ mencegah emosi (minimal 2 EBP)

STEP 3

1. Pengertian perilaku kekerasan


Perilaku kekerasan merupakan perilaku individu yang dapat merugikan
diri sendiri maupun lingkungan. Perilaku agresif yang dapat
membahayakan, melukai, mengancam.
2. Tanda dan gejala perilaku kekerasan
 Muka memerah
 Tangan mengepal
 Mengancam dengan perilaku maupun verbal
 Bicara kasar dan suara meninggi
 Melempar barang/ benda disekitar
3. Dampak dari perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan dapat melukai diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Menjadi sulit diterima oleh lingkungan karena sikap yang
membuat trauma dan stigma yang negatif dari lingkungan.

STEP 4 (MIND MAP)


A. STEP 4 ANALYZING THE PROBLEMS

TANDA DAN GEJALA:


Muka merah dan tegang,
FAKTOR PRESIPITASI: Pandangan tajamatau mata melotot,
1. Putusnya Obat Mengepalkan tangan,
Mengatupkan rahang dengan kuat,
Bicara kasar,
Suaratinggi atau berteriak, PERILAKU
Mengancam secara verbal KEKERASAN

FAKTOR PREDISPOSISI:
Faktor Psikologis (Kepribadianyang tertutup, Trauma, dan Kehilangan)
Sosial dan Budaya

STEP 5 (LEARNING OBJECTIVES (LO))

1. Apa pengertian dari bipolar?


2. Apa perbedaan bipolar dengan skizofrenia?
3. Apa saja penyebab dari bipolar?
4. Apa saja tanda dan gejala penyakit bipolar?
5. Bagaimana psikopatologi bipolar menjadi perilaku kekerasan?
6. Apa saja masalah keperawatan pada pasien bipolar?
7. Pengertian perilaku kekerasan
8. Prevalensi perilaku kekerasan
9. Penyebab perilaku kekerasan
10. Tanda dan gejala perilaku kekerasan
11. Dampak dari perilaku kekerasan
12. Cara mengontrol/ mencegah emosi (minimal 2 EBP)

STEP 6 (INFORMATION GATHERING)

1. Pengertian Bipolar
Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan
perubahan mood yang drastis, dimana didalamnya terdapat episode manik
yang terjadi selama beberapa waktu kemudian diganti episode depresi.
Pasien gangguan afektif bipolar mungkin menunjukkan kedua mood mania
dan depresi. Saat memiliki mania, mereka menunjukkan suasana hati yang
gembira, merasa sangat bersemangat, percaya diri, penuh dengan gagasan
dan merasa tidak berdaya; Tapi saat depresi datang, mereka akan
kehilangan minat dalam segala hal, kekurangan energi dan pesimis yang
menyedihkan (American Psychiatric Association, APA, 2000).
2. Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia
a. Penyebab
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang berpengaruh pada
proses berpikir, berperilaku, serta berkomunikasi dengan orang lain.
Dengan kata lain, pengidap skizofrenia biasanya sulit membedakan
mana khayalan dan mana kenyataan. Penderita sering kesulitan untuk
mengendalikan emosi serta perasaannya dalam kondisi tertentu.
Sementara bipolar disorder adalah kondisi kejiwaan yang membuat
pengidapnya sering mengalami perubahan mood yang ekstrem.
Akibatnya, perasaan mereka bisa cepat sekali berubah hanya dalam
hitungan menit. Misalnya dari sangat bahagia menjadi sangat sedih,
atau dari tertawa lepas tiba-tiba menangis sesenggukan. Begitu pula
sebaliknya.
b. Tanda dan gejala
Skizofrenia
 Halusinasi. Pengidap skizofrenia merasa seperti melihat dan
mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
 Delusi. Meyakini suatu hal yang tidak jelas kebenarannya,
misalnya merasa ada yang ingin mencelakakan dirinya atau
selalu diamati oleh sosok asing.
 Gerakan tubuh berbeda. Ditandai dengan sering merasa gelisah,
melakukan gerakan yang sama berulang kali, bahkan tidak
bergerak sama sekali.
 Sulit berpikir dan bicara dengan jelas. Orang dengan
skizofrenia bisa kehilangan konsentrasi dalam berpikir
sehingga ketika bicara, ucapakan yang keluar cenderung tidak
masuk akal dan susah dimengerti.
 Kehilangan semangat. Pengidap skizofrenia juga jadi lebih
sering mengurung di rumah, menghindari interaksi sosial
dengan banyak orang, dan enggan melakukan banyak kegiatan.
Hal ini karena mereka takut “episode” skizofrenia akan
kambuh kembali.
Bipolar disorder
Tanda khas dari orang dengan bipolar disorder adalah perubahan
suasana hati dalam waktu singkat. Ada fase di mana mereka merasa
sangat bahagia dan bersemangat, dinamakan “episode manic”. Ada
pula fase ketika mereka merasa sangat sedih dan depresi, dinamakan
“episode depresif”.
Cara untuk memastikan apakah seseorang benar-benar mengalami
bipolar disorder, yakni ketika mereka mengalami episode manic yang
benar-benar bahagia sampai mendadak berubah drastis menjadi
episode depresif parah. Kejadian ini biasanya bisa berlangsung dalam
hitungan waktu yang cepat, seperti:
 Hiperaktif
 Penuh energi
 Sangat bahagia
 Sangat gelisah
 Mudah marah
 Berpikir untuk bunuh diri ketika episode depresif sudah
memburuk
c. Pengobatan
Beda tanda dan gejalanya, tentu akan berbeda pula pengobatannya.
Pemberian obat-obatan antipsikotik merupakan langkah penting untuk
membantu mencegah kambuhnya episode skizofrenia, sekaligus
memperbaiki kondisi kesehatan penderita.
Dukungan dari keluarga, pengaruh sosial, terapi bicara, serta rutin
melakukan psikoterapi, juga memberikan dampak besar terhadap
kehidupan pengidap skizofrenia.
Sedangkan bagi orang yang mengalami bipolar disorder, bukan hanya
obat antipsikotik saja yang diberikan tapi biasanya akan ditambah
dengan obat antidepresan dan pengatur mood. Dukungan dari keluarga
dan lingkungan sekitar, serta psikoterapi juga tentu dibutuhkan oleh
pengidap bipolar disorder.
Namun bedanya, psikoterapi yang diberikan pada pasien bipolar
disorder akan fokus pada mempelajar bagaimana cara mengelola
perubahan suasana hati yang terjadi tiba-tiba. Kedua kondisi kejiwaan
ini akan sama-sama berlatih untuk menghindari pemicu yang bisa
membuat episode penyakitnya kambuh, serta menjalin hubungan dan
komunikasi yang baik dengan orang sekitar.
3. Penyebab gangguan bipolar (Black Dog Institute, 2019; Yadav et al.,
2013)
Penyebab pasti gangguan bipolar tidak diketahui, akan tetapi beberapa
faktor mungkin terlibat, seperti:
1. Faktor genetik
Faktor genetik menyumbang sekitar 80% dari penyebab kondisi
tersebut. Gangguan bipolar adalah gangguan kejiwaan yang paling
mungkin diturunkan dari keluarga. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar, ada kemungkinan 10% anak mereka akan mengidap
penyakit tersebut. Jika kedua orang tua memiliki gangguan bipolar,
kemungkinan anak mereka mengalami gangguan bipolar meningkat
menjadi 40%. Namun, hanya karena salah satu anggota keluarga
menderita penyakit tersebut, bukan berarti bahwa anggota keluarga
lainnya akan mengalami gangguan bipolar.
2. Faktor lingkungan
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Timbulnya gangguan
bipolar kadang-kadang dapat dikaitkan dengan peristiwa kehidupan
yang penuh tekanan. Orang dengan gangguan bipolar
3. Zat
Zat kimia otak yang penting
a. Norepinefrin dan 5 hidroksitritamin (Serotonin) telah secara
konsistensi dikaitkan dengan gangguan mood psikiatris seperti
depresi dan depresi bipolar.
b. Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter diotak yang
mempengaruhi suasana hati seseorang. . Ketidakseimbangan
biokimia di otak yang dapat membuat seseorang rentan
mengalami episode mood. Adapun penelitian yang
mengungkapkan bahwa gangguan bipolar disebabkan karena
adanya serotonin yang abnormal diotak.
Selain itu, Antidepresan dapat memicu episode manik atau
hipomanik pada beberapa orang. Zat tertentu dapat
menyebabkan tinggi yang menyerupai mania. yakni:
- obat-obatan seperti kokain, ekstasi, dan amfetamin
- obat untuk masalah hormonal seperti prednison atau
kortikosteroid lainnya
- kafein dalam jumlah yang sangat besar.
4. Tanda dan gejala bipolar berdasarkan episode yaitu (American Psychiatric
Association, 2013)
1) Episode manik
Pada tahap manik, suasana hati meningkat secara abnormal dan
terus menerus, mudah tersinggung, dan berlangsung selama 1
minggu dan muncul setiap hari. Gejala yang muncul yaitu harga
diri yang melambung, tidur kurang, lebih banyak bicara dari
biasanya, mudak terdistraksi, aktivitas yang berlebih tidak seperti
biasanya, aktivitas yang berpotensi menimnulkan konsekuensi
yang menyakitkan atau merugikan, dan gangguan mood yang
cukup parah yang mengganggu fungsi sosial atau pekerjaan.
2) Episode Hipomanik
Pada tahap hipomanik, suasana hati meningkat secara abnormal
dan terus-menerus, mudah tersinggung, dan berlangsung selama 4
hari berturut-turut dan muncul hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari. Gejala yang mungkin muncul yaitu harga diri yang
melambung, tidur kurang, lebih banyak bicara dari biasanya,
mudak terdistraksi, aktivitas yang berlebih tidak seperti biasanya,
aktivitas yang berpotensi menimnulkan konsekuensi yang
menyakitkan atau merugikan, dan gangguan mood yang cukup
parah yang mengganggu fungsi sosial atau pekerjaan.
3) Episode Major Depressive
Pada tahap ini terdapat ≥5 gejala telah muncul selama 2 minggu
dan menunjukkan perubahan dari fungsi sebelumnya. Gejala pada
tahap ini yaitu suasana hati tertekan hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari (misal merasa sedih, kosong, atau putus asa) atau
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misal tampak
menangis), pada anak-anak dan remaja menjadi mudah
tersinggung; berkurangnya minat atau kesenangan pada hampir
semua atau semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap
hari; penurunan berat badan yang signifikan saat tidak berdiet atau
penambahan berat badan atau penurunan atau peningkatan nafsu
makan hampir setiap hari; insomnia atau hipersomnia hampir
setiap hari; agitasi atau keterbelakangan psikomotor hampir setiap
hari; kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari; perasaan
tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas
hampir setiap hari; berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau
berkonsentrasi hampir setiap hari; pikiran kematian yang berulang,
ide bunuh diri yang berulang tanpa rencana khusus, atau usaha
bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh diri.
5. Psikopatologi penyakit bipolar
6. Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada bipolar disorders
(PPNI, 2017)
1) Kecemasan
Kecemasan dapat muncul dalam bipolar disorder dikarenakan
gangguan alam emosional dimana penderita bipolar disorder
memiliki emosi yang berubah rubah dalam satu waktu penderita
bisa merasa cemas, tampak gelisah dan tegang sehingga
menimbulkan sulitnya tidur
2) Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan dalam bipolar disorders terjadi dikarenakan
gangguan emosional dimana penderita tidak mampu berfikir secara
logis, sehingga menimbulkan penyangkalan pada proses fikirnya.
Tanda gejala yang muncul yaitu ekspresi muka murung
3) Berduka / kehilangan
Berduka/kehilangan dapat terjadi pada bipolar disorder
dikarenakan respon psikososial yang ditunjukan seperti merasa
sedih, merasa bersalah dan merasa tidak ada harapan.
4) Deficit perawatan diri
Defisit perawatan diri pada bipolar disorder terjadi dikarenakan
gangguan psikologis/gangguan emosional. Dimana ketika
emosional penderita turun maka akan timbul penolakan untuk
perawatan diri dan tidak bermintas melakukann perawatan diri
5) Resiko bunuh diri
Resiko bunuh diri dapar terjadi dikarenakan emosi penderita turun
sehingga menyebabkan merasa putus harapan dan penderita
berpikir tidak mampu mengatasi masalah sehingga memicu
terjadinya resiko bunuh diri.
6) Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan dapat terjadi pada bipolar disorder dikarenakan
ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah sehinggal dapat
menyebabkan gejala mengancam, menyerang orang lain, melukai
diri sendiri/orang lain ataupun perilaku agresif, yang pada akhirnya
dapar menimbulkan perilaku agresif/amuk
7. Pengertian Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh
gelisah tak terkontrol (Malfasari et al., 2020). Perilaku kekerasan
merupakan suatu bentuk perilaku untuk melukai atau mencederai diri
sendiri, orang lain, atau lingkungan baik secara verbal maupun fisik.
Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi yaitu
dari memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada
melukai dalam tingkat serius dan membahayakan (Stuart &Laraia,
2001;2005; 2009) didalam (Siauta et al., 2020)).
8. Prevalensi perilaku kekerasan pada penderita gangguan jiwa
Jumlah penderita gangguan jiwa didunia adalah sekitar 450 jiwa
(WHO, 2017). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2018) prevalensi
gangguan emosional atau gangguan kejiwaan pada penduduk 15 tahun
keatas meningkat dari 6% ditahun 2013 menjadi 9,8% di tahun 2018.
Di Jawa Barat jumlah penderita gangguan jiwa sebanyak 5%, orang
dengan gangguan jiwa diindonesia lebih banyak di pedesaan 7%
dibandinkan dengan perkotaan 6,4%. Berdasarkan 20 studi termasuk
18.423 penderita gangguan jiwa skizofrenia menunjukan resiko
perilaku kekerasan, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh penderita
skizofrenia yaitu 13,2% lebih besar dibandingkan populasi pada
umumnya yaitu sebesar 5,3%. Prevalensi perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh orang dengan skizofrenia adalah 19,1% (Swanson,
2006: dalam Setiawan et al., 2015) .
9. Penyebab terjadinya Perilaku
Kekerasan (Kandar & Iswanti, 2019)
- Faktor Predisposisi:
a. Faktor Psikologis
1. Kepribadian yang tertutup
Individu yang memiliki kepribadian tertutup merupakan
penyebab dari seseorang mengalami gangguan jiwa, kepribadian
yang tertutup tidak pernah mengungkapkan atau menceritakan
permasalahannya membuat individu menyimpan seluruh beban-
beban permasalahan di jiwanya.

2. Kehilangan
Perasaan kehilangan yang sangat mendalam yang dialami oleh
seseorang merupakan penyebab dari seseorang mengalami
gangguan jiwa, yang menyebabkan partisipan bisa dirawat di
rumah sakit jiwa.
3. Aniaya Seksual
4. Kekerasan dalam Keluarga
b. Faktor sosial budaya
1. Pekerjaan
Faktor status sosioekonomi yang rendah menjadi penyumbang
terbesar adanya gangguan jiwa dan menyebabkan perilaku
agresif dibandingkan dengan pada seseorang yang memiliki
tingkat perekonomian tinggi. Rendahnya tingkat sosial ekonomi
atau kemiskinan, berhubungan dengan ketersediaan informasi
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan pemenuhan
kebutuhan yang lain termasuk pelayanan kesehatan. Kondisi
seperti ini akan menyebabkan keterbatasan dalam penyelesaian
masalah dan akhirnya merasa frustasi dengan kondisinya serta
merasa iri jika melihat kemampuan yang dimiliki orang lain,
seseorang merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain
dan lingkungan

2. Pernikahan
Tidak terpenuhinya atau kegagalan dalam memenuhi tugas
perkembangan pada masa perkawinan merupakan stresor bagi
individu. Rasa malu dan marah dapat menimbulkan frustasi bagi
penderita sehingga mengakibatkan penderita cenderung
mengalami perilaku maladaptif.
- Faktor Presipitasi
1. Putusnya Obat
Peran obat sangat penting dalam mengontrol perubahan-
perubahan kimia yang terjadi di dalam otak sehingga
pemantauan akan penggunaan obat sangat diperlukan dalam
mengatasi perilaku kekerasan.
2. Psikologis
Teori psikoanalitik menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan
dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah.
3. Sosial Budaya
Konflik lingkungan ini sering menjadi salah satu faktor
presipitasi bagi penderita untuk kembali dirawat di Rumah Sakit
Jiwa atau meningkatkan kekambuhan resiko perilaku kekerasan
seseorang. Kondisi seseorang seperti kelemahan fisik (penyakit
fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
10. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Tanda dan gejala perilaku kekerasan yaitu (Amimi et al., 2020):
- Muka merah dan tegang,
- Pandangan tajam atau mata melotot,
- Mengepalkan tangan,
- Mengatupkan rahang dengan kuat,
- Bicara kasar,
- Suara tinggi atau berteriak,
- Mengancam secara verbal dan atau fisik,
- Melempar atau memukul benda,
- Memukul orang lain,
- Merusak benda,dan
- Tidak mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.
11. Dampak dari perilaku kekerasan
Dampak perilaku kekerasan yang dilakukan pasien terhadap
dirinya sendiri adalah kehilangan kontrol. Tindakan yang dapat
dilakukan seperti bunuh diri (suicide), membunuh orang lain
(homicide), dan merusak lingkungan. Sedangkan, dampak perilaku
kekerasan bagi keluarga yaitu merasa takut terhadap perilaku
kekerasan pasien seperti menyerang atau mengancam orang lain
dengan senjata. Keluarga pasien seringmenjadi korban kekerasan yang
dilakukan oleh pasien sehingga ini sangat berhubungan dengan alasan
pasien dibawa ke RSJ (PH & Suerni, 2019).
12. Cara mengontrol/ mencegah emosi (minimal 2 EBP)
Relaksasi nafas dalam merupakan salah satu tindakan yang
dilakukan untuk mengontrol marah. Teknik relaksasi nafas dalam
dapat dilakukan secara sederhana yang terdiri dari napas abdomen
dengan frekuensi lambat dan berirama. Klien dapat memejamkan
matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan
lambat bersama setiap inhalasi (hirup, dua, tiga) dan ekshalasi
(hembuskan, dua, tiga).
Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu
bila menghitung dengan keras bersama klien pada awalnya. Napas
yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi.
Teknik relaksasi juga tindakan pereda nyeri non invasive lainnya,
mungkin memerlukan latihan sebelum klien menjadi terampil
menggunakannya. Berdasarkan hasil penelitian (Safitri & Saswati,
2019) bahwa terdapat pengaruh teknik relakasi nafas dalam terhadap
kemampuan mengontrol marah karena setelah klien melakukan
relaksasi nafas dalam dan ketika ditanya-tanya oleh peneliti klien
terlihat lebih tenang, rileks dan klien juga terlihat lebih terbuka ketika
di tanya-tanya oleh peneliti.

A. Latihan Teknik Napas Dalam


a. Pengertian
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu tindakan keperawatan
dengan menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat
menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah juga
dapat menurunkan tingkat kecemasan (gelisah).

b. Tujuan
Tujuan teknik relaksasi napas untuk mengurangi stress baik stress fisik
maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan
kecemasan.

c. Manfaat
1) Pasien mendapatkan perasaan yang tenang dan nyaman
2) Mengurangi rasa nyeri
3) Pasien tidak mengalami stress
4) Melemaskan otot untuk menurunkan ketegangan dan kejenuhan
yangbiasanya menyertai nyeri
5) Mengurangi kecemasan yang memperburuk persepsi nyeri
6) Relaksasi nafas dalam mempunyai efek distraksi atau penglihatan
perhatian
d. Prosedur
Prosedur teknik relaksasi napas dalam terdiri dari :
1) Ciptakan lingkungan yang tenang
2) Usahakan tetap rileks dan tenang
3) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan
udara melalui hitungan 1,2,3
4) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil
merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
5) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui
mulut secara
perlahan-lahan
7) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
8) Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam
9) Pada saat konsentrasi pusatkan pada hal-hal yang nyaman
10) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga ansietas terasa
berkurang selama 1-3 menit
Selain relaksasi napas dalam spiritual juga dapat mengontrol emosi
pada pasien perilaku kekerasan. Spiritual adalah keyakinan dalam
hubunganya dengan yang maha kausa dan pencipta. Sebagai contoh
seseorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta atau sebagai
maha kuasa. Wudhu merupakan mengguanakan air untuk anggota-
anggota tubuh tertentu (wajah, dua tangan, kepala, dua kaki).
Aktivitas yang dilakukan oleh orang untuk mensucikan diri dari
hadast dan cara membersihkan nasjis kecil dengan menggunakan air
yang dilakukan dalam agama islam sebelum melakukans holat. Dan
apabila ada keinginan marah muncul hendaknya berwudhu.
Berdasarkan hasil penelitian (Wardhani et al., 2020)pada pasien
Resiko Perilaku Kekerasan dengan melihat proses pasien berwudhu,
maka diperoleh kesimpulan bahwa dengan berwudhu sesuai dengan
tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dan menghayati setiap
basuhan dan gerakan- gerakan wudhu serta adanya motivasi dari
dalam diri untuk tetap mempertahankan wudhu sehingga membuat
semua subjek mampu mengatasi hambatan dan tantangan.
Selain itu melalui proses pembiasaan selama 6 hari membiasakan
berwudhu, pasien dapat merasakan manfaat wudhu bagi fisik maupun
psikis karena wudhu yang dimaknai pasien sebagai adanya perasaan
nyaman, damai, tenteram, bahagia karena dapat terjaga dan terhindar
dari hal-hal yang negatif, terhindar dari amarah yang berlebihan,
adanya perasaan tenang karena mendapat kemudahan untuk beribadah
setiap saat. Ketenangan itu berupa ketenangan pada aspek kognitif,
afektif dan spiritual pasien.
Salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk
mengontrol perilaku kekerasan adalah terapi religious atau spritual,
yaitu suatu terapi yang dilakukan dengan cara mendekatkan diri klien
terhadap kepercayaan yang dianutnya. Bentuk dari terapi spritual
diantaranya adalah dzikir dan mendengarkan Al-Qur’an. Berzikir
kepada Allah adalah ibadah sunnah yang teramat mulia. Dzikir adalah
peringatan doa yang paling tinggi yang di dalamnya tersimpan
berbagai keutamaan dan manfaat yang besar bagi hidup dan
kehidupan kita. Bahkan kualitas kita di hadapan Allah sangat
dipengaruhi oleh kualitas dzikir kita kepada-Nya.
Berdasarkan hasil penelitian (Ernawati et al., 2020) ada pengaruh
antara pelaksanaan terapi spiritual terhadap kemampuan pasien
mengontrol perilaku kekerasan. Mendengarkan Al-Qur’an atau
murottal adalah pembacaan Alqur’an dengan menggunakan tajwid
yang benar dan berirama. Sesuai dengant eori yang mengatakan
bahwa terapi spiritual apabila dilafalkan secara baik dan benar dapat
membuat hati menjadi tenang dan rileks. Terapi spiritual (dzikir dan
mendengarkan bacaan Al-qur’an) juga dapat diterapkan pada pasien
perilakukekerasan, karena ketika pasien melakukan terapi spiritual
dengan tekun dan memusatkan perhatian yang sempurna (khusu’)
dapat memberikan dampak saat perilaku kekerasan yang juga
memiliki masalah keperawatan halusinasi pendengaran yang dapat
membuat pasien melakukan kekerasan itu dapat menghilangkan
suara-suara yang tidak nyata dan lebih dapat menyibukkan diri
dengan melakukan terapi spiritual: dzikir dan mendengarkan bacaan
Al- Qur’an.
Bentuk dari terapi spiritual diantaranya adalah dzikir dan
mendengarkan Al-qur’an. Salah satu tindakan yang dapat
menurunkan perilaku kekerasan adalah dengan terapi spiritual dzikir
(subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar) sebanyak 33 kali dan
mendengarkan bacaan Al-qur’an (surah Ar-Rahman) yang dibacakan
langsung oleh petugas terapi keagamaan Rumah Sakit Khusus Daerah
Dadi Provinsi Sulawesi Selatan. Mendengarkan bacaan Al-qur’an
dapat menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormone
endorfinalami, meningkatkan perasaan rileks dan mengalihkan
perhatian dari rasa takut, cemas, dan tegang, serta memperbaiki
system kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta
memperlambat pernafasan, detak jantung denyut nadi dan aktivitas
gelombang otak. Laju pernapasan yang lebih dalam atau lebih lambat
tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi,
pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.
Dengan demikian diberikan terapi spiritual mendengarkan bacaan Al-
qur’an bisa menjadi lebih rileks dan tenang sehingga menurunkan
tingkat emosi pada pasien perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder. 4th Edition. Text Revision, Washington DC. American
Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders: DSM-5 (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric
Publishing.
Amimi, R., Malfasari, E., Febtrina, R., & Maulinda, D. (2020). Analisis Tanda
dan Gejala Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 3(1), 65. https://doi.org/10.32584/jikj.v3i1.478
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Teori, A. A. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia
Pustaka. Retrieved from http://rsjiwajambi.com/wp
content/uploads/2019/09/Buku_Ajar_Keperawatan_Kesehatan_Jiwa_Teori-
dan-Aplikasi-Praktik-Klinik-1.pdf
Black Dog Institute. (2019). Causes of Bipolar Disorder . Black Dog Institute.
https://www.blackdoginstitute.org.au/resources-support/bipolar-
disorder/causes/
Ernawati, E., Samsualam, S., & Suhermi, S. (2020). Pengaruh Pelaksanaan Terapi
Spiritual Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Perilaku Kekerasan.
Window of Health : Jurnal Kesehatan, 3(1), 49–56.
https://doi.org/10.33368/woh.v0i0.250

Healthline. (2018). Differences Between Bipolar Disorder and


Schizophrenia. https://www.verywellmind.com/differences-between-bipolar-
disorder-and-schizophrenia-379873
Heathline. (2020). Bipolar Disorder and Schizophrenia: What Are the Differences.
https://www.healthline.com/health/bipolar-disorder/bipolar-vs-
schizophrenia#bipolar-disorder-vs-schizophrenia
Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi Pasien
Resiko Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149.
https://doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226
PH, L., & Suerni, T. (2019). Faktor Predisposisi Pasien Resiko Perilaku
Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149.
https://doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1 Cetakan III
(Revisi). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Riskesdas. (2018). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018. Kementerian
Kesehatan RI, 171–176.
Safitri, R., & Saswati, N. (2019). Teknik Relaksasi Nafas Dalam Berpengaruh
Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Klien Skizofrenia Deep Breathing
Relaxation Techniques Affect The Ability to Control Anger in Schizophrenic
Patients. Journal of Helthcare Technology and Medician, 5(1), 45–55.
Setiawan, H., Keliat, B. A., & Wardani, I. Y. (2015). Tanda Gejala Dan
Kemampuan Mengontrol Perilaku Kekerasan Dengan Terapi Musik Dan
Rational Emotive Cognitif Behavior Therapy.

Wardhani, I. K., Prabowo, A., & Brilianti, G. B. (2020). Efektifitas Terapi


Spiritual Wudhu Untuk Effectiveness of Spiritual Therapy for Ablution To
Control Emotion in Patient With Violent Behavior in Surakarta ’ S
Psychiatric Hospital. Trends of Nursing Science, 1, 74–78.
WHO. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders. Obstetrics and
Gynecology, 48(1), 56–60.
Yadav, J., Sharma, S. K., Singh, L., Singh, T., & Chauhan, D. (2013). Bipolar
Disorder in Adults. International Research Journal of Pharmacy, 4(6), 34–38.
https://doi.org/10.7897/2230-8407.04608

Anda mungkin juga menyukai