Anda di halaman 1dari 28

Wasiat Perpisahan Rasulullah 

Penjelasan dari sebuah hadits yang agung


diantara hadits-hadits Rasulullah , dan hadits ini
disebutkan oleh Imam Nawawi  didalam kitab beliau
Al-Arba’in An-Nawawiyah sebuah kitab yang masyhur
berisi 42 hadits yang mengandung pokok-pokok ajaran
agama islam. Disebutkan hadits ini di nomor 28 dan ini
menunjukan tentang kedudukan hadits ini dimata para
ulama Ahlus Sunnah wal jama’ah karena didalamnya
disebutkan tentang diantara pokok ajaran agama islam.

Senantiasa para ulama, mereka terus mendalami


dan menggali hadits-hadits Rasulullah  yang
merupakan wahyu yang Allah turunkan, sebagaimana
firman Allah  :

  ﴿


   
﴾    

“Dan tidaklah (Muhammad) berbicara dari hawa


nafsunya, apa yang dia ucapkan adalah wahyu yang
diwahyukan kepada beliau  “ (QS. An-Najm: 3-4)
Sehingga para Ulama terus mereka menggali apa
yang diucapkan oleh Nabi , mengambil faedah dan
merenungi apa yang beliau  ucapkan, dan InsyaAllah
apa yang disampaikan ini adalah bagian dari usaha
untuk menyebarkan Sunnah dan mengenalkan Hadits-
hadits Nabi  kepada umat.

Imam Nawawi  berkata :

: َ‫ْث الثَّا ِم ُن َوال ِع ْشرُوْ ن‬ ُ ‫(( ال َح ِدي‬


‫الَى‬DD‫ َي هللاُ تَ َع‬D ‫ض‬ ِ ‫اريَةَ َر‬ ِ D ‫اض ب ِْن َس‬D ِ Dَ‫ْح ال ِعرْ ب‬ ٍ ‫ع َْن أَبِي ن َِجي‬
‫لَّ َم‬D ‫ ِه َو َس‬D ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآل‬ َ ِ‫ َو َعظَنَا َرسُوْ ُل هللا‬: ‫َع ْنهُ قا َ َل‬
: ‫ا‬DDَ‫ت ِم ْنهَا ال ُعيُوْ ُن فَقُ ْلن‬ ْ َ‫ت ِم ْنهَا القُلُوْ بُ َو َذ َرف‬ ْ َ‫َموْ ِعظًةً َو ِجل‬
‫ ْي ُك ْم‬D ‫ص‬ ِ ْ‫صنَا قَا َل أُو‬ ِ ْ‫ِّع فَأَو‬
ٍ ‫يَا َرسُوْ َل هللاِ َكأَنَّهَا َموْ ِعظَةً ُم َود‬
‫أ َ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم‬DDَ‫بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو َج َّل َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوإِ ْن ت‬
‫رًا فَ َعلَ ْي ُك ْم‬D ‫ا َكثِ ْي‬DDً‫اختِالَف‬ْ ‫يَ َري‬D ‫ ٌد فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم فَ َس‬D ‫َع ْب‬
‫ا‬DDَ‫وا َعلَ ْيه‬D ‫َض‬ ِ ‫بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ال ُخلَفَا ِء الر‬
ُّ ‫ ِديِّ ْينَ ع‬D ‫َّاش ِد ْينَ ال َم ْه‬
ٌ‫الَلَة‬D ‫ض‬ َ ‫ت األُ ُموْ ِر فَإ ِ َّن ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬ ِ ‫اج ِذ َوإِيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬
ِ ‫بِالنَّ َو‬
)) ‫ح‬ َ ‫ْث َح َس ٌن‬
ٌ ‫ص ِح ْي‬ ٌ ‫ َح ِدي‬: ‫َر َواهُ أَبُوْ دَا ُو َد َوالتِّرْ ِم ِذيُّ َوقَا َل‬

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah


radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami
dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar
dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang
yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada
kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada
Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin
seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara
kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan
yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian
berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur
rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk
dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan
gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang
diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR.
Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini
hasan sahih). [HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi,
no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini sahih]

Penjelasan dari Ustadz Abdullah Roy:


‫الَى‬D‫ض َي هللاُ تَ َع‬ ِ ‫اريَةَ َر‬ ِ ‫اض ْب ِن َس‬ ِ َ‫العرْ ب‬ ِ ‫ْح‬ ٍ ‫))ع َْن أَبِي ن َِجي‬
‫لَّ َم‬D ‫ ِه َو َس‬D ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآل‬ َ ِ‫ َو َعظَنَا َرسُوْ ُل هللا‬: ‫َع ْنهُ قا َ َل‬
((‫ن‬ ُ ْ‫ت ِم ْنهَا ال ُعيُو‬ ْ َ‫ت ِم ْنهَا القُلُوْ بُ َو َذ َرف‬
ْ َ‫َموْ ِعظًةً َو ِجل‬
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah , ia
berkata, “Rasulullah  telah memberikan nasihat”
yakni nasihat yang memiliki dua sifat:
1. Wasiat tersebut membuat hati-hati kami
bergetar dan menjadikan hati kami takut
2. Menjadikan mata kami berlinang air mata.

ً‫ َموْ ِعظَة‬dalam Bahasa arab adalah nasihat yang


isisnya ada dorongan untuk melakukan sesuatu, yang
dinamakan dengan targhib atau didalamnya ada usaha
menakut-nakuti dari sesuatu, disebutkan misalnya
pahala yang besar dinamakan dengan targhib, atau
didalamnya ada tarhib yakni menakut-nakuti dari
sesuatu, disebukan tentang ancaman di dunia atau

anacaman di neraka, maka ini disebut dengan ً‫ َموْ ِعظَة‬.

Dahulu Rasulullah  melakukan ً‫ َموْ ِعظَة‬secara


jarang oleh Beliau  artinya beliau  tidak melakukan

hal ini setiap hari, ً‫ َموْ ِعظَة‬yang isinya adalah dorongan


dan juga nasihat yang isinya menakut-nakuti supaya
takut dengan maksiat, takut dengan neraka dst, beliau 
tidak melakukannya setiap hari. Disebutkan didalam
hadits “dahulu beliau  jarang melakukannya”, kenapa
demikian? Karena yang namanya hati ini bisa bosan

apabila setiap hari diberikan ً‫ َموْ ِعظَة‬sehingga itulah


hikmah beliau melakukannya secara jarang, dan

sebagian sahabat dahulu menyampaikan ً‫َموْ ِعظَة‬


sepekan sekali.

Disifati ً‫ َموْ ِعظَة‬sebagaimana yang Rasulullah 


sebutkan disini dengan dua sifat yakni:
1. Wasiat tersebut membuat hati-hati kami
bergetar dan menjadikan hati kami takut, berarti
apa yang disebutkan oleh Nabi  adalah masuk
kedalam hati sahabat , sehingga hati mereka
terpengaruh dan menjadikan hati mereka takut,
yaitu takut kepada Allah dan takut kepada
‘adzab-Nya.
2. Menjadikan mata kami berlinang air mata

menjukan bahwasannya ً‫َموْ ِعظَة‬ yang


disampaikan Nabi , adalah nasihat yang dalam.

Disebutkan dalam sebuah riwayatً‫)) )) َموْ ِعظَةً بَلِي َغة‬

“nasihat yang sangat dalam”. Nasihat yang ً‫بَلِي َغة‬


maksudnya adalah penasihatnya menggunakan kata-
kata yang fasih, dan kata-kata yang ringkas tapi
mengena didalam hati, maka dari itu apabila seseorang
ingin menasihati diutamakan memilih kata-kata yang
bisa mengena dan mempengaruhi orang yang
dinasihatinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
, dan ini juga menunjukan betapa lembutnya hari para
sahabat  sehingga mudah hati mereka bergetar ketika
mendengar sabda Nabi  dan mudah mata mereka
menangi ketika mendengar nasihat dari Nabi  dan
Allah telah memuji didalam Al-Quran orang-orang yan
beriman, dimana mereka apabila mendengar ayat-ayat
Allah  bergetar hari mereka, sebagaiman firman Allah
:
‫وْ بُهُ ْم َواِ َذا‬DDُ‫ت قُل‬ ْ َ‫ َر هّٰللا ُ َو ِجل‬D‫وْ نَ الَّ ِذ ْينَ اِ َذا ُذ ِك‬DDُ‫ا ْال ُم ْؤ ِمن‬DD‫﴿ اِنَّ َم‬
﴾ َ‫ت َعلَ ْي ِه ْم ٰا ٰيتُهٗ زَا َد ْتهُ ْم اِ ْي َمانًا َّوع َٰلى َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُوْ ۙن‬ ْ َ‫تُلِي‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman


apabila disebutkan nama Allah, maka takut hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayat Allah  maka ayat-ayat tersebut menambah
keimanan didalam hati mereka” (QS.Al-Anfal: 2)

Allah juga menceritakan sebagian orang beriman


yang lain yang apabila mereka mendengar apa yang
telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya mereka
menangis, Allah  berfirman:

ُ‫ى أَ ْعيُنَهُ ْم تَفِيض‬ ٓ ٰ ‫ َر‬D َ‫ُول ت‬


ِ ‫نز َل إِلَى ٱل َّرس‬ ُ ْ ‫﴿ َوإِ َذا َس ِمع‬
ِ ‫ُوا َمٓا أ‬
‫ٓا َءا َمنَّا‬DDَ‫ونَ َربَّن‬DDُ‫ق ۖ يَقُول‬ِّ DD‫وا ِمنَ ْٱل َح‬DD
ْ ُ‫ َّد ْم ِع ِم َّما َع َرف‬DD‫ِمنَ ٱل‬
﴾ َ‫فَٱ ْكتُ ْبنَا َم َع ٱل ٰ َّش ِه ِدين‬
“Engkau melihat mata-mata mereka mengalir air
mata, yaitu apabila mereka mendengar apa yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya, maka engkau
melihat bahwasannya mata mereka mengalir
dengan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran)
yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah
beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang
yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad).”

Ayat diatas menunjukan bagaimana para sahabat


 memiliki hati yang lembut dan hati yang keras adalah
orang yang susah bagi mereka untuk menangis karena
Allah , apabila seseorang melihat dia susah menangis
karena Allah dan susah hatinya untuk bergetar ketika
mendengar nasiha maka hendaknya dia mengoreksi
hatinya, memperbanya istighfar, dan hendaklah dia
sadar bahwasannya ini semua tidaklah terjadi karena
banyaknya dosa yang dia lakukan.

(( ً‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ َكأَنَّهَا َموْ ِعظَة‬: ‫))فَقُ ْلنَا‬


“maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah!
Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan
berpisah”.
Ketika mereka mendengar nasihat ini dan nasihat
tersebut, beliau  mengucapkan nasihat yang dalam
seakan-akan beliau  akan meninggalkan para sahabat,
sehingga sebagian sahabat berkata ‘Wahai Rasulullah!
Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan
berpisah”

ِ ْ‫))فَأَو‬
(( ‫صنَا‬
“maka berikanlah wasiat kepada kami.”

Ini adalah perkiraan sahabat melihat dari kata-


kata yang diucapkan oleh Nabi , yang dimaksud
dengan wasiat adalah nasihat yang dikuatkan bukan
nasihat yang biasa, kenapa mereka meminta nasihat?
Karena melihat dari kata-kata yang diucapkan oleh
Nabi  mengira bahwasannya Beliau  akan
meningalkan para sahabat , dan biasanya orang yang
hendak berpisah maka dia akan berwasiat dengan
wasiat yang agung, karena dia tahu bahwasannya
setelah ini dia tidak akan memberi nasihat lagi, maka
tentunya dia akan memilih wasiat-wasiat yang penting
bagi orang yang dia cinta yang sebentar lagi akan dia
tinggalkan, maka fiqih para sahabat disini ketika
mereka melihat dan mengira kata-kata orang yang akan
berpisah maka mereka meminta wasiat kepada
Rasulullah .

Akhirnya Nabi  memberikan wasiat, beliau 


mengatakan:

)) ِ ْ‫(( أُو‬
‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو َج َّل‬
"Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa
kepada Allah ”.

Ini adalah wasiat pertama yang diberikan oleh


Rasululllah  kepada para Sahabat  saat itu, dan itu
juga wasiat untuk kita semua. Wasiat paling agung dan
tidak ada wasiat yang lebih besar dan agung daripada
wasiat ini, yakni untuk bertakwa kepada Allah ,
karena merupakan sebab kesuksesan kita di dunia dan
di akhirat. Seluruh kebaikan di dunia adalah karena
sebab takwa dan seluruh kebaikan di akhirat adalah
dengan sebab takwa. Oleh karena itu Nabi 
menjadikan wasiat ini sebagai wasiat pertama sebelum
yang lain, dan ini merupakan wasiat Allah untuk
orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan
datang. Sebagaimana firman Allah :

َ َ‫وا ْٱل ِك ٰت‬D


‫ب ِمن قَ ْبلِ ُك ْم َوإِيَّا ُك ْم أَ ِن‬ ْ Dُ‫ص ْينَا ٱلَّ ِذينَ أُوت‬
َّ ‫ َولَقَ ْد َو‬...﴿
ْ ُ‫ٱتَّق‬
﴾... ۚ َ ‫وا ٱهَّلل‬

“dan Sungguh Kami (Allah) telah mewasiatkan


kepada orang-orang ahlul kitab sebelum kalian, dan
juga kalian (kaum muslimin) supaya bertakwa kepada
Allah ”.(QS.An-Nisa:4)

Ayat diatas merupakan wasiat Allah  untuk


orang-orang terdahulu dan orang yang akan datang.
Sebab itulah Rasulullah  mendahulukan wasiat takwa
kepada Allah sebelum wasiat yang lain. Karena orang
yang bertakwa dia akan mendapatkan kebaikan didunia
dan akhirat.

Diantara keutamaan bertakwa dia akan diberikan


jalan keluar dalam setiap permasalahan. Allah
mengatakan:

﴾ ‫ق هَّللا َ يَجْ َعلْ لَهُ َم ْخ َرجًا‬


ِ َّ‫ َو َم ْن يَت‬...﴿
“Barangsiap yang bertakwa kepada Allah, maka
akan diberikan kepada dia jalan keluar”. (QS.Ath-
Thallaq: 2)

Permasalahan apa saja, sepelik atau serumit


apapun apabila dia bertakwa kepada Allah  maka akan
diberikan jalan keluar. ﴿‫“ ﴾ إِ َّن هَّللا َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬Allah

Maha mampu untuk melakukan segala sesuatu”.


(QS.Ali ‘Imran: 165)

Barangsiapa yang ingin mendapatkan kemudahan


dalam setiap urusannya, urusan keluarganya,
kantornya, masyarakatnya, maka hendaklah dia
berpegang dengan takwa kepada Allah . Takwa adalah
sebab seseorang mendapatkan rizky dari arah yang
tidak dia sangka, sebagaimana firman Allah:

ُ ‫﴿ َويَرْ ُز ْقهُ ِم ْن َحي‬


﴾... ُ‫ْث اَل يَحْ تَ ِسب‬
“dan Allah akan memberikan rizky kepadanya
dari arah yang tidak dia sangka” (QS.Ath-Thallaq: 3)
Barangsiapa yang ingin diberkahi rizkynya,
diberikan rizky dari arah yang tidak dia sangka maka
hendaklah dia berpegang dengan ketakwaan. Allah
menjadikan sebuah negeri yang mereka bertakwa
kepada Allah, maka Allah akan membukakan berkah
dari langit dan bumi di negeri tersebut, sebagaimana
firman Allah :

ٍ ‫﴿ َولَوْ أَ َّن أَ ْه َل ْالقُ َر ٰى آ َمنُوا َواتَّقَوْ ا لَفَتَحْ نَا َعلَ ْي ِه ْم بَ َر َكا‬


‫ت‬
﴾... ‫ض‬ ِ ْ‫ِمنَ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬
“Seandainya penduduk negeri mereka bertakwa dan
juga beriman, niscaya Kami akan bukakan bagi
mereka berkah-berkah dari langit maupun dari Bumi”
(QS.Al-A’raf:96)

Masih banyak lagi disana keutamaan-keutamaan


bertakwa. Demikan juga keselamatan dia di akhirat
sebabnya adalah ketakwaan dia di dunia, dimulai dari
semenjak dia sakaratul maut, takwa ini berpengaruh
masuk kedalam alam kubur, maka takwa ini juga
memiliki peran ketika dia dibangkitkan, dikumpulkan,
ketika dihisab, ketika dihitung amalannya, ketika
melewati jembatan diatas Jahannam (sirath), maka kita
semua akan lihat bahwasannya ketakwaan disana
sangat berpengaruh. Allah mengatakan:

﴾ ‫﴿ إِ َّن لِ ْل ُمتَّقِينَ َمفَا ًزا‬


“Sesungguhnya bagi orang-orang yang
bertakwa kesuksesan, keberuntungan” (QS.An-Naba:
31)

ٰ
ٍ َّ‫﴿ إِ َّن ْٱل ُمتَّقِينَ فِى َجن‬
﴾ ‫ت َو ُعيُو ٍن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
mereka didalam surga-surga dan didalam mata air-
mata air” (QS.Al-Hijr: 45)

Menunjukan bahwasannya yang akan masuk


kedalam surga adalah orang-orang yang bertakwa.
Intinya kebaikan dunia dan akhirat didapatkan dengan
takwa.

Apa yang dimaksud dengan takwa?


Ulama telah memberikan banyak definisi tentang
ketakwaan ini, definisi takwa yang banyak dipuji oleh
ulama adalah ucapan Talq Ibn Habib , beliau
mengatakan:

ٍ ُ‫(( التَ ْق َوى أَ ْن تَ ْع َم َل بِطَا َع ِة هَّللا ِ َعلَى ن‬


‫و‬DD‫ور ِمنَ هَّللا ِ تَرْ ُج‬
ُ ‫ور ِمنَ هَّللا ِ تَ َخ‬
‫اف‬ ٍ ُ‫صيَةَ هَّللا ِ َعلَى ن‬ ِ ‫ك َم ْع‬َ ‫اب هَّللا َوأَ ْن تَ ْت ُر‬َ ‫ثَ َو‬
)) ِ ‫اب هَّللا‬
َ ‫َع َذ‬
“Bahwasannya takwa adalah engkau
mengamalkan ketaatan kepada Allah, menjalankan
perintah, melakukan kewajiban, melakukan hal yang
mustahab diatas cahaya dari Allah, Engkau
mengharap pahala dari Allah dan engkau
meninggalkan kemaksiatan kepada Allah diatas
cahaya dari Allah, meninggalkan kemaksiatan
tersebut karena takut dari adzab Allah”

“Diatas cahaya dari Allah” maksudnya dengan


dalil dari Al-Quran maupun dari Hadits, jika bukan
berdasarkan dalil maka tidak dinamakan takwa,
barangsiapa yang mengamalkan amalan meskipun
menurut manusia baik tetapi jika tidak ada dalilnya
maka bukan termasuk takwa.
“Engkau mengharap pahala dari Allah”,
menjalankan perintah berdasarkan dalil dan niatnya
didalam hati adalah mengarapkan pahala, jika niatnya
didalam hati bukan karena Allah berarti bukan takwa,
seperti orang yang beramal soleh tetapi niatnya ingin
dipuji oleh manusia, maka ini buka takwa.

“Engkau meninghalkan kemaksiatan kepada


Allah” berdasarkan dalil yaitu tidak boleh seseorang
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah,
ketika dia meninggalkan kemasiatan maka juga
berdasarkan dalil yaitu mengetahui bahwasannya
amalan ini diharamkan maka ditinggalkan, amalan ini
dimakruhkan maka dia tinggalkan karena itu makruh.
Tidak boleh seseorang menghalalkan sesuatu yang
diharamkan oleh Allah, mengatakan hal itu haram
tetapi tidak adala dalil yang mengharamkan, maka ini
bukan takwa.

“Meninggalkan kemaksiatan tersebut karena


takut dari adzab Allah”, yakni Buka meninggalkan
karena malu dengan manusia atau supaya dikatan
sebaga orang yang soleh, orang yang alim, karena dia
tahu akan terkena adzab bagi orang yang melakukan
kemaksiatan tadi sehingga dia meninggalkan, ini
adalah takwa, jika tidak demikan maka tidak disebut
takwa.

Ini menunjukan bahwasannya orang yang


bertakwa maka dia harus belajar, karena disebutkan
tadi melaksanakan perintah dengan dalil,
meninggalkan larangan berdasarkan dalil, berarti harus
belahjar, maka takwa kepada Allah tidak akan
terwujud kecuali apabila dia belajar agama.

Ini adalah wasiat pertama, yakni wasiat


bertakwa, dan banyak didalam Al-Qur’an, Allah 
menyuruh orang-orang yang beriman untuk bertakwa:

َّ D‫وا ٱهَّلل َ َح‬


‫وتُ َّن إِاَّل‬DD‫اتِ ِهۦ َواَل تَ ُم‬DDَ‫ق تُق‬ ْ ُ‫﴿ ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫وا ٱتَّق‬
﴾ َ‫َوأَنتُم ُّم ْسلِ ُمون‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam” (QS.Ali ‘Imran:102)

ْ‫﴿ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا يُصْ لِح‬
ُ‫ولَ ۥه‬D ‫ ِع ٱهَّلل َ َو َر ُس‬D‫وبَ ُك ْم ۗ َو َمن ي ُِط‬DDُ‫لَ ُك ْم أَ ْع ٰ َملَ ُك ْم َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذن‬
﴾ ‫َظي ًما‬ ِ ‫فَقَ ْد فَا َز فَوْ ًزا ع‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu

kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,


niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-
amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar”. (QS.Al-Ahzab: 70)

Allah  juga menyuruh manusia untuk bertakwa


kepada Allah secara umum:

﴾... ‫﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُك ُم‬


“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-
mu…” (QS.An-Nisa: 1)

Allah  juga mengatakan kepada Nabi-Nya:


ٓ
ِ َّ‫﴿ ٰيَأَيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى ٱت‬
﴾...َ ‫ق ٱهَّلل‬
“Wahai Nabi hendaklah engkau bertakwa
kepada Allah …” (QS.Al-Ahzab: 1)

Mengapa kita harus bertakwa? Karena dibalik


takwa ini ada kebaikan yang banyak di dunia maupun
di Akhirat.

Wasiat Rasulullah  yang kedua:

َ ‫َوالطَّا‬
(( ‫ع ِة‬ ‫)) َوال َّس ْم ِع‬
“Mendengar dan taat”
Maksudnya disini adalah mendengar dan taat kepada
penguasa yakni orang yang sudah Allah  menjadikan
dia pemimpin kita, penguasa kita, maka kita
diperintahkan mendengar dan taat, itulah nasihat Nabi
Muhammad . Dari sekian banyak perintah, maka
beliau menjadikan mendengar dan taat ini sebagai
wasiat setelah bertakwa kepada Alla , maka ini
menunjukan tentang keutamaan mendengar dan taat
kepada pemerintah dan juga penguasa dan juga
pemimpin, inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
yang telah menyimpang didalamnya sebagian aliran
dalam hal mendengar dan taat kepada penguasa ini.

Didalam kitab-kitab aqidah dari zaman dahulu


sampai sekarang para ulama akan menyebutkan
diantara aqidah Ahlus Sunnah wa Jama’ah adalah
mendengar dan taat kepada pemerintah, sangat banyak
dalilnya diantaranya hadits yang sedang dibahas ini,
dan Allah  menyebutkan:

‫و َل‬DD‫َّس‬ ْ ‫وا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬DDُ


ُ ‫وا ٱلر‬DDُ ٓ ُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬DDَ‫﴿ ٰيَٓأَيُّه‬
ْ ‫و ْا أَ ِطيع‬DD
﴾ ‫َوأُوْ لِى ٱأْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم‬
“Wahai orang-orang yang beriman hendaknya
kalian taat kepada Allah dan hendaklah kalian taat
kepada Rasul, dan Ulil amri diantara kalian” (QS.An-
Nisa: 59)

Para Sahabar  ketika mereka menafsirkan Ulil


Amri ada diantara mereka yang menafsirkan sebagai
“Ulama” karena mereka memegang urusan agama kita,
dan ada diantara mereka yang menafsir kan Ulil Amri
dengan “Umara” karena mereka yang memegang
urusan dunia kita. Pendapat yang kuat adalah pendapat
yang menggabungkan dua pendapat ini, itulah
pendapat Imam Ibnu Katsir  didalam tafsirnya
bahwasannya Ulil Amri mencakup keduanya.

Hal ini menujukan bahwasannya kita sebagai


seorang rakyat diperintahkan untuk mendengar, yaitu
mendengar apabila mereka berbicar. Kita
diperintahkan untuk mentaati, yaitu apabila mereka
menurunkan perintah, mengeluarkan peraturan. Ini
adalah maslahat yang besar dan kebaikan yang banyak
apabila rakyat mau mendengar dan taat kepada
penguasanya.

Tidak mungkin suatu Negara akan bisa teratur


melaksanakan aktivitasnya dengan baik, baik
pendidikan, ekonomi, bahkan termasuk agama, kecuali
apabila rakyatnya mau mendengar dan taat kepada
pengasanya.

Apabila mereka mau mendegar dan taat kepada


penguasa maka berbuahlah keamanan yang stabil, dan
dari keamanan tersebut bergerak dan berjalan aktivitas
yang lain, semisal: pendidikan akan berjalan, ekonomi
akan terus lanjut dan berkembang, manusia akan
melakukan kegiatan dan aktivitasnya dengan aman.
Seandainya yang terjadi adalah sebaliknya, ada rakyat
da nada pemerintah tapi rakyat tidak mau mendengar
dan taat kepada penguasa, maka mudharat yang terjadi
adalah besar, tidak akan ada disana kestabilan didalam
masalah keamanan maka timbul peperangan, saling
mencurigai diantara satu dengan yang lain, seling
mendzolimi diantara satu dengan yang lain, rakyat
tidak mau diatur, akhirnya pendidikan akan terhenti.
Bagaiman seseorang akan tenang melakukan perjalan
ke sekolah apabila keadaan dalam keadaan kacau, dan
orangtua mana yang akan membiarkan anaknya
sekolah apabila keadaan dalam keadaan tidak aman,
demikian juga para pedagang dan penjual, apibila
keadaan kacau mereka tidak berani berjualan, dan
siapa yang mau membeli dan keluar apabila keadaan
suatu darah kacau balau.

Seluruh aktivitas bahkan termasuk dalam hal


agama, apabila suatu daerah sudah tidak ada kerukunan
antara rakyat dan pemerintah maka agama mereka juga
terancam, meraka tidak bisa sholat lima waktu secara
berjamaah, apabila suatu waktu dia keluar dari
rumahnya terancam terbunuh, dan tidak mungkin kita
bisa berkumpul dengan tenang untuk menghadiri
majelis ilmu, mencatat, mengambil faedah,
berkonsentrasi didalam mendengarkan, apabila diluar
terjadi baku tembak. Tidak mendengar dan taat kepada
pemerintah pengaruhnya kepada dunia dan agamanya
seseorang. Karena itulah Nabi  menjadikan hal ini
sebagai wasiat beliau  kepada para sahabat  yang
sangat beliau tekankan.

Kebaikan mendengar dan taat kepada penguasa


adalah untuk diri kita sendiri, dan sebagian ulama
mengatakan mendengar dan taat kepada pemerintah
sebenarnya termasuk dari takwa, karena takwa
disebutkan menjalankan perintah dan menjauhi

ِ ْ‫أُو‬
larangan, adi ketika beliau  mengatakan ‫م‬Dْ ‫ص ْي ُك‬

‫بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو َج َّل‬ , maka masuk didalamnya taat


kepada penguasa. Lalu kenapa Nabi  menyendirikan
mendengar dan taat kepada pemerintah, sedangkan hal
ِ ْ‫? أُو‬
َ ‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو‬
ini sudah masuk kedalam ‫ج َّل‬
karena hal ini menunjukan betapa pentingnya perkara
ini, maka oleh Nabi  dinampakan, dijelaskan dan

َ ‫ َوال َّس ْم ِع َوالطَّا‬padahal sudah termasuk


disindirikan ‫ع ِة‬
kedalam makna takwa.

Kemudian beliau  memperkuat lagi dengan


mengatakan:

)) ‫(( َوإِ ْن تَأ َ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد‬


“Meskipun yang menjadi penguasa kalian, yang
menjadi pemerintah kalian adalah seorang budak”

Syarat menjadi seorang pemimpin adalah


seorang yang meredekan bukan budak, apabila kaum
muslim sedang dalam keadaan aman dan lapang,
kemudian mereka mengangkat seorang penguasa,
maka tidak boleh berasal dari budak.

Tapi seandainya hal itu terjadi, seorang budak


yang tentunya statusnya lebih rendah daripada orang
yang merdeka, dan dia adalah harta seseorang yang
bisa dijual dan dibeli, bisa dihadiahkan kepada orang
lain, disuruh tanpa kita membayarnya, kedudukannya
rendah dihadapan manusia. Tapi seandainya
Qadarullah dia menjadi seorang penguasa, maka kita
wajib mendengar dan taat kepadanya, dan kita harus
meminggirkan dan memundurkan hawa nafsu kita atau
gengsi kita, jangan karena dia seorang budak kemudian
kita tidak mau mendengar dan taat kepada budak
tersebut. Allah telah mentakdirkan dia menjadi

penguasa, maka kita harus taati perintah Allah: ﴿ ‫ٰيَٓأَيُّهَا‬

‫ُول َوأُوْ لِى ٱأْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم‬ ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬
َ ‫ُوا ٱل َّرس‬ ْ ‫أَ ِطيع‬ ‫﴾ ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا‬
dan mengikuti wasiat Nabi : ‫ع ِة‬ َ ‫َوالطَّا‬ ‫وال َّس ْم ِع‬,
َ kita
dahulukan keridhaan Allah dari pada hawa nafsu kita
daripada gengsi kita.

Disini lah ada maslahat besar bagi semuanya,


meskipun yang memimpin budak, jika rakyat
memberontak maka timbul kejelekan yang banyak dan
mafsadah yang besar. Oleh karena itu wasiat Nabi  ini
mengisyaratkan dan menekankan sekali betapa
pentingnya mendengar dan taat kepada penguasa,
sehingga beliau bersabda “meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak”.

Didalam riwayat lain disebutkan

)) ‫(( وإن تأ َّم َر عليكم عب ٌد حب ِش ٌّي‬


“meskipun yang memimpin kalian adalah budak
habasyah (Ethiopia)” [HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi
no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42,
dari ‘Irbadh bin Sariyah].

Para budak bertingkat-tingkat kualitasnya, yang


paling rendah diantaranya dari Ethiopia, seandainya dia
memang menjadi penguasa bagi kalian maka
hendaknya engkau mendengar dan taat kepadanya.
Banyak sekali dalil yang menunjukan tentang
mendengar dan taat kepada penguasa diantaranya,
sabda Nabi :

“Kewajiban bagi seorang muslim yakni taat


kepada penguasa baik dalam keadaan mudah maupun
susah, baik dalam keadaan semangat maupun dalam
keadaan terpaksa, jika ini perintah dari penguasa maka
hendaklah dia mendengar dan taat”
Kemudian sebuah hadits beliau  mengatakan

“kecuali apabila dia diperintahkan untuk berbuat


maksiat, apabila dia diperintah untuk bermaksiat maka
dia tidak boleh mendengar dan taat”

Ini keterangan dari Nabi  bahwasannya perintah


untuk taat dan mendengar kepada penguasa adalah
perintah yang terikat bukan ketaatan yang mutlak,
ketaatan yang mutlak hanya untuk Allah dan Rasul-
Nya. Apbila Allah  memerintah maka kita harus taati,
jika Rasulullah  sudah memerintah maka kita harus
taati, tapi Ulil Amri perintahnya tidak disamakan
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Ketaatan kita kepada pemerintah adalah ketaatan


yang terikat yakni terikat dengan syariat, terikat
dengan dalil. Apabila tidak bertentangan dengan dalil
maka kita laksanakan perintahnya, selama perintahnya
tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits, tapi
jika perintahnya (terkadang terjadi) bertentangan
dengan syariat maka tidak boleh kita mentaati perintah
tersebut, karena Rasulullah  mengecualikan “kecuali
diperintahkan untuk berbuar maksiat”, jika
diperintahkan dalam kemaksiatan maka tidak boleh
mendengar dan mentaatinya. Didalam perkara yang
lain yang tidak ada maksiat maka wajib kita untuk
mentaatinya. Inilah wasiat kedua Rasulullah  untuk
mendengar dan taat kepada penguasa.

. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian


sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang
banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang
teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin
al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu
dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi
geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang
diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.”

Anda mungkin juga menyukai