Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FARMAKOEPIDEMIOLOGI

Hubungan Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat


Analgesik Terhadap Tingkat Kepatuhan Pasien Myalgia di Puskesmas
Tenggilis Surabaya

Disusun oleh:
BAIQ ADE EMA FATHMA
4820121033EX

PROGRAM STUDI S1 FARMASI EKSTENSI


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS QAMARUL HUDA
BADARUDDIN BAGU
TAHUN 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Bagu, 19 Januari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................2
1.3 TUJUAN..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Myalgia................................................................................................................4
2.2 Tinjauan Tentang Puskesmas...............................................................................13
2.3 Hasil dan Pembahasan..........................................................................................16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran..........................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................26

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Myalgia atau disebut juga nyeri otot merupakan gejala dari banyak
penyakit dan gangguan pada tubuh. Penyebab umum myalgia adalah
penggunaan otot yang salah atau otot yang terlalu tegang. Myalgia yang
terjadi tanpa riwayat trauma mungkin disebabkan oleh infeksi virus. Myalgia
yang berlangsung dalam waktu yang lama menunjukan myopati metabolic,
defisiensi nutrisi atau sindrom fatigue kronik (Wahyudi G, 2013).
Myalgia dianggap sebagian masyarakat sebagai gejala ringan akibat
aktivitas fisik yang berlebihan, sehingga sering diatasi dengan pengobatan
swamedikasi tanpa mengetahui penyebab nyeri otot yang dialami. Terapi yang
sering digunakan adalah analgesik jika nyeri otot mulai mengganggu aktivitas
(Steinj, 2002). Namun, penderita myalgia terkadang kurang memahami
apakah gejala myalgia yang dialami perlu mendapat penanganan yang lebih
dari sekedar mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dalam jangka panjang,
sedangkan konsumsi obat analgesik jangka panjang memiliki efek samping
yang merugikan jika dikonsumsi berlebihan tanpa kontrol dokter yang dapat
menimbulkan bleeding khususnya pada saluran pencernaan (Saini, 2013).
Pengobatan myalgia biasanya berupa pengobatan nonfarmakologi dan
pengobatan farmakologi. Pengobatan non farmakologi adalah pendekatan
secara farmakologik lebih banyak digunakan dalam penatalaksanaan rasa
nyeri, namun pendekatan non farmakologik merupakan pengobatan yang
efektif untuk rasa nyeri yang ringan dan sedikit terjadi efek samping, serta
lebih murah (Widiastuti, 2018). Masase, relaksasi dan guide imagery,
stimulasi saraf dengan listrik transkutan, penggunaan kompres panas dan
dingin, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnotis dan akupresus, TENS
(Transcutanesus Electrical Nerve stimulation). Teknik-teknik ini pada
umumnya aman, tersedia dengan mudah dan dapat dilakukan di rumah atau

1
dalam lingkungan fasilitas perawatan akut (Widiastuti, 2018). Sedangkan
pengobatan farmakologi adalah Obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
memiliki beberapa golongan yang bekerja sesuai dengan penghambat enzin
siklooksisgenese (COX) untuk menghantarkan dan meneruskan stimulus
nyeri. AINS digolongkan kedalam tiga golongan yaitu penghambat COX non-
selektif yang dapat menghambat enzim COX isoform 1 dan COX isoform 2.,
COX-2 preferentil yaitu penghambat yang lebih cenderung efektif bekerja pad
COX-2 namun masih efek hambat pada COX-1, dan COX-2 selektif yaitu
penghambatan yang sepenuhnya bekerja pada penghambatan enzim COX
isoform 2. Contoh obat myalgia : Asam Mefenamat, Natrium Diklofenak,
Ibuprofen, Paracetamol, Piroxicam.
Dalam penggunaan obat analgesik untuk gejala myalgia terkadang
penderita mengkonsumsi obat tanpa melakukan konsultasi kepada tenaga
kesehatan. Hal tersebut dapat mengakibatkan penggunaan obat yang tidak
rasional dan berdampak pada ketidakpatuhan penggunaan obat pasien
penderita myalgia yang terkadang hanya membutuhkan terapi analgesik yang
dapat dibeli bebas tanpa resep dokter. Ini merupakan masalah yang harus
ditangani oleh pasien dan tenaga kesehatan secara bersama-sama dalam
meningkatkan kepatuhan pasien yang berperan penting dalam keberhasilan
terapi yang efektif dan mencegah efek yang tidak dikehendaki akibat
penggunaan obat yang tidak rasional (Puskesmas Nusa Penida III, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan myalgia
1.2.2 Bagaimana pengobatan untuk myalgia
1.2.3 Apa hubungan factor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan obat
Analgesik terhadap tingkat kepatuhan pasien myalgia

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan myalgia

2
1.3.2 Mengetahui pengobatan untuk myalgia
1.3.3 Mengetahui factor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan obat
analgetic bagi pasien myalgia

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Myalgia
2.1.1 Definisi
Myalgia atau sering disebut nyeri otot adalah nyeri otot yang terjadi karena
kontraksi otot secara berulang-ulang atau terus menerus dan statik akan
mengakhibatkan otot menjadi spasme ataupun meradang. Ketika otot
meradang, bengkak atau kaku karena kelelahan, ruang antara kulit dan otot
tertekan, sehingga terjadi penyempitan pada aliran pada aliran kelenjar
limpatik. Tekanan juga berpengaruh pada reseptor nyeri dibawah kulit, yang
pada selanjutnya memberi sinyal ketidaknyamanan ke otak sehingga
mengalami rasa sakit (Kase, 2005).
2.1.2 Patofisiologi
Gejala umum myalgia (nyeri otot) ini disamping rasa sakit adalah
pembengkakan pada otot. Setelah latihan yang menyebabkan nyeri yang
sangat parah, otot tampak lebih besar dari sebelumnya. Hal ini terjadi bukan
massa otot yang meningkat, tetapi lebih karena otot mengalami peradangan
sebagai respon terhadap kerusakan mikroskopis pada otot (Mayoclinic,2014).
Proses terjadinya myalgia merupakan peranan asam laktat pada otot. Asam
laktat berperan penting dalam proses terjadinya myalgia hal ini disebabkan
karena tubuh dapat mengubah glikogen menjadi energi tanpa adanya oksigen,
ini merupakan proses hemeostatis yang dilakukan tubuh saat kekurangan
oksigen seperti aerobik normal yaitu proses dimana tubuh menggunakan
glikogen sebagai cadangan energi ketika tidak ada asupan nutrisi dari luar
yang masuk kedalam Tubuh (Dewanto,2006).
Dengan mengubahnya menjadi asam laktat dan bukannya ATP pada keadaan
adanya oksigen, ketika tidak ada oksigen yang cukup akan memungkinkan
proses glikolisis untuk berlangsung selama waktu tertentu. Setelah tubuh
memiliki cukup cadangan oksigen, glikogen dapat kembali dikonvensi ke
ATP dan asam laktat dapat dikonvensi kembali menjadi glukosa oleh hati dan

4
jaringan lain yang selanjutnya dapat digunakan, sehingga membuat
pengguanaan glikogen jauh lebih efisien ketika tubuh kekurangan sejumlah
oksigen untuk metabolisme dalam sel (Dewanto,2006).
2.1.3 Etiologi
Secara umum myalgia (nyeri otot) dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut :
2.1.3.1 Overuse (Berlebihan)
Myalgia (nyeri otot) disebabkan oleh kerusakan mikro yang terjadi dalam sel-
sel otot itu sendiri. Hal ini terjadi ketika melakukan beberapa aktivitas dimana
otot sebelumnya jarang digunakan tiba-tiba harus melakukan kerja yang jauh
lebih berat daripada biasanya (Douglas,2014)
2.1.3.2 Injury (Cedera)
Myalgia (nyeri otot) disebabkan oleh ganguan ultrastuktural dari
myoflaments, terutama karena kerusakan jaringan ikat otot itu sendiri. Biopsi
otot yang diambil sehari setelah latihan keras sering menunjukkan perdarahan
dari filamen yang mengikat serat otot tersebut. Rasa sakit kemudian dianggap
sebagian besar karena kerusakan pada jaringan ikat, yang pada gilirannya
meningkatkan sensitivitas nociceptora otot tersebut (reseptor nyeri), hal ini
kemudian menyebabkan rasa sakit pada saat otot-otot tersebut sedang
digunakan. Ujung saraf nociceptora pada otot dan jaringan lain dilengkapi
dengan banyak reseptor endogen nyeri. Salah satunya adalah purinergic
reseptor yang diaktivasi oleh adenosin tripospat (ATP) dan vaniloid reseptor
yang sensitif terhadap penurunan pH. Reseptor purinergik di aktivitasi oleh
kerusakan jaringan yang disebabkan nekrosis sel yang diikuti pelepasan ATP.
pH yang rendah terdapat pada banyak kondisi patologis seperti iskemia dan
inflamasi. Pada level modull ar dan spiral lesi pada nyeri otot merangsang
perubahan neuroplastik yang menghasilkan hyprexcicitability dan
hiperaktivitas neuronn nociceptive.Keadaan tersebut menyebabkan nyeri
spontan dan hiperalgensia pada pasien. Transmisi dari myalgia akut menjadi
kronis ketika terjadi perubahan fungsional dan stuktural. Pasien dengan

5
perubahan morfologi dari sistem norciceptive sulit disembuhkan karena
dibutuhkan waktu (Mayoclinic,2014).
2.1.3.3 Autoimune (Autoimun)
Myalgia akhibat penyakit autoimun. Penyakit autoimun seperti rhumotoid
arthitis dan lupus merupakan kondisi dimana sistem imun menyerang
jaringan/ organ tubuh. Selain myalgia, penyakit autoimun umumnya juga
disertai gejala berupa nyeri tekan paada otot, kehilangan massa otot dan ruam
yang tidak kembali ke keadaan normal (Sambrook,2007).
2.1.3.4 Wihdrawal Syndrome (Sindrom Penarikan)
Myalgia yang disebabkan karena ganguan tidur, individu yang mengalami
gangguan tidur sering kali mengalami nyero otot. Gangguan tidur dan nyeri
otot yang menyertainya mungkin disebabkan oleh ansietas temporer akhibat
situasi yang menimbulkan stress, atau bisa karena kebisingan, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan selama tidak ada gejala lain yang menyertai myalgia
tersebut atau jika nyerinya tidak juga menghilang setelah beberapa hari
namun gangguan tidur yang berkeepanjangan dapat mengindikasikan
gangguan yang serius seperti depresi yang memerlukan penanganan tenaga
profesional. Ketidaksetimbangan hormon mengakhibatkan myalgia (Nusa
Pernida III,2002).
2.1.3.5 Ketidakseimbangan Hormon
Ketidakseimbangan hormon terjadi manakala salah satu hormon reproduktif
tidak lagi bekerja secara fungsional. Akhibatnya, tubuh beralih menggunakan
persendian high-test hormone-nya, adrenalin yang biasanya dipakai untuk
mekanisme “Flight ir fight” pada sitiasi darurat. Penyalahgunaan adrenalin
secara kronis oleh tubuh akan mengarah kepada berbagai gangguan seprti
nyeri otot pensistent yang diserbut fibromyalgia kronis(Nusa Pernida
III,2002).
2.1.3.6 Defisiensi Vitamin D
Myalgia dapat juga disebabkan oleh diet dan gaya hidup yang tidak sehat.
Vitamin memainkan peran penting dalam kesehatan. Vitamin D yang secara

6
alami dapat diperoleh dalam jumlah melimpah dengan berjemur di sinar
matahari pagi, turut berperan dalam membantu absorbsi kalsium. Defisiensi
vitamin D sering ditemui pada kelompok masyarakat yang sebagian besar
melakukan aktivitas didalam ruangan. Vitamin B12 berperan dalam produksi
sel darah merah, perkembangan saraf dan metabolisme karbohidrat, lemak
serta protein. Vitamin ini banyak ditemukan pada daging, ikan dan produk
susu. Keuntungan vitamin tidak hanya dapat menimbulkan terjadinya
myalgia, namun juga mengarah kepada gangguan kesehatan yang lebih serius
(Sambrook,2010).
2.1.3.7 Obat-Obat yang Menginduksi Myalgia
Kelompok obat tertentu seperti statin(penurun kadar kolestrol) memiliki efek
samping berupa myalgia(nyeri otot). Hal ini khususnya terjadi ketika pasien
mulai mengkonsumsi obat tersebut atau ketika dosisnya mulai dinaikkan.
Pada beberapa kasus myalgia(nyeri otot) yang terjadi sedang mengkonsumsi
obat ini dapat juga menunjukkan bahwa otot-otot sedang mengalami
kehancuran, suatu situasi yang dapat mengarah kepada gagal ginjal dan
bahkan mengancam nyawa (Smithson,2009). Selain Zidovudine, Lithium,
Vincristine, Cimetidin, Siklosporin juga menyebabkan myalgia pada seluruh
tubuh(Sambrook,2010).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Gejala klinis yang ditemukan pada myalgia diantaranya
adalah: nyeri sendi, kekakuan, kelelahan, gejala neurologis seperti: mati rasa,
gangguan penglihatan, telinga berdenging (Novita,2014).
2.1.5 Klasifikasi Myalgia
Beberapa nyeri otot yang kerap terjadi antara lain:
2.1.5.1 Fibromyalgia
Fibromyalgia sering disebut dengan rematik otot ialah suatu penyakit yang
ditandai dengan nyeri otot yang luas, yang biasa terjadi pada daerah tengkuk,
punggung dan pinggang. Biasanya nyeri dirasakan pada area tersebut ada
sekitar 11 – 18 titik atau sering disebut sebagai tender poin, dimana titik

7
tersebut akan terasa sangat nyeri bila ditekan namun tidak menjalar. Pada
fibromyalgia, penderita biasanya merasakan keluhan lebig dari 3 bulan yang
disertai adanya gejala gangguan tidur dan kekakuan pada pagi hari. Sifat nyeri
berupa pegal, panas, rasa nyeri seperti terbakar, dapat disertai rasa kesemutan
dan baal (kebas). Penyebab penyakit ini masih belum diketahui dengan pasti,
tetapi disinyalir berhubungan dengan proses hormonal, sistem kekebalan
tubuh dan faktor ketegangan jiwa. Walaupun tidak menyebabkan kematian,
penyakit ini penyebab penurunan fungsi yang cukup serius dan menyebabkan
penurunan kualitas hidup(Kissel,2014).
2.1.5.2 Myosfacial Poin
Myosfacial Poin adalah suatu penyakit yang mirip fibromyalgia, tetapi
perbedaannya terletak pada myofacial poin ditemukan titik nyeri yang lebih
sedikit, dan jika ditekan timbul rasa nyeri yang menjalar ke area tubuh lain.
Penyakit ini lebih mudah disembuhkan dengan penanganan yang tepat
dibandingkan fibromyalgia. Penyebab penyakit ini terutama disebabkan
kesalahan postur atau posisi tubuh dalam waktu lama dan ketegangan emosi
(Kissel,2004).
2.1.5.3 Post Exercise Muscle Soreness
Post exercise muscle soreness adalah suatu keluhan yang terjadi sesudah
melakukan olah raga. Nyeri timbul pada otot yang banyak melakukan
aktivitas saat olahraga, dapat timbul langsung pasca olahraga atau timbul 8-24
jam kemudian yang mencapai puncak nyeri pada 24-72 jam pasca olahraga.
Nyeri otot yang timbul bebetapa jam sampai beberapa hari pasca olahraga
tersebut disebut delayed onset muscle soreness (DOMS). Penyebab nyeri ini
antara lain penumpukan sisa pembakaran atau metabolisme otot yang disebut
asam laktat, kekurangan oksigen pada otot yang aktif, serta pengaruh suhu
tubuh yang meningkat pada saat olahraga. Biasanya nyeri akan hilang dengan
sendirinya setelah 5-7 hari. Jika timbul nyeri tersebut sebaiknya beristirahat
dahulu selama beberapa hari. Setelah nyeri hilang dapat mulai dilakukan olah
raga dengan intensitas ringan dahulu untuk kemudian ditingkatkan secara

8
bertahap. Perlu diingat untuk selalu melakukan latihan peregangan dan
pemanasan sebelum serta sesudah olah raga untuk mencegah terjadinya cedera
otot (Kinssel, 2014).

2.1.6 Penatalaksanaan Myalgia


2.1.6.1 Non-Farmakologis
1. Jika merupakan suatu gejala penyakit, pengobatan utama ditujukan pada
penyakit tersebut.
2. Meningkatkan aliran darah atau suhu dalam otot membantu untuk
mengurangi akumulasi zat metabolik yang merugikan. Dapat dilakukan
dengan melakukan olahraga ringan, fisioterapi dan terapi akupuntur.
3. Dapat beristirahat dan mengurangi aktivitas yang memicu timbulnya nyeri.
Hal ini dilakukan agar otot yang cedera apat mengalami pemulihan selama
istirahat (Nusa Penida,2012).

2.1.6.2 Farmakologis
Terapi pada penyakit myalgia adalah menggunakan obat analgesik opium dan
NSAID karena mempunyai efektifitas yang relatif untuk meredakan nyeri dan
Vitamin untuk membantu melancarkan peredaran darah dan mengatasi
myalgia yang diakhibatkan oleh kekurangan vitamin.
Analgesik
1. Paracetamol
Farmakodinamik: paracetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik.
Paracetamol mengurangi produksi prostaglandin yaitu suatu senyawa
proinflamasi, tetapi paracetamol tidak mempunyai efek antiinflamasi.
Farmakokinetik:Paracetamol yang diberikan per oral kecepatan absorbsinya
tergantung kecepatan pengosongan lambung. Konsentrasi tertinggi dalam
plasma dicapai dalam waktu 0,5-2 jam dan waktu paruh 1-3 jam. Dalam
plasma 25% paracetamolterikat protein plasmadan sebagian dimetabolisme

9
enzim mikrosom hati. Paracetamol diekskresikan melalui urin (Siregar,
2018).Dosis : 3-4 dd 500 mg.
2. Tramadol
Farmakodinamik:Tramadol kemampuan analgesiknya cukup kuat, karena
selain mengaktivasi reseptor opioid, obat ini juga menghambat ambilan
kembali noradrenalin dan serotonin. Adanya penghambat ambilan kembari
noradrenalin dan serotonin neural ini akan meningkatkan kadar noradrenalin
dan serotonin di celah sinaps, yang pada akhirnya akan menurunkan sinyal
nyeri aferen dan amplifikasi sinyal inhibisi eferen.
Farmakokinetik :Bioavibilitas pemberian tramadol 100 mg tramadol secara
oral adalah 75% setelah dosis tunggal. Tramadol dimetabolisme secara
intensif di hati, sebagian besar diekskresi di ginjal, waktu paruh eliminasi
senyawa resemik tramadol meningkat menjadi 7-9 jam setelah pemberian
dosis berulang (Jafar, Y, 2017).Dosis: Sehari maksimal 400 mg, untuk
pengguna 75 tahun ke atas maksimum per hari adalah 300 mg.
AINS
1. Asam Mefenamat
Farmakodinamik:Asam mefenamat merupakan asam fenilantranilat yang
mengalami N-substitusi. Senyawa fenawat mempunyai sifat antiradang,
antipiretik, dan analgesik. Pada uju analgesia, asam mefenamat merupakan
satu – satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer.
Senyawa fenamat memiliki sifat-sifat tersebut karena kemampuanya
menghambat siklooksigenase. Selain itu, senyawa fenamat juga
mengantagonis efek prostaglandin tertentu (Goodman dan Gilman, 2008).
Farmakokinetik:Asam mefenamat diabsorbsi dengan cepat dari saluran
gastrointestinal apabila diberikan secara oral. Kadar plasma puncak dapat
dicapai 1-2 jam setelah pemberian 2x250 mg. (Lukman, 2104).Dosis: Pemula
500 mg, kemudian 3-4 dd 250 mg selama 7 hari.
2. Ibuprofen

10
Farmakodinamik:Ibuprofen merupakan penghambat enzim siklooksigenase
pada biosintesis prostaglandin, sehingga konversi asam arakhidonat ke
prostaglandin menjadi terganggu. Prostaglandin ini sendiri berperan dalam
produksi nyeri dan inflamasi, sehingga dengan adanya penghambat tersebut
dapat menurunkan rasa nyeri(Septian dkk, 2016).
Farmakokinetik:Ibuprofen diabsorbsi melalui pemberian oral melalui usus.
Konsentrasi plasma maksimum biasanya tidak lebih dari 1-2 jamdan
ibuprofen terikat pada protein plasma lebih dari 99% serta dieleminasi
sebagian besar melalui urin dengan waktu paruh 1,8- 2,4 jam (Sweetman,
2019).Dosis: Sehari 3- 4 dd 200mg-400 mg
3. Diklofenak
Farmakodinamik:Diklofenak merupakan analgesik yang mempunyai cara
kerja mengambat sintesa dari prostaglandin di dalam tubuh (Anggraini ddk,
2017).
Farmakokinetik:Absorbsi dikofenak melalui saluran cerna berlangsung cepat
dan sempurna. Laju absorbsi akan melambat jika diberikan bersamaan dengan
makanan, tapi tidak dengan jumlah yang diabsrobsi. Obat akan terikat 99%
pada protein plasma dengan waktu paruh 2-3 jam. Metabolisme diklofenak
berlangsung dihati dan disekresi dalam urin (65 %) dan empedu (35%).Dosis:
2dd 25-50 mg sehari.
4. Ketoprofen
Farmakodinamik:Mekanisme kerja ketoprofen yang merupakan zat yang akan
menghambat pembentukan prostaglandin dan agregasi trombosit sehingga
akan menghalangi penempelan irombosit dan cairan vaskuler (Warono, 2013).
Farmakokinetik:Ketoprofen diserap secara cepat dan sempurna dalam saluran
cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 60-90 menit
setelah pemberian oral, 99% ketoprofen terikat dengan protein plasma
( Warono,D dan Syamsudin, 2013).Waktu paruh eliminasi pada orang tua
selama 5 jam dan 3 jam pada orang dewasa.Dosis: 2-4 dd 25-50 mg
5. Piroxicam

11
Farmakodinamik:Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1 yang selalu ada
diberbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi
tubuh seperti produksi mukus di lambung. Piroxicam mempunyai efek
analgetic dengan menghambat sintesa prostaglandin sebagai mediator pnimbul
rasa sakit (Palupi, 2017).
Farmakokinetik: Piroksikam diabsorbsi sempurna setelah pemberian oral.
Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 2-4 jam. Setelah diabsorbsi
piroksikam banyak terikat di protein plasma (99%). Kurang dari 5 %
piroxicam di ekskresi melalui urin (Goodman dan Gilman, 2008).Dosis: 1dd
20 mg
6. Meloxicam
Farmakodinamik: Menghambat secara selektif enzim COX-2, oleh karena itu
efek gastrointestinal yang terkait inhibisi COX-1 jauh lebih kecil
dibandingkan dengan inhibisi COX-1.
Farmakokinetik: Bioavaibilitas meloxicam per oral sebesar 89%. Konsentrasi
maksimal dalam plasma terjadi dalam 4-5 jam. Meloxicam mepunyai waktu
paruh 20-24 jam. Dalam plasma meloxicam terikat pada protein plasma.
Metabolisme terjadi di hepar dan disekresi melalui ginjal dan hepar.Dosis: 1
dd 7,5 – 15 mg.
7. Celecoxib
Farmakodinamik:Celecoxib bekerja dengan cara menghambat selektif COX-2.
Pada dosis biasa COX-1 tidak dirintangi, maka prostaglandin dengan daya
protektifnya atas mukosa lambung-usus tetap terbentuk.
Farmakokinetik:Celecoxib diserap mencapai kadar darah maksimal setelah 2-
3 jam. Profil plasmanya adalah 97 % dan masa paruh eleminasi 8-12 jam.
Celecoxib dalam hati diubah menjadi metabolik inaktif yang dikeluarkan
besama kemih (Suyani dkk, 2015).Dosis: 2dd 100-200 mg sesudah makan
8. Etoricoxib
Farmakodinamik:Etoricoxib bekerja dengan cara menghambat selektif COX-
2. Pada dosis biasa COX-1 tidak dirintangi, maka prostaglandin dengan daya

12
protektifnya atas mukosa lambung-usus tetap terbentuk.Dosis: 1 dd 60 mg
perhari.
Vitamin
1. Vitamin B kompleks 3
Farmakodinamik:Vitamin B kompleks berperan dalam remetilasi homosistein
menjadi metionin yang kemudian akan mengalami adenosilasi menjadi S-
adenosylmethionine. S-adenosylmethionine adalah donor methyl utama pada
berbagai reaksi biokimia, termasuk pada sintesis neurotransmiter
monoaminergik.
Farmakokinetik:Vitamin B kompleks bersifat larut dalam air sehingga mudah
diabsorbsi oleh usus, tidak disimpan dalam tubuh dan sisa vitamin yang tidak
diperlukan tubuh akan dikeluarkan melalui urine. Dosis: Dewasa satu kali
sehari dengan atau tanpa makan.
2. Vitamin D
Farmakodinamik:Vitamin D berperan mengatur homeostatik kalsium plasma
dan meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfat melalui usus halus serta
berperan dalam pengaturan kadar kalsium plasma yang dipengaruhi juga oleh
hormon paratiroid dan kalsitonin.
Farmakokinetik:Absorbsi melalui saluran cerna cukup baik. vitamin D3
diabsorbsi lebih cepat dan sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung empedu
dan saluran cerna seperti streatore akan menganggu absorbsi vitamin D.
Dosis: Kebutuhan sehari 400 unit/hari.
2.2 Tinjauan Tentang Puskesmas
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya di wilayah
kerjanya. Puskesmas dibangun untuk menyelenggarakan pelayanan dasar,

13
menyeluruh dan terpadu bagi seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah
kerjanya. Kunjungan masyarakat pada suatu unit pelayanan kesehatan tidak
saja dipengaruhi oleh kualitas pelayanan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor
lain diantaranya: sumber daya manusia, motivasi pasien, ketersediaan bahan
dan alat, tarif dan lokasi. Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan
kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas kebupaten/ kota yang bertanggung jawab
menyelengarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes,
2011).
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Berbagai upaya dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut yang dilakukan secara menyeluruh, berjenjang dan
terpadu.
Puskesmas mempunyai fungsi:
1. Pusat Penggerak Pembangunan berwawasan Kesehatan;
2. Pusat Pemberdayaan masyarakat;
3. Pusat Pelayanan kesehatan masyarakat (mencakup pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat)
Sebagai unit pelayanan teknis, Puskesmas bertugas menjalankan
kebijakan kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Terkait
hal tersebut, Puskesmas berperan dalam menjalankan Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) tingkat pertama dan Upaya Kesehatan Perseorangan
(UKP) tingkat pertama diwilayah kerjanya. Upaya Kesehatan Masyarakat
tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial dan
pengembangan.
Yang dimaksud Upaya Kesehatan Masyarakat esensial meliputi:
1. Pelayanan promosi kesehatan
2. Pelayanan kesehatan lingkungan

14
3. Pelayanan kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana
4. Pelayanan gizi
5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
6. Surveilans dan sentinel SKDR
Upaya kesehatan esensial tersebut wajib diselengarakan
oleh setiap Puskesmas untuk mendukung standar pelayan
minimal Kabupaten/Kota bidang kesehatan. Upaya kesehatan
masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan yang
masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya
inofatif dan bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan
disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, khususnya
wilayah kerja dan potensi sumberdaya.
Sementara itu, upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama meliputi:
a. Rawat jalan
b. Pelayanan gawat darurat
c. Pelayanan satu hari (one day care)
d. Home care
e. Rawat inap
f. Persalinan
g. Pelayanan gigi dan mulut
Untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat
perorangan, Puskesmas juga menyelerakan upaya
penunjang meliputi:
a. Manajemen puskesmas
b. Manajemen kefarmasian
c. Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat
d. Pelayanan laboratorium
2.2.1 Profil Puskesmas Wonokerto

15
Puskesmas Wonokerto berdiri sejak tahun Pada Tahun 1957
Puskesmas Wonokerto adalah Pustu dari Puskesmas Bantur. Wilayah
yang sangat luas dan medan yang sulit menjadikan keputusan untuk
memecah Puskesmas Bantur dan Puskesmas Wonokerto pada Tahun
1984.Kemudian akses terhadap fasilitas kesehatan adalah tujuan utama
dari pemisahan Puskesmas Wonokerto dan Puskesmas Bantur.
Wilayah kerja Puskesmas Wonokerto meliputi Desa
Wonokerto, Desa Rejosari, Desa Rejoyoso, Desa Karangsari dan Desa
Pringgodani. Dalam hal jumlah penduduk yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Wonokerto pada tahun 2018 sejumlah 37.777 jiwa.
Puskesmas Wonokerto melayani pasien umum dan pasien BPJS
dengan jam buka pelayanan Puskesmas Wonokerto adalah Senin-
Kamis jam 08.00-12.00, Jum’at 08.00-11.30 dan Sabtu 08.00-11.30
.Minggu/tanggal merah libur kecuali pelayanan UGD, Persalinan dan
rawat inap yang melayani selama 24 jam.
Puskesmas Wonokerto mempunyai beberapa pelayanan yaitu
pelayanan UGD, Poli umum, Persalinan, Rawat inap, Imunisasi, Poli
KIA dan KB Konsultasi gizi, Poli gigi, Farmasi, dan Laboratorium,
dengan kunjungan pasien rawat jalan yang cukup banyak, rata-rata
pasien rawat inap 6 pasien perbulan,rawat jalan rata-rata tiap hari 50
pasien. Jumlah tenaga sebayak 34 karyawan, terdiri dari : 1 orang
dokter yang merangkap sebagai Kepala Puskesmas, 1 Dokter Gigi, 5
Bidan Desa, 5 Perawat Desa, 7 Perawat Induk, 5 Bidan Induk, 1
perawat gigi, 1 tenaga teknis kefarmasian, 2 Ahli Gizi, 1 Analis dan 5
non paramedis.
2.3 Hasil dan Pembahasan
Dalam penelitian ini, diperoleh responden sebanyak 93 yang sesuai
dengan kriteria inklusi, dengan data demografi pada tabel 1.

16
Responden dalam penelitian ini yang merupakan penderita myalgia
sebagian besar adalah perempuan. Menurut Giriwijoya dkk (2007), secara
fisiologis, diameter dan massa total serabut otot perempuan tidak dapat
menyamai laki-laki karena kadar hormon testosteronnya rendah. Hormon
tersebut bisa memicu peningkatan massa otot karena memperbesar sintesis
protein otot dalam tubuh dan perbedaan sensitifitas rasa sakit/nyeri yang
dirasakan antara laki-laki dan perempuan mungkin disebabkan laki-laki
merasa kuat, sehingga meremehkan rasa sakit atau tidak mau mengakui rasa
sakit yang sedang dirasakan. Golongan usia dengan presentase jumlah
responden yang mengalami myalgia paling banyak adalah usia dewasa akhir
sebesar 47,30%. Hal ini dimulai pada usia dewasa akhir yang memiliki
peluang bekerja yang lebih produktif dibandingkan kategori usia lainnya yang
kemudian mempercepat proses penurunan fungsi otot. Adanya mikrotrauma
yang berulang-ulang yang terjadi pada kelompok usia tersebut menyebabkan

17
terbentuknya jaringan fibrous yang rigid dan membentuk crosslink yang
banyak (Andrew A.Guccione, 2000). Hal ini menyebabkan pada usia dewasa
tua hingga lansia banyak mengalami nyeri dan kekakuan pada otot atau yang
dikenal dengan myalgia. Pada penelitian ini, penderita myalgia lebih banyak
telah menikah, hal ini terkait dengan beban tanggungjawab yang semakin
tinggi ketika telah menikah dan banyaknya aktivitas fisik yang dilakukan
untuk menyelesaikan tanggungjawabnya (Triaryati, 2003). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Rahmat (2015) dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan memungkinkan perbedaan tingkat pengetahuan seseorang dan
pengambilan keputusan untuk membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan
sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Persentase pekerjaan
mayoritas dari responden adalah ibu rumah tangga sebesar 31,20%. Menurut
Rahmat (2015) dalam penelitiannya, seseorang yang tidak memiliki pekerjaan
akan memberikan pengaruh yang lebih buruk dalam hal kepatuhan
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pekerjaan. Salah satu factor
struktur sosial yaitu pekerjaan akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan
kesehatan, pekerjaan seseorang menggambarkan sedikit banyaknya informasi
yang diterima untuk melakukan pengobatan. Dalam penelitian ini menjelaskan
bahwa responden tidak dikenakan biaya untuk memeriksakan diri dan
memperoleh obat di puskesmas karena sebagian besar responden memiliki
BPJS/asuransi kesehatan lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan
seseorang tidak mengambil andil dalam kepatuhan berobat seseorang. Dalam
penelitian ini, beberapa responden yang terkadang tidak mengkonsumsi obat
analgesik sesuai resep yang diberikan oleh dokter karena takut akan efek
samping dan merasa obat analgesik tidak menjadi masalah yang penting
dibandingkan obat lain yang lebih dibutuhkan untuk riwayat penyakitnya.
Dari hasil uji validitas ada 2 item yang tidak valid pada kuesioner sehingga 2
item tersebut dihapus agar nilai reliabilitas kuesioner meningkat. Dari uji
reliabilitas diperoleh koefisien reliabilitas (Cronbach’s Alpha) sebesar 0,729
untuk kuesioner tingkat kepatuhan dan 0,745 untuk kuesioner faktor-faktor

18
yang mempengaruhi kepatuhan sehingga dinyatakan reliabel dan dinyatakan
valid karena memiliki r hitung > r tabel (N=30) (0,361). Hasil analisis
statistika deskriptif dari aspek tingkat kepatuhan diperoleh kategori tingkat
kepatuhan tinggi sebesar 77,42%, hasil ini dapat dilihat pada tabel 2 dan
gambar 1.

Tabel 2. Distribusi Tingkat Kepatuhan Penderita Myalgia di Puskesmas


Kecamatan Tenggilis Surabaya

Tingkat kepatuhan tinggi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh


kecenderungan pasien untuk mengkonsumsi obat sesuai resep yang diberikan
dan peran tenaga kesehatan di puskesmas untuk menyampaikan informasi
terkait obat yang diresepkan. Ini didukung penelitian yang dilakukan oleh
Septyowati (2009) terkait penggunaan obat analgesik yang diresepkan tetapi
dapat dibeli secara bebas oleh pasien bahwa informasi yang disampaikan oleh

19
petugas kesehatan saat penyerahan obat kepada pasien, lebih difokuskan pada
informasi cara penggunaan termasuk dosis obat dan kegunaan obat, sehingga
mempengaruhi kepatuhan penggunaan obat pasien. Dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa kepatuhan yang tinggi dalam hal ini adalah kepatuhan
dalam mengikuti instruksi dari tenaga kesehatan tanpa memahami pengobatan
yang sedang penderita dijalani serta efek samping penggunaan obat analgesik
jika dikonsumsi jangka panjang sehingga pemberian informasi serta edukasi
dapat dilakukan untuk memberikan pemahaman terkait pengobatan yang
dijalani sehingga dapat tercipta kepatuhan dalam arti concordance.

20
Dari nilai signifikansinya terlihat hanya faktor X2 (0,019< nilai
signifikansi = 0,05)yang mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita myalgia
dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan uji T untuk menyederhanakan serta
dapat merumuskan persamaan untuk faktor yang dominan dan signifikan
mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita Myalgia di Puskesmas Kecamatan
Tenggilis Surabaya. Hipotesis dari uji T adalah sebagai berikut.

Ha: ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas (faktor-faktor


yangmempengaruhi kepatuhan) terhadap variabel tergantung (tingkat
kepatuhan minum obat).
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas (faktor-faktor
yang mempengaruhi kepatuhan) terhadap variabel tergantung (tingkat
kepatuhanminum obat).

Dari data tabel hasil regresi linier berganda di atas dapat disimpulkan
bahwa nilai ig. X1 (faktor terkait pasien ) 0,363 > α, α = 0,05, maka H0 dapat
diterima, sehingga dapat disimpulkan X1 (faktor sosial & ekonomi) tidak
mempengaruhi secara signifikan terhadap Y (tingkat kepatuhan penggunaan
obat analgesik); Nilai sig. X2 (faktor medikasi ) 0,019 < α, α = 0,05, maka H0
ditolak, sehingga dapat disimpulkan X2 (faktor medikasi ) mempengaruhi
secara signifikan terhadap Y (tingkat kepatuhan penggunaan obat analgesik);
Nilai sig. X3 (factor dari tenaga kesehatan ) 0,067 > α, α = 0,05, maka H0
dapat diterima, sehingga dapat disimpulkan X3 (faktor dari tenaga kesehatan)
tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap Y (tingkat kepatuhan
penggunaan obat analgesik); Nilai sig. X4 (faktor sistem layanan kesehaan)
0,167 > α, , α = 0,05, maka H0 dapat diterima sehingga dapat disimpulkan X4
(faktor sistem layanan kesehatan) tidak mempengaruhi secara signifikan
terhadap Y (tingkat kepatuhan penggunaan obat analgesik); Nilai. X5 (faktor
sosial dan ekonomi ) 0,302 > α, , α = 0,05, maka H0 dapat diterima sehingga

21
dapat disimpulkan X5 (faktor sosial dan ekonomi) tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap Y (tingkat kepatuhan penggunaan obat analgesik); Nilai
sig. X6 (faktor mengenai kondisi pasien ) 0,129 > α, , α = 0,05, maka H0
dapat diterima sehingga dapat disimpulkan X6 (faktor mengenai kondisi
pasien) tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap Y (tingkat kepatuhan
penggunaan obat analgesik).
Dalam uji T menyatakan bahwa faktor medikasi memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kepatuhan penggunaan obat analgesik. Jadi,
Persamaan regresi dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Y= 4,722 + 0,920X2
Selanjutnya, dilakukan uji korelasi gamma untuk melihat seberapa
kuat pengaruh faktor medikasi terhadap tingkat kepatuhan penderita myalgia
yang menggunakan obat analgesik. Dasar pengambilan keputusan dalam uji
korelasi gamma dilihat nilai signifikansinya < 0,05 dan terdapat dalam Tabel
4 dan Tabel 5 adalah sebagai berikut

Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi gamma =


0,577 yang merupakan kekuatan korelasi sedang antara faktor medikasi
dengan tingkat kepatuhan penderita myalgia. Selain itu, nilai signifikansinya

22
< 0,05 = 0,003 yang menunjukkan adanya pengaruh signifikan dengan
kekuatan korelasi sedang dalam penelitian ini. Variabel X2 yang merupakan
faktor medikasi mencakup minum obat bila gejala muncul, cara penggunaan
yang sesuai dengan aturan yang direkomendasikan, efek samping obat
analgesik, lupa minum obat, menggunakan obat tradisional, berhenti minum
obat bila keadaan semakin memburuk. Hal ini didukung oleh penelitian
Sulistyono, dkk pada tahun 2013 yang membuktikan bahwa kepatuhan
dipengaruhi oleh faktor medikasi. Ini ditunjukkan oleh terjadinya efek
samping terhadap kepatuhan seseorang dalam menggunakan obat yang
menyebabkan efek samping obat yang berhubungan dengan terapi terapeutik
dapat mempengaruhi pasien untuk keadaan di masa yang akan datang.
Sebagai contohnya, konsumsi analgesik seperti piroxicam hanya dapat
dikonsumsi sekali sehari karena memiliki waktu paruh yang panjang dan jika
dikonsumsi terus-menerus tanpa mengikuti resep akan menyebabkan
gangguan pada GIT khususnya lambung karena absorpsi terbesar terjadi di
lambung, sehingga jika semakin parah akan menyebabkan tukak lambung
bahkan bleeding pada lambung. Faktor medikasi juga merupakan faktor
tunggal dalam penelitian ini yang berpengaruh secara signifikan dan memiliki
besar nilai koefisien yang tinggi setelah faktor dari tenaga kesehatan.

23
BAB III
PENUTUP
3.1 KESEIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa tingkat kepatuhan penggunaan obat analgesik pada
penderita Myalgia di Puskesmas Tenggilis Surabaya Provinsi Jawa
Timur dipengaruhi signifikan oleh factor medikasi yang
menentukan keberhasilan terapi pengobatan penderita myalgia.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diberikan
beberapa saran antara lain: bagi Pemerintah dan Tenaga Kesehatan
di Kota Surabaya dan khususnya Puskesmas Tenggilis Kota
Surabaya Provinsi Jawa Timur dalam mengurangi faktor yang
mempengaruhi kepatuhan terutama faktor dari tenaga kesehatan
disarankan untuk meningkatkan edukasi dan pemberian informasi
bukan saja mengenai kegunaan obat dan aturan penggunaannya
tetapi juga mengenai efek samping dari obat yang diresepkan
kepada pasien selaku pihak yang melaksanakan pengobatan,
sehingga bukan saja patuh terhadap rekomendasi tenaga kesehatan,
tetapi juga memahami secara dalam pengobatan yang sedang
dijalani serta dampak bagi kesembuhan pasien dimana
pengetahuan termasuk dalam sarana pelayanan kesehatan di
puskesmas. Bagi peneliti selanjutnya yang akan mengambil topik
kepatuhan penderita myalgia dalam penggunaan obat analgesik
disarankan untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam
untuk setiap faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi
tingkat kepatuhan, kemudian peneliti selanjutnya juga disarankan
untuk langsung melihat pola penggunaan obat analgesik saat

24
penderita myalgia berada di tempat tinggalnya untuk lebih akurat
mengukur tingkat kepatuhan dengan alat ukur kuesioner dan
wawancara langsung (observasi langsung), sehingga dapat
mengetahui lebih detail tingkat kepatuhan penggunaan obat
analgesik. Selain itu, peneliti selanjutnya juga diharapkan
mengambil bagian dalam pemberian edukasi dan informasi terkait
efek samping dan cara penggunaan obat analgesik yang tepat untuk
meredakan gejala myalgia. Setelah membaca penelitian terkait
gejala myalgia dan kepatuhan terkait penggunaan obat analgesic
lebih memiliki kepedulian serta perhatian lebih terkait obat yang
digunakan dan aturan penggunaan obat analgesik yang cenderung
berbeda dengan obat untuk penyakit kronis lainnya serta
memberikan pemahaman untuk orang-orang sekitar mengenai
pentingnya kepatuhan untuk mencapai hasil terapi yang efektif.

25
DAFTAR PUSTAKA
Elysia, Maureen.2017.Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya Vol.6 No.1.Calyptra.
Iza, Attina Balkin, Jainuri Erik Pratama.2019. Profil Terapi
Myalgia Pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Wonokerto
Kecamatan Bantur. Malang.

26

Anda mungkin juga menyukai