Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN PSIKOTIK AKUT TAK TERINCI DENGAN

MASALAH KEPERAWATAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

1. Etiologi
Etiologi spesifik gangguan psikotik akut tidak diketahui, tetapi terdapat faktor-faktor
yang berperan terhadap terjadinya penyakit ini. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
genetik, biologi, dan kepribadian.
a. Factor genetic
Seseorang memiliki peningkatan risiko sebesar 2 kali lipat ketika memiliki faktor
risiko genetik (terutama pada first-degree relative, seperti hubungan langsung antara
ayah atau ibu dan anak) dibandingkan tanpa riwayat genetik.
b. Factor biologi
Komponen biokimia dan fisiologi didasarkan pada hipotesis dopamin di dalam otak
yang mengalami peningkatan terutama pada area mesolimbik sehingga memunculkan
gejala seperti delusi, halusinasi, perilaku bizarre dan pembicaraan yang kacau.
c. Faktor Ciri Kepribadian
Kepribadian schizoid sering menjadi kepribadian dasar seseorang yang mengalami
gangguan psikotik akut. Seseorang dengan kerentanan terhadap masalah, pendiam,
tertutup, selalu memilih aktivitas sendiri, kurang bisa menunjukkan kehangatan dalam
sosial dan aspek hidup, kurang bisa menerima kritik memiliki kerentanan mengalami
gangguan psikotik akut.
2. Patofisiologi
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada pasien
dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau psikologis
terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat, ancaman
terhadap kebutuhan seperti peristiwa traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan,
kecelakaan, sakit parah, kematian orang yang dicintai, dan status imigrasi tidak pasti,
dapat memicu munculnya psikotik akut.
3. Definisi
Gangguan psikotik akut merupakan kelompok gangguan heterogen yang terjadi
secara akut dengan gejala seperti waham, halusinasi, gangguan persepsi, dan
gangguan berat dari perilaku biasa. Gangguan ini biasanya terjadi dalam durasi
singkat dengan respon yang baik terhadap pengobatan.
4. Tanda gejala
a. Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misalnya,
mendengar suara yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak
ada bendanya).
b. Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat
diterima oleh kelompok sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa
mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa
diamati/diawasi oleh orang lain).
c. Agitasi atau perilaku aneh (bizar)
d. Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
e. Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel)
5. Factor risiko
6. Pemeriksaan
7. Penatalaksanaan
a. Medika mentosa
Antipsikotik merupakan penatalaksanaan yang utama. Antipsikotik efektif mengobati
“gejala positif” pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity)
dan mencegah kekambuhan. ntipsikotik tipikal (konvensional) dan atipikal
(generasike-2) sama-sama efektif dalam mengobati gejala positif, tetapi mempunyai
riwayat efek samping yang berbeda.
- Antipsikotik konvensional : seperti Haldol(haloperidol), Stelazine
(trifluoperazine), Mellaril (thioridazine), Thorazine(chlorpromazine), Navane
(thiothixene), Trilafon (perphenazine), Prolixin(fluphenazine).
- Antipsikotik atipikal : seperti risperidone, olanzapine, paliperidone.
b. Terapi psikososial
- Terapi perilaku
Latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis,dan komunikasi interpersonal.
- Terapi kelompok
Efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien psikotik akut.
- Psikoterapi individual
Berfokus untuk membantu individu dalam mengatasi masalah pribadi mendasar.
8. Komplikasi
Psikotik akut yang tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan komplikasi-
komplikasi sebagai berikut yaitu seperti keinginan atau usaha bunuh diri, perilaku
merusak diri sendiri, depresi, penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang, maupun
obat yang diresepkan, pengurungan, konflik keluarga, tidak mampu bekerja atau
bersekolah, masalah kesehatan akibat penggunaan obat antipsikotik, menjadi pelaku
ataupun korban kejahatan, terkena penyakit jantung atau paru- paru.

1. Definisi rpk
Nanda (dalam Sutejo 2017) menyatakan bahwa risiko perilaku kekerasan
merupakan perilaku seseorang yang menunjukan bahwa ia dapat membahayakan
diri sendiri atau orang lain atau lingkungan baik secara fisik, emosional, seksual,
dan verbal.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berupa bunuh diri atau melukai diri
atau menelantarkan diri. Perilaku kekerasan pada orang lain berupa tindakan
agresif yang ditujukan untuk melukai dan membunuh orang lain. Sedangkan
perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan
seperti memecah kaca genting, membanting, melempar semua hal yang ada di
lingkungan.
2. Rentang respon (Nurhalimah 2016)
Asertif :Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Kegagalan mecapai tujuan karena tidak realistis atau terhambat
Pasif :Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan perasaannya
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
3. Tanda gejala
Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan: (Yosep, 2011)
1. Fisik: muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan
mengepal, postur tubuh kaku, jalan mondar mandir.
2. Verbal: bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam
secara fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor.
3. Perilaku: melempar atau memukul benda pada orang lain, menyerang orang
lain atau melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk atau agresif.
4. Emosi: tidak ade kuat, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan,
mengamuk, menyalahkan dan menuntut.

4. SP RPK

a. SP 1 Kontrol resiko perilaku kekerasan dengan cara fisik

b. SP 2 Kontrol resiko perilaku kekerasan dengan cara minum obat

c. SP 3 Kontrol rpk dengan cara verbal

d. SP 4 Kontrol rpk dengan spiritual

5. EBN

PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP PASIEN


RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD DR AMINO GONDOHUTOMO
PROVINSI JAWA TENGAH
Nuriza Choirul Fhadilah*); Wien Soelistyo Adi ; Shobirun

Dari hasil penelitian terhadap 33 responden resiko perilaku kekerasan yang diberikan
terapi relaksasi otot progresif, Terdapat pengaruh terapi relaksasi otot progresif pada
pasien resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa
Tengah. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dengan diberikan terapi relaksasi otot
progresifakan dapat mengurangi ketegangan otot, kecemasan, kelelahan, pengontrolan
marah sehingga akan mempengaruhi status mental klien terutama pada pasien resiko
perilaku kekerasan. Dengan dilakukan pemusatan perhatian pada otot yang tegang
kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi, untuk
mendapatkan perasaan rileks, memberikan kenyamanan pada pasien sehingga
mempengaruhi status mental pasien.

Anda mungkin juga menyukai