Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PAPER

PENDIDIKAN PANCASILA

TENTANG :
“INTOLERANSI AGAMA YANG TERADI DI INDONESIA”
OLEH :
ANTIN EKASEPTIANI ARISTA
52418402
AKUNTANSI SMT 1(SORE)
I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang bersifat pluralisme, artinya adalah negara Indonesia memiliki
keanekaragaman budaya,suku, bahasa, adat istiadat hingga agama.
Keanekaragaman ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Keanekaragaman
berikut dapat menjadi modal bangsa untuk maju dan berkembang dengan berbagai potensi yang
dimiliki bangsa Indonesia. Sebagai sebuah negara yang memiliki beragam kemajemukan,
Indonesia memiliki ruang atau celah yang cukup besar bagi munculnya potensi gesekan antar
masyarakat sebagai akibat perbedaan keyakinan dari para masyarakat yang menghuni negara.
Perbedaan keyakinan tersebut, pada kenyataanya memiliki makna yang mendalam dari sekedar
perbedaan sebagai pilihan individu, perbedaan ini merupakan warisan secara historis dan
mengakar dari nenek moyang atau keluarga.
Dalam konteks kehidupan sosial, perbedaan pandangan pewarisan keyakinan secara
historis telah melahirkan adanya pengelompokkan yang dinamakan mayoritas dan minoritas.
Pengelompokan tersebut, seharusnya dimaknai sebagai salah satu kekayaan yang muncul akibat
adanya perbedaan keyakinan, yang menjadi sarana pemersatu dalam kehidupan bernegara.
Harus diakui, bahwa memposisikan kelompok mayoritas dan minoritas, sebagai sebuah
kekayaan budaya guna mempersatukan bangsa, akan sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai
toleransi yang berkembang di tempat kelompok itu berada. Pada sebuah negara yang
multikultural seperti Indonesia, penggolongan tersebut tetap akan berpotensi memunculkan celah
dan gesekan sosial yang cukup tinggi.
Ketika suatu kelompok, memahami perasaan superioritas sebagai sesuatu yang benar, maka
tanpa disadari akan mengakibatkan nilai keyakinan, primordialisme, dan chauvinisme yang
berlebihan. Mereka tidak lagi menghargai kemajemukan,namun mulai mempertentangkan
perbedaan yang ada.
INTOLERANSI BERAGAMA YANG MARAK TERJADI DI
INDONESIA

Intoleransi adalah suatu kondisi dimana suatu kelompok seperti masyarakat, kelompok
agama, atau kelompok non-agama yang secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-
praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun, jika pernyataan
bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lain
adalah salah maka ini bukanlah termasuk intoleransi beragama, namun inilah yang disebut
intoleransi ideology.
Pada saat ini intoleransi sedang menjadi buah bibir , intoleransi terjadi pada agama
maupun etnis tertentu yang minoritas. Di dunia luar makin banyak aliran- aliran yang mungkin
terlihat aneh dan tumbuh bebas serta dinamis tanpa terkendali. Banyak ustad/ ustadzah, mubaligh
bahkan pemuka agama yang tampil di televisi dengan pembicaraan humor dan lawak yang tidak
beraturan. Sehingga banyak umat beraggapan bahwa sebuah mubaligh yang menyampaikan
tersebut hanyalah iseng. Sementara di lingkungan masyarakat majelis majelisn zikir dan majelis
ta’lim berkembang pesat dengan mazhab dan aliran serta pemikirannya sendiri- sendiri. Di lain
pihak, fenomena kelompok teroris juga terus muncul serta semakin banyak sindikat- sindikat
jaringan kelompok teroris yang terus menerus bertambah dan meluas, meskipun beberapa
sindikat sudah ditumpas tetap saja jaringan teroris itu muncul kembali.
Dalam hubungan antar negara banyak sekali muncul kasus kasus yang terjadi di masa ini,
seperti pelanggaran terhadap para penganut Ahmadiyah, penganut Syi’ah, pelanggaran terhadap
pembangunan gereja, dll. Menurut KomnasHAM dalam kurun waktu 3 tahun terakhir pengaduan
tentang peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah tinggi. Pada
Tahun 2015, jumlah pengaduan kasus intoleransi yaitu 87 kasus. Tahun 2016 hampir 100 kasus.
Pada tahun 2017 jumlah pengaduan meningkat menjadi 155 kasus.
Sepanjang tahun 2015 kasus intoleransi tertinggi terjadi pada daerah jawa tengah. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 14 kasus pelangaran sepanjang tahun ini, mayoritas
intoleransi adalah pendiri gereja. Persoalan intoleransi yang terjadi di Jawa Tengah lebih banyak
berkaitan dengan pelayanan administrasi kependudukan, baik kartu keluarga, kartu tanda
penduduk, pendirian rumah ibadah, dan konflik horizontal di kalangan masyarakat dengan
penolakan terhadap aliran keagamaan. Persoalan perusakan tempat ibadah juga menjadi catatan
serius bagi Lembaga dan juga Komnasham. Salah satu persoalan tersebut adalah perusakan
sanggar milik Penghayat Kepercayaan Sapta Darma di Kabupaten Rembang, hal ini jelas
menunjukkan bahwa di Jawa Tengah kebebasan berekspresi merupakan sebuah tren yang sangat
negative. Kasus kasus lain yang terjadi adalah penolakan pembangunan gereja di Pemalang, dan
bentrokan antara ormas Majelis Tafsir Al-Quran dengan Banser Nahdlatul Ulama. Selain itu,
terdapat juga pelarangan pembicara dari Ahmadiyah oleh Jamaah Anshorus Syariah,Protes
pelaksanaan As-Syura di Semarang, kasus pemolisian penulis buku Ahmad Fauzi, Protes
kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia di Banyumas, Penolakan Jemaat Kristen Indonesia di Klaten,
Dugaan konversi agama dari Buddha ke Islam, dan Persoalan diskusi Ahmadiyah di Semarang.
Kasus intoleransi agama di Jawa Tengah ditutup dengan 12 kasus yang terselesaikan dan 2 kasus
yang tidak ada penyelesaian.

Berdasarkan catatan Polri ada 25 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia sepanjang
2016. Kasus tersebut, di antaranya pengusiran terhadap penganut Gafatar dan Ahmadiyah di
Bangka pada Januari 2016. Aksi massa tehradap warga Ahamadiyah di Bangka-Belitung adalah
insiden terbaru dalam serangkaian serangan terhadap kelompok minoritas. Belum lama dari
terjadinya kasus ahmadiyah, kelompok yang menamakan diri Gafatar juga mengalami kekerasan
dari penduduk Kalimantan barat. Rumah-rumah dari kaum yang menamai Gafatar tersebut
dibakar dan mereka diusir. Dengan sikap yang sama Aparat keamanan tidak melakukan
pencegahan dan juga tidak langsung melakukan penyidikan. Kasus lainya adalah Perusakan
relief salib di Yogyakarta dan relief Bunda Maria di Sleman pada Agustus 2016 serta banyak lagi
kasus yang terjad di tahunb 2016.

Di sepanjang tahun 2017 terdapat 155 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan
di 29 provinsi di Indonesia. Permasalahan intoleransi padua tahun 2017 tidak jauh berbeda
dengan tahun sebelumnya. Kebebasan berbicara dan berpendapat di daerah Jawa Tengah
sepanjang 2017 masih menunjukkan suatu tren yang negative di kalangan masyarakat. Hasil
penelitian tentang kebebasan beragama oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Semarang menyebutkan bahwa, terdapat puluhan kasus pelanggaran baru terjadi sepanjang tahun
2017 . Kali ini, mayoritas kasus pelanggaran intoleransi didominasi dengan penolakan-
penolakan terhadap kegiatan yang berbasis agama. Salah satu kasus yang terjadi adalah
penolakan rumah ibadah yang terjadi di Kapel di daerah Sukoharjo, Masjid Arqom di Kota
Pekalongan, Penolakan GKI di Mojosongo Jebres Solo dan Gereja Utusan Pantekosta Colomadu
Karanganyar. Sementara itu dalam kasus terorisme Kepolisian mencatat ada sebanyak 8 kasus
yang terjadi di Jawa Tengah. Dari kasus kasus tersebut, ada 21 pihak yang terduga sebagai
teroris dan ditangkap. Lalu, penolakan kegiatan berbasis agama yang tercatat di sepanjanjang
tahun 2017 antara lain , penolakan bedah buku di IAIN solo, diskusi Dharma tlakshow di
Sukoharjo, Pengajian Assyura, perayaan Cap Gomeh, pork festival, pembubaran acara HTI,
pelarangan kegiatan Felix Siaw, penolakan Gus Nur, deklarasi FPI di Semarang, pembubaran
kegiatan dangdutan, valentine day, hajatan HUT RI, dan penolakan aksi 1.000 lilin.

Di tahun 2018 ini, tercatat sejak bulan Januari samapai November ini telah terjadi beberapa
kasus pelanggaran. Sejumlah pihak mengecam keras aksi kekerasan agama tersebut, karena
tindakan tersenut dianggap menodai keberagaman dan mencederai wajah dari demokrasi di
Tanah Air. Beberapa contoh kasus yang terjadi pada tahun 2018 adalah Pura di Lumajang yang
dirusak oleh orang tak dikenal , penyerangan terhadap ulama di Lamongan , perusakan masjid di
Tuban, ancaman bom di klenteng Kwan Tee Koen Karawang, serangan gereja Santa Lidwiana
Sleman, persekuesi terhadap Biksu di Tangerang, dua serangan brutal terhadap tokoh Agama
Islam.

Sikap intoleransi yang terjadi di Indonesia saat ini tentunya tidak muncuk dengan
sendirinya. Pastinya ada beberapa dorongan- dorongan eksternal maupun internal. Pembentukan
sikap pada setiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan, pendidikan, media massa dal lain lain. Sikap individu terhadap berbagai hal
berkembang dan berjalan sesuai dengan interaksi dengan/ antar idnividu lainya, termasuk
kegiatan kelompok yang ia ikuti sendiri ataupun kelompok yang tidak ia ikuti / kelompok lain.
Pada saat ini Indonesia telah diguncang dengan adanya sikap sikap atau pemikiran yang tidak
kritis sehingga muncul berbagi masalah atau konflik yang menyebabkan melunturnya nilai
toleransi. Bibit bibit munculnya tindakan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor sosial, ekonomi, politik, termasuk juga
meningkatnya ujaran kebencian yang terjadi di kalangan masyarakat, kelompok, ataupun ras.
Intoleransi berbasis agama terjadi dikarenakana faktor kesenjangan pengetahuan dan ekonomi.
Termasuk beberapa konflik yang ada di luar negeri. Kasus- kasus intoleransi bisa j8uga
dipengaruhi oleh peraturan perundang- undangan yang sifatnya diskriminatif. Ada empat pemicu
yang membuat seseorang melakukan aksi intoleransi. Pertama, perbedaan dalam memahami
ajaran agama secara tekstual. Pemahaman ini menghasilkan pengalaman yang berbeda bagi
sesama penganut satu agama. Kedua, aksi pemaksaan hak asasi yang dilakukan oleh kaum
mayoritas kepada pihak minoritas. Aksi lainya adalah pemakaian atribut keagaaman secara
berlebihan dan menyombongkan diri dengan segala atribut yang dipakainya. Ketiga, perbedaan
adat istiadat juga dapat menjadi pemicu terjadinya kasus intoleransi, faktor adat istiadat ini
menyebabkan konflik yang dilator belakangi fanatisme/ fanatic kesukuan. Keempat adalah
ketidak adilan dari pihak aparatur negara ataupun pemerintah dalam menangani berbagai
masalah atau konflik yang terjadi, mereka cenderung memihak pada salah satu kubu dengan
alasan yang bermacam macam seperti uang, agama, golongan, bahkan kasta.

Munculnya benih benih perpecahan yang terjadi pada anak bangsa pada saat ini, yang
dipicu karena sentiment atau senditifnya latar belakang suatu agama, menjadi keprihatinan yang
mendalam serta kewaspadaan untuk sejumlah eleman masyarakat yang menghendaki kembalinya
kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Aksi intolernasi juga menjalar di lembaga
pendidikan negeri maupun swast di Indonesia. Mereka menerapkan aturan diskriminas pada
kelompok tertentu. Contoh nyata masuknya sikap intoleransi di lrmbaga pendidikan adalah
pemaksaan aturan pemakaian jilbab kepada siswi muslim di sekolah negeri maupun swasta.
Dengan adanya peraturan / pemaksaan tersebut sekolah sekolah/ lembaga pendidikan tersebut
maka jika salah satu siswi dalam satu lingkup sekolah tersebut tidak berjilbab maka dianggap
keimananya atau ketaatan seorang siswi tersebut kurang. Masalah seperti inilah yang menurut
saya sangat mengerikan, karena bagi saya mau berjilbab ataupun tidak berjilbab maka sesorang
tidak boleh dipakasa, artinya adalah dalam masalah ini jilbab adalah sebuuah pilihan bukan
menjadi sebuah paksaan.

Benih benih intoleransi terpotret dari masih adanya siswa maupun guru yang menggagap
ketua osis yang seharusnya terpilih berasal dari agama yang sama, etnis yang sama. Bahkan
mereka enggan mengucapkan selamat hari raya kepada teman/ orang yang berbeda agama.
Kurangnya kegiatan disekolah yang bertujuan mengeratkan rasa solidaritas dan toleransi dalam
berteman membuat hal hal kecil tentang sikap intleranan menjadi semakin besar. Ada 2 hal yang
melatar belakangi adanya sikap intoleran di lingkungan sekolah. Pertama, kuranga danya
pendidikan toleransi di sekolah. Keuda, pendidikan keagamaan yang dilaksanakan sat ini
cenderung kepada doktrin dan simbol, kurang mengakomodasi substansi agama itu sendiri dalam
perspektif yang lebih meluas/ universal. Dengan kata lain, pendidikan agama yang dilakukakan
disekolah- sekolah saat ini masih belum berhasil membuka/ memenset pikiran siswa siswi
bahakn para guru. Ada 3 sebab utama yang menjadikan gagalnya pendidikan agama. Pertama,
proses pendidikan yang diajarkan guru lebih mengarah kepada kpela proses indoktrinisasi
sehingga pembelajaran agama mempunyai posisi sebagai sesuati yang bersifat absolute dan tidak
dapat dibantah. Kedua, lebih menekan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif-
informative. Ketiga, kuatnya ideology atau komitmen agama yang dianut oelh seorang guru.
Ketiga penyebab tersebut disadari/ tidak sebenarnya telah mengubah pola piker anak didik
menjadi kurang terbuka.

Pendidikan yang terjadi saat ini disusul dengan sifat mendoktrin dari seorang guru kepada
siswa siswinya sehingga menjadi tidak terkontrol dan yang terjadi adalah cara berpikir anak
didik menjadi satu arah dan akibaynya tidak mau menerima masukan bahkan perbedaan,
kemungkinan besar yang akan mereka dapat aalah mereka akan menyetujui/ membenarkan aksi
kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya. Maka ada dua titik yang rentan sekali di
masuki sifat intoleransi. Pertama, guru dan yang kedua adalah murid. Para guru dan murid harus
memahami pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan melestarikan
keberagaman dalam kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini. Karena guru mempunyai
dampak yang besar bagi transformasi pengetahuan peserta didik. Lingkungan sekolah harus
mampu menghadirkan modelm pembelajaran yang mempu menumbuhkan sikap saling
menghargai dan meghormati perbedaan.

Kurangnya toleransi dalam ranah sosial akan berdampak serius dalam keharmonisan hidup
antar sesame karena akan menimbulakn sikap tidak menghargai yang lain. Kemajemukan yang
sudah dipersiapkan Tuhan seharusnya dibarengi dengan sikap dan tindakan yang menjunjung
tinggi pluralitas atas prinsip persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Tindakan intoleransi yang
terjadi di masyarakat yang kemudian dengan pihak aparat tidak disertai/ dikenakan penegakan
hokum, kemudian kelompok kelompok ini seolah- olah dibenarkan, mereka membenarkan
bahwa tindakan tindakan mereka adalah baik, karena tidak ada hukumyang memprosesnya. Dari
tindakan inlah maka banyak kelompok- kelompok yang hampir sama, yang sejenis yang tersebar
di banyak tempat, mereka melakukan tindakan intoleran bukan hanya kepada yang berbeda
agama, tapi kemudian yang berbeda pandagan ke mereka, orang orang yang mereka anggap
sesat, kelompok kafir, komunis, LGBT, yang akan menjadi sasaran mereka.

Dari fenomena- fenomena tersebut setidaknya dapat dijadikan vonis awal bahwa sampai
saat ini, kesadaran pluralitas dalam beragam belum menyentuh sisi kesadaran paling dalam pada
diri para pemeluk agama. Artinya bahwa slogan slogan yang mengajarkan cinta dan kasih serta
perdamaian , tidak menyukai tindak kejahatan dalam bentuk apapun berarti hanyalah omong
kosong.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang puralistik, baik agama, ras etnis, tradisi, budaya,
dll adalah sangat rentan terhadap timbulnya perpecahan konflik sosial. Dengan kata lain agama
dalam masyarakat majemuk dapat menjadi sebuah pemersatu dapat juga sebagai pemecah.

Terimaksih
DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Hidayatulloh, M. T. (2014). Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di


DKI Jakarta. Harmoni, 13(2), 104-116.

Wardaya, M. K. (2016). Pembubaran Ormas Anarkis: Sebuah Tinjauan Hukum Hak AsasiManusia.

Wijaya, S. H. B., Mursito, B. M., & Anshori, M. (2013). Media Massa dan Intoleransi Beragama
(Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama pada Surat Kabar Lokal di Kota Surakarta Tahun
2012). Komunikasi, 6(2), 175.

Ahmad, H. A. (Ed.). (2013). Survei nasional kerukunan umat beragama di Indonesia. Kementerian
Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai