Anda di halaman 1dari 17

MAKNA BELAJAR MENURUT ULAMA’ SALAF

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Teori Belajar Kontemporer

Dosen Pengampu:

Dr. Tri Marfianto, M.Pd.I

Oleh:

Fajar Bahari : 20.6.8.1651


Hilmiyah : 20.6.8.1662

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUNAN GIRI (UNSURI)
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, dengan berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah “Makna Belajar menurut Ulama’
Salaf”. Kesemuanya itu tidak terlepas dari rahmat dan rahim serta pertolongannya,
sehingga semua hambatan dan kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan
lancar. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Yang telah membimbing umatnya kejalan yang benar dan diridainya

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang “Makna Belajar
menurut Ulama’ Salaf” ini dapat memberikan Ilmu pengetahuan dan manfaat
kepada pembaca.Tuhan penguasa Alam, yang menciptakan manusia dengan bentuk
yang paling sempurna, penuh dengan keseimbangan dan keserasian, yang
melengkapinya dengan segala fasilitas hidup sebagai jaminan secara adil dan
bijaksana.

2
DAFTAR ISI

COVER 1

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I: PENDAHULUAN 4

A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
BAB II: PEMBAHASAN 5

A. Pengertian Belajar 5
B. Makna Belajar menurut Ibnu Khaldun 5
C. Makna Belajar menurut Al Ghazali 7
D. Makna Belajar menurut Al-Zarnuji 8
E. Makna Belajar menurut Ibnu Taimiyah 11
BAB III: PENUTUP 16

A. Kesimpulan 16
B. Saran-saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam telah mengatur segala aktifitas umatnya, termasuk belajar. Belajar
merupakan kewajiban umat sepanjang masa. Bahkan, Allah mengawali
menurunkan Quran sebagai pedoman hidup umat dengan ayat yang memerintahkan
kita untuk membaca (iqra’). Iqra’ (membaca) merupakan salah satu perwujudan
kita dalam aktivitas belajar. Dengan membaca, akan memperkaya dan memperluas
ilmu pengetahuan kita. Karena pentingnya belajar, Allah pun berjanji mengangkat
derajat orang-orang yang berilmu dan beriman kepada-Nya.
Belajar tidak terbatas ruang dan waktu, dimanapun dan kapanpun. Karena
sejak kita dilahirkan sampai kita kembali kepada-Nya nanti kita akan terus belajar,
berproses dalam menjalani kehidupan ini. Untuk memahami konsep belajar
menurut Islam dan juga konsep belajar menurut tokoh Islam. Selanjutnya akan
dibahas dalam makalah dimulai dari definisi belajar, signifikansi belajar, sampai
konsep belajar menurut tokoh Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna belajar menurut Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana makna belajar menurut Imam Al- Ghazali?
3. Bagaimana makna belajar menurut Syeikh Al-Zarnuji?
4. Bagaimana makna belajar menurut Ibnu Taymiyah?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar
Istilah yang lazim digunakan dalam bahasa Arab tentang kata belajar adalah
Ta’allama dan Darasa. Al-Qur’an juga menggunakan kata darasa yang diartikan
dengan mempelajari, yang sering kali dihubungkan dengan mempelajari kitab. Hal
ini mengisyaratkan bahwa kitab (dalam hal ini al-Qur’an) merupakan sumber
segala pengetahuan bagi umat Islam, dan dijadikan sebagai pedoman hidupnya
(way of life).
Belajar dalam Islam juga diistilahkan dengan menuntut ilmu (Thalab A-
’Ilm). Karena dengan belajar, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi dirinya. Dalam Islam, ilmu yang diperoleh harus diaplikasikan
sehingga memberikan perubahan dalam diri pelajar, baik kepribadian maupun
perilakunya.1
B. Makna Belajar Menurut Ibnu Khaldun
Belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan manusia. Dengan belajar, manusia dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya. Tanpa belajar, manusia tidak mungkin dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Semua aktivitas keseharian membutuhkan
ilmu yang hanya didapat dengan belajar. Sedangkan pembelajaran digunakan untuk
mengarahkan anak didik dalam proses belajar sehingga anak didik dapat
memperoleh tujuan belajar.2
Dalam pandangan Ibnu Khaldun manusia ketika dilahirkan benar-benar
tidak mengetahui apa-apa. Selanjutnya manusia tumbuh dan berkembang dan
memperoleh eksistensinya melalui pengetahuan yang ia peroleh selama hidup.
Karenanya, belajar merupakan salah satu aktivitas pokok manusia. Sebagai makhluk
yang selalu belajar, manusia memiliki potensi psikologis yaitu berupa akal.

1
Marita Laila Rahman, ‘Konsep Belajar Menurut Islam’, Jurnal Al-Murabbi VOl.2 No.2 (Januari,
2016, 231.
2
https://www.kompasiana.com/dewi_masluchah/59db6126655b5b53955c7cc2/perbandingan-antara-
konsep-belajar-ibnu-khaldun-dan-konsep-belajar-jean-piaget
5
Menurutnya, manusia mampu memahami keadaan atau situasi di luar dirinya melalui
kekuatan pikiran (akal) yang berada dibalik alat indra (al hawas). Akal bukanlah
otak tapi merupakan suatu daya yang dimiliki manusia untuk memahami realiatas di
luar dirinya, karenanya akal bekerja dengan kekuatan yang ada pada otak.3
Akal secara hierarkis tumbuh dan berkembang dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, disebut dengan Discerning Intelligence atau al-'aql at-Tamyiz yaitu akal
yang dengannya manusia memperoleh pengetahuan yang memberikan arahan untuk
bertindak secara terkontrol; Kedua, disebut dengan Empirical Intelligence atau al-
aql at-Tajribi yaitu akal yang dengannya manusia memperoleh pengetahuan
tentang sesuatu yang harus atau tidak dilakukan, sesuatu yang baik atau tidak baik
dan hal lainnya yang berkaitan dengan pengetahuan nilai. Akal ini pula yang
membimbing kita dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar; Ketiga, disebut
dengan Speculative Intelligence atau al-'Aql an-Nazhari yaitu akan yang dengannya
manusia mampu merumuskan pengetahuan teoritik tentang segala hal yang ada di
dunia. Dengan akal ketiga inilah manusia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan
dan lewat ilmu pengetahuan itulah salah satunya manusia bisa memperoleh
kesempurnaan.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun belajar sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor psikologis. Kehadiran dan ketidak hadiran faktor-faktor psikologis bisa
memberikan dampak yang signifikan terhadap kemudahan mencapai tujuan belajar
secara optimal. Salah satu faktor psikologis yang fundamental dalam belajar
adalah berpikir. Atas asumsi ini, Ibnu Khaldun mengajukan dua konsep belajar, yaitu:
Konsep Belajar Malakah dan Konsep Belajar Tadrîj.
Konsep Belajar Malakah. Kata 'Malakah' secara bahasa berarti
"menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai" dan "suatu sifat yang mengakar
pada jiwa". Atas dasar rumusan bahasa tersebut, Ibnu Khaldun merumuskan
Malakah sebagai "satu sifat yang berurat berakar, sebagai hasil belajar atau
mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasil belajar dalam bentuk pekerjaan
itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa". Dalam kaitannya dengan proses belajar
malakah berarti satu tingkat pencapaian (achievement) dari penguasaan suatu

3
Saepul Anwar,’Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun’, Jurnal Ta’lim MKDU Vol. 6 No.1 (Maret,
2008), 7.
6
materi keilmuan, keterampilan, dan sikap tertentu yang diperoleh dari hasil belajar
secara intens, bersungguh-sungguh dan sistematis.
Malakah berbeda dengan al-fahm (pemahaman), dan al-wa'yu (hapalan).
Hapalan tidak lebih dari sekedar daya simpan terhadap berbagai pengetahuan,
informasi, dan simbol-simbol. Sedangkan pemahaman merupakan kemampuan
menangkap makna dari sesuatu yang diindra. Adapun malakah lebih dari sekedar
pemahaman tapi mengarah pada penguasaan sesuatu dalam tiga ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor secara optimal. Untuk mendapatkan belajar malakah ini,
Ibnu Khaldun mengembangkan tiga metode belajar, yaitu latihan al- muhâwarah,
al-munâzharah, dan ittisal (kontinuitas).
Konsep Belajar Tadrîj. Secara bahasa tadrîj berarti naik, maju, meningkat
secara berangsur-angsur, dan sedikit demi sedikit. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,
tadrij dalam proses belajar adalah maju baik secara kuantitas maupun kualitas.
Konsep belajar ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa kemampuan manusia
terbatas dan akal manusia berkembang secara bertahap. Karenanya dalam konsep
belajar tadrîj, belajar yang efektif adalah belajar yang dilakukan secara berangsur-
angsur, setahap demi setahap, dan sistematis disesuaikan dengan tahapan
perkembangan akal manusia.

C. Makna Belajar Menurut Imam Al-Ghazali


Berkaitan dengan belajar Al-Ghazali menyatakan belajar itu suatu proses
pengalihan ilmu pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran siswa
membutuhkan seorang guru dalam memperoleh ilmunya. Pendidikan yang
dilakukan oleh seorang syeikh seperti pekerjaan yang dilakukan oleh petani, yang
menyingkirkan duri dari tanaman liar yang mengganggu agar tanaman dapat
tumbuh dengan baik dan produktif. Oleh karena itu, seorang salik harus memiliki
syeikh yang akan mendidik dan menuntunnya ke jalan Allah Ta’ala.
Berkaitan dengan belajar, al-Ghazâlî memandang anak sebagai suatu
anugerah Allah dan sekaligus sebagai amanah bagi orang tuanya. Orang tua,
menurut al-Ghazâlî memegang peranan penting dalam upaya mencapai
keberhasilan belajar anak. Oleh karenanya, jika orangtua dapat melaksanakan

7
amanah, ia akan mendapat pahala di sisi Allah, dan sebaliknya jika ia melalaikan
tugas dan amanah, ia akan mendapatkan dosa.
Al-Ghazâlî menyatakan bahwa wajib hukumnya belajar (menunut ilmu).
Kewajiban menuntut ilmu ini ia kutip dari sabda Rasulullah SAW yang
menyatakan, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China sekalipun.
Berkaitan dengan tujuan belajar al-Ghazâlî menekankan belajar sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah. Al-Ghazâlî tidak membenarkan belajar
dengan tujuan duniawi. Dalam hal ini, al-Ghazâlî menyatakan: “Hasil dari ilmu
pengetahuan sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan sekalian
alam, dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi dan berkumpul dengan
alam arwah. Semua itu adalah keagungan dan penghormatan secara naluriyah.”4
Pandangan al-Ghazâlî di atas bersumber dari pandangan ekstrimnya bahwa
segala bentuk ibadah (yang di dalamnya termasuk belajar) harus diniatkan untuk
mencari keridhaan Allah, melalui pendekatan (taqarrub) kepada-Nya.5
Dalam belajar dan pembelajaran, al-Ghazâlî mengajarkan bahwa belajar
adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir
hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk
pengajaran yang bertahap, dimana proses pembelajaran itu menjadi tanggung
jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah menjadi
manusia sempurna.”

D. Makna Belajar Menurut Al-Zarnuji


Konsep pendidikan al-Zarnuji tertuang dalam karya, Taklîm al-Muta’allîm.
Kitab ini sudah diakui sebagai karya yang monumental, buku ini telah dijadikan
rujukan dan bahan penelitian dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam
bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuan muslim saja, tapi
juga oleh para para orientalis dan penulis barat. Dalam kitab ini, al-Zarnuji
menawarkan beberapan konsep pendidikan Islam, konsep pendidikan tersebut
Antara lain pengertian ilmu dan keutamaannya, niat belajar, memilih guru, ilmu,
teman, dan ketabahan dalam belajar, menghormati ilmu dan ulama, ketekunan,

4
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Vol. I (t.t: Masyadul Husaini, t.th), 10.
5
Abdul Halim Mahmood, Hal Ihwal Tassawuf dari al-Munqidz min al-Dlalal (Jakarta: Darul Ihya’,
1994), 179.
8
kontinuitas, dan cita-cita luhur, permulaan dan insensitas belajar serta tata
tertibnya, tawakkal kepada Allah Swt., masa belajar, kasih sayang dan memberi
nasihat, mengambil pelajaran, wara, (menjaga diri dari yang syubhat dan haram)
pada masa belajar, penyebab hapal dan lupa, serta masalah rezeki dan umur. 6
Dalam buku, The Muslim Theories of Education During The Middle Ages, Abdul
Muidh Khan menyimpulkan ketiga belas bagian tersebut dalam tiga cakupan besar,
yaitu the devision of knowledge, the purpose of learning, dan the method of study.7
1. Tujuan Pendidikan
Menurut al-Zarnuji tujuan pendidikan ada dua, yaitu pertama, tujuan
akhirat, seseorang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap ridha Allah,
mencari kebahagian di akhirat menghilangkan kebodohan baik dari sendiri
maupun untuk orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam.
Kedua, tujuan dunia, seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk
memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar
makruf nahi mungkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan
agama Allah. Bukan mencari keuntungan diri sendiri, dan tidak pula karena
memperturutkan hawa nafsu. Dengan demikian niat menuntut ilmu jangan
sampai keliru, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, atau
untuk mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan
tertentu.8
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan tersebut baik
yang bersifat ideal maupun yang bersifat praktis, mencakup nilai-nilai ideal
islami, yaitu pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkatkan
kesejatraan di dunia. Kedua, dimensi yang mengandung nilai-nilai ruhani untuk
kepentingan akhirat. Dimensi ini menghendaki pelajar untuk tidak terbelenggu
oleh mata rantai kehidupan yang materealistis didunia, tetapai ada tujuan yang
jauh lebih mulia yaitu kehidupan di akhirat. Ketiga, dimensi yang mengandung
nilai yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia (praktis) dan
kehidupan ukhrawi (ideal).
2. Pembagian Ilmu
6
Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 52.
7
Ibid.,
8
Syeh Ibrahim Al-Zarnuji, Syarh al-Ta’lim wa al-Muta’allim (Mesir: Dar ihya’ al-Kutub al-
Arabiyah, t.th.), 10-12.
9
Al-Zarnuji membagi ilmu pengetahuan dalam empat kategori. Pertama,
ilmu fardhu ‟ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara
individual. Menurut al-Zarnuji, ilmu yang pertama harus dipelajari adalah ilmu
tauhid.9 Setelah itu, baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqh, shalat,
zakat, haji, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan cara beribadah kepada
Allah Swt. Kedua, ilmu fardu kifayah, yaitu yang kebutuhannya hanya dalam
keadaan tertentu saja seperti shalat jenazah. Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang
haram dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya
digunakan untuk meramal). Keempat, ilmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum
mempelajarinya adalah boleh karena bermanfat bagi manusia. Misalnya ilmu
kedokteran.10
3. Metode pembelajaran
Dalam kitabnya, Taklîm al-Muta’allîm, al-Zarnuji menjelaskan bahwa
metode pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: Pertama, metode
yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat
tekhnik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman,
dan langkah-langkah dalam belajar.31 Untuk lebih jelasnya dapat dipaparkan
sebagai berikut:
a) Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya
mendahulukan mempelajari ilmu yang dibutuhkan urusan agama,
misalnya ilmu tauhid.
b) Cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara‟ dan
umurnya lebih tua dari pada murid.
c) Cara memilih teman; mencari teman yang rajin, wara‟ dan berwatak baik,
mudah memahami pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara.
d) langkah-langkah dalam dalam belajar; termasuk juga aspek dan tekhnik
pembelajaran.11

E. Makna Belajar Menurut Ibn Tainiyah

9
Syeh Ibrahim Al-Zarnuji, Syarh al-Ta’lim, 16.
10
Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran, 53.
11
Wahyuddin, ‘Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Al-Zarnuji’, Ekspose Vol. 17 No.1 (Januari-
Juni, 2018), 559.
10
Beberapa konsep pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Masalah Pendidikan
yang mungkin dapat diterapkan dalam pengelolaan pendidikan Islam khususnya di
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Falsafah Pendidikan
Dasar ataupun azas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan
adalah ilmu yang bermanfaat sebagai azas bagi kehidupan yang cerdas dan
unggul. Sementara menggunakan ilmu akan dapat menjamin kelangsungan dan
kelestarian masyarakat.12
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat yang
didasarkan atas azas kehidupan yang benar dan utama adalah ilmu yang
mengajak kepada kehidupan yang baik yang diarahkan untuk berhubungan
dengan al-Haq serta dihubungkan dengan kenyataan makhluk serta
memperteguh rasa kemanusiaan. Hal ini dibangun atas dasar sebagai berikut:
a) At-Tauhid, Berdasarkan tauhid ini Ibnu Taimiyah mencoba
memberikan gambaran mengenai konsep orang yang berilmu, tujuan
pendidikan, kurikulum dan sebagainya. Dengan dasar tauhid ini orang
alim adalah orang yang menyatakan bersaksi atas ketuhanan Allah lalu
mengesakannya. Dengan demikian adanya ketentuan Tuhan mengenai
iman dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang
benderang, orang yang beriman digambarkan sebagai orang orang yang
berpegang teguh pada Tuhannya baik dalam bidang pengetahuan
maupun amalannya, yaitu berpegang tegang teguh pada wahyu yang
difahami melalui akal sehat, pendengaran dan hidayah Allah.
b) Tabi`at, Insaniyah (Kemanusiaan) Seseorang tidak dapat mencapai
pengembangan kecenderungan tauhidnya kecuali melalui pengajaran
dan pendidikan. Dengan demikian ada al-risalah12 dan alrasul.
2. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Taimiyah tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi 3
bagian. Tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
a) Tujuan Individual Seseorang yang menuntut ilmu agar berupaya
memahami tujuan perintah dan larangan serta segala ucapan yang

12
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 2003), 143.
11
datang dari rasul. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pribadi muslim
yang baik adalah orang yang sempurna kepribadiannya yaitu yang lurus
jalan pemikirannya serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya,
sanggup melaksanakan segala perintah agama dengan jelas dan
sempurna.13
b) Tujuan Sosial Setiap manusia memiliki dua sisi kehidupan, yaitu sisi
kehiduapan individu yang berhubungan dengan beriman kepada Allah,
dan sisi kehidupan sosial yang berhubungan dengan masyarakat tempat
dimana manusia hidup.
c) Tujuan Dakwah Islamiyah Mengarahkan umat manusia agar siap dan
mampu memikul tugas dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Untuk
mencapainya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama,
menyebarkan ilmu ma`rifat yang didatangkan dari al-Qur`an dan,
kedua, berjihad yang sungguh-sungguh sehingga kalimat Allah dapat
berdiri tegak.
3. Kurikulum
Ibnu Taimiyah mencoba menjelaskan kurikulum dalam arti materi pelajaran
dalam hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai yang secara ringkas
dapat dikemukakan melalui empat tahapan, yaitu:
a) Kurikulum yang berhubungan dengan at-Tauhid, yaitu mata pelajaran
yang berkaitan dengan ayat-ayat Allah yang ada dalam kitab suci al-
Qur`an dan ayat yang ada di jagat raya dan terdapat dalam diri
manusia.
b) Kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam
terhadap ilmu-ilmu Allah, yaitu mata pelajaran. yang berkaitan dengan
upaya melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap semua
makhluk hidup.
c) Kurikulum yang berhubungan dengan upaya manusia mengetahui
secara mendalam terhadap kekuasaan Allah yaitu mata pelajaran yang
mengetahui pembangunan makhluk hidup yang meliputi berbagai
aspek.

13
Ibid.,
12
d) Kurikulum yang mendorong untuk mengetahui perbuatanperbuatan
Allah yaitu mata pelajaran yang berhubungan dengan melakukan
penyelidikan secara cermat terhadap berbagai ragam kejadian dan
peristiwa yang tampak dalam wujud yang beraneka ragam.14

Disamping itu, Ibnu Taimiyah menganjurkan agar mewajibkan


menggunakan bahasa Arab dalam pengajaran dan percakapan.
Sebagaimana seorang salaf mewajibkan anak-anaknya berbahasa Arab dan
memandang bahasa Arab sebagai bahasa yang mulia.

4. Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Taimiyah pada garis besarnya metode pengajaran dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode ilmiah yang mengandung pemikiran
yang lurus dalam memahami dalil, dalam hal ini didasarkan pada tiga hal,
yaitu;
a) Benarnya alat untuk mencapai ilmu,
b) Penguasaan secara menyeluruh terhadap seluruh proses belajar,
c) Mensejajarkan antara amal dan perbuatan.

Metode yang kedua adalah metode iradah yaitu metode yang mengantarkan
seseorang pada pengamalan ilmu yang diajarkannya, dimana ada tiga syarat
yang digunakan agar tercapainya metode ini, yaitu:

a) mengetahui maksud dari iradah,


b) mengetahui tujuan yang dikehendaki oleh iradah,
c) mengetahui tindakan yang sesuai untuk mendidik iradah.15
5. Etika Guru dan Murid
Ibnu Taimiyah secara garis besar membagi etika guru dan murid pada dua
bagian, yaitu; pertama, etika guru dan murid yang cocok pada zamannya,
kedua, etika guru dan murid yang berlaku sepanjang zaman. Secara lebih jelas
dipaparkan sebagai berikut:
a) Etika Guru terhadap Murid. Seorang guru hendaknya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
14
Ibid., 143
15
Ibid., 152.
13
 Seorang alim merupakan khulafa` yaitu orang yang
menggantikan misi perjuangan para nabi dalam bidang
pengajaran.
 Seorang alim hendaknya dapat menjadi panutan terhadap
murid-muridnya dalam hal kejujuran berpegang teguh pada
akhlak yang mulia, menegakkan syariat Islam.
 Seorang alim hendaknya membiasakan menghafal dan
menambah ilmunya serta tidak melupakannya.
b) Etika Murid terhadap Guru.
Etika yang harus dilakukan murid terhadap guru ada empat hal, yaitu:
 Seorang murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam
menuntut ilmu yaitu mengharapkan ridho Allah.
 Seorang murid hendaknya mengetahui tentang cara memuliakan
gurunya serta berterima kasih terhadapnya.
 Seorang murid hendaknya mau menerima setiap ilmu sepanjang
ia mengetahui sumbernya, jangan mengikatkan diri hanya pada
satu guru.
 Seorang murid hendaknya tidak menilak atau menyalahkan
madzhab orang lain atau memandang madzhab orang lain
sebagai madzhab orang-orang yang bodoh dan sesat.16

Dari beberapa pemikiran terhadap pendidikan di atas, Ibnu Taimiyah juga


berpandangan bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya
secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah. Di sini jelas sikap
Ibnu Taimiyah dalam memandang ilmu yang sifatnya teosentris. Oleh sebab itu,
dalam aspek-aspek lain pun, pandangan ini sangat kental.

16
Ibid., 156
14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Belajar dalam Islam juga diistilahkan dengan menuntut ilmu (Thalab A-
’Ilm). Dalam pandangan Ibnu Khaldun belajar sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor psikologis. Kehadiran dan ketidak hadiran faktor-faktor psikologis bisa
memberikan dampak yang signifikan terhadap kemudahan mencapai tujuan belajar

15
secara optimal. Salah satu faktor psikologis yang fundamental dalam belajar
adalah berpikir. Atas asumsi ini, Ibnu Khaldun mengajukan dua konsep belajar, yaitu:
Konsep Belajar Malakah dan Konsep Belajar Tadrîj.
Imam Al-Ghazali menyatakan makna belajar itu suatu proses pengalihan
ilmu pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran siswa membutuhkan
seorang guru dalam memperoleh ilmunya.
Adapun Syaikh al-Zarnuji membagi beberapan konsep pendidikan Islam,
konsep pendidikan tersebut Antara lain pengertian ilmu dan keutamaannya, niat
belajar, memilih guru, ilmu, teman, dan ketabahan dalam belajar, menghormati
ilmu dan ulama, ketekunan, kontinuitas, dan cita-cita luhur, permulaan dan
insensitas belajar serta tata tertibnya, tawakkal kepada Allah Swt., masa belajar,
kasih sayang dan memberi nasihat, mengambil pelajaran, wara, (menjaga diri dari
yang syubhat dan haram) pada masa belajar, penyebab hapal dan lupa, serta
masalah rezeki dan umur.
Menurut Ibnu Taimiyah tentang Masalah Pendidikan yang mungkin dapat
diterapkan dalam pengelolaan pendidikan Islam ada 5 yaitu Falsafah Pendidikan,
Tujuan pendidikan, Kurikulum, metode pengajaran, Etika guru dan murid.
B. Saran
Penulis dan pemerhati pendidikan Islam agar selalu memberikan pengertian
kepada masyarakat tentang betapa pentingnya pendidikan Islam bahkan pendidikan
yang harus diutamakan. Selain itu Penulis dan pendidik harus terus mampu
mengaktualisasikan konsep pendidikan Islam yang sudah ditanam oleh para
pendahulu sesuai kondisi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Marita Laila. ‘Konsep Belajar Menurut Islam’, Jurnal Al-Murabbi VOl. 2
No.2 (2016)
https://www.kompasiana.com/dewi_masluchah/59db6126655b5b53955c7cc2/perb
andingan-antara-konsep-belajar-ibnu-khaldun-dan-konsep-belajar-jean-piaget
Anwar, Saepul. ’Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun’, Jurnal Ta’lim MKDU Vol. 6
No.1 (2008)

16
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Vol. I t.t: Masyadul Husaini, t.th
Mahmood, Abdul Halim. Hal Ihwal Tassawuf dari al-Munqidz min al-Dlalal
Jakarta: Darul Ihya’ (1994)
Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, (2009)
Al-Zarnuji, Ibrahim. Syarh al-Ta’lim wa al-Muta’allim Mesir: Dar ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah, (t.th.),
Wahyuddin, ‘Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Al-Zarnuji’, Ekspose Vol. 17
No.1 (2018),
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka, Pustaka Firdaus, Jakarta, (2003)

17

Anda mungkin juga menyukai