Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paradigma pelayanan kesehatan di rumah sakit sudah mulai berubah dengan
memusatkan pelayanan kesehatan pada pasien. Tidak lagi menempatkan salah
satu profesi sebagai pusat pelayanan, melainkan dibutuhkan adanya integrasi
asuhan dari berbagai profesi pemberi pelayanan (profesional pemberi asuhan
(PPA) meliputi dokter, perawat, bidan, nutrisionis, apoteker, terapis, dan lain-
lain) sesuai dengan Joint Comission International (JCI) (2017) yang mengacu
pada World Health Organiation Conceptual framework integted people-
centered health services (2015). Sehingga diperlukan sistem yang bisa
menjalankan fungsi koordinasi tersebut yaitu manajemen pelayanan pasien
oleh profesional yang disebut manajer pelayanan pasien (MPP).

Dasar manajemen pelayanan pasien adalah bahwa apabila seseorang mencapai


tingkat kesehatan (wellness) dan fungsional yang optimal maka semua
pemangku kepentingan (individu yang dilayani, keluarga, sistem pemberi
pelayanan, dan sistem reimbursment) mendapatkan manfaat menurut Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (2016) dalam “Materi Workshop Khusus
Manajer Pelayanan Pasien dalam Akreditasi Rumah Sakit”. Untuk
mendapatkan manfaat tersebut, MPP memberikan pelayanan melalui advokasi,
edukasi, identifikasi sumber daya, dan fasilitasi agar pasien mencapai tingkat
kemandirian yang maksimal sesuai dengan peran MPP dalam Standar
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) (2018) sesuai dengan Case Management
Society of America (CMSA) (2010) yang mendefinisikan manajemen
pelayanan pasien adalah suatu proses kolaboratif mengenai asesmen,
perencanaan, fasilitasi, koordinasi asuhan, evaluasi dan advokasi untuk
pemilihan dan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan pasien dan keluarganya
yang komprehensif, melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia
sehingga memberi hasil (outcome) yang bermutu dengan biaya efektif. Dalam

1
2

menjalankan peran MPP diperlukan kerjasama tim yang terdiri atas pasien,
sistem support pasien, para PPA, dan staf lainnya termasuk perwakilan
pembayar.

Dalam perkembangannya sekarang, kegiatan manajemen pelayanan pasien


tidak hanya sebatas pelayanan di rumah sakit (melalui skrining sampai dengan
merencanakan pemulangan pasien dengan aman) tetapi harus memfasilitasi
pasien sampai dengan pelayanan di rumah sakit sesuai dengan SNARS (2018)
dan dalam kegiatan fasilitasi tersebut MPP bisa berkolaborasi dengan pekerja
sosial (social worker) sesuai dengan buku Cesta (2009) yang berjudul “Core
Skill for Hospital Case Manager: A Toolkit for Effevtive Outcomes”.

Peran MPP sudah tampak dari perjalanan kemunculan pelayanan manajemen


pelayanan pasien yang diawali dengan adanya kebutuhan memberikan
pelayanan penyakit kronis psikiatri di Amerika pada tahun 1920-an dan juga
berkembangnya kegiatan pekerja sosial serta diikuti meningkatnya panggilan
perawat ke rumah. Kemudian Pada akhir 1950-an mulai dilakukan koordinasi
di komunitas bagi penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan, dan sejak
mulai saat itu digunakan istilah manajemen pelayanan pasien. Kemudian
manajemen pelayanan pasien berkembang untuk populasi khusus seperti para
lansia yang lemah. Pada tahun 1972, manajemen pelayanan pasien masuk
dalam legislasi federal (CMSA, 2016). Manajemen pelayanan pasien
berkembang pesat pada disiplin keperawatan dan pekerja sosial, dan MPP
keperawatan lebih memadai diterapkan di rumah sakit.

Di Amerika, pada penelitian Gary, et al. (2003) yang melakukan eksperimen


pada 186 penduduk Afrika Amerika dengan diabetes militus (DM) tipe 2
diperoleh hasil kelompok perlakuan nurse case manager (NCM) dan
kelompok perlakuan community health worker (CHW) memiliki penurunan
sederhana pada HbA1c (HbA1c: gambaran rata-rata gula darah selama periode
waktu 6 – 12 minggu) dibandingkan dengan perlakuan kontrol tetapi
3

kombinasi NCM dan CHW menunjukkan penurunan hasil lebih besar pada
HbA1c. Penelitian lain untuk melihat peran MPP, seperti penelitian analisis
retrospektif yang dilakukan oleh Drincic, et al. (2017) pada pasien diabetes di
University of Nebraska Medikal Center, Omaha, Amerika Serikat, diperoleh
hasil readmisi pasien diabetes berkurang secara signifikan dengan
diterapkannya program MPP. Peran dari MPP tidak hanya sebatas koordinasi
antar PPA tetapi sudah meliputi fungsi kendali biaya dengan memfasilitasi
hasil pasien yang diharapkan dalam lama perawatan yang layak (patut) dengan
manajemen sumber daya yang sesuai kemudian menjalankan suatu model
klinis untuk manajemen strategis mutu dan biaya pelayanan, seperti yang
terdapat dalam buku Cesta (2009) yang berjudul ”A Training Toolkit for
Efective Outcome.

Peran MPP di Indonesia sudah terlihat dari penelitian yang dilakukan Hartini
& Sanusi (1999) yang melakukan penelitian terhadap 309 pasien rawat inap
Rumah Sakit St. Elisabeth Semarang dengan menempatkan dokter umum
sebagai MPP, didapatkan hasil bahwa pasien yang didampingi MPP dibangsal
memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Ini mengindikasikan diperlukan
seorang MPP jika melihat dari persepsi pasien sebagai individu, namun pada
penelitian ini tidak disebutkan kriteria MPP yang diinginkan pasien dan peran
MPP masih sebatas rawat inap, belum memfasilitasi, koordinasi dan advokasi
ke pelayanan di luar rumah sakit.

Atmaja (2017) pada penelitiannya tentang pelaksanaan manajemen pelayanan


pasien di salah satu RSUD di Banjarmasin yang menempatkan kepala ruangan
sebagai partisipan sekaligus berperan sebagai MPP menyatakan kebijakan
rumah sakit, sumber finasial dan dukungan lingkungan merupakan faktor yang
berhubungan dengan pelaksanaan manajemen pelayanan pasien. Tetapi dalam
implementasi dan pendokumentasiannya oleh MPP tidak berjalan baik (Yuyun
[personal communication], Juni 2018). Hal ini selaras dengan penelitian
Mikulincer, et al. (2007) yang melaporkan ketidakseriusan kepala ruangan
4

dalam menjalankan tugasnya sebagai MPP menyebabkan 46% pelayanan yang


ada di ruangan menjadi tidak kondusif. Tapi dari penelitian Atmaja (2017)
tersebut kita bisa mengambil kesimpulan pentingnya dukungan dari manajer
dalam implementasi manajemen pelayanan pasien dari persepsi MPP.

Melihat pentingnya implementasi manajemen pelayanan pasien, rumah sakit


perlu mempersiapkan secara dalam perencanaan agar manajemen pelayanan
pasien yang akan diterapkan bisa berjalan dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan dan efektifitas biaya di rumah sakit. Penelitian yang dilakukan
Wulandari (2018) tentang strategi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit
berdasarkan indikator mutu keselamatan pasien menyatakan alternatif strategi
yang merupakan hasil kombinasi dari peningkatkan kualitas pelayanan melalui
implementasi indikator keselamatan pasien dengan karakteristik kualitas
pelayanan rumah sakit dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
rumah sakit. Alternatif strategis bisa disusun dengan menggunakan analisa
SWOT yang merupakan landasan untuk merencanakan strategi bisnis rumah
sakit seperti penelitian yang dilakukan Aji & Tjahjono (2016).

Peran dan fungsi manajer di rumah sakit menjadi penting dalam perencanaan
implementasi manajemen pelayanan pasien. Gillies (2000) dalam buku
“Manajemen Keperawatan sebagai Suatu Pendekatan Sistem” menyatakan
tugas manager keperawatan yaitu merencanakan, mengatur, mengarahkan dan
mengawasi keuangan yang ada, peralatan dan sumber daya manusia untuk
memberikan pengobatan yang efektif dan ekonomis kepada pasien.
Kemampuan manajer keperawatan melakukan telaah dalam perencanaan
implementasi manajemen pelayanan pasien dipengaruhi oleh pengetahuan
(Nonaka & Takeuchi, 1995), kebijakan rumah sakit (Swanburg, 2000),
supervisi (Kelly & Tazbir, 2012), dan perencanaan dalam pencapaian tujuan
(Robbins & Coulter, 2000).
5

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin yang memiliki predikat paripurna
versi KARS sudah merencanakan implementasi manajemen pelayanan pasien
dengan adanya intruksi dari Wakil Direktur Pelayanan kepada Kepala Bidang
Pelayanan Keperawatan (Kabid Yanwat) untuk mempersiapkan implementasi
manajemen pelayanan pasien. Kabid Yanwat bersama dengan Kepala Seksi
Rawat Inap Bidang Keperawatan (Kasi Ranap Bidwat), para Kepala Instalasi
Rawat Inap (Kepala Irna), para Supervisor Instalasi Rawat Inap (Supervisor
Irna) membentuk tim ad hoc dari middle management keperawatan
(Keputusan Direktur RSUD Ulin nomor 188.4/222/Kep-KUM/2015 tentang
Pelayanan Keperawatan) untuk mempersiapkan implementasi manajemen
pelayanan pasien.

Belum ditetapkankannya MPP sesuai aturan SNARS 2018 edisi 1 yang


mengharuskan implementasi manajemen pelayanan pasien, berpengaruh
terhadap elemen penilaian akreditasi di RSUD Ulin yang akan melakukan
survei akreditasi versi SNARS pada bulan November 2018. Amanah
mengimplementasikan manajemen pelayanan pasien sebenarnya sudah ada
sejak akreditasi versi KARS 2012 melalui Bab Akses Pelayanan dan
Komtinuitas Pelayanan (APK) pada elemen penilaian APK 2.1 yang berbunyi
”Dibutuhkan case manager yang bertanggung jawab dalam kontinuitas
pelayanan selama pasien dirawat di rumah sakit”, tetapi RSUD Ulin belum
mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan MPP sampai hal tersebut
diinstruksikan kembali dan sudah menjadi keharusan pada akreditasi versi
SNARS dalam Bab Akses Ke Rumah Sakit dan Kontinuitas Pelayanan (ARK)
pada elemen penilaian ARK 3.1 yang berbunyi “Rumah sakit menetapkan
regulasi untuk melaksanakan proses kesinambungan pelayanan di rumah sakit
dan koordinasi di antara profesional pemberi asuhan (PPA) dibantu oleh
manajer pelayanan pasien (MPP)/case manager. Artinya harus ada Keputusan
Direktur tentang pangangkatan MPP paling lambat sebelum survei SNARS
dilakukan.
6

Hasil studi pendahuluan bulan Juli 2018 di RSUD Ulin pada wawancara
dengan 1 orang Kepala Irna dan 1 orang Supervisor Irna terkait kesiapan
implentasi manajemen pelayanan pasien, mereka mengatakan bahwa
manajemen pelayanan pasien itu apa, MPP itu siapa, dan apa yang
dikerjakannya. Kasi Ranap Bidwat menjelaskan saat ini belum ada regulasi
yang mengatur MPP di RSUD Ulin dan itu selaras dengan penjelasan Ketua
kelompok kerja (Pokja) ARK dengan alasan belum ada regulasi rumah sakit,
pada SNARS yang sekarang mewajibkan pengimplementasian MPP, dan
survei akreditasi akan dilaksanakan pada bulan November mendatang.
Wawancara dengan Kabid Yanwat juga menjelaskan bahwa sudah ada
instruksi dari Wakil Direktur Pelayanan tentang pengangkatan MPP dari
keperawatan.

Dari studi dokumentasi masih ada kekosongan atau ketidaklengkapan


pengisisan formulir yang menggambarkan peran MPP yaitu formulir
discharge planning dan formulir edukasi-informasi. Hasil review rekam medis
yang menunjukkan angka 56,67% ketidaklengkapan dan 3,33% tidak terisi
pada formulir discharge planning, serta masih ada 30% ketidaklengkapan
pengisian formulir edukasi-informasi.

Berdasarkan pentingnya peran MPP yang berkembang saat ini, dokumentasi di


rekam medis terkait peran MPP dan penetapan MPP sesuai regulasi yuridis
yang berlaku maka peneliti tertarik melakukan kajian fenomena ini lebih
mendalam. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk
mendapatkan kajian tentang fenomena yang kompleks, komprehensif dan
mendalam terkait kesiapan manajer keperawatan terhadap implementasi
manajemen pelayanan pasien sehingga dengan ini akan diketahuinya
gambaran untuk merancang dan menata manajemen pelayanan pasien lebih
lanjut.
7

Sugiyono (2013) pada bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kuantitatif,


Kualitatif, dan R & D” menyatakan penelitian kualitatif merupakan penelitian
induktif. Induktif disini adalah penelitian yang memperoleh teori yang
bersumber dari hasil penelitian dari partisipan, berbeda dengan penelitian
kuantitatif untuk menguji teori yang sudah ada. Studi fenomenologi dalam
penelitian ini digunakan untuk mendapatkan informasi secara langsung dari
manajer keperawatan yang terlibat langsung dalam perencanaan implementasi
manajemen pelayanan pasien yaitu Kepala Irna, Supervisor Irna, Kasi Ranap
Bidwat, Kabid Yanwat yang mengekspresikan perasaan, pikiran dan persepsi
tentang kesiapan mereka terhadap implementasi manajemen pelayanan pasien
yang akan dilaksanakan. Berdasarkan penjelasan tersebut memungkinkan
manajer keperawatan di Indonesia khususnya daerah Banjarmasin untuk
meningkatkan pengetahuan dan sensitifitas manajer keperawatan terhadap
pentingnya kesiapan yang matang di suatu rumah sakit. Hal ini memberikan
wawasan baru untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dengan
merencanakan sistem yang baru dan belum pernah diselenggarakan
sebelumnya di RSUD Ulin yaitu manajemen pelayanan pasien oleh MPP.

Meneliti kesiapan manajer keperawatan terhadap implementasi manajemen


pelayanan pasien adalah penting karena sejumlah alasan. Alasan pertama,
perencanaan oleh manajer dimaksudkan untuk memberikan arah, mengurangi
ketidakpastian, mengurangi pemborosan dan kegiatan rangkap serta menjadi
standar yang digunakan dalam pengendalian. Alasan kedua, kepuasan pasien
tidak akan terpenuhi jika MPP tidak menjalankan peran optimal dalam
fasilitasi, koordinasi, advokasi kendali biaya, pelayanan berfokus pada pasien
(PCC), asuhan pasien terintegrasi, kontinuitas pelayanan, dan kepatuhan
pasien. Alasan ketiga, dapat dipastikan bahwa apabila seseorang mencapai
tingkat kesehatan (wellness) dan fungsional yang optimal maka semua
pemangku kepentingan (individu yang dilayani, keluarga, sistem pemberi
pelayanan, dan sistem reimbursment) akan mendapatkan manfaat.
8

Studi fenomenologi merupakan metode yang merupakan metode yang


mendeskripsikan, menginterpretasikan data secara mendalam, lengkap dan
terstruktur untuk memperoleh intisari (essense) yang sesuai untuk melakukan
kajian kesiapan manajer keperawatan terhadap implementasi manajemen
pelayanan pasien di RSUD Ulin. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara
mendalam untuk memperoleh data yang komprehensif. Fokus pendekatan
fenomenologi untuk memahami keunikan fenomena dunia kehidupan
individu, bahwa realitas dunia kehidupan masing-masing individu berbeda,
memiliki respon yang unik dan spesifik menurut Afiyanti & Rachmawati
(2014) dalam buku “Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan”.
Pendekatan ini untuk mengeksplorasi dan mengkaji manajer keperawatan di
tingkat middle management (Kepala Irna, Supervisor Irna, Kasi Irna Bidwat
dan Kabid Keperawatan) yang terlibat langsung dalam upaya merencanakan
imlementasi manajemen pelayanan pasien dan telah ditunjuk oleh top
management (wakil direktur pelayanan) dalam kegiatan merancang sistem
yang baru ini sehingga kesiapan manajemen pelayanan pasien dapat tergambar
secara nyata.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana kesiapan manajer keperawatan level middle management terhadap
implementasi manajemen pelayanan pasien pada RSUD Ulin?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini dirancang untuk mengkaji kesiapan manajer keperawatan pada
level middle management terhadap implementasi manajemen pelayanan pasien
di RSUD Ulin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi rumah sakit tempat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk
mempersiapkan pelaksanaan manajemen pelayanan pasien dan dengan
9

diketahuinya persamaan pernyataan dan hal-hal apa saja yang


diperlukan manajer keperawatan dalam mempersiapkan implementasi
manajemen pelayanan pasien agar sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.
1.4.2 Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Penelitian ini menjadi masukan bagi manajer keperawatan dalam
memberikan pelayanan keperawatan secara profesional dengan regulasi
yang berlaku.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini menjadi bahan informasi dan pengembangan bagi institusi
pendidikan baik dalam proses pembelajaran mahasiswa maupun
penelitian selanjutnya terhadap upaya tenaga kesehatan tentang
pelaksanaan manajemen pelayanan pasien.
1.4.4 Bagi peneliti
Menjadi wahana menambah pengalaman dan pengetahuan dalam
implementasi manajemen pelayanan pasien.
1.4.5 Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan mampu dijadikan literatur
bagi penelitian selanjutnya dalam melakukan penelitian terkait masalah
implementasi manajemen pelayanan pasien di rumah sakit.

1.5 Penelitian Terkait


1.5.1 de Stampa, et al., tahun 2014, dengan judul “Multidisciplinary teams of
case managers in the implementation of an innovative integrated
services delivery for the elderly in France”, dengan jenis penelitian
kualitatif, sampel penelitian multi dispilin, dengan hasil sebagian besar
MPP memandang dirinya sebagai bagian dari tim manajemen kasus
(91.5%). Tim manajemen kasus membantu MPP dalam
mengembangkan pemahaman komprehensif tentang konsep terintegrasi,
memenuhi kebutuhan kompleks lansia dan berdampak pula pada
profesionalitas mereka dalam praktiknya. Tim manajemen kasus
10

multidisiplin memberikan tambahan nilai dengan membantu MPP


mengaplikasikan teori kedalam praktik, mengembangkan konsep a
comprehensive clinical vision. Semua diawali dengan pendekatan
interdisiplin.
1.5.2 Menik, K., tahun 2016, dengan judul “Pelaksanaan Manajemen Konflik
Interdsipilin oleh Case Manager di Ruang Rawat Inap RSUD Tugurejo
Semarang”, dengan jenis penelitian kualitatif, sampel penelitian
multidispilin, dengan hasil menunjukan bahwa konflik interdisiplin
berupa perselisihan dan penurunan produktivitas kerja oleh dokter,
perawat, dan petugas farmasi klinis disebabkan oleh miskomunikasi,
kewenangan dan perubahan, dan terjadi di ruang perawatan.
Manajemen konflik interdisiplin yang dilakukan oleh MPP terdiri dari
pencegahan konflik, pengelolaan konflik, penyelesaian konflik, dan
rekonsiliasi konflik.

Anda mungkin juga menyukai