Anda di halaman 1dari 17

KLIPING PERISTIWA BENCANA ALAM

TAHUN 2017-2021

KENZY RAVI PRADANA


MIPA 4
21
BENCANA ALAM DI TAHUN 2017
1. Tanah Longsor di Ponorogo

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur


memastikan 27 orang warga Desa Banaran tertimbun longsor hingga Sabtu (1/4) sore, dan belum bisa
dievakuasi akibat banyaknya material yang menimbun pemukiman di kawasan tersebut.

"Masih ada 27 warga yang dinyatakan hilang," kata Kepala BPBD Ponorogo Sumani seperti dilansir
dari kantor berita Antara.

Kepala Desa Banaran, Kecamatan Punung, Sarnu, memastikan jumlah korban hilang sebanyak
27 orang. Hal itu menjawab kesimpangsiuran informasi tentang warga yang tertimbun longsor, tewas,
maupun luka-luka.

Sarnu juga meralat keterangan sumber informasi sebelumnya dan sudah terlanjur tersebar
pada sejumlah media massa yang menyebut korban hilang sebanyak 26 orang.
"Tidak benar (keterangan) itu. Data yang saya pegang sampai saat ini jumlahnya 27 orang, rumah 34
unit pada empat RT Dusun Tangkil dan Krajan," katanya.

Sementara, Sumani mengatakan saat ini BPBD dan tim gabungan belum bisa melakukan
tindakan evakuasi karena besarnya material longsor, kondisi yang masih labil dan belum adanya alat
berat di lokasi bencana.
"Sejumlah alat berat masih dalam perjalanan dan semoga malam ini sampai di lokasi sehingga Minggu
pagi bisa dilakukan upaya evakuasi untuk mencari 27 korban yang masih hilang," katanya.

Untuk diketahui, peristiwa tanah longsor terjadi sekitar pukul 08.00 WIB, saat sebagian warga
beraktivitas panen jahe dan sebagian lain di dalam rumah.Material longsoran, kata Sumarni,
memanjang dari bukit sekitar 800 meter dan tinggi sekitar 20 meter, kemudian 23 rumah terdampak
ada yang tertimbun, rusak berat dan sebagian rusak.

Ia menjelaskan, kronologi kejadian ditandai oleh bunyi gemuruh pada pukul 07.30 WIB
hingga membuat sebagian masyarakat menyelamatkan diri ke tempat lebih aman.
Kemudian pada pukul 08.00 WIB bencana longsor terjadi disertai dengan suara gemuruh menerjang
dua RT (RT 02-03/RW 01) yang terdiri dari 23 rumah penduduk dan ladang masyarakat dengan jumlah
jiwa sekitar 50 orang.
Sebagian masyarakat berhasil menyelamatkan diri, namun 17 orang luka-luka dan dirawat di
Puskesmas Pulung.
"Tanda-tanda longsor sudah diketahui masyarakat sejak 20 hari yang lalu. Hujan deras menyebabkan
munculnya retakan-retakan di perbukitan," kata Sarnu. Dari kejadian ini, pemerintah Provinsi Jawa
Timur menetapkan kawasan longsor di Desa Banaran, Pulung, Ponorogo sebagai zona merah. Artinya,
kawasan ini dianggap berbahaya dan dilarang ada aktivitas.

2. Kawah Sileri Dieng meletus dan daerah tersebut sempat ditutup


sementara

Kawah Sileri yang berada kawasan wisata pegunungan Dieng, Desa Kepakisan, Kecamatan
Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah meletus sekitar pukul 12.00 WIB, Minggu (2/7/2017). Kepala Pusat
Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho
menuturkan, 17 wisatawan mengalami luka-luka. Atas kejadian tersebut, lokasi wisata juga telah
ditutup untuk umum. "Pengunjung maupun warga diminta untuk meninggalkan lokasi dan untuk area
kawah sudah dikosongkan. Kejadian tersebut berpotensi akan menimbulkan letupan susulan," tulis
Sutopo melalui keterangan tertulisnya.
Petugas dari BPBD Kabupaten Banjarnegara, PVMBG, TNI, Polri, SKPD, relawan dan
lainnya sudah berada di lokasi. Pengunjung maupun warga diminta untuk meninggalkan lokasi dan
untuk area kawah sudah dikosongkan. "Kejadian tersebut berpotensi akan menimbulkan letupan
susulan," jelas dia. Kawah Sileri merupakan salah satu objek wisata di Dieng Plateau, memiliki bentuk
unik berupa kepundan datar, sehingga permukaan air kawah yang selalu mendidih terus mengalir ke
permukaan yang lebih rendah. Dengan permukaan air mencapai 4 hektar. Aktivitas kawah ini cukup
tinggi, sempat beberapa kali meletus, sehingga menjadi kawah yang paling berbahaya di Dieng. Kawah
Sileri pernah meletus beberapa kali yang sempat tercatat adalah tahun 1939, 1944, 1964, 1984, 2003,
2009.

3. Gempa bumi di Ambon

Selasa kemarin (31/10/2017), masyarakat Ambon dibuat panik dengan adanya gempa susulan
sepanjang malam. Tidak hanya lima kali. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Maluku mencatat ada 88 kali gempa sejak Selasa (31/10/2017) pukul 11.30 hingga Rabu (1/11/2017)
pukul 11.30 WIT. Menurut keterangan Priska Birahy, warga Sirimau, Ambon, yang kemarin malam
berada di rumah kerabatnya di kawasan Talake, Nusaniwe, sekitar pukul 20.30 WIT sampai pukul 21.00
WIT goncangan gempa paling terasa. "TV goyang, pigura sampai jatuh. Karena daerah titik gempa ada
di barat daya pulau Ambon.
Walaupun efeknya sampai pulau Buru, pulau Seram, yang paling terasa efeknya di kota
Ambon ini," kata Priska kepada Kompas.com, Rabu (1/11/2017). Baca Juga: Gempa Ambon, Pasien
Rumah Sakit Dirawat di Halaman Masjid Talake, Nusaniwe merupakan kawasan yang jaraknya sangat
dekat dengan laut. Kira-kira jaraknya kurang dari 350 meter. "Karena berhadapan dengan laut, kita bisa
lihat air laut naik. Semua orang kabur dan banyak banget orang teriak lihat air laut naik," kata dia.
"Setelah telepon BMKG, mereka sebut tidak ada potensi tsunami. Tapi memang bersamaan dengan air
pasang. Pas banget semalam bulan tinggi dan terang. Jadi ada goncangan di laut, air (laut) naik, dan
pasang.
Saat orang lihat mereka pikir ada tsunami, padahal enggak. Cuma karena pasang," jelasnya. Apa yang

Sebenarnya Terjadi di Ambon? Andi Azhar Rusdin, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG
Stasiun Geofisika Ambon, mengungkapkan bahwa dari 88 kali gempa yang tercatat di BMKG, hanya 11
gempa yang dapat dirasakan. "Gempa pendahuluan ada tiga kali dari pukul 20:31, 20:34, kemudian
20:46. Setelah itu satu kali gempa utama pada pukul 20:50 WIT, dengan kekuatan 6.2 SR. Kemudian
ada 84 kali gempa susulan sampai ini tadi. Baru saja ada gempa lagi," kata Andi saat dihubungi
Kompas.com, Rabu (1/11/2017). Penyebab gempa adalah adanya patahan naik di dasar laut selatan
pulau Ambon. Energi dari patahan tersebut disebut masih aktif, karena gempa susulan masih terus
berlangsung. "Adanya patahan di selatan pulau Ambon, menyebabkan pusat gempa ada di sebelah barat
daya Ambon," sambungnya. Sampai saat ini, kerusakan bangunan terjadi pada Maluku City Mall
(MCM) dan Bandara Ambon.

Mall berlantai dua itu mengalami keretakan dan plafon atap bangunan jatuh. Sementara di
Bandara ada beberapa kaca jendela yang retak dan paflon rusak. "Untuk korban jiwa sampai saat ini
belum ada," ujarnya. Baca Juga: Apa yang Harus Kita Pelajari dari Gempa Yogyakarta 11 Tahun yang
Lalu? Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono,
menjelaskan, yang terjadi di Ambon adalah tipe gempa unik yang mencakup gempa pendahuluan,
gempa utama, dan gempa susulan. "Fenomena semacam ini dikenal sebagai aktivitas swarm," ujar
Daryono. "Sehingga wajar jika warga panik karena diguncang 3 kali gempa sebelum terjadi gempa
utama M=6,0 SR," sambungnya. Selama ini di wilayah Indonesia memang tidak banyak aktivitas gempa
tipe 2. Hal ini menyebabkan banyak yang menilai bahwa gempa Ambon merupakan fenomena unik dan
langka. "Dilihat sebarannya, nilai magnitudonya tampak bahwa trend besaran magnitudo sudah
mengecil dan frekuensi kejadiannya pun terus menurun," jelasnya. Ambon sendiri secara tektonik
memang rawan gempa. Gempa besar pernah terjadi pada 1674, 1899, 1950, 1980, dan 2001.
BENCANA ALAM DI TAHUN 2018
1. Bencana Alam Banyuwangi

Banjir bandang menerjang empat dusun di Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten
Banyuwangi pada Jumat, 22 Juni 2018. Sekitar 300 rumah terdampak dan 15 diantaranya rusak berat akibat
diterjang material banjir yang berula lumpur dan kayu. Tidak ada laporan korban jiwa dari kasus ini.

Seorang warga setempat, Jalu mengatakan air mulai terlihat masuk ke kampung sekitar pukul 09.00 WIB.
Lama kelamaan, air bercampur lumpur mulai masuk dan kian deras.

"Melihat Sungai Badeng airnya deras, warga langsung bersiap-siap. Ternyata benar, air dari Sungai Badeng
meluap dan membawa banyak lumpur," kata Jalu. Banjir bandang bercampur lumpur menerjang empat dusun
di desa tersebut.

Empat dusun yang terdampak adalah Dusun Gari, Bangunrejo, Karangrejo, dan Wonorejo. Warga
setempat langsung berusaha menyelamatkan barang-barang mereka sebisanya karena lumpur mulai masuk ke
rumah-rumah warga. Tak hanya merusak rumah, akses jalan dari Banyuwangi menuju Jember melalui
Gambor ditutup akibat jalan tertutup lumpur setebal 50 sentimeter.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mendatangi lokasi untuk memantau langsung. Menurut
dia, banjir diakibatkan adanya gerakan tanah (sleding) di lereng Gunung Raung sisi Banyuwangi, tepatnya
dari kawasan Gunung Pendil akibat curah hujan yang tinggi. Gunung Pendil adalah gunung yang muncul dari
muntahan lahar dari ledakan gunung raung ratusan tahun silam sehingga gunung tersebut tidak terlalu solid
dan rawan longsor.

Gerakan tanah tersebut mengakibatkan sejumlah material vulkanik Gunung Pendil yang mengendap
ribuan tahun terangkat. "Ini merupakan aktivitas dari Gunung Raung. Hujan deras yang mengguyur Lereng
Gunung Raung membuat endapan material vulkanik tersebut longsor. Akibatnya pohon-pohon yang ada di
lereng Gunung Raung juga terseret aliran banjir," kata Anas saat datang ke lokasi.

Anas pun menyampaikan bahwa longsoran material ini bukan akibat hutan gundul. Hasil penelitian dari Pusat
Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi akhir Mei lalu membuktikan bahwa longsor di Raung akhir-akhir
ini diakibatkan hujan dengan intensitas tinggi yang mengikis permukaan tanah di lereng gunung. Hutan di
Songgon masih lebat."Dari penelitian PVBMG bulan Mei lalu, areal longsor di hulu sungai Badeng tersebut
memang cukup luas. Longsor yang terjadi di kawasan Raung ini mencapai ketinggian 390 meter dengan lebar
40-50 meter. Jadi ini murni faktor alam," kata Anas.
2. Gempa Bumi di Lombok, NTB

Gempa mengguncang Lombok, NTB pada Ahad, 29 Juli 2018. Gempa berkekuatan 6,4 skala richter
itu terasa sampai Bali dan Banyuwangi. Setelah gempa pertama, ada setidaknya 203 kali gempa susulan di
Lombok. Kekuatan gempa susulan itu bervariasi antara magnitudo 2,1 hingga 5,7.

Gempa pertama yang terjadi di Lombok ini berpusat di utara pulau. Gempa ini paling berdampak di
wilayah Lombok Utara dan Lombok Timur. Pada gempa pertama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) menyatakan gempa berpotensi tsunami. Namun, setelah beberapa saat peringatan dini
tsunami ini dicabut.

Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Amin mengatakan ada sekitar 78 ribu rumah yang
teridentifikasi rusak akibat gempa ini. Sedangkan data Kementerian Sosial menyebutkan gempa ini menelan
korban meninggal hingga 563 orang.

Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Harmensyah
menuturkan kerugian akibat gempa di Lombok ini cukup besar. "Kami memperoleh nilai Rp 8,8 triliun untuk
kerusakan dan kerugian," katanya Agustus lalu.

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat mengklaim, pemerintah
sudah menyerahkan santunan kepada korban meninggal. "Pemerintah sudah menyerahkan sekitar Rp 8,34
miliar untuk 556 korban meninggal" ujarnya.

3. Gempa dan Tsunami Palu

Gempa dengan kekuatan magnitudo 7,7 mengguncang wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi
Tengah, pada pukul 28 September 2018. Pusat gempa berlokasi di 27 kilometer timur laut Kabupaten
Donggala. Akibat gempa itu, tsunami juga menyapu teluk Palu, tepatnya di daerah Pantai Talise dan
sekitarnya.

BNPB mencatat jumlah korban meninggal akibat gempa dan tsunami ini berjumlah 2.113 orang.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan jumlah korban
meninggal tersebar di beberapa lokasi. Di Palu korban tewas tercatat 1.703 orang, Donggala 171 orang, Sigi
223 orang, Parigi Moutong 15 orang, dan Pasangkayu 1 orang.

Korban luka-luka akibat bencana ini mencapai 4.612 jiwa. Selain itu, bencana tersebut membuat
223.751 orang mengungsi di 122 titik di Palu dan Donggala. BNPB juga mencatat ada 66.926 rumah rusak.
Selain itu, sekitar 2.700 sekolah dan 7 unit fasilitas kesehatan turut rusak.

Bencana alam ini termasuk yang terbesar di Indonesia selama tahun 2018. Kondisi Palu dan
sekitarnya cukup hancur parah di tiga daerah yakni Petobo, Balaroa, Donggala, Sigi, dan Pantai Talise yang
terkena tsunami. Kondisi diperparah karena bantuan yang sulit masuk membuat warga menjarah warung dan
minimarket yang ada.

Selain gempa dan tsunami, Palu mengalami fenomena likuifaksi yang membuat sejumlah desa
ditelan lumpur, diantaranya Petobo dan . Sejumlah ahli sebelumnya telah menyatakan bahwa wilayah Palu
merupakan zona merah.

Akibat guncangan gempa bumi, beberapa saat setelah puncak gempa terjadi muncul
gejala likuefaksi (pencairan tanah) yang memakan banyak korban jiwa dan material. Dua tempat yang paling
nyata mengalami bencana ini adalah Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu. Balaroa ini terletak
di tengah-tengah sesar Palu-Koro. Saat terjadinya likuifaksi, terjadi kenaikan dan penurunan muka tanah.
Beberapa bagian amblas 5 meter, dan beberapa bagian naik sampai 2 meter. Di Petobo, ratusan rumah tertimbun
lumpur hitam dengan tinggi 3-5 meter.
Terjadi setelah gempa, tanah di daerah itu dengan lekas berubah jadi lumpur yang dengan segera
menyeret bangunan-bangunan di atasnya. Di Balaroa, rumah amblas, bagai terisap ke tanah. Adrin Tohari,
peneliti LIPI, ada menyebut bahwa di bagian tengah zona Sesar Palu-Koro, tersusun endapan sedimen yang
berumur muda, dan belum lagi terkonsolidasi/mengalami pemadatan. Karenanya ia rentan mengalami likuefaksi
jika ada gempa besar.
Laporan dan rekaman likuefaksi juga muncul dari perbatasan Kabupaten Sigi dengan Kota
Palu. Lumpur muncul dari bawah permukaan tanah dan menggeser tanah hingga puluhan meter dan akhirnya
menenggelamkan bangunan dan korban hidup-hidup. Menurut data, likuefaksi yang terjadi di Perumnas Balaroa
menenggelamkan sekitar 1.747 unit rumah; sementara di Kelurahan Petobo sekitar 744 unit rumah

Kerusakan akibat gempa

Sebagai akibat dari likuefaksi ini, sampai 3 Oktober, tim SAR menemukan korban di Perumnas
Balaroa 48 orang meninggal dunia, dan di Petobo 36 orang, juga meninggal dunia. Di Jono Oge, Kabupaten
Sigi, mencapai 202 hektar, 36 bangunan rusak, dan 168 lain juga kemungkinan rusak. Di Petobo, Palu, luasan
mencapai 180 hektar, bangunan rusak 2.050, dan bangunan mungkin rusak 168. Di Petobo, tujuh alat berat
dikerahkan. Di wilayah Balaroa luasan mencapai 47,8 hektar, menyebabkan 1.045 bangunan rusak, lima alat
berat dikerahkan. Di luar Petobo dan Balaroa, terjadi pula kerusakan parah di Desa Tosale, Desa Towale,
dan Desa Loli, Kabupaten Donggala. Adapun dalam bidang infrastruktur, daerah Kecamatan Sigi
Biromaru, Sigi, ada Jalur Palu-Napu yang jadi akses untuk ke Poso, terutama lembah Napu. Terlihat, jalan aspal
terbuka menganga, didapati kebun jagung dan kelapa terseret ke kampung itu. Tanah retak, bergelombang.
Aspal terperosok hingga kedalaman lebih dari 3 meter. Lahan juga terlihat bergelombang.

4. Banjir Sumatera Utara dan Sumatera Barat


Banjir bandang melanda sejumlah daerah di Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada 12 Oktober
2018. Banjir tersebut datang setelah hujan deras beberapa hari terakhir yang salah satunya berada di
Mandailing Natal. Akibat banjir ini, 11 orang siswa SD meninggal terseret arus.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Utara dan Sumatera Barat menyebutkan dalam data saat
itu, bencana ini membuat 22 orang meninggal serta 15 orang hilang. Rinciannya, ada 13 orang meninggal dan
10 orang hilang di Mandailing Natal. 11 di antaranya merupakan siswa Madrasah di Desa Muara Saladi,
Kecamatan Ulu Pungkut, Mandailing Natal.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menuturkan banjir
disebabkan derasnya debit air Sungai Aek Saladi yang membawa lumpur hingga meluap dan menerjang
bangunan sekolah dan sekitarnya. Proses evakuasi cukup sulit dilakukan mengingat korban tertimbun lumpur.

Untuk di Kota Sibolga, kata Sutopo, banjir menyebabkan longsor yang menewaskan empat orang.
Sebanyak 25 rumah pun rusak berat serta 100 rumah terendam banjir dengan ketinggian 60-80 sentimeter
akibat bencana ini.

Di Sumatera Barat, banjir bandang menerjang Nagari Tanjung Bonai di Kecamatan Lintau Buo
Utara Kabupaten Tanah Datar. Empat orang meninggal dunia dan 3 orang hilang. Sutopo menambahkan
banjir juga terjadi di Kabupaten Pasaman Barat. Satu korban meninggal dunia dan dua warga hilang.
Sebanyak 500 unit rumah pun terendam oleh banjir, selain itu tiga unit jembatan roboh.

BENCANA ALAM DI TAHUN 2019


1. Banjir di Sentani, Papua
Banjir bandang yang terjadi di Sentani, Papua, pada hari Sabtu (16/03) sudah menewaskan
sedikitnya 50 orang. Bencana banjir susulan berpotensi terjadi dikarenakan intensitas hujan tinggi di
puncak gunung Cyclop.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan kemungkinan banjir
bandang susulan karena hujan lebat masih berpotensi terjadi di Papua dalam dua hingga tingga hari ke depan.
"Dari sisi hujan lebatnya kami sudah memberikan kewaspadaan terutama bagi daerah-daerah yang dataran
tinggi, terkait dengan longsoran dan banjir bagi daerah-daerah yang menjadi langganan," ujar Kepala Bagian
Hubungan Masyarakat BMKG Hary Tirto Djatmiko kepada BBC News Indonesia, Minggu (17/03).

Seperti diberitakan, hujan lebat yang terjadi di wilayah Papua menyebabkan banjir bandang yang
menerjang sembilan kelurahan di Sentani, Kabupaten Jayapura dan menewaskan sedikitnya 50 orang. Puluhan
warga lain luka-luka, sementara ribuan warga yang selamat kini berada di pengungsian.

Kepala Humas Polda Papua Ahmad Musthofa Kamal mengatakan tiga lokasi yang terdampak parah
akibat terjangan banjir bandang ini adalah di sekitar bandara, perumahan Bintang Timur dan sekitar lapangan
udara.
Sebagian besar wilayah yang terdampak hingga kini masih tertutup lumpur material banjir. Diperkirakan masih
banyak korban yang terperangkap materi lumpur.

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengungkapkan alat berat sudah dikerahkan untuk membuka
akses jalan yang tertutup material lumpur dan kayu banjir bandang.
Adapun kerusakan meliputi 9 rumah rusak terdampak banjir di BTN Doyo Baru, 1 mobil rusak atau hanyut,
jembatan Doyo dan Kali Ular mengalami kerusakan.
Sementara itu, sekitar 150 rumah terendam di BTN Bintang Timur Sentani, kerusakan 1 pesawat jenis Twin
Otter di Lapangan Terbang Adventis Doyo Sentani.
Seperti diberitakan, akibat dari intensitas hujan yang menguyur Kabupaten Jayapura dan sekitarnya mulai dari
sore hari, Sabtu (16/03) hingga pukul 23:30 Wit mengakibatkan Banjir merendam perumahan warga di
Kelurahan Hinekombe, Dobonsolo dan Sentani Kota, Kampung Yahim dan Kehiran.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG Hary Tirto Djatmiko menuturkan hujan lebat yang
terjadi di Papua karena pertemuan massa udara yang menimbulkan pembentukan awan-awan hujan yang cukup
signifikan.

Kendati begitu, Hary menegaskan banjir bandang tidak hanya karena faktor cuaca, namun ada faktor
lain yang menjadi penyebab terjadinya bencana ini, salah satunya alih fungsi lahan

2. Banjir di Bengkulu
Bencana banjir dan longsor yang menerjang 8 kabupaten di Provinsi Bengkulu pada Sabtu (27/4/2019)
mengakibatkan 17 orang meninggal dunia dan 12.000 warga harus mengungsi. Selain itu, sembilan orang
dinyatakan hilang dan masih dalam pencarian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat
pula, sebanyak 13.000 orang terdampak bencana, ratusan ternak meliputi 106 ekor sapi, 102 ekor
kambing/domba dan 4 ekor kerbau mati. Baca juga: Korban Meninggal Akibat Banjir dan Longsor Bengkulu
Bertambah Jadi 17 Orang   Sementara itu, kerusakan fisik meliputi 184 rumah rusak, 7 fasilitas pendidikan dan
40 titik sarana prasarana infrastruktur. "Untuk membantu operasional penanganan darurat, Kepala BNPB Doni
Monardo telah menyerahkan bantuan dana siap pakai sebesar Rp 2,25 miliar kepada Gubernur Bengkulu.
Selanjutnya dana siap pakai tersebut akan diberikan kepada BPBD kabupaten/kota sesuai tingkat kerusakan
akibat bencana," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho seperti dikutip
dari keterangan tertulis.

Listrik dan akses jalan putus Kendala yang dihadapi dalam penanganan darurat saat ini adalah sulitnya
untuk menjangkau ke lokasi titik-titik banjir dan longsor dikarenakan seluruh akses ke lokasi kejadian terputus
total. Sutopo mengatakan, koordinasi dan komunikasi ke kabupaten/kota sulit dilakukan karena aliran listrik
banyak yang terputus. Gubernur Bengkulu Tersedak Menahan Tangis saat Sampaikan Keterangan Terkait
Bencana Bengkulu   Pendistribusian logistik juga terhambat karena akses jalan banyak yang terputus karena
banjir dan longsor. Titik lokasi bencana banjir dan longsor, lanjut dia, sangat banyak sedangkan jarak antar titik
banjir dan longsor berjauhan. Terbatasnya dana/anggaran yang memadai sehingga menyulitkan operasional
penanganan bencana. Menurut Sutopo, kebutuhan mendesak saat ini adalah tenda pengungsian, perahu karet, 
selimut, makanan siap saji, air bersih, family kit, peralatan bayi, lampu emergency, peralatan rumah tangga
untuk membersihkan lumpur dan lingkungan, sanitasi, dan jembatan baley.

Di Tengah Bencana Banjir, Bengkulu Diguncang Gempa Magnitudo 5,3 Sementara itu, sejumlah
masyarakat yang masih melakukan pencarian korban di beberapa titik lokasi mengatakan, diperkirakan jumlah
korban meninggal dunia akan terus bertambah. "Di beberapa desa di Bengkulu Tengah kami masih melakukan
pencarian kerabat yang hilang karena longsor. Pencarian dilakukan mandiri belum ada bantuan dari pihak lain
karena akses jalan terputus," ungkap Sutopo mengutip pernyataan Toro, warga Bengkulu Tengah.

Bagaimanapun, dampak banjir dan longsor di Bengkulu masih terus dirasakan warga setempat, meski
air berangsur surut.
BNPB menyebut pasukan evakuasi dan bantuan logsitik masih sulit dikerahkan ke dua kecamatan yang
terisolasi karena longsor, yaitu Pagar Jati dan Merigi Sakti.
Kawasan Gunung Bungkuk yang berada di sekitar dua kecamatan itu tercatat sebagai kawasan longsor dengan
jumlah korban meninggal terbanyak.

Badan Metetorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan curah hujan tinggi masih akan
melanda Bengkulu dan beberapa daerah lain seperti Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua
Barat.
Masyarakat diimbau untuk tetap waspada, karena banjir dan gerakan tanah berpotensi terjadi lagi pada Mei
mendatang.

3. Gempa di Halmahera
Gempa bumi Halmahera 2019 adalah sebuah gempa bermagnitudo 7,2 yang melanda Kabupaten
Halmahera Selatan, Maluku Utara, Indonesia pada tanggal 14 Juli 2019, Pukul 16.10 WIB. Pusat gempa berada
di darat 63 km timur laut Kota Labuha dengan kedalaman 29 km. Guncangan gempa ini dirasakan
hingga Ambon, Namlea, Tobelo, Sorong bahkan Manado dan Gorontalo.

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat guncangan terkuat dirasakan di sebagian besar wilayah


Halmahera Selatan berupa guncangan V-VI MMI. Kemudian di Obi, Kota Ternate, Namlea dan Weda IV-V
MMI. Serta II-III MMI di Masohi, Ambon, Taliabu, Maba, Sorong, Misol Barat, Manado, Bolaang
Mongondow dan Gorontalo. Hingga 15 Juli 2019, pukul 05.00 WIB telah terjadi gempa susulan sebanyak 61
kali, 28 diantaranya dapat dirasakan. Gempa susulan terbesar bermagnitudo 5,8 pada 14 Juli, pukul 16.43 WIB.

Gempa ini menyebabkan 6 orang tewas diantaranya berasal dari desa Papaceda, Gane Dalam, Ranga-
Ranga dan Yomen, Halmahera Selatan. Gempa ini juga menyebabkan ratusan rumah rusak. Diantaranya yang
terparah berada di desa Gane Luar, sebanyak 380 rumah rusak berat. Lalu di desa Ranga-Ranga 300 rumah, 131
rumah di desa Lemo-Lemo dan 90 rumah di desa Tomara. Selain itu 6 unit sekolah dan 3 tempat ibadah rusak.
Rumah dinas Polsek Labuha juga dilaporkan rusak. Sedangkan di desa Dowora, Kecamatan Gane Barat
Selatan 20 unit rumah dilaporkan rusak berat dan jalan terbelah. Sementara 6 unit rumah rusak ringan di
desa Dolik, Kecamatan Gane Barat Utara.

Dilihat dari episentrum dan kedalamannya, gempa ini termasuk jenis gempa dangkal yang diduga kuat dipicu
oleh sesar aktif. Sesar yang diduga memicu gempa ini adalah Sesar Sorong-Bacan dengan mekanisme sesar
geser mendatar. Sesar ini adalah satu dari tiga sistem sesar yang berada di kawasan Halmahera Selatan yang
merupakan percabangan dari Sesar Sorong yang melintas dari timur membelah bagian atas kepala burung
di Papua Barat. Sesar Sorong sendiri merupakan sesar geser aktif di pembatas lempeng
benua Australia dengan Filipina yang bergerak ke barat dengan kecepatan 32 mm/tahun.

BENCANA ALAM DI TAHUN 2020


1. Banjir Ibu Kota, Jakarta
Curah hujan pada 1 Januari 2020 di sekitar Jakarta, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), termasuk yang paling ekstrem dan tertinggi sejak 154 tahun lalu. Banjir yang dipicu hujan
besar menenggelamkan sebagian ibukota negara dan kota-kota penyangga sekitarnya.

Sampai hari ini, lebih dari 50 orang tewas dan lebih dari 170 ribu orang menjadi pengungsi
dadakan karena rumah mereka tersapu air bah.Sudah banyak penelitian dan kajian untuk menanggulangi banjir
Jabodetabek. Baik pemerintah pusat dan daerah telah memproduksi dokumen perencanaan, tata ruang, master
plan dan program.Namun hanya sedikit dari rencana-rencana tersebut sedikit yang sudah benar-benar terlaksana.
Implementasi rencana penanggulangan banjir masih parsial, jangka pendek, dan belum terintegrasi.

Dengan semakin bertambah parahnya cuaca ekstrem akibat efek perubahan iklim seluruh tingkat
pemerintahan perlu mengeluarkan kebijakan radikal bekerja sama dengan masyarakat, swasta, LSM dan
lembaga serta masyarakat internasional.

Penyebab banjir

Eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta menyebabkan ibu kota negara ini terus tenggelam,
dengan rata rata-rata laju penurunan tanah sekitar 3-18 cm per tahun . Kondisi ini bertambah memburuk di
Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari
permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun
tidak dapat terbuang ke laut.
Selain penurunan permukaan tanah, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan banjir Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi.

Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada
kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem. Aliran dan
sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah
resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.

Selain itu saluran-saluran air yang ada tersumbat sampah akibat manajemen sampah yang buruk. DKI
Jakarta memproduksi sampah kurang lebih 7,500 ton per hari atau 2,7 juta ton per tahun. Jumlah itu
belum termasuk 300-400 ton sampah yang dibuang oleh penduduk ke sungai terutama pada saat musim hujan.

Genangan air juga disebabkan oleh isu lama, yaitu tertutupnya permukaan tanah yang dilapis beton
atau material yang menahan air untuk meresap dalam tanah. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi,
pembangunan infrastruktur yang massif serta urbanisasi menyebabkan okupasi lahan semakin sempit.

Menurut data Badan Pusat Statisik penduduk Jakarta terus tumbuh, pada 2018 mencapai 10,46 juta
jiwa. Hal ini menyebabkan lahan Jakarta terus berkurang. Pada 2014, sekitar 83% dari 674km2 wilayah Jakarta
telah terpakai, menurut riset Mathias Garschagen dan koleganya (2008) . Jadi wajar daya dukung kota terus
menurun. Selain kebijakan struktural di atas, untuk mengurangsi risiko banjir adalah perilaku manusia juga
perlu berubah. Komitmen, kedisiplinan, dan keberanian serta terobosan pengambil kebijakan sangat diperlukan–
termasuk keberanian untuk menegakkan hukum secara konsisten. Saat sidak ke gedung-gedung di Jalan
Sudirman Jakarta tahun 2008, misalnya, pemerintah DKI Jakarta hanya mengirimkan surat teguran kepada salah
satu hotel yang melanggar peraturan daerah tentang sumur resapan, instalasi pengolahan limbah, dan
pemanfaatan air tanah.

Kebijakan dan informasi seperti mitigasi bencana, kesiapsiagaan, peta rawan bencana, rencana
evakuasi, peringatan dini harus disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus. Kita perlu
membudayakan kesiapsiagaan bencana.

Pendidikan bencana menjadi kunci ketahanan (bukan kepasrahan) masyarakat menghadapi banjir ke
depan. Sikap dan perilaku sadar bencana tidak hanya untuk kesiapsiagaan. Bencana seperti banjir, memerlukan
persepsi, kesadaran, kedisiplinan yang terus menerus. Misalnya, dengan tidak membuang sampah sembarangan
dan budaya menjaga lingkungan.
2. Pandemi Virus Corona (COVID-19)

Saat kembang api malam tahun baru 2020 menyala dengan meriah, semua orang bersuka cita
menyambut tahun shio tikus ini. Kalimat "Tahun baru, semangat baru, harapan baru" banyak dijumpai di lini
masa media sosial setiap kali memasuki tahun baru. Akan tetapi, tak ada satu pun orang yang menyangka bahwa
2020 adalah tahun terberat sejak dunia memasuki abad ke-21.

Virus corona. Inilah yang menjadi ujian terberat masyarakat dunia pada tahun ini. Ujian yang belum
berakhir hingga 2020 hampir berakhir. Baca juga: 6 Bulan Virus Corona di Indonesia, Bagaimana Kondisi
Pandemi Saat Ini? Awal kemunculan Sejak akhir 2019, virus misterius dilaporkan telah menginfeksi puluhan
orang China. Hingga 5 Januari 2020, sebanyak 41 orang telah terinfeksi, satu di antaranya meninggal dunia.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, penyebaran virus ini berawal dari salah satu pasar makanan laut di Kota Wuhan.
Selain makanan dan hewan laut, pasar ini juga menjual kelinci, ular, dan unggas lainnya. Oleh karena itu,
awalnya para ahli menduga virus ini berkaitan dengan kasus SARS dan MERS yang pernah mewabah di Arab
Saudi dan China.

Hingga pada titik ini, virus itu masih belum menyita perhatian dunia, khususnya Indonesia. Pada 13
Januari 2020, infeksi pertama di luar China dilaporkan di Thailand, terkait dengan seorang warga China yang
sedang bepergian ke negara tersebut. Dua hari kemudian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya
mengidentifikasi virus misterius itu menjadi virus baru bernama Novel coronavirus.

Sejak saat itu, negara di sekitar China satu per satu melaporkan kasus serupa, seperti Jepang dan Korea
Selatan. Pada 17 Januari 2020, situs resmi Imperial College London sebelum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah
mencatat, terdapat 1.700 kasus virus corona di China setelah melakukan perhitungan rinci. "Masyarakat harus
mempertimbangkan secara lebih serius tentang kemungkinan adanya penularan dari manusia ke manusia
daripada yang mereka yakini," ujar Profesor Neil Ferguson, ilmuwan wabah penyakit. Hingga akhir Januari
2020, virus corona telah menyebar ke 10 negara, termasuk di antaranya Amerika Serikat dan Perancis. Dengan
kondisi ini, semua mata pun mulai tertuju pada virus corona.

Butuh waktu lebih dari dua bulan bagi virus corona untuk tiba di Indonesia, tepatnya pada 2 Maret
2020. "Orang Jepang ke Indonesia bertemu siapa, ditelusuri dan ketemu. Ternyata orang yang terkena virus
corona berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun," kata Jokowi kala itu. "Dicek dan
tadi pagi saya dapat laporan dari Pak Menkes bahwa ibu ini dan putrinya positif corona," lanjut dia.

Pernyataan itu merupakan awal perjalanan panjang Indonesia dalam perang melawan virus yang
bermula di Kota Wuhan, China. Sebelum konfirmasi pertama kasus Covid-19, banyak pihak menganggap
bahwa Indonesia sebenarnya sudah lama memiliki kasus infeksi Covid-19, tetapi tak terdeteksi. Pasalnya,
negara tetangga Indonesia satu per satu telah melaporkan kasus virus corona, seperti yang dikemukakan oleh
Profesor Harvard Mac Lipyitch. Namun, klaim itu dibantah oleh Menteri Kesehatan Terawan Aguus Putranto.
"Kami berutang pada Tuhan. Ini karena doa kami. Kami tidak mengharapkan hal-hal seperti itu sampai ke
Indonesia," kata Terawan saat itu.
Penambahan Tertinggi Sejak 2 Maret 2020 Perekonomian tumbang Hingga kini, pandemi virus corona
telah menginfeksi hampir seluruh negara, tersisa kurang dari 10 negara di Samudera Pasifik. Tak hanya di
bidang kesehatan, dampak pandemi virus corona juga menggoncang perekonomian dunia dan mengakibat salah
satu krisis terbesar sepanjang sejarah modern.

Satu per satu negara terjerumus ke dalam jurang resesi, tak terkecuali Indonesia. Kondisi ini bisa
dipahami. Pasalnya, penguncian ketat yang berlangsung selama beberapa bulan di awal pandemi mengakibatkan
roda perekonomian berhenti total

BENCANA ALAM DI TAHUN 2021


1. Banjir Kalimantan Selatan

Banjir Kalimantan Selatan 2021 adalah bencana banjir yang menimpa beberapa kota dan


kabupaten di Kalimantan Selatan, yaitu Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten
Banjar, Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten
Balangan, dan Kabupaten Hulu Sungai Utara pada Januari 2021. Ketinggian air beragam: 30
sentimeter, 50 sentimeter, 2 meter, bahkan 3 meter. Wilayah Kalimantan Selatan berstatus tanggap
darurat banjir per 14 Januari 2021.

Banjir diduga disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi sehingga memicu luapan air sungai
sejak 9 Januari 2021. Di Kecamatan Pelaihari, air sungai telah meluap sejak Minggu, 3 Januari 2021. Namun,
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Selatan, Dwi Cahyono, berpendapat bahwa banjir
disebabkan oleh degradasi lingkungan akibat ratusan lubang pertambangan yang tidak dilakukan reklamasi dan
hampir lima puluh persen dari 3,7 juta hektare lahan dikuasai oleh perusahaan tambang dan kelapa sawit.[6][14] Ia
juga mengatakan, perlunya melihat kondisi hulu dan hilir kondisi lingkungan Kalimantan Selatan dan jangan
hanya menyalahkan hujan. Kalsel sendiri sejak tahun 2005 yang memiliki luas tutupan lahan sebanyak 1,18 juta
hektare tersisa menjadi 0,92 juta di tahun 2019. Perubahan guna lahan tersebut, ditambah kalau daerah tersebut
ditimpa hujan ekstrem, menjadikan wilayah Kalsel yang memang secara morfometri dan morfologi sangat
rentan terhadap banjir.
Banjir besar kali ini kemungkinan mengulang periode peristiwa yang pernah terjadi pada 1928. [15] Di
tempat lain yang berdekatan, Sungai Lulut yang berjarak 1 km dari Sungai Martapura, pernah terjadi pula banjir
di tahun 2006 namun hanya semata kaki. Namun begitu, jalanan terendam hampir 2 bulan. Di saat seperti itu,
penduduk membuat panggung untuk tidur, menyelamatkan barang, serta perahu yang di belakang rumah
ditambat di muka rumah atau bahkan dibawa masuk ke rumah.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah melakukan analisis mengenai penyebab
banjir yang terjadi sejak 12--13 Januari 2021 di Kalimantan Selatan. Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh Lapan M. Rokhis Khomarudin mengatakan, pengamatan curah hujan dengan data satelit Himawari-8
menunjukkan bahwa liputan awan penghasil hujan terjadi sejak 12 Januari hingga 13 Januari, dan masih
berlangsung hingga 15 Januari 2021. Ia juga menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan
luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-
masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare. Sebaliknya, area perkebunan meluas "cukup signifikan"
219.000 hektare. Kondisi tersebut, memungkinkan terjadinya banjir di Kalimantan Selatan, apalagi curah hujan
pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8 yang diterima stasiun di
Jakarta.

2. Gelombang Tinggi Natuna

Simak informasi peringatan dini gelombang tinggi di wilayah perairan Indonesia untuk besok, Kamis
(11/2/2021).
Peringatan dini gelombang tinggi yang dikeluarkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ini
berlaku hingga Jumat (12/2/2021) pukul 07.00 WIB.

Pola angin di wilayah Indonesia bagian utara pada umumnya bergerak dari Barat Laut – Timur Laut dengan
kecepatan angin berkisar 5 - 20 knot.
Sedangkan di wilayah Indonesia bagian selatan umumnya bergerak dari Barat Daya - Barat Laut dengan
kecepatan angin berkisar 5 - 20 knot.
Kecepatan angin tertinggi terpantau di Laut Natuna Utara, Perairan barat Lampung, Laut Jawa, Laut Banda
bagian selatan dan Perairan selatan Kep. Kai Aru.

3. Gempa Bumi Mamuju

Gempa Bumi kembali terasa di Kota Mamuju, Sulawesi Barat, pada Minggu (31/1/2021)

malam. Ternyata gempa bumi berpusat di Timur Laut Majene, Sulawesi Barat pada kedalaman 14 km

dengan kekuatan 4,4 magnitudo.


"Hari Minggu 31 Januari 2021 pukul 20:13:13 WITA, wilayah Majene dan   sekitarnya

diguncang gempa bumi Tektonik. Hasil analisa BMKG menunjukkan bahwa gempa bumi ini

berkekuatan 4,4 Magnitudo," kata Kepala BBMKG Wilayah IV Makassar, dalam keterangannya,

Minggu (31/1/2021).

Menurutnya, gempa berpusat di di darat pada jarak 45 Km Timur Laut Majene, Sulawesi

Barat pada kedalaman 14 km.

"Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa bumi yang

terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat aktivitas sesar lokal," tuturnya.

Sementara itu, berdasarkan pantauan  Suara.com di salah satu hotel di Jalan Diponegoro,

Kota Mamuju, Sulawesi Barat getaran terasa pada sekira pukul 20.10 WITA.

Getaran terasa sekira beberapa detik saat penghuni hotel sedang di dalam kamarnya masing-masing.

Seketika warga yang berada di dalam hotel tersebut berhamburan keluar. Mereka sebagian

terdengar ada yang berteriak memberikan imbauan kepada sesama warga lainnya.

Selain itu, bencana hidrometeorologi yang melanda sebagian wilayah Indonesia


menyebabkan 1.290 fasilitas umum rusak dan 200 lainnya tergenang.

Anda mungkin juga menyukai