Memahami Ilmu Ladunni
Memahami Ilmu Ladunni
melalui dua bentuk: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan
konsentrasi dalam perenungan. Sebab merenung menggunakan bati
itu
memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir. 15
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Agus Sutiyono ilmu ladunni
adalah mengalirnya cahaya ilham, terjadi setelah taswiyah
14 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka,
2017),
h. 39 15 Ibid, h. 54
8
orang yang dicari. Hati menjadi lapang, mata hati menjadi terbuka,
16 Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal
Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317 17 Ibid,
9
Yang Lama.
Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa
didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga
mencapai
tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-
angan
sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan
syarat-
syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi,
jihad,
modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah
akhlak
yang mulia bagi orang yang menjalaninya.
Di antara syarat-syarat di atas yang dijabarkan oleh Imam Syafi’i
adalah bimbingan dari seorang guru, karena gurulah yang
membimbing kita
sehingga kita tidak tersesat mengambil jalan dalam menuntut ilmu.
Sehingga wajiblah bagi kita untuk menghormati para guru dengan
adab
18 Ibid.
10
14
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Ilmu Ladunni
1. Pembagian Ilmu dalam Islam
Dalam KBBI kata Ilmu sendiri memiliki 3 makna : yaitu
pertama, pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu, kedua,
pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir,
batin,
dan sebagainya), ketiga, Maha mengetahui, sifat yang wajib bagi
Allah
Swt.1, sedangkan menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Akhmad
Sodiq
dalam bukunya Epistemologi Islam, Kata ilm (ilmu pengetahuan)
adalah
bentuk kata ambiguitas (musytarak: mempunyai banyak arti) yang
meliputi penglihatan dan perasaan. Kata ‘ilm itu menurutnya telah
mengalami perluasan makna. Dalam wacana Islam awal kata tersebut
oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah
sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan
panca
inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan. 4
Adapun kemuliaan ilmu itu sejauh kemuliaan objek yang
diketahui, dan derajat orang yang mengetahui pun sesuai derajat
ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa objek ilmu yang paling utama,
paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah Allah; Pembuat
(ash-Shani’), Pendahulu (al-Mubdi`), Maha Benar lagi Esa (al-Haqq al-
Wahid).5 Sedangkan terminologi ilmu dalam Al-Quran mengandung
empat pengertian,6 yakni :
1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. Jenis ini hanya
dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan
ini disebut dalam QS. Hud (11): 14, yakni :
َل ِي س ج يب وا ِل ك مِف ٱعل م وا ِأ نَّ اِأ نز ل ِب ع لم ِٱل َّل ِو أ نِل ِإ ل ٰ َه
ِإ ل ِه و ِف ه أِل نت مِف إ
14ِِ مُّسل م ون
Terjemahan:
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima
seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu) :
“Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan
dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Allah swt.
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada
Allah)?”
4Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2 5 Al-Ghazali, al-
Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10. 6 Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam
Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.
16
hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa
penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2
menjadi
3 (1 + 2 = 3).
Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam”
dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikian
seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai
pembagian
atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif. 8
Musa Asy’arie, yang dikutip oleh Fathul Mufid, dalam bukunya
Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, menjelaskan bahwa ilmu
dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau husuli dan
jalan
ladunni atau huduri. Jalan kasbi atau husuli adalah cara berpikir
sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap
jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki
arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua
metode yaitu nazhari dan kasbi.11
Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang
tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara
otomatis
akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang
diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan
rasa
sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya
eksistensi
(wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan
dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan
menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq
menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada
atau tiadanya sesuatu.12
Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu
melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar
sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi
pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk
memperoleh
informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,
mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif
dalam
menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah
rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13
Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan
riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14
serta
11 Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,
ilmu ladunni.
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyah ia
membagi metode pencapaian pengetahuan dalam 2 model yaitu:
metode
pendidikan humanis (al-ta’lim al-insaniy) dan metode pendidikan
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).15 Dari dua model di atas kita bisa
melihat ada peranan manusia yang lebih dominan yaitu pada metode
pendidikan humanis dengan kata lain kita dapat menyebutnya juga
sebagai metode kasbi dan pada metode kedua lebih bisa kita sebut
dengan ladunni karena kekuasaan untuk memberikan pembelajaran
tersebut hanya ada atas kuasa Allah.
Pendapat al-Razi bertolak belakang dengan pendapat al-Ghazali.
Jika al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan
melalui
jalan penelitian kepada ilmu kasbi dan ilmu ladunni merupakan
golongan tersendiri, al-Razi justru memasukkan ilmu ladunni kepada
metode kasbi.
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia
berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas
sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati
batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak
menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat
diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai
sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-
contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka
daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar
dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq,
Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36. 15 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
21
pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim
menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui
pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka
menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan
Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih
tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :
ي رف ع ِٱل َّل ِٱل ذ ين ِء ام ن وا ِم نك مِو ٱل ذ ين ِأ وت وا ِٱلع لم
ِد ر ج ٰ َت
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
dalam QS. Fathir (35): 28; (5) ulu al-bab dalam QS. al-Talaq (65): 10.
Semua term ini menunjuk pada pengertian bahwa prasyarat orang
berilmu menurut Al-Quran adalah harus beriman. Di samping ilmu-
ilmu
yang dikuasainya harus pula didasari nilai-nilai keimanan kepada
Allah
dan disertai dengan niat yang ikhlas, baik dan dimanfaatkan ke jalan
yang benar sesuai tuntunan ajaran agama. Dengan kata lain, orang
yang
25 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli
2010,
h. 185
35
ِأنس
ِ ِأبونعيمِمن ِ ِأورثهالاِل لعلمِم ِا َل
ِ ِيعلم(رواه ِ منِعملِبماِعلم
ِ)بسندِضعيف
Beliau juga bersabda:
على
ِ ِقلبه
ِ ِاظهراللِتعااَِل لكمةِمن
ِ للهأربعينِصباحا
ِ ِمنِاخلص
)أيوببسندِضعيف
ِ ِأبو ِ أبونعيمِمن
ِ ِلسانهِ(روا ِه
3. Dengan kontemplasi (tafkir). Apabila jiwa telah terdidik dan
mencintai ilmu, secara otomatis akan terjadi proses kontemplasi
(tafkir). Pada saat itu hasil pikir akan sangat ditentukan oleh cara
yang ditempuh. Jika cara yang ditempuh salah, ia akan terjatuh
pada lembah kehinaan yang merugikan. Jika pemikir itu
menempuh jalan yang benar jadilah ia cendikiawan yang
tercerahkan (dzawiy al-albab). Pada saat itu akan terbuka
baginya timbangan (mizan) kebenaran yang ada dalam hatinya,
sehingga ia menjadi ilmuwan (‘alim) yang sempurna, intelektual
(‘aqil) yang kokoh
C. Hasil Penelitian Yang Relevan
Adapun Hasil Penelitian yang Relevan dengan penelitian Penulis
adalah
sebagai Berikut:
1. “Metode Pembelajaran Dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
(Telaah Tafsir Surat al-Kahfi ayat 60–82). Ditulis oleh Annisa
Aprilyanti Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam tahun 2017, di dalam penelitiannya tersebut
penulis menjabarkan macam-macam metode yang terjadi dalam
proses
pembelajaran nabi Musa kepada Nabi Khidir yang diantaranya adalah;
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang akan diteliti pada kesempatan kali ini adalah Konsep
Ilmu Ladunni yang terdapat di dalam Al-Quran sebagai tafsiran dari
surat
al-Kahfi ayat 65 dengan contoh perjalanan Nabi Musa untuk mencari
ilmu
kepada Nabi Khidir, serta bagaimanakah metode yang untuk
memperoleh
ilmu ladunni.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu
terhitung dari mulai bulan Januari sampai dengan September 2018,
dengan
mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh
dari
berbagai sumber buku dan kitab tafsir yang ada di perpustakaan,
artikel,
jurnal, serta website yang berhubungan dengan penelitian.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong, “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
79
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam al-Quran telah tersirat tentang ilmu yang Allah limpahkan
kepada hati yang jernih, melalui kisah Nabi Musa dan Khidir dalam
surat
al-Kahfi ayat 65, yaitu ilmu ladunni. Ilmu ladunni adalah ilmu yang
dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut
didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran
serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika
proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh
Allah ke
hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-
rahasia
rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh akal
melalui
pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal serta tidak