Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMASI INDUSTRI

PENGUJIAN SEDIAAN DEODORANT LOTION

Dosen Pengampu:

Apt., Umi Fatmawati M.Farm.,Klin

Disusun Oleh Kelompok 2:

Erlangga Eka Suryanto (1804101008)

Neng Putri Mileniriana (1804101018)

Siti Zulaika (1804101020)

Rindi Alviravionita (1804101022)

UNIVERSITAS PGRI MADIUN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN SAINS

PROGRAM STUDI FARMASI

2021
PRAKTIKUM XIV

PENGUJIAN SEDIAAN DEODORANT LOTION

1.1 Tujuan Praktikum


1. Untuk mengetahui dan memahami pengujian sediaan deodorant
2. Untuk mempraktikkan evaluasi mutu sediaan deodorant

1.2 Dasar Teori


Kulit merupakan selubung yang elastic yang melindungi dari
pengaruh lingkungan (Arif A, 2003). Kulit juga merupakan organ terbesar
pada tubuh manusia, melapisi otot-otot dan organ-organ dalam. Pada kulit
jalinan jaringan pembuluh darah, saraf dan kelenjar yang tidak berujung,
semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit. Kulit melindungi
tubuh dari trauma, benteng pertahanan terhadap bakteri, virus dan jamur.
Bau badan sangat berhubungan dengan sekresi keringat seseorang dan
adanya pertumbuhan mikroorganisme, serta makanan dan bumbubumbuan
yang berbau khas seperti bawang (Anonim,2009). Keringat merupakan
hasil sekresi dari kelenjar-kelenjar yang bermuara pada kulit berupa
sebum, asam lemak tinggi dan debris (pigmen yang terkumpul ; sisa hasil
metabolisme pada kulit), oleh karena itu keringat dapat membantu
terbentuknya produk yang berbau, hasil dekomposisi atau penguraian oleh
bakteri. Bau badan lebih tercium pada daerah dengan kelenjar apokrin
yang lebih banyak, seperti pada ketiak (aksila) dan daerah genital
(Mutschler, 1991 ; Rikowski et.,al., 1999).
Meningkatnya penggunaan deodoran disebabkan pergaulan modern
dalam hal kebersihan badan, sehingga dirasa perlu untuk mengurangi atau
menghilangkan bau badan, yang disebabkan perubahan kimia keringat
oleh bakteri (Gros dan Keith, 2009). Bentuk sediaan deodoran dapat
berupa bedak, cairan atau losio, krim, stick, spray atau aerosol (Leon dan
David, 1954). Dermatitis akibat deodoran antiperspiran biasanya
disebabkan oleh senyawa-senyawa aluminium, antiseptik, dan zat
pewangi. Iritasi ini dapat berkurang jika penggunaan dikurangi, iritasi
terjadi karena pH yang rendah, kandungan klorida yang tinggi dan adanya
pelarut alkohol dalam sediaan (Swaile, dkk., 2011). Reaksi yang terjadi
biasanya dalam bentuk reaksi iritasi, bukan sensitisasi. Reaksi terjadi di
ketiak dan bagian-bagian badan lainnya dimana deodoran dikenakan.
Penghentian pemakaian biasanya meredakan reaksi dengan cepat
(Tranggono dan Latifah, 2007).
Deodoran adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk menyerap
keringat, menutupi bau badan dan mengurangi bau badan (Rahayu, dkk.,
2009). Deodoran dapat juga diaplikasikan pada ketiak, kaki, tangan dan
seluruh tubuh biasanya dalam bentuk spray (Egbuobi, dkk., 2013). Bahan
aktif yang digunakan dalam deodoran dapat berupa: (Wasitaatmadja, 1997,
Butler, 2000).
a. Pewangi (parfum); untuk menutupi bau badan yang tidak disukai.
Dengan adanya pewangi maka deodoran dapat digolongkan dalam
kosmetik pewangi (perfumery).
b. Pembunuh mikroba yang dapat mengurangi jumlah mikroba pada
tempat asal bau badan.
1. Antiseptik: pembunuh kuman apatogen atau patogen,
misalnya heksaklorofen, triklosan, triklokarbanilid, amonium
kwartener, ion exchange resin.
2. Antibiotik topikal: pembunuh segala kuman, misalnya
neomisin, aureomisin. Pemakaian antibiotik tidak dianjurkan
karena dapat menimbulkan resistensi dan sensitisasi.
3. Antienzim yang berperan dalam proses pembentukan bau,
misalnya asam malonat, metal chelating, klorofil. Dosis yang
diperlukan terlalu tinggi sehingga dapat menimbulkan efek
samping.
c. Eliminasi bau (odor eliminator); yang dapat mengikat, menyerap,
atau merusak struktur kimia bau menjadi struktur yang tidak bau,
misalnya seng risinoleat, sitronelik senesiona, ion exchange resin.

1.3 Alat dan Bahan


Alat: Bahan:
1. Beker glass 1. Deodorant
2. Batang pengaduk 2. Aquadest
3. Kertas lakmus
4. pH indicator
5. Viskositas

1.4 Prosedur
a. Uji Organoleptis
1. Dilakukan dengan mengamati sediaan berupa bau dan warna
sediaan deodorant
2. Lalu catat hasil yang diperoleh
b. Uji homogenitas
1. Menyiapkan sediaan deodorant
2. Aplikasikan deodorant ke kulit untuk melihat apakah merata
atau tidak
3. Lalu diamati dan dicatat hasilnya
4. Kemudian untuk melihat ada homogeny atau tidak suatu
sediaan, larutkan deodorant menggunakan aquadest dalam
beaker glass.
5. Kemudian diaduk hingga homogeny, diamati apakah ada
komponen deodorant yang tidak tercampur merata.
c. Uji pH
1. Menyiapkan bahan, pH indicator serta kertas lakmus.
2. Sediaan deodorant dilarutkan menggunakan aquadest sebanyak
20 ml dalam beker glass
3. Kemudian diaduk dengan batang pengaduk.
4. Celupkan indicator pH dalam larutan deodorant, amati
perubahan pH indicator dan catat hasilnya
5. Ulangi langkah ke empat menggunakan kertas lakmus,
kemudian amati perubahan warna lakmus dan dicatat hasilnya.
d. Uji Viskositas
1. Menyiapkan alat viskositas
2. Siapkan beker glas 250 ml, larutkan deodorant dengan aquadest.
3. Lalu letakkan beker glas pada alat viskositas dan alat
dioperasikan.
4. Dengan kecepatan 30 rpm, diamati angka pada skala viscometer
Brookfield tipe LV.
e. Uji Iritasi
1. Mengoleskan deodorant pada kulit ketiak, lalu di diamkan
selama kurang lebih 10 menit.
2. Diamati kemungkinan terjadi iritasi.
3. Jika tidak timbul reaksi diberi tanda (-), bila kulit memerah
diberi tanda (+), bila kulit memerah dan gatal diberi tanda (++),
dan bila kulit membengkak diberi tanda (+++).

1.5 Hasil Evaluasi


a. Uji Organoleptis
Sediaan Warna Bau

Deodorant Putih Harum bunga matahari dan mawar

b. Uji Homogenitas
Sediaan Homogenitas
Deodorant Tercampur merata, homogeny

c. Uji pH
Kertas Lakmus
Sediaan pH indikator
Merah Biru
Deodorant Merah Merah 5

d. Uji Viskositas
Sediaan Viskositas (cPs)
Deodorant 330
e. Uji Iritasi
Sediaan Iritasi (ya/ tidak)
Deodorant Tidak

1.6 Pembahasan
Bau badan berasal dari kombinasi antara keringat dan bakteri.
Sebenarnya, keringat tidak berbau tetapi bakterilah yang membuat bau
badan itu karena umumnya bakteri melakukan aktivitas di lingkungan
yang lembab dan basah. Proses pengeluaran keringat merupakan aktivitas
alami yang dilakukan oleh tubuh. Keringat dihasilkan oleh dua kelenjar,
yaitu kelenjar ekrin dan kelenjar apokrin. Kelenjar ekrin memproduksi
keringat bening dan tidak berbau, biasanya terdapat di tangan, punggung
serta dahi. Sedangkan kelenjar apokrin terdapat di tempat – tempat
khususnya di daerah perakaran rambut, seperti ketiak, hidung, kemaluan,
juga di daerah lipatan paha dan jari kaki (Depkes RI, 1995).
Banyak cara dilakukan untuk menghilangkan bau badan. Salah satu
cara yang banyak dipakai saat ini yaitu dengan menggunakan deodoran.
Deodoran bekerja dengan cara mengurangi pertumbuhan bakteri penyebab
bau badan sehingga deodoran dapat mengurangi bau badan. Bentuk
deodoran antara lain cairan (liqiuid), aerosol, gel, bedak dan stik tetapi
umumnya yang sering digunakan adalah bentuk cairan (liquid).
Praktikum kali ini merupakan praktikum pengujian sediaan
deodorant lotion. Deodorant sendiri merupakan sediaan kosmetika yang
digunakan untuk menyerap keringat, menutupi bau badan dan mengurangi
bau badan (Rahayu, dkk., 2009). Pengujian mutu deodorant diuji pada
suhu kamar (28 - 30⁰C) meliputi uji organoleptis, uji homogenitas, uji pH
menggunakan kertas lakmus dan pH indicator, uji iritasi serta uji
viskositas.
Uji organoleptis yaitu uji yang dilakukan dengan cara mengamati
warna sediaan deodorant secara visual dengan mata telanjang dan menguji
bau sediaan dengan cara mencium bau dari yang dihasilkan. Hasil
pengujian diperoleh warna sediaan putih dan memiliki bau harum bunga
matahari denga kombinasi mawar.
Uji homogenitas yaitu pengamatan yang dilakukan dengan melihat
apakah terjadi pemisahan antar komponen pada sediaan. Hasil pengujian
diperoleh sediaan homogeny, tidak terdapat partikel atau komponen yang
terpisah. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan memenuhi persyaratan mutu
yaitu homogeny.
Uji pH dilakukan pengujian pH menggunakan kertas lakmus dan pH
indicator. Kulit ketiak memiliki pH yang cenderung lebih asam hal ini
mungkin disebabkan oleh tingginya asupan makanan yang bersifat asam
dimana konsumsi perharinya hingga mencapai 80-95%, dengan melihat
tingginya asupan makanan yang bersifat asam maka sudah barang tentu
limbah yang dikeluarkan melalui alat eksresi yang salah satunya adalah
kulit ketiak bersifat asam pula. Kulit ketiak memiliki pH yang berbeda
dengan pH fisiologis kulit pada umumnya dimana pH fisiologis kulit
sekitar 4,5-6,5 sedangkan pH kulit ketiak pada umumnya 3,9-4,2. Hasil
pengujian diperoleh hasil pH yaitu 5 yang menunjukkan bahwa pH tidak
signifikan dengan pH kulit ketiak. Faktor penyebabnya karena pengaruh
suhu ruangan yang tidak konstan saat melakukan pengukuran. Pengukuran
pH menggunakan alat pH meter digital sangat sensitif terhadap perubahan
suhu pada saat pengukuran, maka diduga perubahan pH yang tidak
signifikan akan terjadi.
Penentuan viskositas bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan
kekentalan pada tiap sediaan deodorant. Uji viskositas dilakukan dengan
mengamati angka pada skala viscometer bookfield tipe LV dengan
kecepatan tertentu. Kecepatan pada uji viskositas kali ini yaitu 30 rpm.
Sediaan deodorant dilarutkan dalam aquadest terlebih dahulu lalu
diletakkan pada beker glass lalu diputar dengan kecepatan 30 rpm sampai
viscometer menunjukkan pada skala yang konstan. Hasil pengujian
viskositas deodorant diperoleh yaitu 330 cPs. Perubahan kestabilan
viskositas sediaan dipengaruhi oleh faktor suhu penyimpanan atau suhu
ruang yang mengalami penurunan. Faktor lainnya yang menyebabkan
viskositas menurun karena adanya ion Al3+ dari alumunium sulfat, dimana
karbomer 940 denga kation-kation rendah seperti Al3+ akan menyebabkan
viskositas menurun.
Uji iritasi dilakukan terhadap dua puluh orang sukarelawan secara uji
sampel terbuka (patch test). Uji sampel terbuka dilakukan dengan cara
mengoleskan sediaan deodoran pada kulit ketiak, didiamkan selama
kurang lebih 10 menit dan diamati kemungkinan terjadinya iritasi. Bila
tidak timbul reaksi diberi tanda (-), bila kulit memerah diberi tanda (+),
bila kulit memerah dan gatal diberi tanda (++), dan bila kulit membengkak
diberi tanda (+++). Hasil menunjukkan bahwa tidak ada pernyataan
keluhan efek samping maupun reaksi iritasi (alergi) pada kulit setelah
penggunaan deodoran walaupun pH sediaan deodorant lotion memiliki pH
5. ritasi tidak terjadi disebabkan adanya mantel asam kulit yang mampu
menetralisir bahan kimia yang terlalu asam atau terlalu alkalis yang masuk
ke dalam kulit. Oleh karena itu, walaupun pH sediaan deodoran adalah 5,
namun akan aman untuk diaplikasikan pemakaiannya pada kulit ketiak.

1.7 Kesimpulan
Dari pembahasan pengujian mutu sediaan deodorant tersebut
diperoleh bahwa sediaan deodorant telah memenuhi persyaratan uji mutu
dan layak untuk dipakai atau diaplikasikan. Hasil uji tersebut meliputi uji
organoleptis deodorant dihasilkan bau yang harum bunga matahari
kobinasi mawar. Sediaan homogeny tidak ada pemisahan komponen, tidak
menimbulkan iritasi dan uji viskositas dengan kecepatan 30 rpm
dihasilkan 330 cPs. pH kulit ketiak yakni umumnya 3,9 – 4,2 sedangkan
hasil pengujian diperoleh hasil pH yaitu 5 yang menunjukkan bahwa pH
tidak signifikan dengan pH kulit ketiak. Faktor penyebabnya karena
pengaruh suhu ruangan yang tidak konstan saat melakukan pengukuran.
Pengukuran pH menggunakan alat pH meter digital sangat sensitif
terhadap perubahan suhu pada saat pengukuran, maka diduga perubahan
pH yang tidak signifikan akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014, Pakai deodoran tiap hari untuk cegah bau badan. Diunduh
http://health.detik.com/read/2014/11/12/140129/2746232/775/pakai
deodoran-tiap-hari-untuk-cegah-bau-badan-wajibkah. Diakses pada
tanggal 19 Desember 2021.

Arif A, Sjamsudin U. Farmakologi dan terapi obat lokal. Edisi IV. Jakarta:
Bagian Farmakologi FKUI; 2003. Hlm. 516-7.

Butler, H. (ed.). (2000). Poucher’s Perfumes, Cosmetics and Soaps, 10th Edn.
Britain: Kluwer Academic Publishers. Hal 69-100

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia Edisi IV.


Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: 1995. Hlm.
63, 157-8, 1039-40.

Egbuobi, R. C., Ojiegbe, G. C., Dike-ndudim, J. N., dan Enwun, P. C.


Antibacterial Activities of different brands of deodorants marketed
inowerrri, imo state, Nigeria. African Journal of clinical and experimental
microbiologi 14 (1): 14-1. 2013

Gros, L., dan Keith H, 2009, Chemistry Changes Everything Deodorant and
Antiperspirant. Chemsitry Changes Everything CITiEs.
www.citieseu.org/sites/.../057_Deodorant_antiperspirant.pdf.

Leon, A. G., dan David L. Handbook of Cosmetic Materials-The Properties,


Uses and Toxic and Dermatologic Actions. Interscience Publishes Inc.:
New York. 1954.

Rahayu, S., Sherley dan Indrawati S. (2009). Deodorant-antiperspirant.


Naturakos IV (12). BPOM RI (online).

Tranggono, R.I., dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan


Kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 49, 188.
LAMPIRAN

Uji Homogenitas

Uji pH dengan kertas lakmus

Uji pH dengan pH indicator

Uji Viskositas

Anda mungkin juga menyukai