Anda di halaman 1dari 32

7

Allah swt berfiman dalam surat al-Kahfi (18) ayat 65:


‫ف و ج د اِع بداِم ن ع ب اد ن ِء ات ين ٰ َه ِر ح ةِم نِع ند ن ِو ع ل‬
‫من ٰ َه ِم نِل د ن ِع لم ِا‬
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara
hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Dari ayat di atas kita menemukan kata ‫ِعندن‬
ِ ‫رحةِمن‬dan ‫ِمن‬
ِ ‫علمنا‬
‫لدنِعلما‬, keduanya menggunakan sebuah kata dengan makna dari sisi
kami, jadi dapat kita nisbahkan antara rahmat dan ilmu keduanya
datang
dari sisi Allah swt.
Imam Al-Ghozali dalam bukunya ar-Risalah al-Laduniyah
menyatakan ilmu itu ada dua macam, ilmu Syar’i dan ilmu Aqli. Bagi
orang
yang telah menguasai, kebanyakan ilmu syar’i itu rasional. Dan
menurut
sebagian ahli makrifat, sebagaian besar ilmu rasional itu bersifat
syar’i.14
Imam Ghazali kembali menjelaskan bahwa ilmu manusia bisa
diperoleh melalui dua jalan: Pertama, pengajaran manusia; kedua,
pengajaran Tuhan. Cara pertama adalah cara lazim dan jalan yang
bisa
diindra serta diakui oleh semua orang berakal. Dan pengajaran Tuhan

melalui dua bentuk: dari luar, dengan belajar; dari dalam, dengan
konsentrasi dalam perenungan. Sebab merenung menggunakan bati
itu
memiliki kedudukan yang sama dengan belajar dalam konteks lahir. 15
Menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Agus Sutiyono ilmu ladunni
adalah mengalirnya cahaya ilham, terjadi setelah taswiyah
14 Al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka,
2017),
h. 39 15 Ibid, h. 54
8

(penyempurnaan). Untuk mendapatkan ilmu ladunni harus melalui


beberapa
proses sebelum sampai pada tingkat penyempurnaan. Imam al-
Ghazali
menggolongkan ilmu Ladunni termasuk pengajaran bersifat
ketuhanan.
Ia membagi dua jalan pengajaran, yaitu pemberian pelajaran melalui
wahyu dan pemberian melalui ilham. Pemberian pelajaran melalui
wahyu
terjadi apabila hati sudah sempurna Dzat-Nya, maka hilang tabiat
yang
kotor, ketamakan dan angan-angan yang sesat. Jiwa selalu
menghadapkan wajahnya kepada Sang Pencipta yang
menumbuhkannya.
Ilmu ini biasanya diterima nabi. 16
Adapun pembelajaran melalui ilham adalah peringatan jiwa
kullyah (total) kepada jiwa manusia secara juz’i (sebagian), yang
bersifat
kemanusiaan sesuai dengan kadar kesiapan dan kekuatan
penerimanya.
Ilham sendiri adalah bekas wahyu. Wahyu adalah penjelasan perkara
gaib, sedangkan ilham adalah bentuk samarnya. Ilmu yang diperoleh
dari
wahyu dinamakan ilmu nabawy, sedang- kan ilmu yang diperoleh dari
ilham
dinamakan ilmu ladunni. 17
Ilmu ladunni adalah ilmu yang pencapaiannya tanpa perantara
antara jiwa seseorang dengan Allah. Ia seperti cahaya dari lampu gaib
yang
jatuh ke dalam hati yang bening, bersih dan halus. Proses munculnya
ilham melalui penuangan akal kully dan dari penyinaran jiwa kuliyyah.
Karena itu wahyu merupakan per-hiasan para nabi sedangkan ilham
merupakan perhiasan para wali (kekasih Allah). Apabila pintu pikiran
telah terbuka atas jiwa, seseorang akan mengerti bagaimana cara
berpikir dan bagaimana kembali dengan ketajaman pikirannya kepada

orang yang dicari. Hati menjadi lapang, mata hati menjadi terbuka,
16 Agus Sutiyoni, Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali. Nadwa Jurnal
Pendidikan
Islam Vol. 7, Nomor 2, Oktober 2013, h. 317 17 Ibid,
9

kemudian keluarlah apa yang ada di dalam hati berupa kekuatan


sampai
perbuatan dengan tanpa tambahan pencarian dan kesulitan. 18
Imam Syafi’i r.a. pernah menggugah sebuah syair tentang
bagaimana sebaiknya seseorang dalam mencari ataupun menuntut
ilmu
yang berbunyi:
‫ِببيان‬
ِ ‫ِسأنبيكِعنِتفصيلها‬#‫أخيلنِتنااِل لعلمِإل ِبست ِة‬
ِ
‫ِزمان‬
ِ ‫ ِِودرهمِصحبةِأستاذ ِِوطول‬#‫ذكا ِء ِوحرصِ ِواجتها ِد‬
Artinya: Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali
dengan enam perkara. Aku akan menyebutkan perinciannya:
(yaitu) Kecerdasan, Ambisi, Jihad, Modal, Bimbingan Guru dan Waktu

Yang Lama.
Dari uraian di atas kita dapat temui bahwa ilmu ladunni hanya bisa
didapatkan bagi seseorang yang telah mendidik dirinya hingga
mencapai
tingkat kesempurnaan, hilangya tabiat kotor, ketamakan dan angan-
angan
sesat. Tentunya untuk mencapai kesempurnaan tersebut dibutuhkan
syarat-
syarat yang disebutkan oleh Imam Syafi’i yaitu kecerdasan, ambisi,
jihad,
modal, bimbingan guru dan waktu yang lama, sehingga terbentuklah
akhlak
yang mulia bagi orang yang menjalaninya.
Di antara syarat-syarat di atas yang dijabarkan oleh Imam Syafi’i
adalah bimbingan dari seorang guru, karena gurulah yang
membimbing kita
sehingga kita tidak tersesat mengambil jalan dalam menuntut ilmu.
Sehingga wajiblah bagi kita untuk menghormati para guru dengan
adab
18 Ibid.
10

yang baik sehingga kita mendapatkan rahmat Allah dengan adanya


Ilmu
yang kita pelajari.
Namun nyatanya pada dewasa ini kita banyak menemukan banyak
Muslim yang menjadikan Al-Quran hanya sebagai pajangan di
rumahnya19,
tanpa dibaca apalagi ditadabburi, sehingga banyak dari kita yang
kebingungan ketika menemui sebuah permasalahan hidup. Karena
bukan
kitab yang telah diturunkan oleh Pencipta manusia yang kita baca dan
kaji
melainkan tulisan-tulisan fiksi yang hanya dapat mengisi angan dalam
hati.
Masyarakat memandang ilmu yang ada saat ini sudah benar-benar
ilmu yang tinggi sehingga menjadikan dirinya tinggi pula di hadapan
para
manusia, padahal jika kita pelajari lebih dalam lagi, masih teramat
banyak
ilmu yang belum kita ketahui dan pelajar.
Jauh lagi kita temukan orang-orang pada umumnya bahkan
masyarakat Muslim yang kurang memiliki adab yang baik saat
mencari ilmu
dari gurunya. Akhir-akhir ini kita banyak sekali menemui berita-berita
terkait permasalahan di atas seperti seorang guru di Jakarta Timur
yang
dipukul dan dijambak oleh siswanya sendiri,20 dan masih banyak lagi
contoh-contoh kurangnya akhlak seorang yang ingin menuntut ilmu
kepada
seorang guru. Sehingga jika kita pandang dari sisi keIslaman
menyebabkan
kurang barakahnya ilmu sampai-sampai Allah enggan untuk
menurunkan
rahmat-Nya untuk si penuntut ilmu, sehingga setelah ia mempelajari
banyak
bidang ilmu bukan malah mendekatkannya kepada Sang Pemilik Ilmu
19 Ramadhan, Al-Quran, Hanya Sebagai Pajangan Belaka, diakses dari
http://mahasiswa.iainpalu.ac.id/blog/alquran-hanya-sekedar-pajangan-belaka/ pada
10 maret 2018
11.00 20 Edward Febriyatri Kusuma, Kisah Kelam Ibu Guru di Jaktim yang Dipukul
dan
Dijambak Siswanya, Detik.com, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-
3510572/kisah-
kelam-ibu-guru-di-jaktim-yang-dipukul-dan-dijambak-
siswanya?_ga=2.2098288.1982411881.1520998397-1834683729.1520998385
pada tanggal 10
Maret 2018 10.45
11

malah menjadikan ia semakin jauh dari mengenal Tuhannya, lebih


parahnya
sampai ia tidak mengakui adanya Tuhan.21
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas
masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Konsep Ilmu Ladunni dalam Perspektif Al-Quran (Kajian

Tafsir Surat al-Kahfi ayat 65)”.


B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan
diatas. maka penulis perlu mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Ada anggapan bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang sangat
langka dan tidak ada cara untuk mendapatkannya.
2. Masih banyak yang belum mengerti bagiamana sebenarnya
konsep ilmu laduni dalam perspektif al-Quran dalam surat al-
Kahfi ayat 65.
3. Masih ada umat Muslim yang kurang berakhlak ketika belajar
dengan guru.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis
perlu untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan
dibatasi hanya pada konsep ilmu laduni dalam perspektif Al-Quran
(Kajian
tafsir surat al-Kahfi ayat 65) dan bagaimana cara untuk
memperolehnya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya
yaitu:
21Gito Yudha Pratomo, Eksistensi Tuhan di Mata Orang Jenius, CNN Indonesia,
diakses
dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141022151334-199-7440/eksistensi-
tuhan-di-
mata-orang-jenius pada tanggal 10 Maret 2018 jam 10.50
12

1. Bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan Al-Quran


dalam surat al-Kahfi ayat 65?
2. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkannya
sebagai implementasi dari tafsiran surat al-Kahfi ayat 65?
E. Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan peneliti pada wacana Konsep
Ilmu Laduni dalam pandangan Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi
ayat
65) adalah memberikan penjabaran mengenai bagaimana konsep
Ilmu
Laduni menurut pandangan Al-Quran dan bagaimana seharusnya
seseorang
berprilaku ketika akan berhadapan dengan seorang guru. Hal ini
dikarenakan pada masa ini makna ilmu sendiri yang mulai terkikis
dengan
paham barat sehingga umat Islam banyak meninggalkan rujukan
pentingnya
dalam bepegang pada agama dan masih banyaknya murid yang lupa
bagaimana sebaiknya bertata krama kepada gurunya. Adapun yang
lebih
ditekankan adalah penulis berusaha dengan sebijak mungkin untuk
menjelaskan bagaimanakah konsep ilmu laduni menurut pandangan
Al-
Quran kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65.
F. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak.
1. Bagi penulis, untuk menambah wawasan serta pengalaman
penulis
mengenai penelitian ini, baik dalam merencanakan ataupun
melaksanakan penelitian.
2. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiah di kalangan
akademis
khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih
gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisasi
serta dapat dipraktikkan dalam membangun guru-guru yang
berkualitas, penuh integritas, dan memiliki semangat pengabdian.
13

3. Bagi guru, untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjadi


tauladan yang baik bagi muridnya serta sifat apa saja yang harus
ditanamkan pada diri setiap guru dan murid

14

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Ilmu Ladunni
1. Pembagian Ilmu dalam Islam
Dalam KBBI kata Ilmu sendiri memiliki 3 makna : yaitu
pertama, pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu, kedua,
pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir,
batin,
dan sebagainya), ketiga, Maha mengetahui, sifat yang wajib bagi
Allah
Swt.1, sedangkan menurut al-Ghazali, yang dikutip oleh Akhmad
Sodiq
dalam bukunya Epistemologi Islam, Kata ilm (ilmu pengetahuan)
adalah
bentuk kata ambiguitas (musytarak: mempunyai banyak arti) yang
meliputi penglihatan dan perasaan. Kata ‘ilm itu menurutnya telah
mengalami perluasan makna. Dalam wacana Islam awal kata tersebut

berarti ilmu pengetahuan tentang Allah, tanda-tanda perbuatan-Nya


terhadap hamba dan makhluk-Nya. Pada fase berikutnya kata ‘ilm
mengalami perluasan makna yang mencakup berbagai jenis
pengetahuan.2 al-Ghazali mengatakan lagi dalam ar-risalah al-
ladunniyah, bahwa ilmu adalah gambaran jiwa yang berpikir (an-nafs
an-natiqah) dan jiwa yang tenang menghadapi hakikat segala
sesuatu,
serta gambaran abstrak dari materi dengan wujud fisik, kualitas,
kuantitas, esensi, dan zatnya, manakala ia tunggal, Sedangkan objek
yang diketahui merupakan zat sesuatu, yang mana ilmu tentangnya
terukir dalam jiwa.3 Sedangkan Menurut Abu Musa al-Asy'ari, dikutip
1https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ilmu diakses pada 31 Juli 2019 2 Akhmad Sodiq,
Epistemologi Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 22-23. 3 Al-Ghazali, Ar-Risalah al-
Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10.
15

oleh Abdul Djalal, dalam bukunya Ulumul Qur’an bahwa ilmu itu ialah
sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan
panca
inderanya, sehingga tidak mungkin mengakibatkan berlawanan. 4
Adapun kemuliaan ilmu itu sejauh kemuliaan objek yang
diketahui, dan derajat orang yang mengetahui pun sesuai derajat
ilmunya. Tidak diragukan lagi bahwa objek ilmu yang paling utama,
paling tinggi, paling mulia, dan paling agung adalah Allah; Pembuat
(ash-Shani’), Pendahulu (al-Mubdi`), Maha Benar lagi Esa (al-Haqq al-
Wahid).5 Sedangkan terminologi ilmu dalam Al-Quran mengandung
empat pengertian,6 yakni :
1. Pengetahuan yang dinisbatkan kepada Allah. Jenis ini hanya
dapat diketahui oleh Allah sendiri. Keberadaan pengetahuan
ini disebut dalam QS. Hud (11): 14, yakni :
‫َل ِي س ج يب وا ِل ك مِف ٱعل م وا ِأ نَّ اِأ نز ل ِب ع لم ِٱل َّل ِو أ نِل ِإ ل ٰ َه‬
‫ِإ ل ِه و ِف ه أِل نت مِف إ‬
14ِِ ‫مُّسل م ون‬
Terjemahan:
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima
seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu) :
“Ketahuilah, sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan
dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Allah swt.
selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada
Allah)?”
4Abdul Djalal, Ulumul Quran, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h. 2 5 Al-Ghazali, al-
Risalah al-Ladunniyyah, Terj. Kaserun (Jakarta: Turos Pustaka, 2017),
h. 10. 6 Abd. Muin Salim, Al-Quran sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan, dalam
Jurnal Mitra,
Media Komunikasi Antar PTAIS (Cet. I; Makassar : Kencana, 2004), h. 18- 19.
16

2. Pengetahuan yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan


utusan-Nya. Pengetahuan seperti ini bersifat khusus dan
dalam eksistensinya tertuang ke dalam kitab suci dan ajaran
para Rasul-Nya. Misalnya QS. al-Baqarah (2): 145, yakni :
‫و ل ئ ن ِٱت ب عت ِأ هو اء ه مِم نِب عد ِم اِج اء ك ِم ن ِٱلع لم ِإ ن ك ِإ‬
‫ِ ذاِل م ن ِٱلظ‡ ٰ َل م ين‬
Terjemahan:
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu
–kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim.
Pengetahuan yang disandarkan kepada malaikat yang
diberikan Allah swt, yang hakekatnya hanya Allah sendiri
yang tahu. Hal ini disebutkan dalam QS. al-Baqarah (2) : 32,
yakni :

‫ل مت ن اِإ ِ لم ِل ن اِإ ل ِم اِعق ال وا ِس بح ٰ َن ك ِل ِعن ك ِأ نت ِٱلع ل ِ يم‬


‫ِيم ِٱل ك‬
Terjemahnya :
Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
4. Pengetahuan yang dimiliki manusia seperti yang terkandung
dalam QS. al-Qashash (28) : 78, yakni :
‫ق ال ِإ نَّ اِأ وت يت ه ِۥَِ ند ي لم ِع‬
‫ل َِٰىعع‬
Terjemahnya :
18

hal. Yang kedua, yaitu ilmu yang didapat melalui pendengaran tanpa
penelitian; seperti mengetahui hasil pertambahan angka 1 dan 2
menjadi
3 (1 + 2 = 3).
Dalam dunia pendidikan, ada yang disebut dengan “ilmu Islam”
dan “ilmu Barat”, “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Demikian
seterusnya, sehingga tidak ditemukan kata sepakat mengenai
pembagian
atau klasifikasi ilmu dalam berbagai perspektif. 8
Musa Asy’arie, yang dikutip oleh Fathul Mufid, dalam bukunya
Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, menjelaskan bahwa ilmu
dapat diperoleh melalui dua jalan, yaitu jalan kasbi atau husuli dan
jalan
ladunni atau huduri. Jalan kasbi atau husuli adalah cara berpikir
sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap

melalui proses pengalaman, penelitian, percobaan, dan penemuan. 9


Sementara ilmu ladunni atau huduri hanya diperoleh orang-orang
tertentu dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi
dengan proses pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalb,
sehingga semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca
dengan jelas tercerap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang
tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung, dimana Tuhan

bertindak sebagai pengajarnya.10


Fakhruddin al-Razi (selanjutnya ditulis al-Razi) menjabarkan
tentang pengetahuan dan metode memperoleh ilmu. Menurut al-Razi,
terdapat dua jenis pengetahuan dilihat dari hasilnya yaitu tashdiq dan
tashawwur. Jika pengetahuan itu dapat dihukumi (benar atau salah),
maka itu adalah hasil dari tashdiq. Jika pengetahuan itu tidak dapat
diverifikasi benar atau salah, akan tetapi hanya mampu dirasakan
oleh
8Ibid, h. 179 9 Fathul Mufid, Metode Memperoleh Ilmu Huduri, Al-Tahrir, Vol. 12, No.
2 November
2012, h. 281 10 Ibid.
19

jiwa, maka itu adalah hasil dari tashawwur. Tashawwur juga memiliki
arti interpretasi. Selanjutnya cara memperolehnya terbagi atas dua
metode yaitu nazhari dan kasbi.11
Metode nazhari adalah metode untuk mendapatkan ilmu yang
tidak memerlukan usaha dan penelitian. Hal ini karena secara
otomatis
akal dan jiwa mampu mengetahuinya. Pengetahuan tashawwur yang
diperoleh melalui metode ini misalnya pengetahuan manusia akan
rasa
sakit dan nikmat. Sedangkan pengetahuan tashdiq misalnya
eksistensi
(wujud) dan ketiadaan (‘adam) merupakan dua hal yang bertentangan
dan tidak mungkin berada dalam satu kondisi. Eksistensi pasti akan
menegasikan ketiadaan, begitupun sebaliknya. Pengetahuan tashdiq
menghasilkan sebuah hukum atas perkara, dalam contoh di atas, ada
atau tiadanya sesuatu.12
Kemudian metode kasbi adalah metode untuk mendapatkan ilmu
melalui usaha. Hal ini dikarenakan jiwa tidak memiliki informasi dasar
sehingga memerlukan informasi dari luar untuk mengolahnya menjadi
pengetahuan. Dalam metode kasbi terdapat dua cara untuk
memperoleh
informasi. Cara yang pertama adalah melalui proses berpikir,
mengobservasi, dan meneliti. Pada cara ini subjek berperan aktif
dalam
menggali informasi dari objek. Hasil akhir dari cara pertama ini adalah
rumpun ilmu alam, sosial, dan agama (syariat). 13
Adapun cara yang kedua adalah melalui metode mujahadah dan
riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya khayaliyah14
serta
11 Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 21, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy,

1999), Cet. 3, h. 482.


12 Ibid. 13 Ibid. 14 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini
mendapatkan informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya
khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya
khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada
pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena
gambaran tentang
20

menguatkan daya aqliyah. Saat daya aqliyah menguat, maka nur


ilahiy
akan nampak pada inti akal yang murni. Maka saat itulah akal
dilimpahi
ma’rifat dan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Pada proses ini subjek

berperan aktif untuk menyiapkan wadah yang diperlukan untuk


menampung limpahan nur ilahiy. Hasil akhir dari cara kedua ini adalah

ilmu ladunni.
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Risalah al-Ladunniyah ia
membagi metode pencapaian pengetahuan dalam 2 model yaitu:
metode
pendidikan humanis (al-ta’lim al-insaniy) dan metode pendidikan
transendental (al-ta’lim al-rabbaniy).15 Dari dua model di atas kita bisa
melihat ada peranan manusia yang lebih dominan yaitu pada metode
pendidikan humanis dengan kata lain kita dapat menyebutnya juga
sebagai metode kasbi dan pada metode kedua lebih bisa kita sebut
dengan ladunni karena kekuasaan untuk memberikan pembelajaran
tersebut hanya ada atas kuasa Allah.
Pendapat al-Razi bertolak belakang dengan pendapat al-Ghazali.
Jika al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan
melalui
jalan penelitian kepada ilmu kasbi dan ilmu ladunni merupakan
golongan tersendiri, al-Razi justru memasukkan ilmu ladunni kepada
metode kasbi.
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar,
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia
berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas
sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati
batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak
menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat
diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai
sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-
contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka
daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar
dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq,
Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36. 15 Akhmad Sodiq, Op. Cit., h. 84 – 85.
21

Penulis melihat maksud al-Razi memisahkan antara ilmu nazhari


dan kasbi karena perbedaan usaha subjek. Subjek dianggap otomatis
mengetahui ilmu nazhari, sebaliknya subjek butuh usaha untuk
mendapatkan ilmu kasbi. Hal tersebut pula yang mendasari al-Razi
untuk menggolongkan ilmu ladunni ke dalam ilmu kasbi, karena
subjek
memerlukan usaha untuk menyiapkan wadah bagi ilmu tersebut.
Sedangkan al-Ghazali memisahkan antara ilmu kasbi dan ilmu
ladunni karena ilmu kasbi mampu diusahakan secara aktif oleh subjek

dengan melakukan penelitian terhadap objek ilmu pengetahuan. Dan


pada ilmu ladunni, subjek tidak dapat memaksa ilmu tersebut untuk
hadir, melainkan hanya menunggu curahan nur ilahiy dari Allah.
Dengan kata lain, menurut al-Ghazali, pada ilmu ladunni subjek
bersifat
pasif.
Terlepas dari perbedaan itu, menurut hemat penulis, penjelasan
al-Ghazali dan al-Razi sebenarnya saling melengkapi. Perbedaan
sudut
pandang dalam mengelompokkan ilmu ladunni entah berdiri sendiri
atau
masuk ke dalam ilmu kasbi hanya karena subjek dan objek ilmu itu.
Dalam memperoleh ilmu ladunni, memang subjek perlu aktif untuk
menyiapkan wadahnya. Di sisi lain, subjek harus rela menunggu
curahan nur ilahiy pada wadah yang telah ia siapkan.
Dari penjabaran al-Ghazali dan al-Razi dapat kita simpulkan
bahwa Ilmu Laduni adalah Curahan Nur Ilahy dari Allah kepada hati
seseorang yang telah berusaha menyucikan batinnya melalui metode
mujahadah dan riyadhah untuk melemahkan daya hissiyah dan daya
khayaliyah16 serta menguatkan daya aqliyah, ia adalah ilmu yang
akan
16 Daya hissiyah adalah daya pencerapan indera manusia. Daya ini mendapatkan
informasi
empirik berdasarkan pengalaman-pengalaman pancaindera. Sedangkan daya
khayaliyah adalah daya
imajinatif tempat merekam informasi yang didapatkan daya hissiyah. Daya
khayaliyah mampu
mengirimkan informasi ke daya aqliyah pada saat dibutuhkan. Daya ini telah ada
pada masa kanak-
kanak, misalnya saat mainannya diambil maka ia akan menangis. Hal ini karena
gambaran tentang
benda tersebut masih tersimpan di daya imajinatifnya. Oleh al-Ghazali dalam
Misykat al-Anwar,
22

menghantarkan seseorang kepada keyakinannya karena bersumber


dari
sumber yang Satu, ia juga ilmu yang mampu menyingkapkan hijab
hati
atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran akan sesuatu
itu.
2. Ilmu Kasbi menurut Al-Ghazali
Ilmu kasbi, yakni pengetahuan yang diperoleh manusia
bersumber dari luar dirinya melalui pengalaman hidup ataupun
dengan
usaha yang disengaja. Sedangkan Menurut al-Ghazali, pendekatan
pembelajaran humanis atau kasbi merupakan metode pencapaian
pengetahuan yang didasarkan pada usaha manusia secara aktif
memalui
kegiatan intelektual. Hal ini terdapat tiga macam, macam yang
pertama
misalnya adalah pengetahuan lingkungan hidup yang merupakan
bagian
dari kehidupan manusia seperti matahari yang terbit di Timur dan
terbenam di Barat. Bentuk yang lebih kompleks adalah pengetahuan
atau budaya yang diwarisi secara tidak disadari. Sedang macam
kedua
misalnya adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan usaha-
usaha
belajar, mendengar keterangan atau membaca dari tulisan-tulisan
yang
ada, dan dalam bentuk kompleks adalah yang diperoleh dengan
penelitian.
Paradigma ilmu kasbi ini adalah firman Allah dalam QS. al-Alaq
(96): 1-5, yakni :
daya ini disamakan dengan zujaj (lihat QS. Al-Nur (24):35) karena 3 hal yaitu ia
berasal dari material
alam dunia yang pekat, tidak terlepas dari kadar, bentuk, dan arah yang terbatas
sehingga tertutup
dari cahaya akal murni; imajinasi yang pekat itu bila dijernihkan akan mendekati
batas makna-
makna yang bisa dicerap oleh akal sehingga hampir menyamainya dan tidak
menghalani pancaran
cahaya dari akal murni tersebut; dan imajinasi pada awal pertumbuhannya sangat
diperlukan untuk
membuat teraturnya dalil-dalil intelektual agar tidak goyah atau tercerai-berai
sehingga keluar dari
keteraturan. Jadi fungsi daya imajinatif tersebut adalah untuk menghimpun contoh-
contoh imajinatif
untuk keperluan pengetahuan ‘aqliy (penyusunan teori). Karena kekhasan ini maka
daya imajinatif
diibaratkan dengan kaca. Kaca yang jernih akan membuat cahaya lampu berpendar
dan menjaga
nyala sinar lampu dari tiupan angina dan gerakan yang kasar. Lihat Akhmad Sodiq,
Epistemologi
Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 35-36.
23

ِ ‫خ ل ق ِٱ ْل نس ٰ َن ِم نِع ل ق‬١ِِِِ ‫ٱقر ِأب ٱسم ِر ب ك ِٱل ذ ِيخ ل ق‬


‫ٱقر ِأو ر بُّك ِٱأل كر م‬٢ِِِ ِ
٥‫ع ل م ِٱ ْل نس ٰ َن ِم ِا َل ِي عل ِم‬٤ِِ ‫ٱل ذ ِيع ل م ِب ٱلق ل م‬٣ِِ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Ayat di atas, mengandung pesan ontologis tentang sumber ilmu
pengetahuan. Pada ayat tersebut Allah swt. memerintahkan Nabi saw.

agar membaca. Sedangkan yang dibaca itu obyeknya bermacam-


macam. Yaitu ada yang berupa ayat-ayat yang tertulis (ayat al-
quraniyah), dan dapat pula ayat-ayat Allah swt. yang tidak tertulis
(ayat
al-kauniyah). Membaca ayat-ayat qur’aniyah, dapat menghasilkan
ilmu
agama seperti fikih, tauhid, akhlak dan semacamnya. Sedangkan
membaca ayat-ayat kauniyah dapat menghasilkan sains seperti fisika,

biologi, kimia, astronomi dan semacamnya.


Dapatlah dirumuskan bahwa ilmu kasbi tersebut bersumber dari
ayat-ayat qur’aniyah dan kauniyah, dan untuk memperolehnya maka
manusia dituntut untuk senantiasa membaca. Timbul pertanyaan,
mengapa kata iqra’ atau perintah membaca dalam sederatan ayat di
atas,
terulang dua kali yakni pada ayat 1 dan 3. Jawabannya menurut
penulis
bahwa, perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah mencari ilmu,

sedang yang kedua perintah untuk mengajarkan ilmu kepada orang


lain.
Ini mengindikasikan bahwa ilmu kasbi harus dituntut dengan uasaha
yang maksimal dan memfungsikan segala potensi yang ada pada diri
manusia. Setelah ilmu tersebut diperoleh, maka amanat selanjutnya
adalah mengajarkan ilmu tersebut, dengan cara tetap memfungsikan
segala potensi tersebut.
24

Potensi-potensi pada diri manusia yang harus digunakan untuk


menuntut ilmu tersebut adalah al-sama (pendengaran), al-bashar
(penglihatan), dan al-fu’ad (hati). Ketiga potensi ini disebutkan dalam
beberapa secara bersamaan, misalnya dalam QS. al-Nahl (16): 78
‫و ٱل َّل ِأ خر ج ك مِم نِب ط ون ِأ م ه ٰ َت ك ِمِل ِ ِت عل م ون ِش‬
‫ِ ِِٔياِو ج ع ل ِل ك ِم ِٱلس مع ِو ٱأل بص ٰ َر‬
‫ِ و ٱأل فِ ِٔد ة ِل ع ل ك مِت شك ر ون‬
Ketiga potensi yang disebutkan dalam ayat di atas, merupakan
alat potensial untuk memperoleh pengetahuan. Karena itu, Allah swt.
telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati kepada
manusia
agar dipergunakan untuk merenung, memikirkan dan memperhatikan
apa-apa yang ada di luar dirinya. Dari hasil lacakan penulis, kata al-
sam’u di dalam Al-Quran selalu digunakan dalam bentuk tunggal dan
selalu mendahului kata al-abshar dan al-af’idah. Sebab
didahulukannya
al-sam’u (pendengaran) disini, mengisyaratkan bahwa potensi
pendengaran lebih berfungsi ketimbang penglihatan dan hati dalam
proses pencarian ilmu. Namun demikian, dalam pandangan penulis
bahwa ketika ketiga potensi ini tidak saling menopang maka tidak
akan
membuahkan ilmu yang sempurna. Dikatakan demikian, karena ketiga

potensi tersebut sangat terkait.


Kaitan antara ketiga potensi tersebut adalah bahwa pendengaran
bertugas memelihara ilmu pengetahuan yang telah ditemukan oleh
orang lain, penglihatan bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan
dan
menambahkan hasil penelitian dengan mengadakan pengkajian
terhadapnya. Hati bertugas membersihkan ilmu pengetahuan dari
segala
sifat yang jelek, lalu mengambil beberapa kesimpulan.
25

Dari ketiga potensi ia atas menurut Al-Ghazali dapat mengambil


dua bentuk pembelajaran humanis atau kasbi yaitu: proses belajar
mengajar (ta’lim) dan proses berpikir (al-tafkir)
a. Pendekatan pembelajaran humanis
Al-Ghazali mendefinisikan al-ta’lim sebagai upaya
seseorang (peserta didik) untuk mengambil manfaat
(pengetahuan) dari pendidik (al-syaikh al-juziy) sebagai kiat
untuk mengeluarkan pengetahuan dari potensi (al-quwwah)
kepada aktualitas (al-fi’il). Batasan tersebut dikembangkan
di atas paradigma bahwa ilmu pengetahuan menurut Al-
Ghazali terpendah secara potensial di dasar jiwa. Tepatnya
di dalam hati. Keberadaan ilmu itu seperti mutiara di dasar
lautan. Ketika jiwa peserta didik tersebut telah beranjak
dewasa maka jadilah ia seperti tanaman yang berbuah 17.
Artinya, ketika manusia itu telah dewasa ia akan bisa
berpikir dan membentuk kesimpulan-kesimpulan.
Dari kedua kesimpulan yang dapat diambil
kesimpulan yang baru sehingga pengetahuan orang tersebut
bercabang-cabang. Apa yang dijelaskan al-Ghazali tampak
sejalan dengan dialektika Friedrich Hegel. Menurut Hegel
proses berpikir itu diawali dengan tesis, kemudian muncul
antitesis dan selanjutnya diambil sintesis. Sintesis tersebut
selanjutnya dianggap sebagai tesis kembali untuk
selanjutnya dicari antitesis dan sintesisnya demikian
seterusnya sampai mencapai kebenaran tertinggi.
Jika diperhatikan model pencapaian melalui proses
belajar mengajar ini merupakan model pencapaian rasional
pertama di mana akal masih baru saja bergerak dari kondisi
33

pun bersujud di hadapan Adam. Sekaitan dengan ini Abd Muin Salim
menyatakan bahwa para malaikat tidak mempunyai pengetahuan dan
kemampuan seperti yang dimiliki Adam. Ini berarti mereka mengakui
pula kelebihan yang dimiliki Adam, sehingga karena mereka
menghormat kepada Adam sesuai perintah Tuhan. Bagi keturunan
Adam yang berilmu itu, dijanjikan oleh Allah pada derajat yang lebih
tinggi. Dalam QS. al-Mujadalah (58): 11, Allah berfirman :
‫ي رف ع ِٱل َّل ِٱل ذ ين ِء ام ن وا ِم نك مِو ٱل ذ ين ِأ وت وا ِٱلع لم‬
‫ِد ر ج ٰ َت‬
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan

Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.


Berkenaan dengan turunnya ayat tersebut, dijelaskan dalam
riwayat bahwa ketika di hari Jum'at Nabi saw. berada di suatu tempat
majelis ilmu yang sempit, saat mana tengah menerima tamu dari
penduduk Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, tiba-tiba
sekelompok seorang yang didalamnya termasuk Tsabit bin Qais
datang
dan ingin duduk di bagian depan tempat tersebut. Mereka berdiri
memuliakan Nabi saw. dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi
menjawab salam yang lainnya. Mereka berdiri disampingnya dan
menunggu agar diberikan tempat agak luas. Namun orang yang
dating
terdahulu tetap tidak memberikan peluang. Kejadian tersebut
kemudian
mendorong Nabi saw. mengambil inisiatif dan berkata kepada
sebagian
orang yang ada disekitarnya, berdirilah kalian, berdirilah kalian.
Kemudian berdirilah sebagian kelompok tersebut berdekatan dengan
orang yang datang terdahulu, sehingga Nabi saw. tampak
menunjukkan
kekecewaannya dihadapan mereka. Dalam keadaan demikian itulah
ayat
tersebut diturunkan.
34

Dengan mencermati sebab nuzul di atas, maka dapat dipahami


bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan "majelis ilmu". Hal ini
lebih jelas bila dikutip potongan ayat sebelumnya, yakni fil majalis
maksudnya adalah apabila kamu diminta berdiri selama berada di
majelis Rasulullah, maka segeralah berdiri. Masih terkait dengan
sebab
nuzulnya, dapat dipahami bahwa ayat tersebut mendorong untuk
selalu
diadakannya kegiatan majelis ilmu, karena dengan begitu maka orang

yang aktif di dalamnya akan diangkat derajatnya yang tinggi di sisi


Allah.
Abd Muin Salim yang di kutip oleh Muchlis Nadjmuddin 25 juga
menegaskan bahwa QS. Al-Mujadalah (58): 11 (di atas pen.)
menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan kedudukan lebih tinggi
kepada orang yang beriman dan berilmu. Hanya saja, yang menjadi
permasalahan sekaitan dengan ayat tersebut adalah : siapakah yang
paling tinggi derajatnya disini. Apakah orang yang beriman? Atau
orang
yang berilmu? Atau keduanya memperoleh derajat yang sama?
Menurut
penulis, jawabannya adalah terlebih dahulu harus diinterpretasikan
term
utul ilm yang terdapat dalam ayat tersebut.
Term utul ilmi kelihatannya semakna dengan term (1) ulul al-ilm
dalam QS. Ali Imran (3): 18; (2) al-rasikhun fi al-ilm dalam QS. Ali
Imran (3): 7; (3) al-alimun dalam QS. al-Ankabut (29): 43; (4) al-ulama

dalam QS. Fathir (35): 28; (5) ulu al-bab dalam QS. al-Talaq (65): 10.
Semua term ini menunjuk pada pengertian bahwa prasyarat orang
berilmu menurut Al-Quran adalah harus beriman. Di samping ilmu-
ilmu
yang dikuasainya harus pula didasari nilai-nilai keimanan kepada
Allah
dan disertai dengan niat yang ikhlas, baik dan dimanfaatkan ke jalan
yang benar sesuai tuntunan ajaran agama. Dengan kata lain, orang
yang
25 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli
2010,
h. 185
35

berilmu harus juga mengantarkan dirinya kepada amal dan karya


yang
bermanfaat.26
Berdasar pada interpretasi di atas, maka dapat dirumuskan
bahwa orang yang beriman tidak diangkat derajatnya bilamana ia
tidak
berilmu. Demikian pula sebaliknya, orang yang berilmu tidak diangkat
derajatnya bila ia tidak beriman. Karena itu, ilmuan yang diangkat
derajatnya yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka
memiliki
spiritualitas keagamaan yang tinggi.
B. Metode Mempelajari Ilmu Ladunni
Muhammad Luthfi Ghazali dalam bukunya Sejarah Ilmu Laduni
mengutip pendapat Al-Imam As-Suyuti yang mengatakan:
Banyak orang mengira, bahwa ilmu laduni itu sangat sulit untuk
didapat. Mereka berkata; ilmu laduni itu berada di luar jangkauan
kemampuan manusia. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Untuk
mendapatkan ilmu laduni itu, caranya hanya dengan jalan
membangun
sebab-sebab yang dapat menghasilkan akibat. Adapun sebab-sebab
itu
adalah amal dan zuhud.27
Adapun al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Akhmad Shodiq
menjelaskan bahwa ilmu ladunni dapat dicapai dengan tiga model
pendidikan, yaitu28:
1. Dengan cara menggali seluruh ilmu dan mengambil bagian
terpentingnya.
2. Dengan cara melakukan latihan rohani (riyadhah) yang benar
dan pendekatan pada Allah (muraqabah) yang saleh. Jalan
kedua ini merupakan jalan sufi. Al-Ghazali mendasarkannya
pada hadis-hadis Nabi yang mengisyaratkan hakikat ilmu ini,
yaitu:
26 Muchlis Nadjmuddin, Konsep Ilmu dalam Al-Quran, Inspirasi, No. X Edisi Juli
2010,
h. 186 27 Muhammad Luthfi Gahzali, Sejarah Ilmu Laduni, (Semarang: Abshor,
2008) h. 4 28 Akhmad Shodiq, Op. Cit., h. 91.
36

‫ِأنس‬
ِ ‫ِأبونعيمِمن‬ ِ ‫ِأورثهالاِل لعلمِم ِا َل‬
ِ ‫ِيعلم(رواه‬ ِ ‫منِعملِبماِعلم‬
‫ِ)بسندِضعيف‬
Beliau juga bersabda:
‫على‬
ِ ‫ِقلبه‬
ِ ‫ِاظهراللِتعااَِل لكمةِمن‬
ِ ‫للهأربعينِصباحا‬
ِ ِ‫منِاخلص‬
)‫أيوببسندِضعيف‬
ِ ‫ِأبو‬ ِ ‫أبونعيمِمن‬
ِ ‫ِلسانهِ(روا ِه‬
3. Dengan kontemplasi (tafkir). Apabila jiwa telah terdidik dan
mencintai ilmu, secara otomatis akan terjadi proses kontemplasi
(tafkir). Pada saat itu hasil pikir akan sangat ditentukan oleh cara
yang ditempuh. Jika cara yang ditempuh salah, ia akan terjatuh
pada lembah kehinaan yang merugikan. Jika pemikir itu
menempuh jalan yang benar jadilah ia cendikiawan yang
tercerahkan (dzawiy al-albab). Pada saat itu akan terbuka
baginya timbangan (mizan) kebenaran yang ada dalam hatinya,
sehingga ia menjadi ilmuwan (‘alim) yang sempurna, intelektual
(‘aqil) yang kokoh
C. Hasil Penelitian Yang Relevan
Adapun Hasil Penelitian yang Relevan dengan penelitian Penulis
adalah
sebagai Berikut:
1. “Metode Pembelajaran Dalam Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
(Telaah Tafsir Surat al-Kahfi ayat 60–82). Ditulis oleh Annisa
Aprilyanti Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Pendidikan Agama Islam tahun 2017, di dalam penelitiannya tersebut
penulis menjabarkan macam-macam metode yang terjadi dalam
proses
pembelajaran nabi Musa kepada Nabi Khidir yang diantaranya adalah;

Pertama, Metode Demonstrasi, kedua, Metode Tanya Jawab dan


yang
Ketiga, Metode Hukuman. Sedangkan dalam penelitian yang sedang
37

penulis lakukan adalah mencari konsep ilmu Ladunni yang terdapat


dalam surat al-Kahfi ayat 65.
2. “Ilmu Ladunni dalam Perspektif al-Ghazali” ditulis oleh Agus
Sutiyono
IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2013. Di dalam penelitiannya
tersebut penulis menjabarkan bagaimana Imam al-Ghazali
menjelaskan
tentang Ilmu Ladunni dan bagaimana agar bisa mendapatkannya.
Sedangkan penulis menjabarkan tentang ilmu Ladunni tafsiran dari
surat
al-Kahfi ayat 65 dan menjabarkannya menurut beberapa ulama
terdahulu juga ulama modern

38

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang akan diteliti pada kesempatan kali ini adalah Konsep
Ilmu Ladunni yang terdapat di dalam Al-Quran sebagai tafsiran dari
surat
al-Kahfi ayat 65 dengan contoh perjalanan Nabi Musa untuk mencari
ilmu
kepada Nabi Khidir, serta bagaimanakah metode yang untuk
memperoleh
ilmu ladunni.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu
terhitung dari mulai bulan Januari sampai dengan September 2018,
dengan
mengumpulkan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh
dari
berbagai sumber buku dan kitab tafsir yang ada di perpustakaan,
artikel,
jurnal, serta website yang berhubungan dengan penelitian.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong, “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan


memanfaatkan
berbagai metode alamiah”.1 Dalam hal ini, penulis menggunakan
pendekatan deskriptif analisis dengan menggunakan metode kajian
analisis
berupa studi kepustakaan (Library Research). Menurut Mestika Zed,
studi
pustaka ialah “Serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah
bahan
penelitian”.2 Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan dengan cara
1Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,
2013), Cet. 31, h. 6 2 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2008), h. 3
39

membaca, mengkaji, menelaah, mendeskripsikan, dan menganalisa


buku-
buku teks, baik yang bersifat teoritis maupun empiris. Dalam hal ini,
sumber
data penelitian berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan
tema
penelitian ini.
Dalam ilmu tafsir, terdapat dua metode penafsiran yaitu tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran
dengan menggunakan dalil Al-Quran itu sendiri, hadits Nabi SAW,
pendapat para sahabat dan perkataan para tabi’in yang menjelaskan
maksud
dan makna dari nash-nash Al-Quran. Sedangkan tafsir bil ra’yi adalah
metode penafsiran Al-Quran berdasarkan ijtihad mufassirnya dengan
menjadikan akal pikiran (ra’yi) sebagai pendekatan utamanya. 3
Menurut
pendapat Abd al-Hayy al-Farmawi yang dikutip oleh Muhammad Amin

Suma, menyebutkan metode penelitian tafsir dengan corak penalaran


(bil
ra’yi) terbagi menjadi empat macam, yaitu: tafsir al-taḫlili, tafsir al-
ijmali,
tafsir al-muqaran, dan tafsir al-maudhu’i.4
Penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dengan menggunakan
corak penalaran (bil ra’yi) dengan metode tahlili (deskriptif analisis).
Menurut M. Quraish Shihab, metode tahlili (deskripstif analisis) adalah

pengkajian arti dan makna serta maksud dari ayat-ayat Al-Quran


terkait
dengan menjelaskan ayat per-ayat sesuai urutan dalam mushaf
melalui
penafsiran kosakata, penjelasan asbâbun nuzûl, munasabah ayat
serta
kandungannya sesuai dengan keahlian mufassir.5
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “Batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat
3Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana
Pustaka,
2005), h. 18-19 4 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), Ed. I, Cet. I,
h. 378-379 5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 117.
40

umum”.6 Melihat dari pendapat Sugiyono, maka penulis


mencantumkan apa
yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam
penelitian
ini, yaitu kajian tafsir mengenai Konsep Ilmu Ladunni yang terdapat
dalam
Al-Quran (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 65) serta upaya apa saja
yang
dapat kita lakukan sehingga kita bisa mendapatkan Ilmu Ladunni.
Akan
tetapi, penulis juga menyertakan surat al-Kahfi ayat 60-64 dan ayat 66
untuk
membantu memahami latar belakang dan metode mendapatkan ilmu
ladunni dengan memanfaatkan munasabah antar ayat.
D. Prosedur Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil data dari beberapa
sumber buku yang berhubungan erat dengan pembahasan yang akan
penulis bahas yang disebut dengan istilah “library research”
(penelitian
kepustakaan) yakni pengambilan data dari buku-buku atau karya
ilmiah
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik berupa tafsir,

Al-Quran, dan ilmu ladunni.


Sedangkan dalam metode pembahasan menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu:
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengumpulkan
beberapa literatur-literatur atau buku-buku yang terdiri dari data
primer dan data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya
peneliti atau teoritis yang orisinil. Dalam hal ini,
sumber data primer yang digunakan adalah kitab-
kitab tafsir yang membahas tentang surat al-Kahfi
ayat 65, diantaranya:
1) Al-Quran dan Terjemahnya
6Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2006), Cet. I, h. 233
41

2) Kitab Tafsir (Tafsir Al-Mishbah, Mafatih al-


Ghaib, dan Al-Bahr Al-Madid)
3) Hadits-hadits Nabi dalam kitab Shahih Bukhari
dan Muslim
4) Al-Risalah Al-Ladunniyah karangan Imam Al-
Ghazali
5) Epistemologi Islam karya Dr. Akhmad Sodiq,
M.A.
b. sumber sekunder sebagai berikut:
1) Tafsir yang berkaitan dengan pembahasan
2) Buku-buku, Ebook dan Jurnal yang berkaitan
dengan Al-Quran, ilmu ladunni dan cara
mendapatkannya
3) Kamus-kamus yang relevan dengan pembahasan
Dan literatur lain yang dianggap relevan dengan
pembahasan
2. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, dalam mengambil
kesimpulan bersumber dari data-data yang telah didapat, baik
data primer maupun data sekunder.
Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat
peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara
mengorganisasikan data, memilah mana data yang
sesungguhnya penting atau tidak, ukuran penting atau tidaknya
mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab
fokus penelitian, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola dan hubungan-hubungan.7 Oleh karena itu, untuk teknik
analis data, dalam mengambil kesimpulan bersumber dari data

79

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dalam al-Quran telah tersirat tentang ilmu yang Allah limpahkan
kepada hati yang jernih, melalui kisah Nabi Musa dan Khidir dalam
surat
al-Kahfi ayat 65, yaitu ilmu ladunni. Ilmu ladunni adalah ilmu yang
dilimpahkan ke dalam hati tanpa proses belajar. Hal tersebut
didapatkan
setelah melalui tahapan penyucian batin dari kealpaan dan kotoran
serta
meniadakan kebutuhan dan perhatian kepada selain Allah. Jika
proses
penyucian batin telah sempurna, seorang hamba akan dibawa oleh
Allah ke
hadirat-Nya dan dilimpahkan kepadanya ilmu ladunni serta rahasia-
rahasia
rabbaniyah. Di antaranya adalah ilmu yang dapat diserap oleh akal
melalui
pemahaman nash dan ilmu yang tidak mampu diserap akal serta tidak

terlingkup dalam nash akan tetapi mampu diterima karena bersumber


dari-
Nya dan perkara itu tidak mampu ia laksanakan. Kemudian ilmu yang
berkaitan dengan hal gaib seperti peristiwa takdir dan kejadian-
kejadian di
masa yang akan datang, ilmu yang terkait dengan perkara-perkara
syariat
dan rahasia-rahasia hukum, ilmu tentang rahasia kekhususan huruf-
huruf
dan simbol, dan ilmu lainnya yang dilimpahkan dari luasnya samudera
ilmu
Allah.
Untuk mendapatkan ilmu ladunni, seseorang harus memiliki kriteria
yaitu: a. Meluruskan niat untuk mencari ilmu, b. Meneguhkan tujuan
mencari ilmu yaitu mendapatkan irsyad, c. Memiliki prasyarat berupa
penguasaan ilmu syariat, d. Menaati perintah Allah dan menjauhi
larangan-
Nya, e. Melakukan mujahadah riyadhah, f. Memiliki adab yang baik
kepada
guru (tawadhu, memuliakan guru, dan lemah lembut), g. Berkhidmah
kepada guru
B. Implikasi
Terdapat beberapa implikasi berdasarkan hasil penelitian ini antara
lain:
80

1. Implikasi terhadap akhlak siswa, yaitu siswa harus ditanamkan


adab
kepada guru sejak dini, dilatih untuk melakukan mujahadah riyadhah
dalam kesehariannya, dan memiliki jiwa khidmah pada ilmu dan guru.
2. Implikasi terhadap kompetensi guru, yaitu guru harus memiliki
kompetensi spiritual agar dapat membimbing siswa mendapatkan
pengetahuan ilahi yang hakiki.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memiliki beberapa saran antara
lain:
1. Bagi penulis agar lebih mendalami ilmu syariat terutama ilmu tafsir
al-
Quran dan ilmu tasawuf sehubungan dengan konsentrasi dalam
pendidikan akhlak.
2. Bagi jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta dan lembaga pendidikan Islam lainnya agar mencetak guru-
guru
yang memiliki kompetensi spiritual yang baik.
3. Bagi sekolah agar mempersiapkan sarana dan prasarana ibadah
yang
diperlukan, peran regulasi dalam mengatur cara berpakaian siswa,
peraturan wajib membaca al-Quran sebelum belajar, dan sebagainya.
Dalam mewujudkan kompetensi spiritual guru sekolah berperan
sebagai
fasilitator dengan mengadakan majelis ta’lim bagi guru-guru sebagai
sarana mendalami ilmu syariat.
4. Bagi guru PAI agar meningkatkan profesionalitas dalam
kompetensi
spiritual dengan jalan mujahadah riyadhah agar mampu membimbing
siswa kepada pengetahuan hakiki.
5. Bagi pembaca agar selalu melaksanakan mujahadah riyadhah
agar jiwa
menjadi bersih dan mendapatkan limpahan ilmu ladunni dari Allah.

Anda mungkin juga menyukai